[iklan]

LEMAH LEMBUT TERHADAP KAUM MUKMIN DAN KERAS TERHADAP KAUM KAFIR

LEMAH LEMBUT
TERHADAP KAUM MUKMIN DAN
KERAS TERHADAP KAUM KAFIR



Lemah lembut terhadap kaum Mukmin dan keras terhadap kaum Kafir hukumnya wajib. Dalilnya adalah firman Allah :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍۢ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍۢ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ ٱللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai- Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-Mâidah [5]: 54)

Kata “dzillah” pada ayat ini memiliki arti belas kasih, sayang, dan lemah lembut, bukan bermakna kehinaan atau menghinakan diri. “al-’Izzah” artinya keras, bengis, permusuhan, dan kemenangan. Suka di katakan “’Izzuhu” maknanya sama dengan “ghalabahu” artinya mengalahkannya. al-Ardh al-‘Izaz maknanya sama dengan artinya tanah yang keras. Firman Allah:

مُّحَمَّدٌۭ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,… (TQS. al-Fath [48]: 29)

Dalam ayat ini Allah juga memerintahkan Rasulullah saw. bersikap rendah hati kepada kaum Mukmin. Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَٱخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan berendah hati-lah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (TQS. al-Hijr [15]: 88)

Juga Allah berfirman :

وَٱخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Dan rendahkanlah hati-mu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (TQS. asy-Syuara [26]: 215)

Maksud kedua ayat ini adalah lemah lembutlah pada mereka dan kasihilah mereka. Allah melarang Rasulullah saw. untuk bersikap keras.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemahlembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.

Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.

فَبِمَا رَحْمَةٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (TQS. Ali ‘Imrân [3]: 159)

Ketika Allah memerintahkan Rasulullah saw. agar menyayangi dan lemah lembut kepada orang-orang beriman dan melarang bersikap keras kepada mereka, saat itu Allah pun memerintahkan beliau agar bersikap keras kepada kaum Kafir.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ جَٰهِدِ ٱلْكُفَّارَ وَٱلْمُنَٰفِقِينَ وَٱغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (TQS. at-Taubah [9]: 73)

Seruan kepada Rasulullah saw. merupakan seruan kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Dengan demikian, setiap mukmin juga wajib menyayangi, mengasihi, lemah lembut, dan rendah hati kepada orang-oarng beriman. Setiap mukmin juga wajib bersikap keras, kasar, memusuhi, dan mengalahkan kaum Kafir. Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قَٰتِلُوا۟ ٱلَّذِينَ يَلُونَكُم مِّنَ ٱلْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا۟ فِيكُمْ غِلْظَةًۭ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orangorang yang bertakwa. (TQS. at-Taubah [9]: 123)

Dalam as-Sunah terdapat nash yang membenarkan kewajiban tersebut. Dalam hadits dari Nu’man bin Basyir Rasulullah bersabda:


Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang dan saling cinta-mencintai dan mengasihi di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain turut merasa sakit dengan tidak bisa tidur dan demam. (Mutafaq ‘alaih).

Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Iyadh bin Himar, ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:


Penghuni surga ada tiga golongan. Pertama, penguasa yang adil, suka bersedekah, dan sesuai (dengan syariat). Kedua, orang yang penyayang, halus perasaannya bagi setiap yang memiliki keluarga dan terhadap seorang muslim. Ketiga, orang yang menjaga kesucian, menahan diri terhadap hal-hal yang haram, dan meminta-minta.

Dalam hadits Jarir bin Abdullah Rasulullah saw. bersabda:


Barangsiapa tidak menyayangi (orang beriman,) maka dia tidak akan diberi rahmat 
(Mutafaq ‘alaih).

Ungkapan dihalanginya dari rahmat, yakni rahmat Allah, adalah indikasi atas wajibnya menyayangi kaum Mukmin. Di antara indikasi lain atas kewajiban ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya dari Abû Hurairah, ia berkata; Aku mendengar Abû Qasim saw. yang benar dan dibenarkan bersabda:


Sesungguhnya rasa kasih sayang tidak akan dicabut kecuali dari orang yang celaka.

