KITAB LENGKAP bisa download versi html / website
َูุฏْ ุฃََْููุญَ ูฑْูู
ُุคْู
َُِููู
ูฑَّูุฐَِูู ُูู
ْ ِูู ุตََูุงุชِِูู
ْ
ุฎَٰุดِุนَُูู
َููฑَّูุฐَِูู ُูู
ْ ุนَِู
ูฑَّููุบِْู ู
ُุนْุฑِุถَُูู
َููฑَّูุฐَِูู ُูู
ْ ِููุฒََّٰููุฉِ
َٰูุนَُِููู
َููฑَّูุฐَِูู ُูู
ْ ُِููุฑُูุฌِِูู
ْ
ุญَِٰูุธَُูู
ุฅَِّูุง ุนََٰููٓ ุฃَุฒَْٰูุฌِِูู
ْ
ุฃَْู ู
َุง ู
َََููุชْ ุฃَْูู
َُُٰููู
ْ َูุฅَُِّููู
ْ ุบَْูุฑُ ู
َُููู
َِูู
َูู
َِู ูฑุจْุชَุบَٰู َูุฑَุงุٓกَ
ุฐََِٰูู َูุฃَُٰููุ۟ٓฆَِู ُูู
ُ ูฑْูุนَุงุฏَُูู
َููฑَّูุฐَِูู ُูู
ْ
ِูุฃَู
ََٰٰูุชِِูู
ْ َูุนَْูุฏِِูู
ْ ุฑَٰุนَُูู
َููฑَّูุฐَِูู ُูู
ْ ุนََٰูู
ุตَََٰููุชِِูู
ْ ُูุญَุงِูุธَُูู
ุฃَُٰููุ۟ٓฆَِู ُูู
ُ
ูฑَْٰููุฑِุซَُูู
ูฑَّูุฐَِูู َูุฑِุซَُูู
ูฑِْููุฑْุฏَْูุณَ ُูู
ْ َِูููุง ุฎَِٰูุฏَُูู
1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
2. (Yaitu) orang-orang yang khusyu‘ dalam shalatnya,
3. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tiada berguna,
4. Dan orang-orang yang menunaikan zakat,
5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas.
8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya,
9. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
10. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
11. (Ya‘ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka
kekal di dalamnya.
(TQS. Al-Mukminรปn
[23]: 1-11)
Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah
dikeluarkan
oleh
Hizbut
Tahrir
1425H
- 2004M
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam
Terbitan (KDT)
HIZBUT TAHRIR
Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah
Islamiyah/Hizbut Tahrir; Penerjemah,
Yasin; Penyunting, Tim HTI-Press.
Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2004.
444 hlm.; 21 cm
Judul Asli: Min Muqawimat Nafsiyah Islamiyah
ISBN : 979-97292-2-7
Judul Asli: Min Muqawimat Nafsiyah Islamiyah
Pengarang: Hizbut Tahrir
Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir
Cetakan ke-1: 1425 M/ 2004 H
Edisi Indonesia
Penerjemah: Yasin
Penyunting: Tim HTI-Press
Penata Letak: Anwar
Desain Sampul: Rian
Penerbit: Hizbut Tahrir Indonesia
Gedung Anakida Lt.7
Jl. Prof. Soepomo Tebet, Jakarta Selatan
Telp/Fax: (62-21) 8353254
Cetakan ke-1, November 2004
Cetakan ke-2, Juli 2005
Cetakan ke-3, Juni 2006
Daftar Isi (klik untuk buka selengkapnya)
Daftar Isi
2. Memelihara Al-Quran
3. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
4. Cinta dan Benci karena Allah
5. Takut kepada Allah dalam Kondisi Tersembunyi dan
Terang-terangan
6. Menangis karena Takut dan Ingat kepada Allah
7. Mengharapkan Rahmat Allah dan Tidak Pustus Asa dari
Rahmat-Nya
8. Sabar Menghadapi Cobaan dan Ridha terhadap Qadha
9. Doa, Zikir, dan Istighfar
11. Konsisten dalam Kebenaran
13. Merindukan Surga dan Berlomba dalam Kebaikan
14. Orang yang Paling Baik Akhlaknya
o Contoh-contoh Akhlak yang Baik
o Contoh-contoh Akhlak yang Buruk
15. Adab Berbicara
B. Adab Berkhutbah
16. Berbahagialah Orang-orang yang Terasing. Mereka
Memperbaiki Apa-apa yang Dirusak Manusia
Syakhshiyah
(kepribadian) pada setiap manusia terbentuk oleh ‘aqliyah (pola pikir) dan
nafsiyah (pola sikap)-nya. Bentuk tubuh, wajah, keserasian (fisik) dan
sebagainya bukan unsur pembentuk syakhshiyah. Sebab semua itu hanyalah kulit
(penampakan lahiriah) semata. Sangat dangkal jika ada yang beranggapan bahwa semua itu merupakan salah
satu faktor yang membentuk dan mempengaruhi syakhshiyah.
