[iklan]

Mafahim Hizbut Tahrir - KITAB LENGKAP bisa download versi html / website

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
An-Nabhani, TaqiyuddinMafahim Hizbut Tahrir/Taqiyuddin an-Nabhani; Penerjemah, Abdullah; Penyunting, Abu Fadhlan. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007.
128 hlm.; 17,5 cm
Judul Asli: Mafahim Hizbut Tahrir
ISBN : 979-97293-1-9
Judul Asli: Mafahim Hizbut Tahrir
Pengarang: Taqiyuddin An-Nabhani
Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir
Cetakan ke-1: 1953 M/ 1373 H
Cetakan ke-6: 2001 M/ 1421 H
Edisi Mu’tamadah
Edisi Indonesia
Penerjemah: Abdullah
Penyunting: Abu Fadhlan
Penata Letak: Anwari
Desain Sampul: Rian
Penerbit: Hizbut Tahrir Indonesia
Gedung Anakida Lt.7 Jl. Prof. Soepomo No.27 Tebet, Jakarta Selatan, Telp. 021-8353254
Cetakan ke-1, Juni 2004
Cetakan ke-2, Maret 2006
Cetakan ke-3, Juni 2007

MAFAHIM HIZBUT TAHRIR


ISI KITAB:

. Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir
. Munculnya Kesalahan Dalam Memahami Syari’at Islam
. Wajib Memahami Agama
. Pemikiran Cemerlang  (Al-Fikru Al- Mustanir)
. Makna Ruh
. Pandangan Yang Mendalam dan Cemerlang Mengenai Manusia
. Pemecahan Berbagai Problematika Kehidupan Melalui Perintah dan Larangan Allah
. Pengertian Dârul Islam
. Peraturan Islam Merupakan Hukum Syara’
. Istinbat Hukum & Pengertian Ijtihad
. Macam-macam & Pengertian Mujtahid
. Macam-macam & Pengertian Muqallid
. Cara Menyusun Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang
. Akidah
. Thariqah
. Jihad
. Aktivitas Dakwah
. Memahami Pengertian Masyarakat
. Iman kepada Allah
. Dakwah Menyeru Kepada Islam Dan Dakwah Melanjutkan Kehidupan Islam
. Tujuan Kutlah DAKWAH
. Pentingnya Hizb (Partai)
. Menentang Hadlarah (Peradaban) Barat

. Hizbut Tahrir adalah 
 


LATAR BELAKANG BERDIRINYA HIZBUT TAHRIR
Islam terpisah. Selama kekuatan yang dimiliki bahasa Arab tidak disatukan dengan kharisma Islam, yaitu dengan cara menempatkan bahasa Arab —yang merupakan bahasa Islam— sebagai unsur yang sangat penting yang tidak terpisahkan dari Islam, maka kemunduruan itu akan tetap melanda kaum Muslim. Mengapa demikian? Karena bahasa Arab memiliki kekuatan besar yang telah turut mengembangkan kharisma Islam. Islam dan bahasa Arab merupakan satu kesatuan. Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan bahasaArab. Meremehkan bahasa Arab akan menghilangkan ijtihad terhadap syari’at, karena ijtihad terhadap syari’at tidak mungkin dilaksanakan tanpa terpenuhinya salah satu syarat mendasar yaitu bahasa Arab. Kedudukan ijtihad itu sendiri teramat penting bagi umat Islam, sehingga umat tidak akan memperoleh kemajuan tanpa adanya ijtihad. Kegagalan berbagai upaya untuk membangkitkan kaum Muslim dapat dikembalikan pada tiga sebab.

Pertama, tidak adanya pemahaman yang mendalam mengenai fikrah Islamiyah di kalangan para aktivis kebangkitan Islam. Kedua, tidak adanya gambaran yang jelas mengenai thariqah Islamiyah dalam menerapkan fikrah. Ketiga, tidak adanya usaha untuk menjalin fikrah Islamiyah dengan thariqah Islamiyah sebagai satu hubungan yang solid, yang tidak mungkin terpisahkan. Apabila kita telusuri mengenai fikrah, ternyata banyak unsur-unsur terselubung telah menyelinap masuk ke dalam fikrah Islamiyah yang tidak banyak diketahui secara rinci oleh sebagian besar kaum Muslim. Unsur-unsur terselubung ini mulai menyusup sejak awal abad II Hijriyah sampai munculnya periode penjajahan. Filsafat-filsafat asing, seperti filsafat India, Persia dan Yunani telah mempengaruhi sebagian kaum Muslim dan menyeret mereka terjerumus dalam kesalahan dengan berupaya mengkompromikan Islam dengan filsafat-filsafat ini. Padahal jelas, filsafat-filsafat ini bertentangan secara keseluruhan dengan Islam.

Usaha-usaha untuk mengkompromikan Islam dengan filsafat-filsafat ini telah menimbulkan adanya interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian ar t i dan hakikat Islam yang sebenarnya, dan memperlemah pengetahuan Islam dari benak kaum Muslim. Lebih dari itu, masuk Islamnya sekelompok orang-orang munafik yang menyimpan rasa dendam dan kebencian terhadap Islam telah mengakibatkan munculnya manipulasi terhadap ajaran-ajaran Islam, berupa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam, bahkan sangat bertentangan dengan Islam. Hal ini melahirkan kesalahpahaman terhadap Islam dalam diri sebagian besar umat. Ditambah lagi dengan kelalaian umat terhadap penguasaan bahasa Arab dalam pengembangan Islam yang terjadi pada abad VII Hijriyah. Faktor-faktor inilah yang mendorong kemunduran kaum Muslim. Belum lagi sejak akhir abad XI Hijriyah (abad ke-17 Masehi) sampai sekarang dengan munculnya ghazwu ats-tsaqafi (invasi budaya), kristenisasi dan serangan politik yang datang dari Barat semakin menambah parahnya kemerosotan, sekaligus menjadi problema baru dalam masyarakat Islam. Faktor-faktor tersebut memberikan andil yang cukup besar terhadap kesalahpahaman kaum Musl im mengenai fikrah Islamiyah, sehingga mampu melenyapkan kejernihan fikrah Islamiyah yang hakiki dari benak kaum Muslim.

Sedangkan terhadap thariqah Islamiyah, umat Islam secara berangsur-angsur telah kehilangan gambaran yang jelas mengenai thariqah Islamiyah. Dahulu, kaum Muslim mengetahui bahwa keberadaannya dalam hidup ini adalah hanya untuk Islam saja; dan bahwasanya tugas Daulah Islamiyah adalah menerapkan Islam, menjalankan hukum-hukum Islam di dalam negeri serta menyebarluaskan dakwah Islam ke luar negeri; dan sesungguhnya metoda praktis untuk merealisasikannya adalah dengan jihad yang dilakukan oleh negara. Namun demikian, kenyataan sebenarnya menunjukkan bahwa umat Islam —setelah mengetahui semua itu— mulai barpandangan bahwa tugas seorang muslim di dunia ini adalah mencari kesenangan dunia terlebih dahulu, baru setelah itu sebagai tugas yang kedua menyampaikan nasehat dan petunjuk. Itu pun jika keadaannya mengijinkan. Di sisi lain, negara sudah tidak mempedulikan lagi kesalahan dan kelalaiannya dalam melaksanakan hukum-hukum Islam. Negara tidak lagi merasa bersalah atas kelalaiannya dan berpangku tangan dari aktivitas jihad fi sabilillah dalam rangka menyebarkan Islam. Kaum Muslim sendiri, setelah kehilangan negaranya —disamping kekurangan dan kelemahannya—, mulai beranggapan bahwa kebangkitan Islam dapat diraih kembali dengan cara membangun masjid-masjid; menerbitkan buku-buku, tulisan atau karangan; serta memdidik akhlak. Sementara mereka pada saat yang sama tetap berdiam diri terhadap kepemimpinan kufur yang menguasai dan menjajah mereka.

Begitulah yang menyangkut aspek fikrah (konsep) dan thariqah (metoda penerapan). Sedangkan jika dilihat mengenai hubungan fikrah dan thariqah, ternyata kaum Muslim hanya memperhatikan hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan pemecahan problematika kehidupan yang menyangkut aspek fikrah saja. Mereka tidak lagi memperhatikan hukum-hukum yang menjelaskan cara praktis pemecahan problematika tersebut, yaitu hal-hal yang menjelaskan thariqah.

Pandangan seperti ini menjadikan kaum Muslim hanya menitikberatkan pada studi hukum-hukum syari’at dengan meninggalkan metode operasionalnya. Mereka lebih banyak memfokuskan perhatian dengan mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah shalat, shaum, nikah, dan talak, sedangkan mempelajari hukum10 hukum yang berkaitan dengan jihad, ghanimah1, hukumhukum yang menyangkut Khilafah, qadla (peradilan), hukum-hukum tentang kharaj2, dan sebagainya terlupakan. Cara mempelajari Islam seperti ini dengan sendirinya telah memisahkan antara fikrah dengan thariqah, antara teori dan praktek, sehingga hasilnya adalah kemustahilan penerapan fikrah karena tidak disertai dengan thariqah-nya.

MUNCULNYA KESALAHAN DALAM MEMAHAMI SYARI’AT ISLAM
Semua itu menjadi lebih parah lagi dengan munculnya kesalahan dalam memahami syari’at Islam yang akan diterapkan ke tengah-tengah masyarakat di penghujung abad XIII Hijriyah (ke-19 Masehi). Islam akhirnya ditafsirkan tidak selaras dengan isi kandungan nash-nashnya, dengan tujuan agar dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada saat itu. Padahal seharusnya, masyarakatlah yang harus diubah agar sesuai dengan Islam, bukan sebaliknya. Jadi, bukan dengan membuat interpretasi baru mengenai Islam agar sesuai dengan keadaan masyarakat. Cara pemahaman seperti ini tidak dapat dibenarkan. Alasannya, karena yang menjadi masalah adalah bahwa di sana terdapat satu masyarakat yang rusak dan hendak diperbaiki dengan suatu mabda (ideologi). Mabda ini harus diterapkan sesuai dengan apa yang dikandung oleh mabda itu sendiri, kemudian mengubah masyarakat seluruhnya secara inqilabi (revolusioner) berdasarkan mabda tersebut. Dengan kata lain, adalah suatu keharusan bagi para aktivis pembaharuan untuk menerapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan makna ajaran yang sebenarnya, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat, waktu, maupun tempat. Namun kenyataannya mereka tidak berbuat demikian. Mereka malah melangkah lebih jauh dengan menginterpretasikan hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi sekarang. Bahkan kesalahan yang mereka lakukan sudah melampui batas, baik dalam masalah umum maupun dalam hal-hal yang terperinci. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah kulliyat (umum) dan hukumhukum yang terperinci sesuai dengan pandangan tersebut.

Misalnya dengan membuat kaidah umum yang salah seperti:

Tidak ditolak adanya perubahan terhadap hukum, dengan adanya perubahan zaman.

atau:

Adat-istiadat dapat dijadikan patokan hukum. dan sebagainya.

Disamping itu mereka juga mengeluarkan fatwa tentang hukum-hukum yang tidak berlandaskan hukum syara’, malah bertentangan dengan nash al-Quran yang qath’i. Mereka menghalalkan riba yang nilai bunganya kecil dengan alasan asal tidak berlipat ganda dan dalam keadaan darurat, apalagi itu dilakukan untuk kepentingan harta anak yatim. Akhirnya, hakim yang dikenal dengan sebutan hakim syar’i pun (pada masa Daulah Turki Utsmani) melakukan riba terhadap dana-dana sosial yatim piatu sebagaimana yang dilakukan oleh hakim sipil. Selain itu, mereka pun melontarkan fatwa yang membolehkan penghentian pelaksanaan hukum hudud, serta membolehkan mengambil undang-undang pidana dari luar Islam. Demikianlah, mereka telah membuat hukum-hukum yang bertentangan dengan syari’at Islam dengan dalih untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi. Hukum syara’, menurut mereka, harus mampu menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi dan tempat.

Tindakan yang mereka lakukan ini tentu saja semakin menjauhkan Islam dari kehidupan. Musuh-musuh Islam lalu menggunakan faham-faham yang salah dan hukum-hukum yang bathil ini, sebagai alat untuk menyusupkan undang-undang dan prinsip-prinsip mereka kepada umat Islam, yang tanpa disadari bahwa hal ini bertentangan dengan agama mereka. Ini disebabkan karena telah mengakarnya pemahaman yang salah dalam benak pikiran umat, bahwa Islam itu up to date (sesuai dengan perkembangan zaman). Islam kemudian dita’wilkan oleh banyak orang agar sesuai dengan mazhab, aliran, dan ideologinya; atau disesuaikan dengan setiap peristiwa yang terjadi, atau dengan tolok ukur masing-masing, sekalipun bertentangan dengan mabda dan arah pandangan Islam. Semua itu telah memberikan andil bagi usaha-usaha menjauhkan Islam dari kehidupan. Satu hal yang pasti, bahwa kegagalan setiap harakah Ishlahiyah (gerakan reformasi) senantiasa sejalan dengan pemahaman yang sudah salah-kaprah ini.

Keadaan ini semakin menjadi-jadi ketika memasuki abad XX M, dengan munculnya banyak penghalang yang memisahkan Islam dengan kehidupan, sehingga semakin menambah kesulitan baru bagi gerakan-gerakan Islam, disamping kesulitan-kesulitan yang telah ada sebelumnya. Hal ini terjadi karena kaum Muslim terutama kalangan ulama dan kaum terpelajarnya sedang dikuasai oleh tiga unsur:

Pertama, mereka mempelajari Islam dengan cara yang bertentangan dengan metoda kajian yang telah digariskan Islam. Metoda kajian menurut Islam menyatakan bahwa hukum-hukum syari’at Islam dipelajari sebagai perkara yang bersifat praktis, agar dapat diterapkan oleh negara dalam urusan pemerintahan, dan oleh individu dalam urusan yang menyangkut pribadi. Atas dasar inilah para ulama (ushul fiqih) mendefinisikan ilmu fiqih sebagai:

 
Ilmu yang membahas masalah-masalah syariat yang bersifat praktis, dan digali dari dalil-dalilnya yang rinci. 

Dengan metode seperti ini, kajian tentang Islam akan menghasilkan ilmu bagi yang mempelajarinya dan amal perbuatan bagi masyarakat, baik negara maupun individu. Sayangnya, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa para ulama dan kaum terpelajar, bahkan mayoritas kaum Muslim mempelajari Islam hanya sekedar sebagai ilmu belaka, seakan-akan Islam adalah filsafat yang bersifat khayal dan teoritis semata. Dengan begitu hukum-hukum fiqih kemudian hanya menjadi sekumpulan teori murni, dan syariat dipelajari sebagai masalah-masalah ritual dan akhlak saja, bukan lagi sebagai hukum-hukum yang mampu mengatasi problematika kehidupan. Ini dilihat dari aspek kajian Islam. Dilihat dari sisi dakwah Islam, apa yang sering dilakukan oleh kaum Muslim serupa dengan yang dilakukan para misionaris, yaitu dengan cara hanya memberi nasehat dan petunjuk saja, bukan dengan metoda pengajaran yang dikehendaki oleh Islam. Dengan cara dakwah seperti ini, orang-orang yang mempelajari Islam akan menjadi ulama-ulama jumud, ibarat buku-buku yang bergerak, atau menjadi penasehat dan pemberi petunjuk yang selalu mengulang-ulang ucapan dan pidatonya yang menjemukan, tanpa ada pengaruh sedikitpun terhadap masyarakat. Mereka tidak memahami hakikat mencerdaskan umat dengan Islam, yang berarti mengajarkan seluruh perkara yang berkaitan dengan agama Islam terhadap mereka, dengan cara yang dapat menyentuh perasaannya dan membuat mereka takut terhadap azab dan murka Allah, sehingga seorang muslim akan berubah menjadi satu tenaga penggerak yang berpengaruh tatkala perasaannya terpaut dengan akalnya, berkat mempelajari ayat-ayat Allah melalui cara yang ditempuhnya itu. Memang benar, mereka belum memahami hal semacam ini. Oleh sebab itulah mereka mengganti metoda pengajaran yang sangat mendalam dan membekas ini dengan metoda nasehat dan petunjuk, yang terbatas dalam bentuk wejangan, pidato dan khutbah-khutbah yang dangkal lagi membosankan, karena telah berulang kali disampaikan. Akibatnya, muncullah anggapan bahwa antara pemecahan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat dengan Islam adalah suatu hal yang saling berseberangan, atau seakan-akan berseberangan, sehingga membutuhkan penyesuaian.

