Jika yang di maksud adalah pemeluk Islam di Nusantara, maka seharusnya kalimat yang tepat adalah “Muslim Nusantara’ bukan ‘Islam Nusantara’. Sejauh ini, para pendukung gagasan ini memiliki definisi sendiri-sendiri yang juga tidak memiliki kejelasan.
Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah. (nu.or.id)
Walaupun dianggap bukan istilah baru, istilah Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan secara gencar.
Menurut Ketua PBNU, Said Aqil Siradj, istilah Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya "dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras." (Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal, 14/06/15)
"Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya," katanya usai acara kepada BBC Indonesia.
Menurutnya, karakter Islam Nusantara yaitu "Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran."
Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya.
Said Aqil menegaskan, model seperti ini berbeda dengan apa yang disebutnya sebagai "Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara."
Presiden Joko Widodo: "Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi," (Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal, 14/06/15)
Setidaknya, ada empat kejanggalan dari gagasan wacana ‘Islam Nusantara’;
Pertama, adanya klaim ‘Islam Nusantara’ milik satu golongan dan kelompok. Padahal Nusantara bukan hanya milik satu golongan; bukan hanya milik NU, Muhammadiyah atau ormas manapun. Ia lahir adalah bagian dari heterogenitas kelompok yang ada di dalamnya.
Kedua, kelompok yang setuju istilah ‘Islam Nusantara’ seolah-olah ingin berupaya mempertentangkan antara Islam Nusantara dengan Islam Timur-Tengah. Apakah walisongo yang orang Arab, tidak sesuai dengan yang disebut ‘Islam Nusantara’ ini?
Ketiga, gagasan ‘Islam Nusantara’ lahir secara emosional karena harus dibenturkan Arab atau Timur-Tengah, yang seolah-olah apa yang datang dari Arab selalu mengkafirkan, intoleran, suka membid`ahkan, menyesatkan, anti budaya dan lain sebagainya.
Keempat, klaim “Islam Nusantara’ akan menjadi referensi bagi dunia internasional menurut kami adalah gagasan yang janggal.
Sebagai Muslim, yang seharusnya kita tanam dalam keyakinan kita adalah Islam berlandaskan al-Qur`an dan Hadits, itulah referensi umat Islam seluruh dunia.
Bukankah ajaran Islam sudah meng- cover semuanya. Islam sangat menghormati toleransi, kelembutan dan budaya. Bukankah sejak awal Islam yang dibawa nabi adalah Islam rahmatan lil `alamin?
Mana yang lebih menyeluruh dan universal Islam rahmat bagi seantero alam atau sebatas Islam Nusantara?
Banyak muncul penolakan tegas terhadap konsep Islam Nusantara. Salah satunya MUI Sumatera Barat, (Rapat Koordinasi Daerah MUI Sumbar dan MUI Kabupaten/Kota se-Sumbar, yang diadakan di Padang pada 21 Juli 2018)
"Kami MUI Sumbar dan MUI Kab/Kota se-Sumbar menyatakan tanpa ada keraguan bahwa: 'Islam Nusantara' dalam konsep/pengertian definisi apa pun tidak dibutuhkan di ranah Minang (Sumatera Barat). Bagi kami, nama 'Islam' telah sempurna dan tidak perlu lagi ditambah dengan embel-embel apa pun,"
Mereka memiliki sejumlah pertimbangan untuk menolak Islam Nusantara. Pertama, istilah 'Islam Nusantara' mengundang perdebatan yang tak bermanfaat dan melalaikan umat Islam dari berbagai persoalan penting. Istilah 'Islam Nusantara', masih menurut MUI Sumbar, bisa membawa kerancuan dan kebingungan dalam memahami Islam.
Istilah Islam Nusantara juga dinilai mengandung potensi penyempitan makna Islam yang universal. Istilah Islam Nusantara juga sering digunakan untuk merujuk cara beragama Islam yang toleran. Menurut MUI Sumbar, toleransi hanya merupakan satu aspek dalam Islam, padahal banyak aspek lain dalam Islam. Islam tidak bisa direduksi hanya menjadi satu aspeknya saja, melainkan harus menyeluruh.
MUI Sumbar juga menilai istilah Islam Nusantara berpotensi mengotak-kotakkan umat Islam dan memunculkan pandangan negatif terhadap umat Islam yang berasal dari wilayah lain.
Satu pertanyaan. Apakah perbedaan 'Islam Nusantara' dengan Islam? Jika jawabannya adalah sama, untuk apa lagi ada sebutan Islam Nusantara? Kemudian jika jawabannya 'Islam Nusantara' berbeda dengan Islam, apakah masih ada muslim yang mau mengikuti ajaran yang berbeda dengan Islam?
0 komentar:
Posting Komentar