‘Aqliyah (pola
pikir) adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu; yakni cara
mengeluarkan keputusan hukum tentang sesuatu, berdasarkan kaidah tertentu yang
diimani dan diyakini seseorang. Ketika seseorang memikirkan sesuatu untuk
mengeluarkan keputusan hukum terhadapnya dengan menyandar kepada akidah Islam,
maka ‘aqliyah-nya merupakan ‘aqliyah Islamiyah (pola pikir Islami). Jika tidak
seperti itu, maka ‘aqliyahnya merupakan ‘aqliyah yang lain.
Sedangkan nafsiyah (pola sikap) adalah cara yang
digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan gharizah (naluri) dan hajat
al-’adhawiyah (kebutuhan jasmani); yakni upaya memenuhi tuntutan tersebut
berdasarkan kaidah yang diimani dan diyakininya. Jika pemenuhan naluri dan
kebutuhan jasmani tersebut dilaksanakan dengan sempurna berdasarkan akidah
Islam, maka nafsiyah-nya dinamakan nafsiyah Islamiyah. Jika pemenuhan tersebut
tidak dilakukan dengan cara seperti itu, berarti nafsiyahnya merupakan nafsiyah
yang lain.
Jika kaidah --yang digunakan-- untuk ‘aqliyah dan
nafsiyah seseorang jenisnya sama, siapa pun dia, maka syakhshiyah-nya pasti
merupakan syakhshiyah yang khas dan unik. Ketika seseorang menjadikan akidah
Islam sebagai asas bagi ‘aqliyah dan nafsiyah-nya, maka syakhshiyah-nya
merupakan syakhshiyah Islamiyah. Namun, jika tidak demikian, berarti
syakhshiyah-nya adalah syakhshiyah yang lain.
Karena itu (untuk membentuk syakhshiyah Islamiyah), tidak
cukup hanya dengan ‘aqliyah Islamiyah, di mana pemiliknya bisa mengeluarkan
keputusan hukum tentang benda dan perbuatan sesuai hukum-hukum syara’, sehingga
dia mampu menggali hukum, mengetahui halal dan haram; dia juga memiliki
kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan
tepat, serta mampu menganilisis berbagai peristiwa dengan benar. Semuanya itu
belum cukup, kecuali setelah nafsiyahnya juga menjadi nafsiyah Islamiyah,
sehingga bisa memenuhi tuntutan gharizah dan hajat al-’adhawiyah-nya dengan
landasan Islam. Dia akan mengerjakan shalat, puasa, zakat, haji, serta
melaksanakan yang halal dan menjauhi yang haram. Dia berada dalam posisi yang
memang disukai Allah, dan mendekatkan diri kepada-Nya, melalui apa saja yang
telah difardhukan kepadanya, serta berkeinginan kuat untuk mengerjakan berbagai
nafilah, hingga dia makin bertambah dekat dengan Allah Swt. Dia akan menyikapi
berbagai kejadian dengan sikap yang benar dan tulus, memerintahkan yang makruf,
dan mencegah yang munkar. Juga mencintai dan membenci karena Allah, dan
senantiasa bergaul dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.
Demikian juga tidak cukup jika nafsiyah-nya merupakan
nafsiyah Islamiyah, sementara ‘aqliyah-nya tidak. Akibatnya, bisa jadi
beribadah kepada Allah dengan kebodohan, yang justru menyebabkan pelakunya akan
tersesat dari jalan yang lurus. Misalnya, berpuasa pada hari yang diharamkan;
shalat pada waktu yang dimakruhkan, dan bersikap lemah terhadap orang yang
melakukan kemunkaran, bukannya mengingkari dan mencegahnya. Bisa jadi dia akan
bermuamalah dan bersedekah dengan riba, dengan anggapan, bisa mendekatkan diri
kepada Allah, justru pada saat di mana sebenarnya dia telah tenggelam dalam kubangan dosanya. Dengan kata lain, dia
telah melakukan kesalahan tapi menyangka telah melakukan kebajikan. Akibatnya,
dia memenuhi tuntutan gharizah dan hajat al-’udhawiyah tidak sesuai dengan
perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya saw.