Sampai pada akhirnya pena’wilan agar Islam bisa disesuaikan dengan keadaan, menjadi sesuatu yang lumrah dan dianggap sah-sah saja oleh masyarakat. Lebih dari itu, mereka juga keliru memahami firman Allah Swt.:

۞ وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةًۭ ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍۢ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌۭ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak patut orang-orang mukmin keluar semuanya. Tetapi alangkah baiknya jika keluar sebagian (saja) dari tiap-tiap golongan dari mereka, supaya mereka menerima pelajaran tentang agama, dan untuk mereka ingatkan pada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada mereka, agar supaya mereka bisa hati-hati. (TQS. At-Taubah [9]: 122)

Ayat ini mereka tafsirkan bahwa hendaklah dari setiap kelompok masyarakat ada segolongan orang yang mempelajari ilmu agama, kemudian mereka kembali untuk mengajarkan ilmu tersebut kepada kaumnya. Penafsiran seperti ini telah menjadikan usaha untuk mempelajari agama itu hukumnya fardlu kifayah. Dengan demikian jelas, mereka telah menyalahi hukum syara’, sekaligus menyalahi makna ayat itu sendiri.

WAJIB MEMAHAMI AGAMA
Menurut hukum syara’, setiap muslim yang baligh dan berakal wajib hukumnya memahami agama, terutama perkara-perkara yang dibutuhkan dalam kehidupannya, karena ia diperintahkan untuk menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah. Padahal, tidak ada jalan lain untuk melaksanakan hal ini kecuali dengan mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan seluruh amal perbuatan manusia.

Dengan demikian, tafaquh fiddîn3 tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh seorang muslim dalam kehidupannya adalah fardlu ‘ain4 bukan fardlu kifayah5. Sedangkan ijtihad untuk menggali hukum merupakan fardlu kifayah. Kesalahan mereka dalam memahami makna ayat ini ialah bahwasanya ayat tersebut adalah ayat jihad. Dengan kata lain, yang dimaksudkan adalah bahwa kaum Muslim tidak diperkenankan keluar seluruhnya ke medan perang untuk berjihad. Hendaklah sekelompok orang keluar untuk berjihad, dan sekelompok lainnya tinggal untuk mempelajari hukum-hukum bersama Rasulullah saw. Apabila para mujahid yang terjun ke medan perang itu telah kembali, kelompok yang tinggal dapat mengajarkan kepada mereka hukum-hukum yang belum mereka dapatkan dengan metoda pengajaran yang sangat membekas. Bukti lain mengenai hal ini adalah adanya keinginan dan kesungguhan dalam diri para shahabat untuk mempelajari hukum-hukum agama dan adanya sikap untuk selalu ingin menyertai Rasulullah saw. Kadang- kadang sebagian sahabat keluar mengikuti peperangan saraya6, sedangkan sebagian lainnya tinggal untuk mempelajari hukum-hukum agama. Setelah para mujahid itu kembali, maka mereka yang tinggal akan mengajarkannya kembali kepada pasukan yang belum mendapatkan pelajaran.

Kedua, bahwasanya dunia Barat yang dengki dan membenci Islam dan kaum Muslim terus menerus menyerang agama Islam. Di satu sisi mereka mencela Islam dengan cara mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam Islam, sementara di sisi lain mereka menjelekjelekan sebagian hukum-hukum Islam, padahal semuanya adalah hukum-hukum yang tidak diragukan lagi kebenarannya dalam memecahkan masalah dan persoalan hidup. Menghadapi serangan seperti ini, kaum Muslim —terutama kalangan intelektualnya— berada pada posisi yang sangat lemah. Mereka rela menerima Islam sebagai pihak tertuduh, lalu mereka berusaha untuk membelanya. Dalam rangka menghindari tuduhan seperti itu, mereka berusaha menginterpretasikan hukum-hukum Islam. Sebagai contoh, mereka menginterpretasikan jihad dengan makna peperangan defensif, bukan peperangan ofensif. Pena’wilan semacam ini menyalahi makna dan hakikat jihad yang sebenarnya. Jihad adalah aktivitas memerangi pihak manapun yang berdiri menentang dakwah Islam, baik yang menyerang Islam lebih dahulu (jihad defensif) atau yang tidak (jihad ofensif). Dengan kata lain, jihad adalah menyingkirkan segala bentuk rintangan yang menghambat dakwah Islam. Jihad juga memiliki makna seruan dan dakwah kepada Islam serta berperang demi tegaknya dakwah, yaitu jihad fi sabilillah.

Sejarah menunjukkan, tatkala kaum Muslim hendak menguasai bangsa Persia, Romawi, Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia serta bangsa-bangsa yang lainnya, mereka mengadakan penyerbuan ke wilayah itu karena dakwah memang membutuhkan adanya jihad, agar dakwah tersebar di negeri-negeri tersebut. Jadi, penafsiran jihad seperti di atas merupakan penafsiran yang salah, sebagai akibat sikap yang lemah karena menerima Islam sebagai pihak tertuduh. Pembelaan terhadap Islam dengan cara seperti itu, menunjukkan sikap yang malah memuaskan para penuduhnya. Begitu pula sikap mereka menghadapi tuduhan orang-orang kafir dalam masalah poligami, potong tangan bagi pencuri, dan sebagainya. Untuk menghadapi tuduhan orang-orang kafir ini, kaum Muslim berusaha menginterpretasikan Islam dengan cara yang bertentangan dengan hakikat ajarannya. Semua itu menjadi sebab semakin jauhnya kaum Muslim dari pemahaman yang benar terhadap Islam, bahkan pada akhirnya Islam dijauhkan dari pengamalan ajaranajarannya.

Ketiga, sebagai akibat menyusutnya Daulah Islamiyah karena banyaknya negeri-negeri Islam yang melepaskan diri lalu tunduk kepada pemerintahan kufur, apalagi disusul dengan runtuh dan lenyapnya Daulah Islamiyah, maka terciptalah dalam benak kaum Muslim gambaran yang memustahilkan terwujudnya kembali Daulah Islamiyah berikut terlaksananya kembali hukum Islam sebagai satu-satunya hukum yang harus diterapkan. Inilah yang mengakibatkan mereka bersedia menerima begitu saja hukum lain yang bukan berasal dari Allah Swt. Mereka tidak melihat hal ini sebagai suatu bencana dan dosa, selama nama baik Islam tetap dijaga, sekalipun hukum Islam tidak diterapkan lagi. Mereka juga menyerukan agar aliran dan ajaran selain Islam harus dimanfaatkan guna membantu penerapan ajaran Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan kaum Muslim hanya duduk berpangku tangan tanpa berbuat apa-apa untuk mengembalikan Daulah Islamiyah, serta berdiam diri melihat hukum kufur yang diterapkan di tengah-tengah kehidupan kaum Muslim oleh orangorang Islam itu sendiri.

Ketiga masalah tadi menjadi penyebab kegagalan seluruh gerakan reformasi yang didirikan untuk membangkitkan kembali umat Islam sekaligus mengembalikan kejayaan Islam. Wajar apabila kegagalan ini terjadi, karena sekalipun gerakan-gerakan tersebut adalah gerakan Islam, namun kesalahpahamannya terhadap Islam makin menambah ruwetnya problematika, yang makin mempersulit untuk mengatasinya, bahkan dapat menjauhkan umat dari Islam, sebagai ganti dari usaha-usaha untuk menerapkan ajarannya. Bertolak dari penjelasan ini maka sudah seharusnya terdapat sebuah gerakan yang memahami Islam, baik dalam aspek fikrah (konsep) maupun thariqah (metoda penerapan)-nya, lalu mengkaitkan keduanya dan berusaha melangsungkan kembali kehidupan Islam di salah satu wilayah diantara wilayah-wilayah Islam, sehingga wilayah ini menjadi titik awal pergerakan yang memancarkan sinar dakwah Islam, dan kemudian menjadi titik tolak penyebaran dakwah Islam.

Atas dasar inilah Hizbut Tahrir berdiri. Hizbut Tahrir berusaha untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam di kawasan negeri-negeri Arab. Dari sanalah tujuan untuk melangsungkan kehidupan Islam di seluruh dunia Islam —secara alami— akan tercapai, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah di satu atau beberapa wilayah sebagai titik sentral Islam dan sebagai benih berdirinya Daulah Islamiyah yang besar yang akan mengembalikan kehidupan Islam, dengan menerapkan Islam secara sempurna di seluruh negeri-negeri Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Setelah mengadakan pengkajian, analisis dan pembahasan, Hizbut Tahrir kemudian memilih dan menentukan hukum-hukum syara’, yang diantaranya berkaitan dengan pemecahan masalah-masalah individu yang muncul dalam masyarakat dan yang terjadi antara sesama individu dalam masyarakat, seperti larangan menyewa lahan pertanian. Ada juga yang berkaitan dengan masyarakat umum yang terjadi antara umat Islam dengan umat lain, atau yang berhubungan dengan aspek internasional, seperti bolehnya negara mengadakan perjanjian-perjanjian mendesak (dalam keadaan lemah) atau menyampaikan dakwah Islam sebelum memulai peperangan, dan lain-lain. Ada juga yang berkaitan dengan ide-ide, yang tidak lain merupakan hukum-hukum syara’, misalnya tentang kaidah-kaidah kulliyat dan definisi-definisi syara’. Seperti kaidah kulliyat yang mengatakan:

Suatu kewajiban tidak akan terlaksana tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.


atau seperti definisi mengenai hukum syara’, yaitu:

Seruan Pembuat hukum (Allah) yang berkaitan dengan perbuatan hamba.

PEMIKIRAN CEMERLANG  (AL-FIKRU AL- MUSTANIR)
Hizbut Tahrir telah memilih dari berbagai macam hukum ini beberapa hukum tertentu, dan berusaha mengembangkannya. Karena hal ini pada hakikatnya juga mengembangkan Islam. Semuanya berupa pandanganpandangan, pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang Islami dan hanya berasal dari Islam. Tidak ada di dalamnya hal-hal yang tidak Islami bahkan tidak terpengaruh sedikit pun oleh sesuatu yang berasal dari luar Islam; semata-mata Islam dan hanya berdasarkan pada dasar-dasar Islam serta nash-nashnya secara murni. Hizbut Tahrir dalam menyampaikan dakwahnya berusaha membangkitkan dan menggerakkan pemikiran. Hizbut Tahrir berpendapat, dakwah Islam harus dibangun atas dasar pembentukan pemikiran dan wajib dikembangkan sebagai sebuah qiyadah fikriyah7. Pemikiran cemerlanglah (al-fikru al- mustanir) yang amat dibutuhkan dalam hidup ini. Dan manusia akan bangkit di atas landasan tersebut, yaitu berupa suatu pemikiran yang mampu memperlihatkan hakikat segala sesuatu sehingga dapat dipahami dengan benar. Suatu pemikiran agar bisa menjadi pemikiran cemerlang (al-mustanir) harus berupa pemikiran yang mendalam (al-‘amiq). Yang dimaksud dengan pemikiran yang mendalam (al-fikru al-’amiq) adalah pandangan yang teliti dan mendalam mengenai segala sesuatu. Dengan demikian, pemikiran yang cemerlang (al-fikru al-mustanir) adalah pandangan yang teliti dan mendalam mengenai segala sesuatu beserta segala hal ikhwal dan setiap hal yang berkaitan dengannya, untuk mencapai suatu kesimpulan yang benar berdasarkan proses tersebut. Dengan kata lain, pemikiran yang cemerlang (al-fikru al-mustanir) adalah pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang terhadap segala sesuatu. Dengan demikian harus ada pandangan yang teliti, mendalam, dan cemerlang mengenai alam, hidup, dan manusia. Demikian juga harus ada pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang mengenai manusia dan tingkah lakunya, sehingga dapat ditemukan hukumhukum yang berkaitan dengan unsur-unsur ini.

Pandangan yang mendalam mengenai alam, hidup (nyawa), dan manusia akan memberikan pemikiran yang menyeluruh terhadap ketiganya. Pemikiran yang menyeluruh inilah yang akan memecahkan problematika terbesar bagi manusia. Pemikiran ini pula yang akan membentuk akidah bagi manusia, yang akan menentukan tujuan hidupnya dan tujuan dari aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan ini. Sebab, manusia itu hidup di muka bumi (alam semesta); maka, selama belum terpecahkan problema terbesar mengenai dirinya sendiri; fenomena hidup yang dialaminya; dan mengenai alam semesta sebagai tempat hidup dan keberadaannya, tentu dia tidak akan mungkin mengetahui sikap apa yang harus ditempuhnya. Karena itulah akidah menjadi dasar segala sesuatu.

Pandangan yang mendalam dan cemerlang mengenai alam semesta, hidup, dan manusia pasti akan menghantarkan kepada akidah Islam. Sangat jelas bahwa ketiga unsur ini semuanya merupakan hasil ciptaan dari al-Khaliq (Sang Pencipta). Dan bahwasanya al-Khaliq inilah satu-satunya yang mengendalikan, menjaga, serta mengaturnya sesuai dengan sistem tertentu. Bahwasanya kehidupan dunia tidak bersifat azali (tidak berawal dan berakhir) dan tidak abadi. Ada kehidupan sebelumnya, yaitu Allah Swt. yang menciptakannya dan yang mengaturnya; disamping ada kehidupan sesudahnya yaitu hari Kiamat. Begitu pula aktivitas manusia di dalam kehidupan dunia ini, harus berjalan sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya. Bahwa manusia akan dihisab atas perbuatannya pada hari Kiamat nanti, yaitu yaumul hisab. Berdasarkan hal ini, menjadi kewajiban manusia untuk selalu terikat dengan syari’at Allah yang telah disampaikan oleh junjungan kita Nabi Muhammad saw. kepada manusia.

Dengan pandangan yang mendalam dan cemerlang terhadap alam, hidup, dan manusia, akan nampak bahwa ketiganya berupa materi, bukan ruh. Ketiganya juga bukan terbentuk dari campuran materi dan ruh. Yang dimaksud dengan materi di sini adalah sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera; baik materi itu didefinisikan sebagai sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa, atau didefinisikan sebagai tenaga yang dapat menggerakkan —baik tampak maupun tidak. Yang menjadi topik pembahasan bukanlah bentuk materi itu sendiri, melainkan hal yang terkait dengan alam, hidup, dan manusia —yaitu ketiga unsur yang dapat diindera dan dijangkau— dilihat dari sisi keberadaannya sebagai ciptaan al-Khaliq. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ruh, adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Jadi, bukan ruh yang dimaknai sebagai sirrul hayat (rahasia hidup/nyawa). Sebab, yang menjadi topik pembahasan memang bukan ruh dalam arti nyawa, melainkan mengenai hubungan alam, hidup, dan manusia dengan sesuatu yang ghaib, yaitu al-Khaliq. Juga mengenai apakah kesadaran terhadap hubungan alam, hidup, dan manusia dengan Khaliqnya itu termasuk bagian dari ketiganya atau bukan. Dengan pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang terhadap alam, hidup, dan manusia —dilihat dari segi pengertian ruh sebagai kesadaran hubungan manusia dengan Allah, bukan dari segi ruh sebagai nyawa— ternyata semuanya itu berupa materi, bukan ruh, juga bukan terbentuk dari campuran materi dan ruh. Bahwa semuanya tergolong materi, itu adalah suatu hal yang nyata, bukan hal yang samar, karena ketiganya dapat dijangkau oleh indera. Ketiganya juga bukan ruh, karena ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah Swt. Padahal kesadaran yang timbul dari manusia terhadap hubungannya dengan Allah ini bukanlah bagian dari alam, manusia, dan hidup, melainkan sesuatu di luar itu. Bahwa ketiganya bukan terbentuk dari campuran materi dan ruh, telah jelas pada alam dan kehidupan. Sedangkan pada diri manusia, kesadarannya terhadap hubungannya dengan Allah bukanlah asli bagian dari proses bentukannya, melainkan sesuatu yang baru. Buktinya, orang kafir yang ingkar terhadap Allah tidak akan mengenal hubungannya dengan Allah, kendati demikian ia tetap sebagai manusia.

Berdasarkan penjelasan di atas, apa yang dikatakan oleh sebagian orang bahwa manusia itu terbentuk dari campuran materi dan ruh adalah salah; sehingga apabila materi yang ada padanya mampu mendominasi ruh jadilah ia orang jahat; dan jika ruh yang mendominasi dalam dirinya, jadilah ia orang baik; dan bahwasanya manusia harus berusaha memenangkan ruh atas materi agar menjadi orang baik. Manusia bukan terbentuk dari campuran materi dan ruh. Ruh yang menjadi pokok bahasan di sini (yang terdapat pada diri orang yang beriman terhadap adanya Tuhan) adalah adanya pengaruh dari Sang Pencipta, atau pengaruh yang dapat dijangkau berkaitan dengan hal-hal ghaib, atau adanya sesuatu yang dapat diketahui, yang tidak mungkin muncul kecuali dari Allah, atau yang semakna dengan hal-hal yang mempunyai arti kerohanian maupun aspek rohani.

