B. Adab Berkhutbah
C. Adab Berdebat
• Al-Jadal adalah At-Tahâwur (berdiskusi atau berdialog), seperti firman Allah:
سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللهِ وَاللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antara mereka antara kamu berdua. (TQS. Al-Mujadalah [58]: 1)
Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal (berdebat) adalah penyampaian hujah atau yang diduga sebagai hujah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau madzhabnya, membatalkan hujah lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan syara’ untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah Swt:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (TQS. An-Nahl [16]:125)
Firman Allah Swt:
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (TQS. Al-Baqarah [2]: 111)
Rasulullah saw. juga telah mendebat kaum musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar ma’ruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub kewajiban semua aktivitas tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban, termasuk ke dalam kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban yang tidak sempurna (pelaksanaannya) tanpa sesuatu, maka sesuatu itu (hukumnya) wajib.
Diantara perdebatan ada satu jenis perdebatan yang dicela secara syar’i, sehingga menjadi satu bentuk kekufuran, seperti mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah berfirman:
وَهُمْ يُجَادِلُونَ فِي اللهِ وَهُوَ شَدِيدُ الْمِحَالِ
Dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksaan-Nya. (TQS. Ar-Ra’du [13]: 13)
مَا يُجَادِلُ فِي ءَايَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir (TQS. Al-Ghafir [40]: 4)
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ ءَامَنُوا
(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. (TQS. Al-Ghafir [40]: 35)
وَيَعْلَمَ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِنَا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍ
Dan supaya orang-orang yang membantah ayat-ayat (kekuasaan) Kami mengetahui bahwa mereka sekali-kali tidak akan memperoleh jalan keluar (dari siksaan). (TQS. Asy-Syura [42]: 35)
Orang yang kufur adalah orang yang ingkar, bukan orang yang menetapkan (kebenaran). Sebab, orang yang ingkar akan berdebat dalam rangka untuk membantah kebenaran. Sedangkan orang yang menetapkan kebenaran (al-mutsbit) akan berdebat untuk memastikan kebenaran dan melenyapkan kebathilan. Allah berfirman:
وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
Mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. (TQS. Al-Ghafir [40]: 5)
وَقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
Mereka tidak memberikan perumpaman itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (TQS. Az-Zukhruf [34]: 58)
Berdebat tentang Al-Quran untuk menetapkan bahwa Al-Quran bukan mukjizat atau bukan berasal dari Allah juga merupakan suatu kekufuran. Ahmad telah meriwayatkan hadits marfu’ dari Abu Hurairah; Rasulullah bersabda:
«جِدَالٌ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ»
Berdebat tentang Al-Quran adalah kufur. (Ibnu Muflih berkata, “Hadits ini isnadnya baik dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir”)
Ada juga perdebatan yang makruh, seperti mendebat kebenaran setelah jelas dan tampak sebagai kebenaran. Allah Swt berfirman :
يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ
Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menag), seoalah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu) (TQS. Al-Anfal [8]: 6)
Berdebat bisa dilakukan dengan hujjah (dalil) atau dengan syubhat dalil. Ada pun berdebat dengan menggunakan selain keduanya merupakan syaghab dan takhlith. Definisi syubhat adalah sesuatu yang dibayangkan oleh suatu madzhab dalam bentuk hakikat, padahal kenyataannya tidak demikian. Ini adalah definisi Ibnu Aqil. Ibnu Hazm telah mendefinisikan al-Saghab adalah merekayasa hujah yang batil dengan menggunakan suatu premis atau premis-premis yang rusak, yang akan menggiring kepada kebatilan. Disebut juga al-safsathah (mengelabuhi). Ibnu Aqil berkata, “Siapa saja yang suka menempuh metodologi ahli ilmu, maka ia hanya dibenarkan berbicara dengan hujjah (dalil) atau syubhat dalil. Sedangkan al-saghab adalah merupakan pencampuradukan yang dilakukan oleh ahli debat. Dari paparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa al-saghab adalah berdebat tanpa menggunakan dalil atau subhat dalil.
Di antara etika dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulama -dengan sebagian tambahan– adalah :• Mengedepankan ketakwaan kepada Allah, bermaksud taqarrub kepada-Nya, dan mencari ridhanya dengan menjalankan perintah-Nya.