Sesungguhnya syakhshiyah Islamiyah ini tidak akan
berjalan dengan lurus, kecuali jika ‘aqliyah orang tersebut adalah ‘aqliyah
Islamiyah, yang mengetahui hukum-hukum yang memang dibutuhkannya, dengan
senantiasa menambah ilmu-ilmu syariah sesuai dengan kemampuannya. Pada saat
yang sama, nafsiyahnya juga merupakan nafsiyah Islamiyah, sehingga dia akan
melaksanakan hukum-hukum syara’, bukan sekadar untuk diketahui, tetapi untuk
diterapkan dalam segala urusannya, baik
dengan Penciptanya, dengan dirinya sendiri, maupun dengan
sesamanya, sesuai dengan cara yang memang disukai dan diridhai oleh Allah Swt.
Jika ‘aqliyah dan nafsiyah-nya telah terikat dengan
Islam, berarti dia telah menjelma menjadi syakhshiyah Islamiyah, yang akan
melapangkan jalannya menuju kebaikan di tengah-tengah berbagai kesulitan, dan
dia pun tidak pernah takut terhadap celaan orang yang mencela, semata-mata
karena Allah.
Hanya saja, tidak berarti dalam diri prilakunyatidak akan
pernah ada kecacatan. Tetapi (kalaulah ada), kecacatan tersebut tidak akan
mempengaruhi syakhshiyah-nya selama kecacatannya bukan perkara pangkal (dalam kepribadiannya),
melainkan pengecualian (kadang terjadi, kadang tidak). Alasannya, karena
manusia bukanlah malaikat. Dia bisa saja melakukan kesalahan, lalu memohon
ampunan dan bertaubat. Bisa juga dia melakukan kebenaran, lalu memuji Allah
atas kebaikan, karunia, dan hidayah-Nya.
Ketika seorang muslim meningkatkan tsaqafah Islamnya
untuk meningkatkan ‘aqliyah-nya, dan meningkatkan ketaatannya untuk memperkuat
nafsiyah-nya; ketika dia berjalan menuju puncak kemuliaan, dan teguh dalam
mengarungi puncak kemuliaan, bahkan semakin tinggi, dari yang tinggi ke yang
lebih tinggi lagi; dalam kondisi seperti ini, dia bisa menguasai kehidupan
(dunia) dengan sesungguhnya, serta memperoleh kebahagian akhirat melalui segala
usahanya ke sana, dengan keyakinan penuh. Dia akan menjadi orang yang
senantiasa dekat dengan mihrab, pada saat yang sama menjadi pahlawan perang
(jihad). Predikatnya yang tertinggi adalah bahwa dia merupakan hamba Allah
Swt., Penciptanya.
Di dalam buku ini, kami mempersembahkan kepada kaum
Muslim umumnya, dan para pengemban dakwah khususnya, beberapa pilar pengokoh
nafsiyah Islamiyah, supaya lisan para pengemban dakwah —yang sedang berjuang
untuk menegakkan Khilafah— senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah; hatinya
senantiasa dipenuhi dengan ketakwaan kepada Allah; anggota badannya senantiasa
bergegas melaksanakan berbagai kebaikan. Membaca al-Quran dan mengamalkannya,
serta mencintai Allah dan Rasul-Nya. Suka dan benci karena Allah. Senantisa mengharapkan
rahmat Allah, dan takut akan azab-Nya. Bersabar sembari terus melakukan
instrospeksi, disertai kepatuhan penuh kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya.
Konsisten dalam memegang kebenaran, bagai gunung yang tinggi menjulang. Bersikap
lemah-lembut dan penuh kasih sayang kepada orang-orang Mukmin, dan bersikap
keras dan terhormat di hadapan orang-orang kafir. Dia tidak terpengaruh oleh
caci maki orang yang mencaci maki, semata karena Allah; akhlaknya baik, tutur
katanya manis, hujjahnya kuat, dan senantiasa menyerukan kepada yang makruf dan
mencegah kemunkaran. Dia melangkah dan beramal di dunia, sementara kedua
matanya senantiasa menatap nun jauh di sana (negeri akhirat), surga yang
luasnya seluas langit dan bumi, yang telah disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.