Sedangkan ruh dengan pengertian kerohanian atau aspek rohani yang terdapat dalam diri manusia bukan berupa rahasia hidup (nyawa), bahkan tidak ada kaitannya dengan rahasia hidup. Ruh dalam pengertian ini jelasjelas merupakan sesuatu yang lain. Buktinya, hewan pun mempunyai rahasia hidup, tetapi hewan tidak mempunyai kerohanian dan aspek rohani. Lebih dari itu tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa binatang itu terbentuk dari campuran materi dan ruh. Ini membuktikan bahwa ruh dalam pengertian ini artinya bukanlah rahasia hidup, bukan pula muncul dari rahasia hidup, serta tidak ada kaitannya dengan rahasia hidup. Sama seperti hewan, manusia tidak terbentuk dari campuran materi dan ruh, walaupun di dalamnya terdapat rahasia hidup. Ruh yang terdapat dalam diri manusia dan yang membedakannya dengan manusia lain (kafir) tidak berkaitan dengan rahasia hidup, dan bukan pula muncul dari rahasia hidup. Pengertian yang dimaksudkannya adalah kesadaran hubungan manusia dengan Allah. Dengan demikian tidak bisa dikatakan bahwa ruh merupakan bagian dari bentukan manusia, dengan alasan bahwa manusia memiliki rahasia hidup (nyawa).

Selama ruh yang menjadi pokok bahasan dalam masalah ini dimaknai sebagai kesadaran hubungan manusia dengan Allah dan tidak ada kaitannya dengan rahasia hidup, maka sudah jelas bahwa ruh bukan bagian dari bentukan manusia. Kesadaran hubungan dengan Allah tidak termasuk bagian dari bentukan manusia, melainkan sifat yang datang dari unsur luar. Alasannya, bahwa orang kafir yang ingkar terhadap Allah tidak akan mengenal hubungannya dengan Allah, meski demikian tetap saja ia disebut sebagai manusia.

Walaupun alam semesta, manusia, dan hidup merupakan materi, bukan ruh, tetapi ketiganya memiliki aspek kerohanian, yaitu keberadaanya sebagai ciptaan al- Khaliq. Dengan kata lain, ketiganya sebagai makhluk Allah, yang diciptakan-Nya. Alam semesta adalah materi.

Keberadaanya sebagai ciptaan al-Khaliq merupakan aspek rohani yang harus disadari oleh manusia. Manusia adalah materi. Keberadaanya sebagai ciptaan al-Khaliq merupakan aspek rohani yang harus disadari oleh manusia. Demikian pula halnya dengan hidup adalah materi. Keberadaanya sebagai ciptaan al-Khaliq merupakan aspek rohani yang harus disadari oleh manusia. Jadi, aspek kerohanian datangnya bukan dari zat/unsur alam, hidup, dan manusia itu sendiri, melainkan dari keberadaan ketiganya sebagai makhluk al-Khaliq, yaitu Allah Swt. Hubungan inilah yang dimaksudkan dengan aspek kerohanian.

MAKNA RUH
Mengenai arti ruh, orang-orang yang beriman dengan adanya Tuhan berulang kali menggunakan lafadz ruh, kerohanian dan aspek rohani. Sebenarnya, yang dimaksudkan mereka adalah adanya pengaruh dari sang Pencipta di suatu ruang/tempat; atau apa yang dapat disaksikan dari tanda-tanda yang berkaitan dengan halhal yang ghaib; atau keberadaan sesuatu yang dapat diketahui dan tidak mungkin muncul kecuali dari Allah; atau yang semakna dengan hal ini. Semua makna yang mereka sebut sebagai ruh, kerohanian dan aspek rohani, serta yang sejenisnya, ini merupakan makna-makna yang umum, kabur dan belum jelas. Makna-makna ini memang nyata dalam pikiran mereka, juga memiliki fakta di luar pikiran mereka. Hanya saja, ada perkara-perkara ghaib yang terjangkau keberadaannya tetapi tidak terjangkau Zatnya, serta memiliki pengaruh terhadap segala sesuatu.

Tetapi sesuatu yang nyata dan dapat mereka rasakan dengan inderanya itu ternyata tidak mampu mereka definisikan, bahkan bagi mereka amat kabur. Sebagai akibat ketidakjelasan makna-makna ini, muncullah kekacauan dalam pandangan mereka. Ada sebagian orang yang mencampur adukkannya dengan ruh, yang berarti rahasia hidup (nyawa). Mereka mengatakan bahwa manusia terbentuk dari campuran materi dan ruh (sebagaimana ajaran spiritualisme), karena merasakan adanya ruh sebagai rahasia hidup dalam dirinya, dan adanya ruh dalam arti kerohanian dan aspek rohani. Lalu mereka mengira bahwa ruh dengan penger tian kerohanian sama dengan ruh yang berarti rahasia hidup atau yang muncul dari rahasia hidup. Mereka lupa bahwa pada hewan pun terdapat ruh yang berarti rahasia hidup. Kendati demikian, hewan tidak mempunyai kerohanian atau aspek rohani. Disamping itu akibat dari ketidakjelasan pengertian ini adalah penggunaan istilah kerohanian untuk seseorang yang merasakan kepuasan jiwa, sehingga ada orang yang mengatakan tentang dirinya “Aku telah merasakan kerohanian yang tinggi”, atau “Si fulan mempunyai suatu kerohanian yang agung”. Implikasi lainnya adalah tatkala seseorang mendatangi suatu tempat kemudian ia merasakan kepuasan/kenikmatan di tempat itu, maka tempat itu dikatakan sebagai mengandung aspek rohani atau kerohanian. Ada juga sementara orang yang pada akhirnya melaparkan diri, menyengsarakan badannya dan menelantarkan tubuhnya dengan maksud untuk memperkuat ruhnya, karena kesalahan pemahaman ini. Semua ini muncul karena ketidakjelasan arti ruh, kerohanian dan aspek rohani. Kasus ini mirip dengan pengertian akal yang menjadi polemik banyak orang di masa lalu. Akal adalah lafadz yang mempunyai maksud memahami dan menetapkan sesuatu, atau mempunyai pengertian serupa dengan ini. Akan tetapi orang-orang terdahulu menggambarkan segala sesuatu yang ada — baik terjangkau maupun tidak— sebagai pengaruh dari akal, bukan akal itu sendiri. Akal memang memiliki fakta dan dapat mereka rasakan, akan tetapi hakikatnya tetap saja tidak jelas. Akibat ketidakjelasan ini muncul perbedaan pandangan dan kekacauan gambaran tentang tempat dan keberadaan akal, sehingga pengertian akal bagi mereka menjadi bercampur aduk. Sebagian orang mengatakan bahwa akal itu tempatnya di dalam hati; sebagian lagi mengatakan ada di kepala; yang lain mengatakan bahwa akal adalah otak; bahkan ada pula diantara mereka yang berpendapat lain dari pendapatpendapat tadi. Dalam perkembangannya —pada awal abad ini— para pemikir berusaha menjelaskan arti dan definisi akal. Namun, yang muncul adalah kekacauan akibat tidak jelasnya pemahaman terhadap fakta mengenai akal. Sebagian mengatakan bahwa akal adalah refleksi otak terhadap materi; sebagian lagi mengatakan sebaliknya, bahwa akal adalah refleksi materi terhadap otak. Sampai pada akhirnya ditemukan definisi yang benar, yaitu, bahwa akal adalah pemindahan gambaran suatu kenyataan (obyek) ke dalam otak melalui panca indera, disertai pengetahuan sebelumnya tentang kenyataan tersebut, sehingga dapat ditafsirkan. Dengan definisi ini sampailah pada pengertian akal yang sebenarnya. Demikian pula halnya dengan masalah ruh, kerohanian dan aspek rohani. Para pemikir harus berusaha mencari kejelasan arti ruh, kerohanian dan aspek rohani sehingga dapat diterima oleh pemikiran (manusia) dan dapat dijangkau realitasnya. Sebab, ruh, kerohanian, dan aspek rohani memiliki realitas. Dan segala sesuatu yang dapat diindera dan disaksikan oleh manusia ternyata ada hal-hal yang bersifat materi yang dapat dirasakan, bahkan kadang-kadang dapat diraba; misalnya roti.

Kadang-kadang ada juga sesuatu yang dapat dirasakan tetapi tidak dapat diraba, seperti pelayanan dokter. Malah ada juga hal-hal yang bersifat maknawi (bukan materi) yang dapat dirasakan tetapi tidak dapat diraba, seperti kebanggaan atau pujian. Ada juga hal-hal yang bersifat rohani yang dapat dirasakan tetapi tidak dapat diraba, seperti takut kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya di saat-saat susah. Ketiga makna ini seluruhnya memiliki realitas yang dapat dirasakan oleh manusia, yang tentu saja antara satu dengan lainnya berbeda. Jadi, ruh, kerohanian dan aspek rohani merupakan realita yang jelas yang dapat diindera/dirasakan. Karena itu, kenyataan ini harus didefinisikan agar dapat dijelaskan kepada mesyarakat sebagaimana halnya dengan akal yang sudah didefinisikan dan jelas di tengah-tengah masyarakat. Dengan pandangan yang teliti mengenai realita ruh, kerohanian, dan aspek rohani tampak jelas bahwa ketiganya tidak akan terdapat pada diri orang atheis yang mengingkari adanya Allah. Ketiganya hanya akan ada pada diri orang-orang yang telah beriman terhadap adanya Allah. Ini berarti bahwa ruh, kerohanian, dan aspek rohani berkaitan dengan keimanan kepada Allah.

Ada tatkala iman bersemayam dalam diri seseorang, dan hilang ketika tidak ada iman. Iman terhadap adanya Allah adalah pembenaran yang pasti dengan seyakin-yakinnya bahwa segala sesuatu adalah makhluk al-Khaliq. Dengan demikian yang menjadi pokok bahasan adalah segala sesuatu, dari segi bahwa segala sesuatu itu merupakan makhluk yang diciptakan al-Khaliq. Pengakuan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Khaliq adalah Iman, dan pengingkaran terhadap hal ini berarti kufur. Dalam keadaan mengakui serta membenarkan secara pasti terdapatlah aspek rohani. Yang mewujudkan aspek ini adalah pembenaran tersebut. Pada saat tidak adanya pengakuan atau ingkar, maka tidak akan didapati aspek rohani. Yang menjadikan tidak adanya aspek rohani adalah pengingkarannya. Ringkasnya, aspek rohani adalah pengakuan bahwa segala sesuatu merupakan mahkluq yang diciptakan oleh al-Khaliq. Dengan kata lain, aspek rohani adalah hubungan antara segala sesuatu dengan al-Khaliq dilihat dari aspek penciptaan dan keberadaannya dari hal yang sebelumnya tidak ada. Hubungan ini —yaitu bahwa segala sesuatu diciptakan oleh al-Khaliq— jika disadari oleh akal, maka akan melahirkan perasaan pengagungan terhadap al-Khaliq, rasa takut kepada-Nya dan perasaan untuk mensucikan- Nya. Kesadaran yang melahirkan perasaan terhadap adanya hubungan dengan Allah inilah yang disebut ruh. Jadi, ruh adalah kesadaran (manusia) terhadap hubungannya dengan Allah. Jelaslah apa yang dimaksudkan dengan makna ruh dan aspek rohani. Ruh dan aspek rohani bukanlah kata-kata yang memiliki pengertian lughawi yang mengacu pada aspek bahasa saja; dan bukan pula istilah yang dapat dipakai oleh setiap golongan sekehendaknya, melainkan memiliki makna yang khas, kendati diungkapkan dengan berbagai lafadz. Yang dibahas di sini adalah mengenai realitas makna ini, bukan dilihat dari sisi makna lafadznya menurut bahasa.

Realitasnya adalah seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu bahwa ruh dilihat dari aspek rohani pada diri manusia adalah kesadaran hubungannya dengan Allah. Sedangkan aspek rohani pada alam, manusia dan hidup, semuanya itu merupakan makhluk yang diciptakan oleh al-Khaliq. Apapun lafadz yang digunakan (secara redaksional) untuk mengungkapkannya maka yang dimaksud adalah makna-makna yang disebut di atas. Sebab, inilah realitas yang terindera yang didasarkan pada bukti-bukti. Realitas yang terindera ini terdapat di dalam pikiran (manusia) dan terdapat pula kenyataannya di luar pikiran; yang dimiliki oleh manusia-manusia yang beriman akan adanya Tuhan, Pencipta segala sesuatu.

Adapun yang dimaksud ruh sebagai rahasia hidup (nyawa) telah jelas keberadaannya secara pasti berdasarkan nash al-Quran yang qath’i (pasti). Iman terhadap adanya ruh merupakan hal yang wajib ada, dan dalam hal ini bukan menjadi topik pembahasan. Lafadz ruh adalah lafadz yang bermakna ganda (musytarak) seperti kata “‘ain” yang mempunyai beberapa arti. ‘Ain dapat diartikan dengan mata air, alat penglihatan, atau mata-mata, bisa juga berarti mata uang emas dan perak, dan lain sebagainya. Demikian pula halnya dengan ruh, ia memiliki beberapa arti. Di dalam al-Quran terdapat lafadz ruh dengan arti yang berbeda-beda. Ada ruh yang bermakna nyawa/rahasia hidup, seperti:


وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًۭا
Mereka bertanya kepadamu tentang ruh (nyawa). Katakanlah: ‘ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’ (TQS. Al-Isra’ [17]: 85).

Juga terdapat ruh yang bermakna Jibril, seperti pada ayat:

نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلْأَمِينُ
عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُنذِرِينَ
Dia (al-Quran) dibawa turun oleh ar-ruhul amin (Jibril), dan diilhamkan kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi orang yang memberi peringatan. (TQS. Asy-Syu’araa [26]: 193-194).

Juga terdapat lafadz ruh yang bermakna syariah, seperti pada ayat:

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًۭا مِّنْ أَمْرِنَا 
Demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (syari’at) dengan perintah Kami. (TQS. Asy-Syura [42]: 52).

Seluruh makna-makna yang disebutkan di atas bukanlah yang dimaksudkan oleh lafadz aspek ruhiyah atau sesuatu yang bersifat rohani atau pemisahan materi dari ruh, atau yang sejenisnya. Begitu pula tidak ada hubungan antara pengertian ruh yang telah dibahas dengan seluruh makna yang terdapat dalam al-Quran. Yang dimaksud dengan ruh menurut penggunaannya yang terakhir ini adalah arti yang berkaitan dengan penciptaan materi, dilihat dari pandangan bahwa segala sesuatu telah diciptakan oleh al-Khaliq, yaitu Allah Swt., serta kesadaran manusia terhadap hubungan segala sesuatu itu dengan Khaliqnya.


 PANDANGAN YANG MENDALAM DAN CEMERLANG MENGENAI MANUSIA
Pandangan yang mendalam dan cemerlang mengenai manusia, menunjukkan bahwa manusia hidup di dalam dua lingkaran, yaitu lingkaran yang menguasai manusia dan lingkaran yang dikuasai manusia. Lingkaran yang menguasai manusia adalah lingkaran yang di dalamnya berlaku nizhamul wujud (sunnatullah/hukum alam) atas manusia. Manusia berjalan bersama alam dan kehidupan, sesuai dengan aturan tertentu yang tidak berubah. Karena itu, dijumpai beberapa kejadian menimpa manusia di dalam lingkaran ini, yang terjadi di luar keinginannya. Di sini, manusia bersifat musayyar (dikendalikan), bukan mukhayyar (diberi pilihan). Misalnya, manusia lahir ke dunia ini bukan atas kehendaknya. Ia juga akan meninggalkan dunia ini, bukan atas kehendaknya. Dalam hal ini ia tidak mampu melepaskan diri dari hukum alam. Atas dasar ini manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatanperbuatan yang berasal dari dirinya sendiri atau yang menimpanya yang tercakup di dalam lingkaran ini. Adapun lingkaran yang dikuasai oleh manusia, adalah lingkaran dimana manusia bebas berjalan di dalamnya, sesuai dengan sistem yang dipilihnya; apakah itu syari’at Allah atau syari’at yang lainnya. Di dalam lingkaran ini terjadi perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia atau yang menimpanya sesuai dengan keinginannya. Misalnya, ia berjalan, makan, minum atau pergi pada saat yang diinginkannya. Ia pun mampu untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan itu pada saat yang diinginkannya pula. Ia bebas untuk menentukannya. Karena itu, ia akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya di dalam lingkaran ini.