• Harus diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan membatilkan yang batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan menang dari lawan. As-Syafi’i berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
• Tidak dimaksudkan untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
• Harus diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah, agama-Nya, dan kepada lawan debatnya. Karena agama adalah nasihat.
• Harus diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada Rasul-Nya saw.
• Harus memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik terhadap perkara yang diridhai-Nya.
• Harus berdebat dengan metode yang baik dan dengan pandangan dan kondisi yang baik. Dari Ibnu Abas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
»إِنَّ الْهَدْيَ الصَّالِحَ وَالسَّمْتَ الصَّالِحَ وَاْلاِقْتِصَادَ جُزْءٌ مِنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ»
Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan).
Dari Ibnu Mas’ud sebagai hadits mawquf ia berkata:
»اِعْلَمُوْا أَنَّ حُسْنَ الْهَدْي فِي آخِرِ الزَّمَانِ، خَيْرٌ مِنْ بَعْضِ الْعَمَلِ»
Ketahuilah sesungguhnya sebagus-bagusnya petunjuk di akhir zaman lebih baik daripada sebagian amal.
Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath, sanad hadits ini shahih. yang dimaksud dengan petunjuk di sini adalah metodologi. Yang dimaksud dengan as-samtu (adalah al-mandzar (pandangan) dan al-haiah (kondisi). Yang dimaksud dengan al-iqtishad adalah al-i’tidal (pertengahan).
• Singkat dan padat dalam berbicara. Yaitu berbicara sedikit, menyeluruh, dan fasih (sesuai dengan yang dmaksudkan). Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan. Disamping juga lebih berpeluang menimbulkan kekeliruan, kelemahan, dan kesalahan.
• Harus sepakat dengan lawan debatnya terhadap dasar yang menjadi rujukan keduanya. Dengan orang kafir dasar yang dijadikan sebagai rujukan adalah akal semata-mata. Sedangkan jika berdebat dengan seorang muslim, dasar rujukannya adalah akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya, sebagaimana Firman Allah:
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. (TQS. An-Nisa [4]: 59), maksudnya adalah merujuk kepada al-Kitab dan as- Sunah.
• Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat. Sebab, ia tidak beriman kepada perkara pokok syariah. Karenanya, hendaknya tidak berdebat dan berdiskusi dengan mereka mengenai pernikahan dengan empat istri, kesaksian wanita, jizyah, hukum waris, haramnya khamr, dan sebagainya. Berdiskusi dengan orang kafir harus dibatasi pada perkara ushul ad-din (pokok-pokok agama/akidah) yang dalilnya bersifat rasional. Sebab, tujuan dari diskusi adalah memindahkannya dari kebatilan kepada kebenaran, dari kesesatan menuju pada petunjuk. Hal ini tidak bisa diwujudkan kecuali dengan memindahkannya dari kekufuran kepada keimanan. Sebagaimana juga orang Nashrani tidak boleh diajak berdebat tentang kebatilan agama Budha dan Yahudi. Bahkan pembicaraan bersama dengan orang Nashrani tentang hal seperti itu dan yang sejenisnya tidak bisa dipandang sebagai perdebatan. Orang Nashrani bukanlah orang Budha atau Yahudi. Hingga kita bisa mengubahnya dari Budha dan Yahudi menjadi benar. Pembicaraan bersama orang Nashrani harus difokuskan pada akidahnya yang batil untuk memindahkannya kepada Islam. Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa kita sedang berdialog dengan orang Nashrani pada perkara-perkara yang kita sepakati, dan kita mengabaikan perkara yang tidak kita sepakati. Sebab, kita diperintahkan untuk berdebat dengan mereka. Sedangkan perdebatan tidak akan terjadi kecuali pada perkara yang diperselisihkan. Adapun jika orang Nashrani atau Kapitalis bersepakat dengan seorang Muslim bahwa Budha, Sosialisme, atau Komunisme adalah ajaran yang buruk menurut akal, kemudian keduanya berbicara seputar agama dan ideologi itu, maka pembicaraan tersebut tidak bisa disebut diskusi atau debat. Hal seperti itu juga tidak bisa membebaskan tanggungan seorang Muslim dari kewajiban berdiskusi dan berdebat dengannya hingga mampu memindakannya kepada Islam.
Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa kita telah berdialog dengan orang kafir dalam perkara yang telah disepakati seraya meninggalkan perkara yang kita perselisihkan hingga hari kiamat, di hari itulah Allah akan memutuskan dan menetapkan dengan kehendak-Nya di antara kita. Tidak bisa dikatakan demikian, dalam artian menjauhi berdebat dengan mereka. Karena kita diperintahkan untuk berdebat dengan mereka dalam perkara yang diperselisihkan. Jika kita tidak melakukannya, berarti kita termasuk orang yang lalai (dari kewajiban). Memang benar bahwa hukum di dunia dan akhirat adalah milik Allah. Tetapi kita tidak boleh mencampuradukan antara perkara yang merupakan perbuatan Allah dengan perkara yang diwajibkan kepada kita. Perkataan seperti tadi adalah argumentasi orang yang ceroboh lalai, bahkan itu merupakan kekacauan orang yang lalai, yang sam sekali tidak memiliki dalil maupun subhat dalil.
• Tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh orang yang ada di sekitarnya. Juga tidak boleh berteriak di hadapan lawan diskusi. Dikisahkan ada seorang lelaki dari Bani Hasyim yang bernama Abd Ash-Shamad berbicara di hadapan Khalifah Al-Ma’mun dengan mengeraskan suaranya. Kemudian al-Ma’mun berkata, “Wahai Abd as-Shamad, janganlah engkau mengeraskan suaramu. Karena sesungguhnya kebenaran terdapat pada yang paling tepat bukan yang paling keras.” Dan al-Khatib dalam al-faqih wa al-mutafaqqih.
• Tidak boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
• Harus bersabar atas penyimpangan lawan diskusi, bersikap sabar, dan memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu memang pandir. Maka kita harus menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
• Harus menjauhi al-hiddah dan al-dhajjar. Ibnu Sirin berkata: al-hiddah merupakan kiasan dari kebodohan. Maksudnya adalah bodoh dalam berdiskusi. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abas bahwa Rasulullah saw. bersabda:
تعتري الحدة خِيَارُ أُمَّتِيْ
Akan datang kebodohan pada pilihan umatku.
Dalam hadits ini terdapat Salam bin Muslim al-Thawil. Ia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan). Dan hadits yang telah diriwayathan oleh Thabrani dari ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda:
خِيَارُ أُمَّتِيْ أَحْدَاءُهُمُ الَّذِيْنَ إِذَا غَضَبُوْا رَجَعُوْا
Sebaik-baik umatku adalah orang yang paling tajam perasaannya. Yaitu orang-orang yang ketika marah mereka akan kembali normal.
Dalam hadits ini terdapat Nu’aim bin Salim bin Qanbar, ia adalah seorang pendusta.
• Apabila berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka janganlah mengatakan, “Engkau salah,” atau, “Perkataan Anda keliru,” melainkan harus mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda jika ada orang yang mengatakan,” atau, “Ada orang yang mendebat, lalu berkata, ‘…’” Atau membantah dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk, seperti berkata, “Bukankah yang benar itu pernyataan demikian?”
• Harus berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan diskusi agar bisa membantahnya. Juga tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan diskusi selesai berbicara. Dari Ibnu Wahab ia berkata: aku mendengar Malik pernah berkata: “Tidak ada kebaikan pada jawaban sebelum dipahami terlebih dahulu. Bukan termasuk etika yang baik jika seseorang memutuskan pembicaraan lawannya.” Adapun jika lawan diskusi adalah hanya ingin berdebat, keras kepala, banyak membicarakan yang tidak bermanfaat, maka yang menjadi sikap asal adalah tidak berdiskusi dengannya jika hal itu telah diketahui ada pada dirinya. Apabila baru terungkap di tengah-tengah diskusi, maka ia harus menasihatinya. Apabila ia tidak bisa menjaga diri maka putuskanlah pembicaraan.
• Hendaknya menghadapkan wajahnya kepada lawan diskusi, dan tidak berpaling kepada orang-orang yang hadir di forum diskusi karena meremehkan lawan diskusinya. Sama saja apakah orang-orang itu berbeda pendapat atau bersepakat dengannya. Jika lawan diskusi melakukan hal itu, maka harus dinasihati. Apabila ia tidak mau menghentikannya, maka hentikanlah diskusi itu.
• Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub terhadap pendapatnya. Sebab, orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari orang lain.