Juga hadits riwayat Muslim dari ‘Aisyah ra., ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. bersabda di rumahku ini: َ



Ya Allah, siapa saja yang menjadi pengatur urusan umatku, kemudian ia memberatkan mereka, maka beratkanlah ia. Siapa saja yang menjadi pengatur urusan umatku, kemudian ia bersikap lemah lembut kepada mereka, maka lemah lembutlah Engkau kepadanya.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa perintah untuk menyayangi bersifat umum mencakup seluruh manusia, baik muslim, kafir, munafik; yang taat, dan yang maksiat. Hal ini didasarkan pada hadits dari Jarir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Jarir bin Abdullah berkata, Rasulullah saw. bersabda:


Allah tidak akan memberikan rahmat kepada orang yang tidak menyayangi manusia.”

Maka kami katakan, memang benar bahwa kata “an-Nâs” (manusia) adalah kata yang bersifat umum, tetapi termasuk kata umum yang memiliki arti khusus. Seperti kata “an-Nâs” dalam firman Allah:


 (Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia9 telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu,

Di antara hadits yang membuktikan kasih-sayangnya Rasulullah saw. kepada kaum Mukmin adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhâri Muslim dari Abdullah bin Umar, ia berkata;

Sa’ad bin Ubadah pernah mengadukan penyakitnya. Kemudian Rasulullah saw. datang untuk menengoknya bersama Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Ketika Rasulullah saw. masuk menemuinya, beliau mendapatkannya sedang pingsan. Kemudian beliau berkata, “Apakah ia telah wafat?”. Para sahabat menjawab, “Belum wahai Rasulullah!.”

Kemudian Rasulullah saw. menangis. Ketika para sahabat melihat beliau menangis, maka mereka pun menangis. Kemudian Rasulullah saw. bersabda:


Apakah kalian tidak mendengar? Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan siksaan karena air mata, atau karena kesedihan hati, tapi dengan ini —sambil menunjuk lisan beliau—, atau Allah akan memberikan Rahmat-Nya”. 

Hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia mengatakan hadits ini hasan shahih, dari ‘Aisyah ra:

Nabi saw. telah mencium Utsman bin Madz’un dalam keadaan sudah wafat. Beliau menangis atau berlinang air matanya.

Hadits Riwayat Muslim dari Anas bin Malik:

Sesungguhnya Nabi saw. tidak pernah menemui wanita selain istri-istrinya kecuali kepada Ummu Sulaim. Nabi saw. suka menemuinya. Kemudian ada yang berkomentar tentang hal itu. Maka nabi saw. bersabda, “Aku menyayanginya karena saudaranya telah terbunuh pada suatu peperangan bersamaku.”

Hadits yang diriwayatkan al-Bukhâri dari Abdullah bin Umar, ia berkata:

Nabi saw. telah mengepung penduduk Thaif tetapi belum bisa menakhlukkannya. Kemudian beliau bersabda, “Insya Allah kita akan kembali (ke Madinah) besok.” Kaum Muslim berkata, “Mengapa kita harus kembali, padahal kita belum dapat menakhlukkannya.” Rasulullah saw. bersabda, “Pergilah berperang!” Maka para sahabat pun pergi berperang sehingga mereka terluka. Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, “Besok kita akan kembali, insya Allah.” Para sahabat terheran-heran dengan sabda Nabi saw. itu, sementara itu Rasulullah saw. hanya tersenyum.

Hadits riwayat Muslim dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, ia berkata:

Ketika aku sedang shalat bersama Rasulullah saw. tiba-tiba ada seorang yang bersin, maka aku berkata, “Semoga Allah merahmatimu.” Kemudian orang-orang memandangku. Aku Berkata, “Celakalah Ibumu, kenapa kalian memandangiku?” Mereka kemudian memukul-mukul paha mereka. Ketika aku melihat mereka, ternyata mereka sedang menyuruhku untuk diam, dan aku sudah diam. Ketika Rasulullah saw. selesai shalat; demi Bapak dan Ibuku, sungguh aku belum pernah melihat —sebelum dan sesudah kejadiaan itu-– seorang pengajar yang lebih baik pengajarannya dari pada beliau. Demi Allah, beliau tidak membenciku, tidak memukulku, dan tidak memarahiku. Beliau bersabda, “Sesungguhnya dalam shalat ini tidak layak ada sedikit pun perkataan manusia. Shalat ini hanyalah untuk bertasbih, bertakbir, dan membaca al-Quran.”