Manusia senantiasa mencintai sesuatu yang berasal darinya atau yang menimpanya di dalam lingkaran yang dikuasainya ataupun yang menguasainya. Begitu pula manusia kadang-kadang membenci sesuatu di dalam kedua lingkaran tersebut. Maka ia berusaha menafsirkan kecintaan dan kebenciannya ini dengan predikat baik (khair) dan buruk (syarr). Manusia cenderung menggolongkan apa yang disenanginya sebagai baik, dan apa yang dibencinya sebagai buruk. Demikian juga terhadap beberapa perbuatan dikatakan baik dan perbuatan lain dikatakan buruk atas dasar manfaat yang didapatnya atau kemudharatan yang dijumpainya. Pada hakikatnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia dalam lingkaran yang dikuasainya, tidak diberikan predikat baik atau buruk karena perbuatannya itu sendiri. Sebab, semua itu hanya sekedar perbuatan saja, tanpa mempunyai nilai baik atau buruk dilihat dari zat perbuatannya. Yang menjadikannya baik atau buruk justru didasarkan pada unsur luar (di luar perbuatan). Membunuh orang, misalnya, tidak dikatakan baik maupun buruk, melainkan dikatakan pembunuhan saja. Adanya sifat baik atau buruk pada pembunuhan, tidak lain karena terdapatnya unsur luar. Karena itu, membunuh kafir harbi8 adalah baik, sedangkan membunuh warga negara (yang menjadi warganegara Daulah Islamiyah), atau yang negaranya mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Islam (kafir mu’ahid), atau membunuh orang yang meminta perlindungan, adalah buruk. Pembunuhan pada contoh pertama mendapatkan pahala, sedangkan yang kedua akan mendapatkan sanksi; walaupun kedua perbuatan itu sejenis dan tidak berbeda. Dalam hal ini baik dan buruk itu datangnya dari unsur-unsur yang mendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan dan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan tersebut. Hal-hal yang mendorong manusia untuk berbuat sesuatu dan tujuan yang hendak dicapainya adalah dua hal yang menentukan predikat perbuatan itu tergolong baik atau buruk; baik hal itu disukainya maupun tidak, mendatangkan manfaat atau malah menimbulkan mudharat.

Karena itu, suatu keharusan bagi kita untuk mencari unsur-unsur yang mampu mendorong manusia melakukan suatu perbuatan, disamping mencari tujuan yang hendak dicapainya. Dengan demikian kita akan memahami kapan suatu perbuatan itu dikatakan baik dan kapan dikatakan buruk. Untuk mengetahui unsur-unsur pendorong serta tujuan yang hendak dicapainya, ternyata bergantung pada jenis akidah yang diyakini oleh manusia itu sendiri. Bagi seorang muslim yang telah beriman kepada Allah Swt. serta beriman bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw. dengan syari’at Islam yang menjelaskan perintah-perintah serta larangan Allah, dan mengatur hubungannya dengan Allah, atau dengan dirinya sendiri, ataupun dengan manusia yang lainnya; maka seorang muslim yang meyakini hal ini wajib menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah. Tujuan yang hendak diraih dari penyesuaian ini adalah mendapatkan ridha Allah Swt.

Karena itu, setiap perbuatan mungkin akan mendatangkan murka Allah dan ridha-Nya. Apabila amal perbuatan tersebut mengundang murka Allah, karena menyalahi perintah-parintah-Nya dan melanggar larangan-Nya, maka amal perbuatan tersebut dikategorikan buruk. Dan apabila amal perbuatan tersebut mendatangkan ridha Allah melalui ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya, maka amal perbuatan itu dikategorikan baik.

Atas dasar ini kita dapat mengatakan bahwa predikat baik (khair) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allah Swt., sedangkan buruk (syarr) adalah sesuatu yang dimurkai Allah Swt. Hal ini berlaku atas seluruh perbuatan yang dilakukan oleh manusia atau yang menimpanya dalam lingkaran yang dapat dikuasainya.

Adapun perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia atau yang menimpanya dalam lingkaran yang menguasainya, maka manusia memberikan predikat baik atau buruk sesuai dengan kecintaan dan kebenciannya, atau kemanfaatan dan kemudharatannya. Hal ini diungkapkan oleh Allah dengan firman-Nya:

إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا
إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًۭا
وَإِذَا مَسَّهُ ٱلْخَيْرُ مَنُوعًا  
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (TQS. Al-Ma’arij [70]: 19-21)

وَإِنَّهُۥ لِحُبِّ ٱلْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
Sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (TQS. Al-‘Adiyaat [100]: 8)

Meski demikian, predikat baik-buruk ini bukan merupakan sifat sesungguhnya dari suatu perbuatan. Adakalanya seseorang melihat sesuatu itu baik, padahal buruk, dan sebaliknya kadang-kadang melihat sesuatu itu buruk, padahal baik. Firman Allah Swt:

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui. (TQS. Al-Baqarah [2]: 216)

Pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang terhadap perbuatan manusia menunjukkan bahwa perbuatan manusia dilihat dari sisi zatnya, tanpa dilihat lagi faktor-faktor dan pertimbangan-pertimbangan lain adalah materi belaka. Keberadaannya sebagai materi berarti tidak mempunyai predikat terpuji (hasan) atau tercela (qabih) karena zatnya, melainkan didapat dari faktor-faktor luar atau pertimbangan-pertimbangan lain.

Pertimbangan lain ini bisa berasal dari akal saja atau syari’at saja. Bisa juga berasal dari akal yang dibenarkan syara’, atau berasal dari syara’ dan akal yang memperkuatnya. Penilaian terpuji atau tercela yang didasarkan pada akal semata, jelas merupakan perkara yang bathil. Sebab, pendapat akal memungkinkan terjadinya perbedaan, perselisihan pendapat, dan kontradiksi. Ukuran-ukuran akal yang menentukan terpuji atau tercelanya sesuatu, dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, bahkan berbeda-beda di setiap kurun waktu. Apabila ukuran terpuji dan tercela itu diserahkan kepada akal, maka sesuatu yang tercela bagi sekelompok orang mungkin menjadi terpuji bagi yang lain. Bahkan kadangkadang, sesuatu yang sama dipandang terpuji pada suatu waktu, tetapi dipandang tercela di lain waktu. Islam sebagai suatu mabda yang universal dan abadi mengharuskan adanya sifat perbuatan sebagai terpuji dan tercela berlaku atas seluruh manusia di setiap zaman. Karena itu, penjelasan suatu perbuatan apakah terpuji atau tercela harus ditentukan oleh kekuatan yang ada di luar akal, yakni berasal dari syara’. Dengan demikian, predikat suatu perbuatan manusia dikatakan terpuji atau tercela datangnya harus dari syara’. Atas dasar inilah perbuatan khianat dikatakan tercela; menepati janji dikatakan terpuji; berbuat fasik adalah tercela; sedangkan bertakwa (pada Allah) adalah terpuji; membelot dari Daulah Islamiyah adalah tercela; sedangkan meluruskan kesalahankesalahan Daulah apabila menyimpang adalah terpuji.

Semua ini karena syara’ telah mejelaskan demikian. Adapun menjadikan syara’ sebagai dalil terhadap apa yang telah ditunjuk oleh akal, maka hal ini berarti menjadikan akal sebagai tolok ukur terhadap nilai terpuji dan tercelanya sesuatu, dan hal ini telah kita jelaskan kebathilannya. Menjadikan akal sebagai dalil terhadap sesuatu yang telah ditunjuk oleh syara’, berarti menjadikan akal sebagai dalil terhadap hukum syara’, padahal hukum syara’ dalilnya adalah nash, bukan akal. Fungsi akal dalam hal ini adalah untuk “memahami syara’”, bukan menjadikannya sebagai dalil terhadap hukum syara’. Dengan demikian, terpuji dan tercela semata-mata harus berdasarkan syara’ saja, bukan akal.

Perbedaan antara predikat suatu perbuatan sebagai baik (khair) atau buruk (syarr) dengan predikat terpuji (hasan) atau tercela (qabih) adalah bahwa predikat baik atau buruk tidak lain ditentukan oleh akibat perbuatan tersebut menurut pandangan manusia, juga ditentukan dari segi melakukan-tidaknya perbuatan tersebut. Seseorang, biasa menyebut suatu perbuatan itu sebagai berbahaya atau dibenci dengan sebutan buruk. Sedangkan sesuatu yang memberi manfaat dan disenangi/ dicintai sebagai sesuatu yang baik. Hal itu didasarkan pada pengaruh perbuatan tersebut terhadap dirinya, tanpa memperhatikan lagi predikat terpuji dan tercela, malahan hal itu tidak dijadikan sebagai perhitungannya.

Berdasarkan pandangan seperti ini, maka seseorang mampu bertindak untuk berbuat sesuatu ataupun tidak melakukannya. Untuk meluruskan pandangan seperti ini perlu dikatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat disebut baik dan buruk menurut cinta ataupun benci, manfaat ataupun madharat. Yang menjadi ukuran baik dan buruk adalah ridha Allah Swt. Jadi, pembahasan dalam topik ini adalah dilihat dari segi nilai-nilai ukuran baik atau buruk yang biasa digunakan orang, bukan berdasarkan perbuatan itu sendiri.

Mengenai sifat suatu perbuatan disebut terpuji atau tercela, adalah di pandang berdasarkan ketentuan manusia terhadap perbuatan tersebut, di samping berdasarkan sanksi dan imbalan terhadap perbuatan tersebut. Manusia berwenang memberikan keputusan terhadap suatu perbuatan bahwasanya perbuatan tersebut disebut terpuji dan tercela dengan menganalogkannya terhadap benda-benda. Pada saat mendapati dirinya mampu menyatakan terhadap suatu benda yang pahit maka benda tersebut disebut tercela, dan terhadap suatu benda yang manis dikatakannya sebagai terpuji. Begitu pula terhadap bentuk yang menyeramkan disebutnya sebagai tercela, dan terhadap yang elok dan cantik disebutnya terpuji. Hal ini mendorong manusia mampu menentukan bahwa kejujuran itu terpuji dan dusta itu tercela, memenuhi janji itu terpuji sedangkan khianat itu tercela. Selanjutnya manusia menganggap dirinya berwenang menentukan terhadap sebagian perbuatan dengan predikat terpuji dan tercela tanpa memandang baik dan buruk. Dalam hal ini baik dan buruk tidak dijadikan sebagai perhitungan. Berdasarkan ketentuan hukum seperti itulah dibuat imbalan bagi perbuatan yang terpuji, dan sanksi terhadap perbuatan yang tercela. Untuk meluruskan anggapan di atas tadi, perlu dijelaskan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dianalogkan dengan benda, karena benda secara inderawi dapat dirasakan; pahit, manis, seram, elok/cantik, dan memungkinkan untuk ditentukan. Sedangkan suatu perbuatan, di dalamnya tidak terdapat sesuatu yang dapat diindera seseorang agar dapat ditentukan hukumnya, apakah terpuji ataukah tercela. Karena itu, tidak mungkin menentukan perbuatan tersebut terpuji atau tercela secara mutlak berdasarkan perbuatan itu sendiri. Penentuan seperti ini harus diambil dari zat lain, yaitu Allah Swt. Jadi, pembahasan dalam topik ini ditinjau dari aspek penentuan terhadap suatu perbuatan, bukan dari segi ukuran atau nilainya.

Pembahasan di sini juga berkaitan dengan sanksi atau imbalan terhadap suatu perbuatan, bukan dari aspek dorongan untuk melakukan perbuatan atau tidak. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara terpuji dan tercela dengan baik dan buruk. Keduanya merupakan pembahasan yang terpisah satu sama lain.

Demikianlah topik mengenai predikat suatu perbuatan. Adapun mengenai tujuan dilakukannya suatu perbuatan, maka sudah barang tentu setiap orang memiliki tujuan atas perbuatan yang dilakukannya. Tujuan inilah yang biasa disebut qimatul ‘amal (nilai perbuatan). Karena itu, suatu hal yang pasti bahwa setiap perbuatan memiliki nilai tertentu yang ingin dicapai oleh seseorang tatkala ia melakukannya. Kalau tidak, tentulah perbuatan itu akan sia-sia. Sungguh tidak pantas seseorang melakukan suatu perbuatan yang sia-sia tanpa ada tujuannya. Bahkan sebaliknya ia harus memperhatikan tercapainya nilai-nilai perbuatan yang melatarbelakanginya.

Nilai suatu perbuatan bisa berupa nilai materi, seperti aktivitas-aktivitas di bidang perdagangan, pertanian, industri dan sejenisnya. Maka, maksud dilakukannya perbutanperbuatan itu adalah untuk mendapatkan hasil berupa materi, yaitu memperoleh keuntungan. Nilai ini memiliki peranan tersendiri dalam kehidupan. Nilai suatu perbuatan bisa pula berupa nilai kemanusiaan, seperti menolong orang yang tenggelam, ataupun orang yang berada dalam kesulitan. Maka dalam hal ini, yang menjadi tujuan perbuatan tersebut adalah meyelamatkan manusia, tanpa melihat warna kulit, ras, maupun agamanya, atau pertimbangan-pertimbangan lain selain kemanusiaan.

Adakalanya nilai suatu perbuatan berupa nilai akhlaqiyah, seperti jujur, amanah, ataupun rahmah (kasih sayang). Maka, semua perbuatan itu dimaksudkan untuk meraih nilai akhlakiyah, tanpa memperhatikan aspek keuntungan materi ataupun kemanusiaan. Sebab, kadangkala sifat khuluq ini ditujukan kepada selain manusia, seperti rasa sayang terhadap hewan dan burung-burung. Dan bisa juga perbuatan yang bersifat akhlaqiyah ini ternyata malah mendatangkan kerugian materi. Namun demikian, untuk mencapai nilai akhlaqiyah adalah suatu keharusan.

Adakalanya nilai suatu perbuatan bersifat ruhiyah, seperti ibadah. Dalam hal ini kegiatan ibadah tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan materi, tidak untuk kemanusiaan, dan bukan soal-soal khuluqiyah, melainkan semata-mata untuk beribadah. Karena itu, harus selalu dijaga pencapaian nilai ruhiyah ini tanpa memperhatikan lagi nilainilai lainnya.

Demikianlah topik mengenai berbagai nilai perbuatan yang diusahakan setiap orang untuk mencapainya pada saat melakukan berbagai macam perbuatan. Ukuran bagi kelompok-kelompok masyarakat dalam kehidupan di dunia selalu sesuai dengan nilai-nilai di atas, atau sesuai dengan realisasi nilai-nilai tersebut di dalam suatu masyarakat, ser ta jaminan atas pelaksanaannya yang akan mendatangkan kemakmuran dan ketenangan. Karena itu, setiap muslim harus berusaha sekuat mungkin mendapatkan nilai-nilai yang menjadi tujuan dari setiap perbuatan yang hendak dilakukannya pada saat perbuatan itu berlangsung, sehingga dapat berperan dalam mensejahterakan dan mengangkat harkat masyarakat, disamping untuk dirinya.

Nilai-nilai semacam ini tidak memiliki kelebihan atau kesamaan berdasarkan nilai (zat)-nya sendiri. Sebab, di dalamnya tidak terdapat ciri-ciri yang dapat dijadikan patokan untuk mengutamakan atau menyamakannya satu dengan yang lainnya, melainkan merupakan hasil yang menjadi tujuan manusia di saat melakukan suatu perbuatan. Karena itu, kita tidak bisa meletakkannya secara bersama-sama pada suatu timbangan, atau diukur secara bersama-sama dalam satu ukuran. Sebab, nilainilai itu berbeda-beda, terkadang malah bertolak belakang. Namun demikian, manusia dapat memilih di antara nilai-nilai tersebut dengan alasan untuk memilih yang paling utama, sekalipun tidak ada kesamaan dan keutamaan antara satu dengan yang lain. Meskipun demikian, nyatanya banyak yang tidak merasa puas dengan hal ini, sehingga tetap mengutamakan atau menyamakan keduanya. Ini disebabkan karena pengutamaan dan penyamaan ini bukan didasarkan pada nilai itu sendiri, melainkan didasarkan pada apa yang diperoleh dari nilai tersebut. Akibatnya, manusia menyandarkan pada dirinya dalam menentukan keutamaan atau kesamaan suatu nilai, berdasarkan hasil yang diperolehnya dari nilai tersebut, baik berupa manfaat ataupun mudharat. Pada akhirnya mereka menjadikan dirinya dan apa yang didapatkannya dari nilai-nilai tersebut sebagai ukuran; sehingga yang terjadi sebenarnya adalah pengutamaan antara pengaruh nilai-nilai tersebut terhadap dirinya, bukan atas dasar nilai-nilai itu sendiri. Dan karena kesiapan manusia dilihat dari segi pengaruh terhadap nilai-nilai itu berbeda, maka pengutamaan nilainilai tersebut pun berbeda pula.

Orang-orang yang perasaan kerohaniannya dominan dan ingin untuk selalu mencapainya dengan mengabaikan nilai materi, akan lebih mengutamakan nilai ibadah dan tidak mementingkan nilai materi. Karena itulah mereka mengabaikan kehidupan dunia, sebab, kehidupan dunia bersifat materi. Akibat tindakan dan pandangan mereka seperti ini, terjadilah kemunduran kehidupan di bidang materi; disamping keterbelakangan kehidupan masyarakat, termasuk timbulnya kemalasan dan kebodohan di dalamnya.