• Tidak boleh berdebat di forum-forum yang ditakutkan, seperti berdiskusi di tempat terbuka dan di forum-forum umum. Kecuali jika ia merasa tenteram dengan agamanya tidak takut karena Allah terhadap caci maki orang yang mencaci, siap menanggung risiko dari pembicaraannya, baik berupa penjara atau hingga pembunuhan. Juga berdiskusi di tempat pemimpin atau penguasa yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya. Apabila ia tidak bisa meneguhkan dirinya bersama Hamzah (tidak mampu mengatakan hak di hadapan penguasa yang dzalim), maka sikap diam lebih utama. Karena dalam kondisi seperti itu (dikhawatirkan) ia akan meremehkan agama dan ilmu. Dalam kondisi ini, bisa diingat kembali bagaimana sikap para ulama terdahulu semisal Imam Ahmad dan Imam Malik. Juga sikap para ulama masa kini seperti para ulama yang mendebat Muamar Kadzafi ketika menginkari Sunnah.
• Tidak boleh berdebat dengan orang yang tidak disukai. Baik kebencian ini berasal dari dirinya atau datang dari lawannya.
• Tidak boleh bermaksud ingin mengalahkan lawan diskusi dalam forum.
• Tidak berpanjang lebar dalam pembicaraan, khususnya pada perkara-perkara yang sudah diketahui lawan diskusi. Melainkan harus berbicara dengan singkat, namun tidak merusak maksud hingga sampai kepada topik diskusinya.
• Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya, atau di hadapan orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, “Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak mentaati ilmu itu.
• Tidak boleh merasa rendah untuk menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lisan lawannya. Karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan. Juga supaya termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling benar.
• Tidak boleh mengacaukan jawaban, yakni dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Seperti:
Penanya : Apakah Arab Saudi itu daulah Islam?
Penjawab : Peradilan di sana Islami.
Jawaban ini adalah mughalathah (kacau atau tidak sesuai pertanyaan). Jawaban yang seharusnya adalah mengatakan ya, tidak, atau saya tidak tahu. Jawaban mana pun dari ketiga jawaban ini termasuk jawaban yang muthabiqah (sesuai pertanyaan).
• Tidak mengingkari perkara-perkara penting sehingga menjadi penentangnya. Seperti orang mengingari permusuhan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin. Atau mengingkari bahwa sistem yang diterapkan di negeri-negeri Islam adalah sistem kufur, yakni tidak berhukum dengan Islam.
• Tidak mengucapkan kalimat yang global, kemudian setelah itu membantahnya dalam hal yang rinci. Seperti mengatakan di awal pembicaraannya bahwa Amerika adalah musuh bagi Islam dan kaum Muslim, kemudian setelah itu mengatakan bahwa Amerika membantu orang-orang Palestina dalam mendirikan negara mereka dan menentukan nasib mereka sendiri, karena Amerika mencintai keadilan dan kebbasan. Atau mengatakan bahwa Amerika datang ke Irak untuk membaskan kedzaliman dan kediktatoran.
• Tidak menghindarkan diri dari membuang argumentasinya dalam setiap masalah yang cocok dengannya. Seperti memperbolehkan membeli rumah-rumah di Barat dengan riba yang didasarkan al-hajah al-khasshah (kebutuhan khusus) yang diturunkan dan dari ad-dharurah al-khashah (darurat khusus), kemudian tidak memperbolehkan kebutuhan-kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, dan pernikahan dengan riba. Maka sesungguhnya memperbolehkan suatu kebutuhan berarti telah memubahkan banyak hal yang haram, meskipun tidak menghilangkan argumentasi dan kaidahnya dalam setiap kebutuhan, maka sungguh telah bertentangan.
SELENGKAPNYA tentang Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah (Min Muqawimat Nafsiyah Islamiyah) atau daftar isi, klik disini.
Seharusnya disebutkan saja penulisnya ini adalah Hizbut Tahrir yg sebetulnya ditulis oleh Syaikh Atha' Bin Khalil Abu Rasthah, bkn oleh Ustadz fulan. Krn yg sy lihat ini semua salinan utuh dari bab Adab Berbicara, sub bab Adab Berdebat, Min Muqawimat Nafsiyah Islamiyah hal.363-373.
BalasHapusHormati hak cipta penulis orinya tadz, afwan.