Hadits riwayat al-Bukhâri dari Anas bin Malik, ia berkata:


Suatu ketika aku pernah berjalan bersama Rasulullah saw. Beliau saat itu memakai selendang Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba ada seorang Arab desa bertemu dengan beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat, hingga aku melihat di bagian leher beliau ada bekas ujung selendang itu akibat kuatnya tarikan tersebut. Orang itu kemudian berkata, “Wahai Muhammad! Berikanlah kepadaku sebagian dari harta Allah yang ada padamu.” Rasulullah saw. meliriknya, lalu tersenyum dan memerintahkanku untuk memberikan sesuatu kepadanya.

Di antara gambaran saling kasih-mengasihi para sahabat satu dengan yang lainnya adalah hadits riwayat Muslim dari Ibnu Abbas, ia berkarta:

Ketika Umar bin al-Khathab ditimpa suatu musibah, Suhaib ar- Rumi menjenguknya sambil menangis, ia berkata, “Duhai sudaraku, duhai sahabatku!”

Hadits riwayat at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadist ini hasan shahih.”, dari Waqid bin Amr bin Sa’ad bin Muadz, ia berkata; Suatu hari Anas bin Malik datang dan aku menemuinya. Ia berkata, “Siapa engkau?” Aku menjawab, “Aku adalah Waqid bin Sa’ad bin Muadz.” Kemudian ia menangis dan berkata, “Sungguh engkau sangat mirip dengan Sa’ad.”

Hadits riwayat Muslim dari Anas bin Malik, ia berkata; Abû Bakar pernah berkata kepada Umar, setelah wafatnya Rasulullah saw., “Wahai Umar!, marilah kita pergi menemui Ummu Aiman. Kita berziarah kepadanya, sebagaimana Rasulullah saw. senantiasa berziarah kepadanya.” Ketika kami telah sampai di kediaman Ummu Aiman, mendadak ia menangis. Abû bakar dan Umar berkata, “Kenapa engkau menangis? Sesungguhnya apa yang ada si sisi Allah adalah lebih baik bagi Rasulullah saw.” Ia berkata, “Aku menangis bukan karena aku tidak mengetahui bahwa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah saw., tapi aku menangis hanya karena al-wahyu telah terputus dari langit.” Perkataannnya itu membuat Abû Bakar dan Umar tersentuh, kemudian kedua sahabat itu pun menangis bersamanya.

Hadits riwayat Muslim dari hadits yang cukup panjang dari Umar bin al-Khathab tentang tebusan tawanan perang Badar. Dalam hadits itu dikatakan:


Ketika esok harinya telah tiba, maka aku (Umar) datang. Tiba-tiba aku mendapati Rasulullah saw. dan Abû Bakar sedang menangis. Kemudian aku berkata, “Wahai Rasulullah saw!, apa gerangan yang membuat engkau menangis dan sahabatmu ini? Jika aku mendapati sesuatu yang bisa menyebabkanku menangis, maka aku akan menangis dan jika tidak pun aku akan memaksakan menangis bersama engkau berdua.”

Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dalam al-Isti’ab dari Junadah bin Abi Ummayah, bahwa Ubadah bin Shamit pada perang Iskandariyah melarang kaum Muslim untuk berperang, tapi mereka akhirnya maju ke medan perang. Kemudian ia berkata, “Wahai Junadah, coba susul mereka.” Kemudian aku pergi dan kembali kepadanya. Ia bertanya, “Apakah ada orang yang terbunuh dari mereka?” Aku Berkata, “Tidak ada.” Ia berkata, “Segala puji bagi Allah, tidak ada salah seorang pun dari mereka yang terbunuh, karena menolak perintah (panglima perang).”

Dalam pembahasan ini perlu ada batasan yang bisa memilah-milah antara sikap saling menyayangi, lemah lembut, dan mengasihi di antara kaum Muslim dengan sikap keras dan tegas kepada mereka. Sesungguhnya, kasih sayang dan lemah lembut tidak boleh ada dalam hal penerapan hukum syara’ dan dalam perkara yang akan membahayakan kaum Muslim. Karenanya, kita harus bersikap keras dan tegas pada saat menerapkan hukum Islam dan ketika ingin mencegah perkara yang akan membahayakan kaum Muslim. Berikut ini sebagian dalil atas hal tersebut:

Perkara yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam  

O Dalam hadits riwayat Ahmad dari Abû Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw. pernah bersabda, “Pukullah ia.” Kemudian beliau bersabda, “Ucapkanlah, ‘Semoga Allah merahmatimu’”.