Sementara orang-orang yang kecenderungan materinya lebih dominan dan selalu dikuasai oleh hawa nafsu syahwat, serta mengabaikan nilai-nilai ruhiyah, akan lebih mengutamakan nilai materi dan berusaha untuk mendapatkannya. Karena itu, mereka memiliki banyak sekali cita-cita (angan-angan). Dan karena tindakan mereka dan pandangan merekalah terjadi kekacauan di tengah-tengah masyarakat tempat mereka hidup, termasuk timbulnya berbagai kejahatan dan kerusakan. Dengan demikian, suatu kesalahan apabila manusia dibiarkan menentukan nilai-nilai ini. Seharusnya nilai-nilai itu ditentukan oleh Zat yang menciptakan manusia, yaitu Allah Swt. Dari sini maka yang menentukan nilai-nilai bagi manusia, serta menentukan waktu pelaksanannya tidak lain adalah syara’, dan atas dasar syara’lah manusia dapat mengambilnya.

PEMECAHAN BERBAGAI PROBLEMATIKA KEHIDUPAN MELALUI PERINTAH DAN LARANGAN ALLAH
Syara’ telah menjelaskan pemecahan berbagai problematika kehidupan melalui perintah-perintah dan larangan Allah Swt. dan telah mewajibkan kepada manusia agar menempuh kehidupan ini sesuai dengan perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut. Begitu pula syara’ telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang akan menghasilkan nilai ruhiyah, berupa ibadah-ibadah yang diwajibkan dan disunahkan; sebagaimana halnya telah menjelaskan sifat-sifat perbuatan yang akan melahirkan nilai-nilai akhlak. Dan syara’ membiarkan manusia meraih nilai-nilai materi yang diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (primer), bahkan kebutuhan-kebutuhan sekundernya sesuai dengan peraturan tertentu yang telah dijelaskan syara’ kepadanya, dan diperintahkan agar manusia tidak menyimpang dari aturan ini. Sementara, tugas manusia tidak lain hanyalah berupaya untuk meraih nilai-nilai ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah, serta menilainya sesuai dengan nilai yang telah dijelaskan oleh syara’.

Dengan, demikian akan tercapailah di dalam masyarakat nilai-nilai yang sesuai dengan ukuran yang diperlukannya sebagai suatu masyarakat yang khas. Kemudian, masyarakat tersebut diberi penilaian berdasarkan terealisirnya nilai-nilai tadi. Oleh karena, itu harus dilakukan usaha untuk mencapai nilai-nilai yang melahirkan masyarakat Islam sesuai dengan pandangan Islam dalam kehidupan.

Atas dasar ini maka perbuatan manusia itu adalah materi, dan dilakukan oleh seseorang dengan langkah-langkah yang juga bersifat materi. Meskipun demikian, pada saat melakukannya ia harus menyadari hubungannya dengan Allah, yaitu dengan mengetahui apakah perbuatan tersebut halal ataukah haram, sehingga ia akan melaksanakannya atau menghindarinya. Kesadaran manusia terhadap hubungannya kepada Allah inilah yang dimaksud dengan ruh. Dan ruh inilah yang mengharuskan manusia mengetahui syari’at Allah Swt. agar dapat membedakan perbuatannya, sehingga mengerti mana yang terpuji dan mana yang tercela; perbuatan-perbuatan apa saja yang diridlai Allah Swt. dan apa saja yang dibenci-Nya. Ia dapat membedakan antara hal-hal yang terpuji dan tercela pada saat syara’ menetapkan mana perbuatan yang terpuji dan mana yang tercela; juga agar ia dapat mengetahui nilai-nilai yang diperlukan di dalam kehidupan Islam yang mewarnai masyarakat Islam sesuai dengan ketentuan syara’. Dengan demikian, pada saat melakukan suatu perbuatan yang disertai dengan kesadaran akan hubungannya dengan Allah, memungkinkan untuk memutuskan apakah akan melakukan perbuatan tersebut atau menghindarinya sesuai dengan kesadarannya tersebut. Sebab ia telah mengetahui jenis, sifat, dan nilai setiap perbuatan. Dari sini terbentuklah falsafah Islam, yaitu penyatuan materi dengan ruh, dengan menjadikan berbagai perbuatan berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Falsafah ini bersifat kekal dan tetap bagi setiap perbuatan, baik itu sedikit maupun banyak, kecil maupun besar. Ia memberikan gambaran tentang kehidupan. Karena itu, akidah Islam adalah sebagai asas kehidupan, asas falsafah dan asas dari seluruh peraturan, maka hadharah (peradaban) Islam —yang tidak lain adalah kumpulan ide (yang mempunyai kebenaran fakta) tentang kehidupan dari segi pandangan Islam— dibangun atas dasar rohani yang satu, yaitu akidah. Ringkasnya, pandangan akidah mengenai kehidupan adalah penyatuan materi dan ruh. Arti kebahagiaan dalam pandangan akidah Islam adalah mendapatkan ridha Allah Swt.

PENGERTIAN DÂRUL ISLAM
Apabila akidah Islam mampu memecahkan problematika besar manusia yang menjadi dasar seluruh perbuatan manusia dan yang menjadi pusat pandangannya dalam kehidupan serta falsafah yang mengatur perbuatannya ini, maka sesungguhnya peraturan-peraturan yang terpancar dari akidah akan mampu memecahkan problema-problema manusia, dan mengatur seluruh perbuatannya dengan peraturan yang teliti. Karena itu, palaksanaan akidah merupakan ukuran suatu negara disebut sebagai Dârul Islam atau Dârul kufur.

Negeri yang menerapkan sistem Islam dan memberlakukan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, dinamakan Dârul Islam, walaupun mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan negeri yang memberlakukan hukum selain yang diturunkan Allah, dinamakan Dârul Kufur, walaupun mayoritas penduduknya muslim. Telah menjadi suatu keperluan yang mendasar —tentunya sesudah akidah— adanya peraturan Islam dan pelaksanaanya dalam kancah kehidupan. Sebab, dengan melaksanakan peraturanperaturan ini —yang dijalin dengan akidah secara bersamaan— akan membentuk umat yang memiliki aqliyah (pola pikir) Islam dan nafsiyah (pola sikap) Islam, yang terbentuk secara wajar, yang akan menjadikan seorang muslim memiliki syakhsiyah (kepribadian) Islam yang tinggi dan unik.


PERATURAN ISLAM MERUPAKAN HUKUM SYARA’
Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah. Islam mengatur seluruh perbuatan manusia dengan hukum syara’, dengan suatu peraturan yang harmonis dan bersifat tetap, walaupun perbuatanperbuatan itu banyak sekali macamnya. Hukum-hukum syara’ yang berupa peraturan Islam inilah yang mengatasi berbagai problematika manusia. Pada saat memecahkan masalah manusia, hukum syara’ memecahkannya dengan suatu pandangan bahwa setiap problematika memerlukan suatu pemecahan, yaitu dengan suatu persepsi bahwa problematika tersebut merupakan suatu masalah yang memerlukan hukum syara’. Dengan kata lain seluruh problematika kehidupan dipecahkan dengan cara yang sama, yaitu sebagai problematika yang bersifat manusiawi, bukan dengan sifat-sifat yang lain. Islam, misalnya, tatkala memecahkan masalah ekonomi seperti nafkah, atau masalah pemerintahan seperti pengangkatan Khalifah, atau masalah sosial seperti perkawinan, tidak diatasi berdasarkan sifat-sifatnya sebagai masalah ekonomi, masalah pemerintahan ataupun masalah sosial saja, melainkan diatasi dengan suatu pandangan bahwa hal itu sebagai problematika kemanusiaan secara keseluruhan; lalu diambil suatu hukum bagi masalah tersebut untuk dipecahkan, sebagai suatu masalah yang memerlukan ketentuan hukum syara’. Dalam hal ini, Islam memiliki cara yang tetap dalam mengatasi berbagai macam problematika manusia. Memahami masalah yang terjadi, lalu mencari hukum Allah mengenai masalah tersebut dari dalil-dalil syari’at secara terperinci.

Peraturan-peraturan Islam merupakan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, pakaian, mu’amalah dan ‘uqubat.

Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadat, akhlak, makanan, dan pakaian tidak boleh dicaricari ‘illat-nya. Sabda Rasulullah saw:

Khamar itu diharamkan karena zatnya.
Sedangkan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan mu’amalat dan ‘uqubat dikaitkan berdasarkan ‘illat-nya, karena hukum syara’ dalam hal ini didasarkan pada suatu ‘illat yang melatarbelakangi adanya hukum. Sudah menjadi kebiasaan umum, banyak orang mencari ‘illat terhadap seluruh hukum-hukum berdasarkan unsur keuntungan, karena terpengaruh oleh kepemimpinan berpikir Barat dan kebudayaannya, yang menjadikan manfaat semata-mata sebagai dasar terhadap seluruh perbuatan. Hal ini bertentangan dengan kepemimpinan berpikir Islam, yang menjadikan ruh sebagai asas seluruh perbuatan. Sedangkan penyatuan materi dan ruh merupakan pengendali bagi seluruh perbuatan. Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, dan pakaian tidak boleh dikaitkan dengan ‘illat sama sekali. Sebab, hukum-hukum semacam ini tidak mengandung ‘illat. Hukum seperti ini diambil sesuai dengan apa yang terdapat dalam nash saja, tanpa dikaitkan sama sekali dengan ‘illat, seperti halnya shalat, shaum, haji, zakat, tata cara shalat, bilangan raka’at shalat, manasik haji, nishab zakat, dan yang sejenisnya, diambil secara tauqifi sebagaimana adanya, dan diterima dengan penuh kepasrahan tanpa melihat aspek ‘illat-nya.

Bahkan, tidak mencari-cari ‘illat-nya. Begitu pula pengharaman memakan bangkai, daging babi, dan yang sejenisnya, sekali-kali tidak dicari-cari ‘illat-nya. Bahkan termasuk suatu kesalahan yang cukup berbahaya apabila mencari ‘illat bagi hukum-hukum tadi. Sebab, apabila ada usaha untuk mencari ‘illat bagi suatu hukum atas perkaraperkara tersebut, tentu implikasinya adalah apabila hilang ‘illat-nya, hukumnya pun akan hilang, sebab “‘illat itu senantiasa mengikuti ma’lulnya, ada atau tidaknya.”

Seandainya ‘illat wudlu itu kebersihan, ‘illat shalat adalah olah raga, ‘illat shaum itu kesehatan dan seterusnya, tentu hal ini akan mengakibatkan bahwa disaat tidak didapati ‘illatnya maka tidak akan didapati hukumnya. Jadi, masalahnya tentu tidaklah demikian. Karena itu, mencari-cari ‘illat dalam masalah ini akan membahayakan eksistensi hukum dan pelaksanaannya. Maka hukum-hukum ibadat wajib diterima sebagaimana adanya tanpa mencari-cari ‘illat-nya. Adapun mengenai hikmah (tujuan dan akibat perbuatan), maka sesungguhnya Allah sendirilah yang mengetahuinya. Akal kita tidak mungkin menjangkau hakikat Zat Allah dan tidak akan mampu menjangkau hikmahnya. Apa yang disebutkan dalam nash-nash al-Quran dan as-Sunah mangenai hikmah untuk beberapa hukum, seperti firman Allah Swt:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ
Sesungguhnya shalat itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar (TQS. Al-Ankabut [29]: 45)

 لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ
Supaya orang-orang yang melakukan ibadah haji memperoleh berbagai manfaat dari mereka (TQS. Al- Hajj [22]: 28)

  وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
Apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya. (TQS. Ar-Rûm [30]: 39)

Begitu pula ayat-ayat lain yang sejenisnya, tentang hikmah yang disebutkan dalam nash-nash syara’, maka pengertian hikmahnya terbatas (apa yang tercantum) pada nash itu saja, dan diambil hanya dari nash tersebut, tidak dianalogikan kepada yang lain. Apa yang tidak disebut hikmahnya oleh nash, kita tidak boleh mencari-cari hikmahnya sebagaimana kita tidak boleh mencari-cari ‘illat-nya.

Demikian dalam masalah ibadah. Sementara, dalam masalah akhlak, ternyata bahwa akhlak memiliki nilai yang dijadikannya sebagai hukum dalam menerangkan beberapa keutamaan dan keluhuran, maupun hal-hal yang bertolak belakang. Begitu pula halnya bahwa akhlak dijadikan sebagai salah satu hasil dari ibadah, dan termasuk perkara yang harus diperhatikan dalam masalah mu’amalah. Sebab, Islam di dalam tasyri’nya bermaksud untuk mengantarkan manusia menuju jalan kesempurnaan hingga mencapai tingkat yang paling tinggi yang dapat diraihnya. Lalu berusaha untuk memiliki sifat-sifat mulia dan berupaya agar tetap dalam kondisi memiliki kemuliaan tersebut.

Perilaku yang baik merupakan nilai yang harus mendapatkan perhatian pada saat seseorang berbuat untuk memiliki sifat-sifat yang mulia. Perilaku yang baik terbatas pada perbuatan yang terpuji (fadhilah) yang telah ditentukan oleh syara’, dan nilai-nilai tersebut harus diperhatikan pada saat melakukan berbagai perbuatan yang terpuji dan pada saat seseorang berusaha memiliki sifat-sifat tersebut. Akhlak merupakan bagian dari syari’at Islam serta bagian dari perintah dan larangan Allah yang harus diwujudkan dalam diri seorang muslim agar sempurna pengamalan Islamnya ser ta mampu melaksanakan secara sempurna perintah dan larangan Allah.

Sifat-sifat khuluqiyah yang dimiliki seorang muslim bukan semata-mata karena akhlak itu sendiri, dan bukan pula karena sesuatu manfaat. Seorang muslim berpredikat demikian karena Allah telah memerintahkannya agar mempunyai sifat-sifat tadi, dan bukan karena hal-hal lain. Karena itu, seorang muslim tidak mensifati dirinya dengan sifat jujur karena kejujuran itu sendiri, dan bukan pula karena adanya manfaat dalam kejujuran, melainkan karena syara’ telah memerintahkannya.

Seorang muslim tidak dapat mensifati dirinya dengan sifat khuluqiyah karena semata-mata akhlak itu sendiri, harus dikembalikan pada sifat perbuatan. Kadang-kadang perbuatan yang dilakukan seseorang itu adalah perbuatan buruk, tapi ia menyangka baik, maka ia melakukannya. Kadang-kadang sifat yang ada pada dirinya —yang dia mensifati dengan sifat itu—, adalah sifat yang jahat; sedangkan ia mengira sifat itu baik, maka ia mensifati dirinya dengan sifat (baik) itu. Dari sini muncul kesalahan dari tindakan manusia terhadap akhlak karena semata-mata akhlak. Selama Islam tidak menentukan sifat-sifat terpuji/ baik dan tercela/buruk, kemudian seorang muslim melaksanakannya atas dasar penjelasan tersebut, maka ia tidak mungkin menjadi orang yang memiliki sifat-sifat tersebut sesuai dengan hukum-hukum syara’. Karena itu, seorang muslim tidak dibolehkan bersifat jujur karena semata-mata kejujuran, atau mengasihi yang lemah sematamata karena kasihan. Seorang muslim tidak akan melakukan nilai-nilai akhlak ini karena semata-mata akhlak, akan tetapi karena sadar bahwa Allah telah memerintahkan sifat-sifat tersebut, dimana akhlak tersebut hanya bersandar kepada akidah Islam. Hal inilah yang menjadi persoalan pokok dalam masalah akhlak. Dengan demikian akan menjamin kemampuan akhlak dalam mengendalikan nafsu, dan kelestarian akhlak tetap dalam keadaan bersih, bebas dari pencemaran, dan dapat menjauhkan hal-hal yang dapat merusaknya. Jadi, untuk menjamin kelestarian akhlak hendaklah membatasi dengan apa yang terdapat dalam nash dan terbatas pada azas ruhi yang dibangun diatas landasan akidah Islam.

Seseorang tidak dapat dikategorikan berakhlak baik karena dorongan satu manfaat. Sebab, manfaat bukan menjadi tujuan dari akhlak, dan memang tidak pantas menjadi tujuan. Semua itu agar tidak merusak akhlak dan agar manfaat tidak menjadi tumpuan akhlak. Akhlak adalah sifat yang harus dimiliki seseorang dengan senang hati dan dengan pilihannya sendiri, disertai dorongan takwa kepada Allah. Seorang muslim tidak akan melakukan perbuatan akhlak hanya semata-mata perbuatan tadi bermanfaat atau mendatangkan kemudharatan dalam kehidupan, akan tetapi ia lakukan karena memenuhi perintah dan larangan Allah. Hal inilah yang akan menjadikan seseorang memiliki sifat-sifat akhlak yang baik secara terus-menerus dan tetap; dan tidak berjalan hanya karena adanya manfaat.