Tak lupa, kami juga ingin mengingatkan para pengemban dakwah
yang tengah berjuang demi melanjutkan kembali kehidupan Islam di muka bumi ini
dengan menegakkan negara
Khilafah Rasyidah. Kami ingin mengingatkan mereka tentang
kondisi riil tempat mereka berkiprah. Sesungguhnya goncangan yang bertubi-tubi
dari musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya sedang mengepung mereka. Sementara, jika
mereka tidak bersama Allah di tengah malam dan di ujung-ujung waktu siang hari,
bagaimana mungkin mereka bisa membuka jalan di tengah-tengah berbagai kesulitan?
Bagaimana mungkin mereka bisa meraih apa yang mereka harapkan? Bagaimana
mungkin mereka bisa mendaki tempat yang tinggi dan menuju ke tempat yang lebih
tinggi lagi? Bagaimana dan bagaimana?
Terakhir, hendaknya para pengemban dakwah kembali menelaah
dan menghayati dua hadits yang bisa menerangi dan membimbing jalan mereka untuk
meraih tujuan mereka. Cahaya itu kelak akan membimbing kedua kaki mereka.
Permulaan agama kalian adalah kenabian dan rahmat,
kemudian Khilafah yang mengikuti metode kenabian… kemudian akan kembali lagi
Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian.
Dalam hadits ini terdapat kabar gembira, bahwa Khilafah
akan kembali lagi dengan izin Allah. Tetapi, Khilafah tersebut akan kembali
seperti Khilafah yang pertama, yaitu kekhilafahan para Khalifah yang
mendapatkan petunjuk, para sahabat Rasulullah saw. Maka, siapa saja yang
berambisi untuk mengembalikan-nya, dan rindu untuk melihatnya, hendaklah dia
melangkahkan langkahnya ke sana, disertai keyakinan, agar dia bisa seperti para
sahabat Rasulullah saw. atau orang-orang seperti mereka.
Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa
menghinakan wali (kekasih)-Ku, ia telah terang-terangan memusuhi-Ku. Wahai Anak
Adam, engkau tidak akan mendapatkan apa saja yang ada pada-Ku kecuali dengan
melaksanakan perkara yang telah Aku fardhukan kepadamu. Hamba-Ku yang terus-menerus
mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan ibadah sunah, maka pasti Aku
akan mencintainya.
Maka (jika Aku telah mencintainya) Aku akan menjadi hatinya
yang ia berpikir dengannya; Aku akan menjadi lisannya yang ia
berbicara dengannya; dan Aku akan menjadi matanya yang ia melihat
dengannya. Jika ia berdoa kepada-Ku, maka pasti Aku akanmengabulkannya.
Jika ia meminta kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberinya.
Jika ia meminta pertolongan kepada-Ku, maka pastiAku
akan menolongnya. Ibadah hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah
memberikan nasihat.” (Dikeluarkan oleh ath-Thabrรขni dalam
kitab al-Kabir)
Hadits
ini berisi penjelasan mengenai jalan untuk meraih pertolongan
dan bantuan Allah, serta dukungan dari sisi-Nya dengan mendekatkan
diri kepada-Nya, dan memohon pertolongan kepada-Nya.
Dialah Dzat yang Maha Kuat dan Perkasa. Siapa saja yang membela
Allah, dia tidak akan pernah dihinakan. Sebaliknya, siapa saja
yang menghina-Nya, maka dia tidak akan pernah diberi pertolongan.
Dia sangat dekat dengan hamba-Nya, ketika dia berdoa kepada-Nya.
Dia Maha mengabulkan doa hamba-Nya, ketika dia memohon
untuk dikabulkan. Dialah Dzat yang Maha Perkasa di atas hamba-Nya.
Dialah Dzat yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui.
Karena
itulah wahai saudaraku, bersegeralah kalian menggapai
ridha dan ampunan Allah, juga menggapai surga dan pertolongan-Nya,
serta keberuntungan di dunia dan akhirat. Allah Swt.
berfirman:
َِููู
ุฐََِٰูู ََْูููุชََูุงَูุณِ ูฑْูู
ُุชََِٰููุณَُูู
Dalam
yang demikian itu hendaklah orang-orang yang berlombabersegera
mengadakan perlombaan. (TQS. al-Muthafifรฎn [83]: 26)
21
Dzul Hijjah 1424 H
12
Februari 2004 M__
SELENGKAPNYA tentang Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah (Min Muqawimat Nafsiyah Islamiyah) atau daftar isi, klik disini.
0 komentar:
Posting Komentar