O Pada kasus perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. menentang pendapat para sahabat, karena itu merupakan hukum syara’. Hadits mengenai hal itu sudah cukup populer. Rasulullah saw. pada saat itu tidak memihak para sahabat dengan dalih kasih sayang kepada mereka, sehingga beliau tidak akan menyeret mereka dalam kesulitan, atau dengan dalih sayang, lemah lembut, dan kasihan kepada mereka sebagai pihak-pihak yang melanggar perintah beliau.

O Dalam hadits ‘Aisyah yang disepakati oleh al-Bukhâri dan Muslim, ia berkata:

Sesungguhnya kaum Quraisy merasa bingung dengan masalah seorang wanita dari kabilah Makhzumiyah yang telah mencuri. Mereka berkata, “Siapakah yang berani berbicara kepada Rasulullah saw. untuk meminta pembelaan bagi wanita itu?” Dengan serentak mereka menjawab, “Kami rasa hanya Usamah saja yang berani, kerana dia adalah kekasih Rasulullah saw.” Maka Usamah pun pergi dan berbicara kepada Rasulullah saw. untuk minta pembelaan atas wanita itu.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jadi kamu ingin memohon syafaat (pebelaan) terhadap salah satu dari hukum Allah?” Kemudian baginda berdiri dan berkhutbah, “Wahai manusia! Sesungguhnya yang menyebabkan binasanya umat-umat sebelum kalian ialah, apabila mereka mendapati ada orang mulia yang mencuri, mereka membiar-kannya. Tetapi apabila mereka mendapti orang lemah di antara mereka yang mencuri, mereka akan menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah!, sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.”

Dalam kasus ini, Rasulullah saw. tidak bersikap lemah lembut kepada kaum Quraisy. Rasul saw. tidak mengasihi wanita Makhzumiyah itu dengan cara membatalkan pelaksanaan hukuman atasnya. Beliau pada saat itu menolak memberikan pembelaan yang diminta oleh Usamah bin Zaid.

O Jika Rasulullah saw. pernah menyayangi seseorang ketika menerapkan hukum Allah, tentu beliau akan menyayangi al-Hasan (cucu beliau, penj.) ketika mengambil bagian kurma sedekah. Dalam hadits Abû Hurairah, mutafaq ‘alaih, disebutkan:

Al-Hasan bin Ali telah mengambil sebagian kurma sedekah, lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Maka Rasulullah bersabda, “Kikh-kikh (tidak boleh-tidak boleh), buang kurma itu! Apakah engkau tidak tahu bahwa keluarga kita tidak boleh memakan harta sedekah (zakat).”

O Adapun ketegasan Rasulullah saw. ketika menghindari perkara yang membahayakan sangat jelas terlihat pada hadits riwayat Muslim dari Muadz tentang perang Tabuk, ia berkata:

 
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian Insya Allah besok pagi akan mendatangi mata air di Tabuk. Kalian akan mendatanginya hingga siang sudah kelihatan jelas. Barangsiapa yang telah datang di mata air itu, maka ia tidak boleh menyentuh airnya sedikit pun hingga aku datang.” Kemudian esok harinya kami sampai ke mata air di Tabuk. Ada dua orang yang terlebih dahulu datang ke tempat itu sebelum kami. Kemudian mata air Tabuk itu menjadi seperti tali sepatu10 yang mengalirkan air hanya sedikit. Rasulullah saw. bertanya kepada keduanya, “Apakah kalian berdua menyentuh airnya?” Keduanya berkata, “Benar” Maka Rasulullah saw. mencela keduanya seraya bersabda pada ke duanya dengan sesuatu yang Allah kehendaki untuk beliau sabdakan...” 

Hadits riwayat Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Ibnu Ishaq tentang kisah Bani Musthaliq dan perbuatan kaum Munafik, ia berkata:

…kemudian Rasulullah saw. berjalan bersama kaum Muslim hingga sore hari, malamnya hingga waktu Shubuh, dan pagi harinya hingga matahari benar-benar kelihatan jelas. Kemudian Rasulullah saw. beristirahat besama kaum Muslim. Hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw. untuk menyibukkan kaum Muslim dari apa yang telah terjadi. Hadits Sa'id bin Jubair riwayat Ibnu Abi Hatim yang dishahihkan oleh Ibnu Katsir, “Sesungguhnya Rasulullah saw. pada saat itu berangkat sebelum masuk waktu sore...”