Akhlak yang dibangun atas dasar pertukaran manfaat akan menjadikan pelakunya munafik, dimana batinnya berbeda dengan zhahirnya. Ketika menurutnya akhlak itu didasarkan pada nilai manfaat, maka jika ada manfaat, akhlak akan terwujud dalam dirinya. Manusia dapat memutarbalikkan hukum-hukum sesuai dengan ‘illat-nya yang telah ditentukan. Ia tidak akan meyakini adanya akhlak, bahkan keharusan berakhlak, apabila ia melihat ‘illat-nya telah hilang.

Karena itu, akhlak tidak mempunyai ‘illat dan tidak dibolehkan untuk dicari-cari ‘illat-nya. Sudah seharusnya diambil sebagaimana yang disebutkan oleh syara’ tanpa perlu meneliti ada atau tidaknya ‘illat. Termasuk suatu kekeliruan, bahkan berbahaya, apabila mencari-cari ‘illat pada masalah akhlak, agar tidak terjadi kasus pembatalan akhlak dengan hilangnya ‘illat.

Dari sini dapat dijelaskan bahwa tujuan dari ibadah semata-mata adalah nilai ruhani, sedangkan tujuan akhlak adalah nilai akhlak. Kedua nilai tersebut hendaknya menjadi tujuan dari ibadah atau akhlak, tanpa ada tujuan-tujuan lain. Tidak dibolehkan menjelaskan apa yang terdapat dalam ibadah dan akhlak dengan mengedepankan faedah-faedah dan manfaatnya, karena penjelasan yang demikian sangat berbahaya terhadap akhlak, dan akan menyebabkan timbulnya nifaq pada orang-orang yang beribadat dan yang memiliki akhlak. Bahkan akan mendorong untuk meninggalkan ibadat dan akhlak, jika tidak ada manfaat dan faedahnya.

Adapun hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang berhubungan antara sesama manusia, maka nash-nash yang mengandung topik-topik itu di antaranya ada yang menyebutkan ‘illatnya, seperti firman Allah mengenai pemberian harta fa’i Bani Nadhir, yaitu kepada orang-orang Muhajirin saja, tidak kepada Anshar.

كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orangorang kaya saja diantara kamu. (TQS. Al-Hasyr [59]: 7)

Terdapat pula hukum yang tidak menyebutkan ‘illat-nya, seperti:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (TQS. Al-Baqarah [2]: 275)

Nash yang menyebutkan sebagian hukum dengan menyertakan ‘illat-nya, maka hukum tersebut berkaitan dengan ‘illat serta dapat diqiyaskan (dianalogkan) kepada yang lainnya. Sedangkan nash yang tidak menyebutkan ‘illat-nya, maka ‘illat-nya sama sekali tidak boleh dicari-cari dan tidak dapat dianalogkan kepada yang lain. ‘Illat yang sah adalah ‘illat syar’iyah, yaitu yang berdasarkan kepada nash syara’ yang diambil dari Kitab dan Sunah, karena hanya al-Quran dan Sunahlah yang menjadi nash-nash syara’. Karena itu, ‘illat yang menjadi dasar hukum syara’ harus ‘illat syar’iyyah, bukan ‘illat aqliah. Dengan kata lain keberadaan ‘illat wajib berdasarkan nash, baik diperoleh secara jelas, maupun dengan dalalah (penunjukkan), atau melalui istinbath (pengambilan) maupun qiyas (analogi). ‘Illat inilah yang selalu beredar bersama ma’lul-nya (obyek hukum), baik itu ada ataupun tidak. Berdasarkan hal ini maka hukum itu berjalan bersama ‘illat-nya, sehingga jika didapati suatu perkara yang dilarang dalam suatu keadaan tertentu karena ditemukan ‘illat syar’iyahnya, maka apabila ‘illat tersebut telah hilang, perkara tersebut menjadi boleh. Jadi, hukum syara’ berjalan sesuai dengan ‘illatnya, baik ‘illat-nya ditemukan maupun tidak. Apabila terdapat ‘illat-nya, maka hukumnya ada, dan apabila tidak ada ‘illat-nya, maka hukumnya juga tidak berlaku. Namun demikian, hilangnya hukum karena tidak ditemukannya ‘illat, tidak bisa diartikan bahwa hukumnya berubah. Hukum syar’i terhadap suatu masalah tetap ituitu juga, tidak berubah. Hilangnya hukum disebabkan karena hilangnya ‘illat, akan kembali berlaku dengan munculnya ‘illat.

Walaupun hukum beredar bersama ‘illat-nya, baik dijumpai maupun tidak ‘illat-nya, bukan berarti hukumhukum syara’ berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, dengan alasan bahwa mendatangkan maslahat (manfaat) dan menolak mafsadat (kerugian) merupakan ‘illat bagi hukum-hukum syara. Padahal, nilai kemaslahatan dan kemafsadatan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Jika hal ini dijadikan patokan, dengan sendirinya hukum itu akan berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi. Tentu saja hal itu tidak boleh terjadi. Sebab, mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadat, keduanya sama sekali bukan merupakan ‘illat bagi hukum-hukum syara’, karena tidak terdapat satu nash pun yang menunjukkan bahwa mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat adalah ‘illat bagi hukum-hukum syara’. Tidak terdapat satu nash pun yang menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan ‘illat bagi hukum tertentu. Karena itu, hal ini bukanlah ‘illat syar’iyah.

‘Illat syar’iyah adalah apa yang tercantum dalam nash syara’, yang harus terikat dengan nash dan terbatas pada penunjukan maknanya. Dalam hal ini nash syara’ tidak pernah menunjukkan bahwa mendatangkan mashlahat dan menolak mafsadat sebagai ‘illat. Jadi, ‘illat syar’iyah adalah apa yang telah tercantum di dalam nash, dan bukan didasarkan pada sesuatu yang mandatangkan maslahat atau menolak mafsadat. Apa yang disebut oleh suatu nash tidak merujuk (tergantung) pada waktu dan tempat, bukan pula karena perbuatan itu sendiri.

Penunjukkannya semata-mata tercantum di dalam nash syara’ yang menjelaskan ‘illat suatu hukum. Nashnya sendiri sama sekali tidak akan berubah. Dengan demikian, waktu dan tempat bukanlah sesuatu yang patut dipertimbangkan, begitu pula halnya dengan alasan mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat. Berdasarkan hal ini, maka hukum-hukum syara’ tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Hukum-hukum syara tetap itu-itu saja, tidak berubah walaupun terdapat perubahan waktu dan tempat.

Adapun perubahan ‘urf (tradisi) dan adat-istiadat manusia, tidak juga mempengaruhi perubahan hukum, karena tradisi bukanlah ‘illat hukum dan bukan dasar suatu hukum. Tradisi adakalanya bertentangan dengan syara’, adakalanya juga tidak. Apabila bertentangan dengan syara’, maka syara’lah yang menghapus dan mengubahnya. Sebab, salah satu fungsi syari’at adalah untuk mengubah tradisi dan adat-istiadat yang rusak, yang menjadi penyebab rusaknya masyarakat. Inilah yang menyebabkan tradisi dan adatistiadat tidak bisa dijadikan dasar maupun ‘illat hukum syara’.

Hukum tidak berubah karena tradisi. Apabila tradisi dan adat-istiadat tidak bertentangan dengan syara’, maka hukum tersebut ditetapkan berdasarkan dalilnya dan ‘illat syar’iyahnya; bukan karena tradisi; walaupun tradisi tersebut tidak menyalahi syara’. Dengan demikian, tradisi tidak bisa mengangkangi syara’, akan tetapi syara’lah yang mengatur tradisi dan adat istiadat manusia. Berdasarkan hal ini, hukum-hukum syara’ memiliki dalil yaitu nash, dan memiliki ‘illat syar’iyah; dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tradisi maupun adat-istiadat.

Kesesuaian syari’at Islam untuk setiap waktu dan tempat disebabkan karena syariat Islam mampu mengatasi dan memecahkan berbagai problematika manusia disetiap waktu dan tempat dengan berbagai macam hukumhukumnya. Bahkan mampu memecahkan semua masalah manusia walau bagaimanapun luas dan beraneka ragamnya, sejalan dengan masalah-masalah manusia. Hal ini tidak lain karena, tatkala syara’ memecahkan masalahmasalah manusia maka pemecahannya itu dengan memperhatikan predikatnya sebagai manusia, bukan dengan predikat lainnya.

Manusia pada setiap masa dan tempat predikatnya tetap sebagai manusia. Gharizah (naluri) dan kebutuhan jasmani manusia, selamanya tidak akan berubah. Demikian pula dengan hukum-hukum pemecahannya, juga tidak berubah. Yang berubah hanyalah bentuk kehidupan manusia yang tidak berpengaruh terhadap pandangannya mengenai kehidupan. Adapun tuntutan kehidupan yang senantiasa bermunculan, maka hal itu berasal dari gharizah dan kebutuhan jasmani. Syari’at secara luas telah mengatasi dan memecahkan tuntutantuntutan yang bermunculan dan berbeda-beda macamnya, bagaimanapun bentuk dan variasinya, dan bagaimanapun hebatnya tuntutan kehidupan. Hal seperti inilah yang menjadi salah satu faktor perkembangan fiqih. Namun demikian, keluasan dalam syariat tidak berarti syariat itu ‘fleksibel’ sehingga dapat disesuaikan dengan segala sesuatu walaupun bertentangan dengan syara’.

Tidak berarti juga bahwa syari’at itu berubah secara berangsur-angsur, sehingga dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Yang dimaksudkan dengan keluasan nash-nash syara’ adalah keberadaannya sebagai sumber pengambilan berbagai macam hukum, atau keluasan hukum untuk mengatasi beraneka ragamnya problematika manusia. Sebagai contoh, firman Allah:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berilah kepada mereka upahnya, (TQS. Ath-Thalaq [65]: 6)

Dari ayat ini dapat diambil hukum syara’ bahwa wanita yang ditalak berhak mendapatkan upah menyusukan anaknya. Dapat pula diambil hukum syara’, bahwa seorang pekerja, apapun bentuknya, berhak menerima upah apabila melakukan pekerjannya, baik ia sebagai pekerja umum (public worker) maupun khusus (private worker). Hukum ini juga dapat berlaku terhadap beberapa masalah hukum lainnya, diantaranya bahwa seorang pegawai negeri, pekerja pabrik, petani di ladang, dan sejenisnya, masing-masing berhak menerima upahnya apabila telah menyempurnakan pekerjannya, karena statusnya sebagai pekerja khusus. Juga seorang tukang kayu yang membuat lemari, penjahit yang menjahit baju, tukang sepatu yang membuat sepatu dan yang sejenisnya, masing-masing berhak menerima upah apabila telah melakukan pekerjaannya, karena statusnya sebagai pekerja umum.

Mengingat bahwa ijârah adalah akad/ transaksi antara orang yang mempekerjakan dan yang bekerja, maka tidak termasuk dalam topik ini para penguasa. Sebab, penguasa bukanlah abdi negara (yang diupah). Penguasa adalah “pelaksana hukum syara’” atau orang yang melaksanakan Islam. Dengan demikian, seorang Khalifah tidak berhak menerima upah karena pelaksanaan tugas-tugasnya, sebab ia dibai’at untuk melaksanakan syara’ dan mengemban dakwah Islam.

Khalifah bukanlah abdi negara (yang di upah). Demikian pula mu’awin (pembantu) Khalifah dan para wali, tidak berhak menerima upah atas pelaksanaan tugas-tugasnya, karena tugas-tugas mereka adalah tugas pemerintahan. Mereka bukan para pekerja. Karena itu, mereka tidak mengambil upah. Meskipun demikian, terhadap mereka diberikan ‘santunan’ sebatas keperluannya hidupnya, karena mereka tidak sempat melakukan urusan-urusan pribadi mereka sendiri.

Keluasan nash syara’ seperti contoh diatas, untuk pengambilan hukum-hukum yang beraneka ragam; dan keluasan hukum untuk mengatasi beraneka macam problematika manusia inilah yang menjadikan syari’at Islam mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan di setiap zaman dan tempat, di setiap umat serta generasi. Keluasan hukum itu sendiri tidak bersifat elastis dan berubah-ubah.

Dalil hukum syara’ yang berasal dari nash, baik Kitab maupun Sunah bertujuan untuk mengatasi setiap problema baru yang terjadi. Syâri’ (Pembuat Hukum/ Allah) dalam hal ini menetapkan untuk mengikuti makna-makna dari nash, bukan terbatas pada keharfiahan (teks) nash itu sendiri. Karena itu, dalam pengambilan hukum harus diperhatikan segi ‘illat dari suatu hukum, yai tu memperhat ikan ‘ il lat yang terkandung dalam nash pada saat melakukan istinbat hukum. Hal ini dilihat dari segi makna/maksud syara’ (kontekstual) ‘illat.

Suatu dalil adakalanya memuat suatu ‘illat hukum, atau bisa juga ‘illat diambil dari suatu dalil yang lain, ataupun dari sekumpulan dalil-dalil. Walaupun hukum diistinbat (diambil) dari suatu dalil tertentu, akan tetapi harus tetap memperhatikan segi ‘illat-nya, dan bukan terbatas pada bentuk harfiah yang terdapat di dalam nash yang ditujukan untuk mengatasi problema yang terjadi saat itu. Sebagai contoh, firman Allah Swt:


وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍۢ وَمِن رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ 
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu. (TQS. Al- Anfal [8]: 60)

Hukum yang terdapat dalam ayat ini adalah mengenai persiapan kekuatan. Sedangkan masalah yang terjadi saat itu diatasi dengan mempersiapkan kekuatan fisik, diantaranya dengan cara menambatkan kuda-kuda. Adapun bentuk (arah) ‘illat dari hukum tersebut adalah untuk menakut-nakuti musuh. Karena itu, apabila saat ini kita hendak mengambil hukum mempersiapkan kekuatan dari dalil tersebut, kita harus memperhatikan segi ‘illat dari hukum tersebut, yaitu mempersiapkan segala hal yang dapat menakut-nakuti musuh. Kita tidak boleh terikat dengan apa yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah yang pernah terjadi pada saat itu, sebagaimana yang tercantum dalam nash, yaitu harus menambatkan kuda.

Begitulah, apa yang dilakukan terhadap setiap dalil yang diistinbat hukumnya. Karena yang kehendaki adalah merealisir segi ‘illat dari suatu hukum. Dengan demikian, syari’at Islam mengharuskan dalam hal hukum yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia dalam muamalah, supaya berlandaskan kepada ‘illat yang ada. Dan pada saat mengambil hukum dari nash-nash syara’ hendaknya memperhatikan aspek tasyri’iyah (makna kontekstual)nya, bukan teks-teksnya.

Sebagaimana nash-nash dalam Kitab dan Sunah yang merupakan dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum; ijma’ dan qiyas juga merupakan dalil syara’. Dengan demikian, dalil-dalil syara’ yang memerinci hukum-hukum syar’i terdiri dari Kitab, Sunah, Ijma’, dan Qiyas. Adapun madzhab sahabat dalam beberapa masalah ijtihad bukan termasuk dalil syara’. Sebab, seorang sahabat termasuk ahli ijtihad, yang memiliki kemungkinan untuk berbuat salah. Selain itu, para sahabat pun berbeda pendapat dalam berbagai masalah yang masing-masing memiliki pendapat yang berlainan antara satu dengan lainnya. Seandainya madzhab sahabat dijadikan sumber dalil syara’, maka akan banyak sekali hujjah Allah yang berbeda dan bertolak belakang. Karena itu, madzhab sahabat tidak bisa dijadikan sebagai dalil syar’i (sumber pengambilan hukum).

Kedudukannya sama dengan madzhab-madzhab lainnya yang diakui dan dibolehkan untuk mengikutinya. Adapun mengenai sesuatu yang menjadi kesepakatan para sahabat terhadap berbagai hukum, maka hal ini berupa ijma’, bukan termasuk madzhab sahabat.

Mengenai syari’at yang diturunkan sebelum Islam (aturan umat terdahulu, penj.) tidak dianggap sebagai syari’at untuk kita; juga tidak dapat di kategorikan sebagai dalil syara’. Walaupun akidah Islam mengharuskan iman kepada para Nabi dan Rasul secara keseluruhan beserta Kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka, akan tetapi yang dimaksudkan dengan Iman kepada mereka adalah hanya membenarkan ke-Nabian dan Risalahnya, serta membenarkan apa yang telah diturunkan kepada mereka, berupa Kitab. Iman terhadap mereka bukan berarti mengikuti mereka. Sebab, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw., seluruh manusia dituntut untuk meninggalkan agama mereka dan memeluk Islam. Karena agama selain agama Islam tidak ada artinya (tertolak). Hal ini dapat dipahami dengan jelas dari firman Allah Swt:

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ
Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam.(TQS. Ali ‘Imran [3]: 19)

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًۭا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 85)

Dari ayat-ayat tadi muncullah suatu kaedah ushul:


Syariat bangsa sebelum kita bukan syariat bagi kita. 

Sebagai bukti atas hal ini adalah, para sahabat secara ijma’ menyatakan bahwa syariat Nabi Muhammad saw. menghapuskan seluruh syari’at terdahulu, juga berdasarkan firman Allah Swt:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًۭا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
Kami talah menurunkan kepadamu Kitab al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelum al-Quran) dan yang menghapus kitab-kitab yang lain itu. (TQS. Al-Maidah [5]: 48)

Yang dimaksud dengan “muhaiminan ‘alaihi” dalam ayat tersebut adalah menundukkan (musayithiran) dan menguasai (mushallithan). Penguasaan al-Quran terhadap kitab-kitab terdahulu artinya menghapus (nasakh) syariat-syariat sebelumnya. Dengan kata lain, al-Quran membenarkan keberadaan kitab-ki tab terdahulu dan sekaligus menasakh-nya. Diriwayatkan hadits dari Rasulullah saw., bahwasanya beliau melihat Umar bin Khaththab membawa selembar kertas Taurat yang sedang dibacanya, maka beliau murka seraya bersabda :

 
Tidakkah aku datang dengan membawa kertas putih bersih, seandainya saudaraku Musa melihatku, tentu Ia tak akan berbuat apa-apa selain mengikutiku. (HR. Imam Ahmad, Ibnu Syaibah dan al-Bazzaar).

Banyak diantara aktivitas manasik haji, seperti thawaf (mengelilingi ka’bah), mengusap hajar aswad (batu hitam) serta menciumnya, sa’i (lari-lari kecil) antara Shafa dan Marwa, kesemuanya telah ada sejak masa jahiliah. Pada saat kita melakukan dan melaksanakan ibadah itu sesuai dengan cara tersebut, kita tidak melakukannya sebagai manasik yang telah ada dalam syariat terdahulu, melainkan dilakukan berdasarkan syariat Islam. Karena Islam telah menentukannya sebagai hukum-hukum syara’ yang baru, dan hal ini bukan pengakuan terhadap syari’at sebelumnya. Demikian pula halnya terhadap segala sesuatu yang berasal dari agama-agama terdahulu, sama sekali tidak boleh dilakukan. Yang kita lakukan semata-mata apa yang dibawa oleh syariat Islam. Karena itu, orang-orang Nasrani dan Yahudi menjadi sasaran seruan syariat Islam. Mereka diperintahkan untuk meninggalkan syariatnya, karena Islam telah menghapus syari’at keduanya. Apabila hal ini merupakan kewajiban bagi pengikut syari’at Talmud, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, untuk mengikuti syari’at Islam; bagaimana mungkin seorang muslim dituntut untuk menjadikan syari’at bangsa yang sebelumnya sebagai syari’at bagi umatnya?

Mengenai firman Allah Swt:

إِنَّآ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ كَمَآ أَوْحَيْنَآ إِلَىٰ نُوحٍۢ
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikannya kepada Nabi Nuh. (TQS. An-Nisaa [4]: 163);

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah bahwa Allah Swt. telah mewahyukan kepadanya (Nabi Muhammad saw.), sebagaimana diwahyukan kepada yang lain dari kalangan Nabi-nabi sebelumnya. Sedangkan firman Allah Swt:

شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا
Telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh. (TQS. Asy-Syuura [42]: 13)

ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ
Maksudnya, yang telah disyariatkan adalah ajaran-ajaran pokok Tauhid, sebagaimana yang telah diwasiatkan kepada Nabi Nuh. Adapun firman Allah Swt: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah millah (dasar) Ibrahim’ (TQS. An-Nahl [16]: 123)

Maksudnya, ikutilah dasar Tauhid. Sebab, millah artinya dasar Tauhid. Maksud dari ayat-ayat ini dan yang sejenisnya adalah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. bukanlah Rasul yang baru, akan tetapi Allah Swt. telah mengutus Rasul-rasul yang lain selain Rasulullah. Dan yang dimaksud dengan ad-din dalam ayat, adalah sama seperti halnya yang dibawa seluruh Nabi dan Rasul. Adapun selain dari itu, maka setiap Rasul telah diutus dengan membawa din/syariat yang berbeda-beda sebagaiman firman Allah Swt:

لِكُلٍّۢ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةًۭ وَمِنْهَاجًۭا
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu (kaum Muslim dan Ahli kitab), Kami berikan aturan dan jalan hidup yang khas. (TQS. Al-Maidah [5]: 48)

Dengan demikian maka syariat sebelum kita bukan merupakan syariat bagi kita, dan tidak termasuk salah satu dalil syara’ yang dapat dijadikan sebagai sumber pengambilan hukum.

ISTINBAT HUKUM & Pengertian IJTIHAD
Pada dasarnya, istinbat (pengambilan) hukum dilakukan oleh para mujtahid. Untuk mengetahui hukum Allah dalam suatu masalah, tidak lain dilakukan hanya dengan jalan ijtihad. Karena itu, ijtihad amat diperlukan. Para ulama ushul telah menentukan bahwa ijtihad merupakan fardlu kifayah atas kaum Muslim. Di setiap masa tidak boleh kosong dari adanya para mujtahid. Apabila umat secara keseluruhan sepakat untuk meninggalkan ijtihad, maka mereka berdosa. Sebab, cara untuk mengetahui hukum-hukum syara’ hanya melalui ijtihad. Seandainya di suatu masa tidak ada seorang mujtahid yang dapat dijadikan sandaran untuk mengetahui hukum-hukum, maka hal ini akan mengakibatkan tidak berfungsinya syari’at dan hilangnya hukum. Keadaan seperti ini tentu tidak boleh terjadi.

Hanya saja, untuk berijtihad diperlukan berbagai persyaratan sebagaimana disebutkan oleh para ulama ushul secara terperinci, antara lain diperlukan penelaahan yang luas, pemahaman yang benar terhadap nash, dan memiliki pengetahuan yang cukup terhadap bahasa Arab, diperlukan pemahaman yang luas terhadap berbagai masalah syari’at, serta menguasai dalil-dalilnya. Karena itu, pengambilan hukum tanpa dilakukan pengamatan terlebih dahulu tidak dapat dinamakan istinbat. Demikian pula adanya maslahat secara sekilas dalam suatu hukum, kemudian memutarbalikkan nash serta menyesuaikannya terhadap sesuatu yang tidak dimaksudkan oleh nash tersebut, untuk menetapkan suatu hukum, juga bukan disebut ijtihad. Hal itu tak lain merupakan kecerobohan terhadap agama Allah, yang pelakunya berhak mendapatkan siksa Allah.

Macam-macam dan Pengertian Mujtahid
Memang benar, bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka, akan tetapi terbuka hanya untuk para ulama, bukan untuk orang-orang yang jahil/bodoh. Mujtahid terdiri dari tiga macam. Pertama, mujtahid mutlak dan kedua, mujtahid madzhab. Keduanya memiliki persyaratan khusus. Yang ketiga adalah mujtahid almas’alatu al-wahidah (mujtahid yang berijtihad hanya dalam suatu masalah). Ia adalah orang yang mampu memahami suatu nash dan meneliti suatu masalah berikut dalil-dalilnya serta dalil para mujtahidin dalam masalah tersebut. Yang demikian ini sudah menjadi keharusan bagi seorang Muslim yang hendak mengetahui hukum-hukum Allah. Sebab, syara’ pada dasarnya menjadikan seorang Muslim mampu mengambil hukum dari dalil syara’, agar ia menjadi seorang mujtahid dalam agama, terutama terhadap masalah-masalah yang diperlukannya.

Sayangnya, setelah masa penulisan dan kodifikasi madzhab-madzhab mujtahidin, serta pembentukan kaedah-kaedah (ushul) dan hukum-hukum (furu’), konsep ijtihad mulai lemah dalam jiwa kaum Muslim, dan para mujtahid mulai langka, bahkan sampai-sampai kaum Muslim diwarnai oleh taqlid9, dan sedikit sekali yang melakukan ijtihad. Sedemikian parahnya dominasi pemikiran taqlid sampai ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad harus ditutup, dan wajib bertaqlid. Karena itu, mayoritas kaum Muslim —walaupun tidak semuanya— telah menjadi orang-orang yang bertaqlid (Muqallid).

Macam-macam & Pengertian Muqallid
Muqallid terdiri dari dua macam, yaitu muqallid muttabi’ dan muqallid ‘ami. Yang membedakan antara muqallid muttabi’ dengan muqallid ‘ami, bahwasanya muqallid muttabi’ adalah orang yang mengambil hukum dari hasil istinbat seorang mujtahid, setelah ia merasa puas terhadap dalil yang menjadi sandarannya. Ia tidak akan mengikuti hukum sebelum mengetahui dalilnya.

Sedangkan muqallid ‘ami yaitu orang yang mengikuti pendapat mujtahid terhadap suatu hukum syara’, tanpa meneliti dalilnya. Seorang muttabi’ lebih baik keadaannya dari pada ‘ami. Sebagian besar generasi terdahulu terdiri dari para muqallid muttabi’ karena perhatiannya yang besar terhadap dalil. Tatkala datang masa kemunduran dan kemerosotan, sehingga sulit bagi orang untuk berittiba’, mereka pun mulai bertaqlid kepada para imam dan mujtahidin, terhadap beberapa hukum tanpa meneliti dalilnya. Yang mendorong mereka adalah diamnya para ulama dan kerelaan mereka agar seseorang menjadi muqallid ‘ami walaupun mereka berasal dari kalangan intelektual. Para ulama telah membiarkan saja keadaan ini, mengingat taqlid itu sendiri dibolehkan, baik itu taqlid ittiba’ maupun taqlid ‘ami.

Namun demikian, perlu diketahui bahwa pada dasarnya seorang muslim itu harus mengambil hukum dari dalilnya, walaupun ia diperbolehkan untuk bertaqlid. Dengan kata lain, dibolehkan pula baginya menjadi muttabi’, yaitu mengetahui hukum beserta dalilnya dan merasa puas terhadapnya. Hal ini menjadikan seorang muslim layak untuk berijtihad, walaupun dalam satu masalah saja. Inilah yang sangat diperlukan di masa sekarang.

Fatwa tidak dapat dikategorikan ke dalam ijtihad masalah, sebab fatwa itu sendiri tidak termasuk ijtihad. Bahkan nilainya paling rendah diantara jenis karangan (karya fiqih). Periode ini muncul setelah para mujtahidin, yang disusul dengan masa murid-muridnya, dan yang belajar terhadap mereka, telah beralih perhatiannya dengan melakukan syarah (penjelasan) terhadap pendapat (pendiri) madzhab, dan menjelaskan kaedah-kaedah ushul madzhab tersebut disamping memperkokoh pendapat-pendapatnya. Periode ini merupakan masa dominasi bagi ilmu fiqih. Pada saat itu disusun kitab-kitab pokok fiqih dalam berbagai madzhab yang menjadi rujukan utama dalam masalah-masalah fiqih. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-VII Hijriyah, menyusul datangnya masa kemunduran fiqih, yaitu masa bermunculannya kitab-kitab syarah dan hasyiah (catatan pinggir) yang kebanyakan kosong dari penemuan-penemuan baru. Tidak mengandung hal-hal yang baru dalam istinbat dan ijtihad, bahkan dalam satu masalah tertentu.

Setelah itu datang masa yang lebih parah lagi, dimana para ulama menempuh cara dalam mengemukakan masalah-masalah dan hukum-hukum tanpa menyebut bagian-bagiannya atau dalil-dalilnya. Masalah-masalah inilah yang disebut dengan istilah fatwa. Karena itu, kitab-kitab fiqih yang berbentuk syarah dan hasyiah tidak dapat dijadikan rujukan dalam pengambilan hukum; sama seperti halnya dengan fatwa, yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber/ rujukan hukum, karena menyimpang jauh dari metode ijtihad dalam pengambilan hukum.

Sesuatu yang disusun berdasarkan metode kodifikasi hukum tidak dapat dijadikan rujukan dan sandaran dalam pengambilan hukum, sebab termasuk salah satu bentuk penyerupaan terhadap perundang-undangan Barat. Selain itu, kodifikasi semacam ini merupakan bentuk ringkasan dari fiqih yang lebih banyak mengambil masa’il fiqhiyah yang tidak ada dalilnya, atau dalilnya lemah; juga diwarnai dengan penyesuaian terhadap zaman dan adanya ta’wil, agar selaras dengan pandangan Barat dalam hal pemecahan problematikanya, disamping adanya kelangkaan dari segi tasyri’ dan ijtihad. Kodifikasi semacam ini tidak layak untuk diterapkan dan tidak layak pula dijadikan sumber rujukan, bahkan hal seperti ini merupakan bencana bagi fiqih dan tasyri’. Karena ia berupa usaha yang bersifat taqlid, yang dapat melemahkan pengetahuan kaum Muslim terhadap fiqih Islam, walaupun khazanah fiqih Islam sangat kaya dan ia merupakan kekayaan terbesar di bidang fiqih/hukum bagi seluruh umat manusia.

Sudah menjadi keharusan bagi para qadli dan penguasa untuk merujuk kepada khazanah fiqih tersebut. Dengan adanya kodifikasi dalam bentuk penyerupaan terhadap Barat telah mengerdilkan dan mempersempit fiqih, sehingga para qadli tidak akan mengenal fiqih apabila mereka hanya mencukupkan diri terhadap perundang-undangan semacam ini.

Disamping itu, kodifikasi semacam ini tidak memiliki bentuk undang-undang, tetapi hanya berupa kumpulan dari nash-nash fiqih yang diambil dari sebagian fuqaha, dan dimuat secara berurutan dalam bentuk bab, pasal, dan ayat. Ini menyebabkan tidak ada usaha untuk melahirkan kaedahkaedah umum yang menjadi topik dari pasal-pasal dalam perundang-undangan, sekalipun sebagai landasan berbagai masalah. Yang mereka lakukan malahan menjadikan masalah-masalah tersebut sebagai pasal-pasal dalam perundang-undangan. Inilah yang menyebabkan ketidaksesuaiannya dalam bentuk redaksi perundangundangan, sehingga apa yang disebut dalam sebagian pasal-pasal yang berbentuk kaedah umum hanya disebutkan melalui kaedah-kaedah yang tidak menyeluruh, dan hanya merupakan beberapa definisi yang dinukil dari kitab-kitab fiqih. Bahkan dapat dikatakan hampir secara keseluruhan berbentuk demikian. Karena itu, undang-undang semacam ini tidak dapat diambil dan digunakan sebagai bahan rujukan, karena kekacauan uslub (susunannya) dan kelemahan bobotnya, disamping karena adanya jarak dengan hukum syara’ yang diakui berdasarkan dalil-dalil yang terperinci.

CARA MENYUSUN UNDANG-UNDANG DASAR DAN UNDANG-UNDANG
Untuk menyusun Undang-undang Dasar dan Undang-undang demi tercapainya pemahaman para qadli dan penguasa, perlu ditempuh cara-cara sebagai berikut:

  • Hendaknya problema-problema manusia dipelajari terlebih dulu, kemudian dibuat Undang-undang Dasar Umum dalam bentuk kaedah-kaedah umum yang bersifat menyeluruh, atau hukum-hukum syara’ yang bersifat menyeluruh. Semua itu disandarkan pada fiqih Islam, yang diambil dari seorang mujtahid, dengan mempelajari dan mengkajian dalil-dalilnya. Atau diambil dari al- Quran, Sunah, Ijma’, maupun Qiyas, akan tetapi dengan cara ijtihad yang syar’i walaupun ijtihad itu bersifat juz’i (parsial) yaitu ijtihad masalah. Hendaknya pada setiap pasal disebutkan madzhab yang menjadi landasannya, berikut dalilnya, atau dalil syara’ yang diistinbath. Hendaknya tidak mempertimbangkan keadaan kaum Muslim yang buruk, juga bukan pada keadaan bangsa-bangsa lain atau sistem/peraturan lain selain Islam.
  • Hendaknya hukum-hukum syara’ dijadikan sebagai acuan bagi perundang-undangan dalam uqubat (sanksi pidana), huquq, bayyinat (pembuktian), dan sebagainya atas dasar apa yang ada dalam poin pertama, sesuai dengan konstitusi dengan menunjuk kepada madzhab berikut dalil-dalilnya. Hendaknya memakai redaksi perundang-undangan dengan menggunakan kaedah-kaedah umum, agar dapat dijadikan rujukan fiqih bagi para qadli dan penguasa.
  • Hendaknya nash-nash syara’, fiqih Islam, dan ilmu ushul fiqih dijadikan sebagai sumber rujukan bagi penafsiran konstitusi dan Undang-undang untuk para qadli dan penguasa, sehingga tersedia bagi mereka sarana untuk memahaminya secara mendalam. Seorang qadli tidak dibenarkan memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah ditabani (diadopsi) Daulah dari hukum-hukum syara’. Sebab, perintah imam harus berlaku dzahir maupun batin. Adapun perkara-perkara yang akan diputuskan oleh qadli, yang tidak ditabani Daulah, maka seorang qadli harus mengambil keputusan berdasarkan hukum syara’ yang sesuai dengan permasalahannya, baik yang diambil dari pendapat mujtahid lain, maupun pendapat yang digalinya sendiri melalui ijtihad.
  • Hendaknya pada saat menggali hukum-hukum dan mentabaninya senantiasa memperhatikan pemahaman terhadap fakta dan faqih terhadap fakta tersebut. Juga harus memahami wajibnya memecahkan fakta persoalan itu berdasarkan dalil syara’, yaitu memahami hukum Allah yang telah ditetapkan terhadap masalah yang sedang dihadapi; kemudian hukum tersebut diterapkan terhadap fakta yang ada. Dengan kata lain, dengan mengetahui fakta dan ber tafaquh terhadap fakta itu, akan menyampaikan pengetahuan kepada hukum Allah. 