Adapun bukti ketegasan para sahabat yang paling tampak adalah ketegasan Abû Bakar ketika akan memerangi orang-orang murtad dan ketika melangsungkan pengiriman Usamah bin Zaid, padahal kebijakan tersebut berbeda dengan pendapat seluruh kaum


Muslim saat itu. Namun akhirnya kaum Muslim mengikuti pendapat beliau dan melaksanakan perintahnya, lalu memujinya.

Apabila kita mengecualikan masalah toleransi dalam penerapan hukum syara’ dan dalam perkara yang membahayakan, maka dapat dikatakan bahwa orang-orang yang harus dikasihi adalah orang yang ditimpa musibah, seperti kematian, sakit, kehilangan orang yang mulia. Begitu juga orang yang bodoh, ia harus dikasihi, disikapi dengan rendah hati, dan harus diajari dengan sabar. Ketika menerapkan perkara yang dibolehkan, maka harus dipilih yang paling ringan, harus diutamakan bersikap lemah lembut daripada bersikap keras, dan tegas. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. kepada pasukan kaum Muslim ketika mengepung Thaif; seperti yang telah dijelaskan oleh hadits riwayat Ibnu Umar riwayat Imam al-Bukhâri sebelumnya.

Adapun beberapa bentuk sikap keras dan tegas, dan menampakan keperkasaan kaum Muslim kepada kaum Kafir adalah:

1. Ketika Perang

o Al-Bukhâri meriwayatkan hadits dari Wahsyi, ia berkata; Ketika kaum Muslim keluar pada tahun Ainain —Ainain adalah salah satu gunung dari arah Uhud, yang di antara bukit itu terdapat suatu lembah— maka aku keluar bersama kaum Muslim untuk berperang.

Ketika mereka telah berbaris rapih untuk berperang, keluarlah Siba (dari pasukan musuh). Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Apakah ada yang mau menampakkan diri?” Wahsyi berkata, Maka keluarlah Hamzah bin Abdul Muthalib untuk menghadapinya, kemudian ia berkata, “Wahai Siba!, Ibnu Umi Anmar si tukang sunat wanita, apakah engkau akan menentang Allah dan Rasul- Nya? Selanjutnya Wahsyi berkata, “Kemudian Hamzah menyerang Siba dan membunuhnya...”

Ketegasan para sahabat terhadap kaum Kafir seperti ketegasan Hamzah, Ali, al-Bara, Khalid bin Walid, Amr bin Ma’di Yakrab, Amir, Dzahir bin Rafi dan yang lainnya, bisa dilihat pada buku-buku Sîrah dan Maghâzî. Siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang mereka hendaknya merujuk buku-buku tersebut. Karena karya ini bukan buku sirah dan cerita, maka untuk tujuan tersebut cukup dengan petunjuk saja.

2. Ketika Berunding dengan Musuh (al-Mufawadhah)

o Hadits Muswar dan Marwan riwayat al-Bukhâri, menyebutkan:

Mughirah bin Syu’bah berdiri di hadapan Rasulullah saw. Beliau membawa pedang dan memakai baju besi. Ketika Urwah berusaha menyentuh jenggot Nabi dengan tangannya, maka Mughirah bin Syu’bah memukul tangannya dengan sarung pedang, dan berkata kepadanya, “Jauhkan tanganmu dari janggut Rasulullah saw.”

o Dalam hadits sebelumnya Urwah berkata (kepada Nabi saw.):

Demi Allah!, aku sungguh melihat wajah-wajah dan aku melihat sekelompok manusia bergerobol berlari-lari atau hendak meninggalkanmu.

Kemudian Abû Bakar membantahnya:

Isaplah daging kemaluan Latta! Apakah kami akan lari dari beliau dan membiarkannya.

Perbuatan dan ucapan Mughirah, serta ucapan Abû Bakar dilihat dan didengarkan oleh Rasulullah saw., sementara beliau berdiam diri, maka diam beliau tersebut merupakan pengakuan (pembenaran).

o Muhammad bin Hasan asy-Syibani menceritakan dalam kitab as-Siar al-Kabir, ia berkata; Usaid bin Hudair dan Uyainah menghadap Nabi saw. dengan menjulurkan kakinya. Kemudian Usaid bin Hudhair berkata, “Wahai Uyainah al-Hajrasi!, lipatlah kakimu. Apakah engkau akan menjulurkan kakimu di hadapan Rasulullah saw.? Demi Allah, andaikata bukan karena Rasulullah saw., pasti aku akan menusuk matamu dengan tombak, setiap kali engkau menginginkan hal ini dari kami.”

Juga terdapat berbagai perundingan yang ada di berbagai kitab, seperti perundingan Sabit bin Akram, Amr bin Ash, Mughirah bin Su’bah, Kutaibah, Muhammad bin Maslam, Ma’mun, dan lainlain. Semua perundingan itu menunjukkan ketegasan dan keperkasaan (kaum Muslim di hadapan kaum Kafir), dan menjadi teladan bagi orang-orang yang beramal.

3. Katika Menyikapi Orang-orang yang Melanggar Perjanjian.

Dalilnya adalah firman Allah Swt.:

إِنَّ شَرَّ ٱلدَّوَآبِّ عِندَ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
ٱلَّذِينَ عَٰهَدتَّ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِى كُلِّ مَرَّةٍۢ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ
فَإِمَّا تَثْقَفَنَّهُمْ فِى ٱلْحَرْبِ فَشَرِّدْ بِهِم مَّنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ 
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. (TQS. al-Anfâl [8]: 55- 57)

o Hadits riwayat Muslim dari Abû Hurairah tentang futuh Makkah, setelah kaum Quraisy melanggar perjanjian. Dalam hadits itu Rasulullah saw. bersabda:

Wahai kaum Anshar, apakah kalian melihat macam-macam orang Quraisy? Mereka berkata, “Ya.” Rasulullah saw bersabda, “Tunggulah, jika kalian bertemu dengan mereka besok, maka habisi mereka.” Rasulullah saw. menyembunyikan tangannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Beliau saw. bersabda, “Waktu yang dijanjikan pada kalian adalah di Shafa.” Ia (Abû Hurairah) berkata, “Tidak seorang pun (dari kaum Quraisy) yang mendekati kaum Anshar pada hari itu kecuali mereka membunuhnya.”

o Hadits mutafaq ‘alaih dari Ibnu Umar, ia berkata; Kemudian Bani Nadhir dan Bani Quraidzah memerangi (Nabi), dan beliau mengusir Bani Nadhir dan membiarkan Bani Quraidzah, dan menjamin keamanan mereka hingga Bani Quraidzah memerangi (Nabi). Beliau pun menghukum mati laki-laki mereka, dan membagikan wanita dan anak-anak kepada kaum Muslim; kecuali sebagian mereka yang mengikuti Nabi saw., maka mereka pun beriman serta masuk Islam. Beliau mengusir Yahudi di Madinah secara keseluruhan, yakni Bani Qainuqa’ --faksi Abdullah bin Salam-- dan Yahudi Bani Haritsah dan semua Yahudi di Madinah.

***
_____________

9. Kata “an-Nâs” yang pertama dalah kata umum tapi artinya khusus karena yang dimaksud oleh kata ini adalah orang-orang munafik. Begitu juga kata “an-Nâs” yang kedua, adalah kata umum yang artinya khusus. Arti dari kata ini adalah kaum kafir Quraisy (penj.) 

10. Menurut Imam an-Nawawi, ini merupakan kiasan untuk menunjukkan, bahwa airnya memang sangat kecil, atau sedikit sekali.  


SELENGKAPNYA  tentang Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah (Min Muqawimat Nafsiyah Islamiyah) atau daftar isi, klik disini.

Terkait :

0 komentar


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Arsitektur dan Konstruksi

 

Bersama Belajar Islam | Pondok OmaSAE: Bersama mengkaji warisan Rasulullah saw | # - # | Pondok OmaSAE : Belajar Agama via online


Didukung oleh: Suwur - Tenda SUWUR - OmaSae - Blogger - JayaSteel - Air Minum Isi Ulang - TAS Omasae - Furniture - Rumah Suwur - Bengkel Las -