  • NEGARA MELAKSANAKAN SYARI’AT ISLAM

    Negara melaksanakan syari’at Islam bagi setiap orang yang memiliki kewarganegaraan, baik muslim maupun non muslim. Warganegara non muslim dibiarkan menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan ibadahnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan pakaian, diperlakukan sesuai ketentuan agama mereka yang dijamin oleh aturan umum yang berlaku. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan hukum keluarga diantara mereka, seperti nikah dan talak, diurus sesuai dengan agamanya. Urusan syari’at Islam yang lain, seperti masalah mua’malah, uqubat, pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain, berlaku sama bagi semuanya, baik terhadap kaum Muslim maupun non muslim. Mengenai kaum Muslim, negara memberlakukan syari’at Islam terhadap mereka secara keseluruhan, baik yang menyangkut urusan ibadah, akhlak, mu’amalah, uqubat ataupun yang lain. Kewajiban Negara adalah menerapkan Islam secara keseluruhan. Pelaksanaannya terhadap non muslim hendaknya dianggap sebagai salah satu cara mengajak mereka kepada agama Islam, sebab syara’ berlaku umum bagi seluruh umat manusia. Negara memberlakukannya di setiap negeri yang dikuasainya agar dapat menyebarluaskan dakwah Islam. Sebab, rahasia dari aktivitas penaklukkan (futuhat) Islam adalah untuk mengemban dakwah Islam.

    Akidah
    Islam adalah akidah yang memancarkan peraturan. Peraturan ini merupakan hukum-hukum syara’ yang telah digali dari dalil-dalil yang terperinci. Islam telah menjelaskan di dalam peraturan tersebut tata cara pelaksanaan hukumnya yang berupa hukum syara’. Hukum-hukum syara’ yang menjelaskan tata cara pelaksanaan dinamakan thariqah, dan yang lain berupa fikrah. Dengan demikian, Islam terdiri dari fikrah dan thariqah. Aqidah dan hukum syara’ yang memecahkan problematika manusia disebut fikrah. Sedangkan hukum syara’ yang menjelaskan cara pelaksanaan pemecahan problematika manusia, cara memelihara aqidah, dan cara mengemban dakwah disebut thariqah. Thariqah Islam merupakan bagian yang tidak tepisahkan dari fikrahnya. Karena itu, dalam dakwah Islam tidak boleh mencukupkan diri hanya dengan menerangkan fikrah-fikrahnya saja, melainkan juga harus mencakup thariqahnya. Mabda (ideologi) adalah kumpulan dari fikrah dan thariqah.

    Thariqah
    Keimanan kepada thariqah sama halnya dengan keimanan kepada fikrah. Sudah menjadi keharusan untuk menyatukan fikrah dan thariqah, dan tidak memisahkan antara keduanya. Keduanya harus diikat dalam satu ikatan, dimana sebuah fikrah Islamiyah tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan menggunakan thariqah Islamiyah. Gabungan keduanya itulah yang akan membentuk Islam, yang diterapkan dan dikembangkan dakwahnya. Selama thariqah telah ada dalam syari’at, maka wajib membatasinya pada hal-hal yang telah disebutkan oleh syara’, dan apa yang telah digali dari nashnashnya. Hukum-hukum tentang fikrah terdapat dalam Kitab dan Sunah, demikian pula hukum-hukum tentang thariqah, seperti firman Allah Swt.:

    وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيَانَةًۭ فَٱنۢبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَآءٍ
    Jika kamu mengetahui pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. (TQS. Al-Anfal [8]: 58)

    Ayat di atas mengandung hukum thariqah, sama seperti sabda Rasulullah saw.:

     
    Janganlah kamu mengharap-harap bertemu dengan musuh, tetapi jika kalian telah bertemu dengan musuh maka bersikap teguhlah. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

    Hukum-hukum thariqah dapat digali melalui ijtihad dari Kitab, Sunah, Ijma Sahabat dan Qiyas, sebagaimana hukum-hukum yang lainnya. Ketika Sunah berperan sebagai penjelas terhadap al-Quran, maka di dalam al-Quran kadangkala terdapat fikrah dalam bentuk yang global, lalu dirinci oleh Sunah. Kadangkala di dalam al-Quran terdapat thariqah dalam bentuk global, lalu dirinci di dalam Sunah. Karena itu, kita harus menggunakan petunjuk Nabi saw. sebagai pelita, agar kita dapat mengambil hukum-hukum thariqah dari perbuatan-perbuatan beliau yang terdapat di dalam sirahnya; juga ucapan, dan sikap diamnya, sebagaimana kita mengambilnya dari al-Quran.

    Sebab, semua itu merupakan syari’at. Kita juga harus menjadikan para Khulafa ar-Rasyidin sebagai teladan dalam memahami sirah, termasuk para sahabat lainnya, sebagaimana kita jadikan akal kita sebagai alat yang efektif untuk memahami serta menggali hukum sesuai dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’.

    Hukum syara’ yang menjelaskan tatacara pelaksanaan, menunjukkan pada amal yang harus dilakukan, baik yang menyangkut cara penerapan hukum maupun cara mengemban dakwah. Maka, caracara ini harus dilaksanakan. Perbuatan-perbuatan semacam ini bukan tergolong sarana (wasilah), karena sarana itu merupakan alat yang digunakan untuk mengerjakan suatu perbuatan. Sarana dapat berubah sesuai keadaan, dan dapat ditetapkan menurut jenis perbuatan. Karenanya, sarana tidak harus digunakan secara baku menurut kondisi ter tentu. Adapun perbuatan-perbuatan yang berupa thariqah, maka hal ini tidak berubah; bahkan harus dilakukan sesuai petunjuk nash, dan tidak boleh melakukan hal-hal di luar yang telah dijelaskan oleh syara’. Suatu perbuatan juga tidak boleh dikerjakan di luar konteks yang telah dijelaskan oleh hukum syara’.

    Dengan melihat secara teliti mengenai seluruh perbuatan yang telah ditunjuk oleh hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan thariqah, akan dijumpai bahwa perbuatan yang tergolong thariqah adalah perbuatanperbuatan yang bersifat fisik, dan dapat menghasilkan sesuatu yang nyata dalam kehidupan; bukan perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang tidak nyata, sekalipun kedua jenis perbuatan ini akan menghasilkan nilai amal yang sama. Sebagai contoh, do’a merupakan perbuatan yang dapat menghasilkan nilai rohani, dan jihad juga merupakan perbuatan fisik yang dapat menghasilkan nilai rohani. Walaupun do’a merupakan perbuatan fisik, akan tetapi hasilnya tidak berbentuk fisik, yaitu berupa pahala; sekalipun tujuan orang berdo’a adalah untuk mendapatkan nilai rohani. Berbeda halnya dengan jihad.

    Jihad
    Jihad adalah aktivitas memerangi musuh, yang merupakan perbuatan fisik yang akan menghasilkan sesuatu yang nyata, yaitu berupa penakhlukkan bentengbenteng, pertahanan kota-kota atau membunuh musuh, dan sejenisnya; walaupun tujuan dari seorang mujahid adalah untuk mendapatkan nilai rohani. Karena itu, perbuatan yang terkait dengan thariqah merupakan perbuatan yang bersifat nyata, yang akan menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik dan berbeda dengan perbuatan perbuatan lain. Maka dari itu, do’a tidak dapat dijadikan thariqah untuk berjihad, walaupun seorang mujahid senantiasa berdo’a kepada Allah. Demikian pula halnya dengan nasehat, tidak dapat dijadikan thariqah bagi seorang pencuri, sekalipun ia dinasehati dan diarahkan. Firman Allah Swt:

    وَقَٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌۭ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِ
    Perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan (sehingga) agama seluruhnya hanya untuk Allah saja. (TQS. Al-Anfal [8]: 39)

    وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا
    Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (TQS. Al-Maidah [5]: 38)

    Berdasarkan hal ini, setiap perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang tidak nyata harus ditolak, jika dimaksudkan untuk melaksanakan fikrah Islam, sebab hal itu bertentangan dengan thariqah Islam. Yang demikian ini tidak ada perbedaan antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk melaksanakan hukum-hukum yang berkaitan dengan pemecahan berbagai problem kehidupan dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk mengemban dakwah Islam. Sebagai contoh, shalat merupakan bagian dari fikrah, dan thariqah pelaksanaannya melalui negara. Maka, negara tidak boleh menjadikan pendidikan dan pengarahan sebagai satu-satunya thariqah agar manusia menjalankan shalat. Akan tetapi negara wajib menjatuhkan hukuman kepada orang yang meninggalkan shalat, berupa hukuman fisik seperti kurungan/penjara; walaupun negara tetap melakukan pendidikan dan pengarahan. Contoh lain, bahwa mengemban dakwah Islam adalah bagian dari fikrah, dan cara pelaksanaannya dibebankan pada negara, yaitu dengan jihad memerangi musuh. Maka, tidak dibenarkan negara melawan musuh hanya dengan cara membaca shahih Bukhari untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang bersifat fisik yang menghadang dakwah. Yang harus dilakukan negara adalah berjihad, yaitu memerangi musuh dengan cara fisik. Begitu pula perbuatan-perbuatan lainnya.

    Perlu diketahui, walaupun perbuatan yang ditunjukkan oleh thariqah adalah perbuatan fisik yang menghasilkan sesuatu yang nyata, akan tetapi perbuatan semacam ini harus diatur sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya. Pengaturan yang didasarkan pada perintah dan larangan-Nya ini harus ditujukan semata-mata untuk meraih ridla Allah. Seorang muslim harus selalu menyadari hubungannya kepada Allah, sehingga ia selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan shalat dan do’a, membaca al-Quran dan yang sejenisnya. Seorang muslim wajib meyakini bahwa kemenangan datangnya hanya dari Allah. Karena itu, amat dibutuhkan adanya takwa yang terhunjam di dalam dada untuk melaksanakan hukum Allah. Begitu pula dibutuhkan doa dan dzikir kepada Allah, serta terus menjaga hubungan dengan Allah setiap kali melakukan suatu aktivitas.

    Hal ini dilihat dari segi thariqah sebagai kumpulan hukum syara’, yang harus selalu terikat kepadanya dan tidak boleh dilanggar. Juga dari segi thariqah yang merupakan perbuatan untuk mewujudkan hal-hal yang nyata.

    Metode Untuk Melanjutkan Kehidupan Islam
    Adapun dari segi pencapaian hasil, harus mengikuti kaedah amaliah, yaitu hendaknya suatu perbuatan didasarkan pada suatu pemikiran dan tujuan tertentu.

    Penginderaan terhadap suatu realita yang didahului oleh pengetahuan sebelumnya akan menghasilkan suatu pemikiran. Pemikiran seperti ini harus dibarengi dengan perbuatan. Dan hendaknya pemikiran dan perbuatan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Semua ini harus didasarkan pada keimanan, sehingga seseorang tetap berjalan dalam suasana iman secara terus menerus. Sekali-kali tidak dibenarkan memisahkan perbuatan dengan pemikiran, atau dengan tujuan tertentu, atau pun dengan keimanan. Pemisahan semacam ini —walaupun sedikit— akan membahayakan perbuatan itu sendiri, tujuan-tujuannya serta kelestariannya. Karenanya, orang yang akan mengerjakan suatu perbuatan harus memahami terlebih dahulu tujuan-tujuannya dengan jelas, baru kemudian mulai mengerjakannya. Dengan demikian perbuatan harus dilandasi suatu perasaan yang dijalin dengan pemikiran. Dengan kata lain, hendaknya pemahaman dan pemikiran itu lahir dari suatu penginderaan, bukan sekedar prasangka terhadap masalah-masalah yang bersifat khayalan belaka.

    Hendaknya penginderaan terhadap realita berproses di dalam otak, yang jika digabungkan dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dapat menghasilkan proses berpikir di dalam otak, yang biasa dinamakan pemikiran. Inilah yang akan menghasilkan kedalaman berpikir dan kreatifitas dalam perbuatan. Perasaan yang disertai dengan pemikiran akan melahirkan kepekaan berpikir, yaitu suatu kepekaan yang dapat diperkuat oleh pemikiran seseorang. Kepekaan para pengemban dakwah, misalnya, sesudah memahami masalah-masalah dakwah, akan lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya.

    Adalah hal yang berbahaya memindahkan suatu perasaan menjadi bentuk perbuatan secara langsung tanpa dipikirkan terlebih dahulu, karena hal ini tidak akan mengubah realita, bahkan menjadikan manusia berpikir mundur dan terbelakang. Ia berjalan dengan pemikiran yang rendah/mundur dengan menempatkan realitas (kenyataan) sebagai sumber pemikiran, bukan sebagai obyek pemikiran. Jadi, penginderaan/perasaan harus dibawa sampai ke tahap berpikir, baru kemudian pemikiran tersebut akan membawanya menjadi suatu perbuatan. Inilah yang memungkinkan seseorang melepaskan diri dari keadaan, kemudian bangkit serta berusaha untuk beralih menuju kondisi yang lebih baik secara revolusioner.

    Orang yang mengindra/merasakan sebuah realita dan langsung bertindak, maka perbuatannya itu tidak akan dapat mengubah realita, malahan akan menyesuaikan dirinya dengan realita. Akhirnya ia tetap terbelakang dan tertinggal. Sedangkan orang yang merasakan suatu realita, kemudian berpikir mengenai cara untuk mengubah realita itu, lalu ia berbuat berdasarkan pemikirannya, maka tindakan inilah yang akan mengubah realita sesuai dengan ideologinya, dengan perubahan yang totalitas.

    Inilah cara yang sesuai dengan metode revolusioner, yang tidak lain adalah satu-satunya metode untuk melanjutkan kehidupan Islam. Metode ini mengharuskan pemikiran terbentuk sebagai hasil dari penginderaan, kemudian memperjelas pemikiran ini sehingga dapat menggambarkan bentuk-bentuk yang sistematika fikrah dan thariqah di dalam otak. Memahami ideologi dengan cara yang benar, akan mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, sehingga pemikiran ini dapat menghasilkan perubahan yang sempurna. Pada saat itu, ia akan berusaha untuk mempersiapkan individu-individu dan kelompok masyarakat serta lingkungannya dengan pemikiran tersebut, agar terjadi perubahan total dalam opini umum; setelah sebelumnya terwujud kesadaran umum terhadap ideologi ini, baik dari segi fikrah maupun thariqah-nya.

    Kemudian akan mulai menerapkan ideologi secara praktis melalui pemerintahan, dengan penerapan yang bersifat revolusioner, tanpa bertahap, dan tambal sulam. Metode revolusioner ini mengharuskan munculnya pemikiran dari proses penginderaan, yang disetai aktivitas untuk meraih tujuan tertentu. Hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan pemikiran yang mendalam.

    Pemikiran yang dalam seperti ini memerlukan faktor-faktor untuk mewujudkan, menumbuhkan, dan menyuburkannya. Metode revolusioner ini membutuhkan persiapan individu maupun masyarakat dengan mabda (ideologi) Islam. Usaha yang ditempuh untuk mewujudkan pemikiran yang mendalam dan persiapan individu untuk menerima mabda memerlukan studi tentang Islam dari mereka yang hendak berjuang, disamping memerlukan studi tentang keadaan masyarakat. Ini tidak akan terjadi kecuali dengan metode membina otak dengan berbagai pengetahuan. Belajar merupakan jalan yang termudah dan paling dekat untuk mendapatkan pengetahuan bagi otak guna membantu mewujudkan pemikiran yang dalam. Islam mempunyai metode yang khas dalam pengajaran. Apabila metode ini dijalankan akan menghasilkan pengaruh dari pelaksanaan metode pengajaran tersebut. Metode ini menyatakan bahwa pengetahuan harus dipelajari untuk dipraktekkan.

    Pelajaran harus disampikan kepada pelajar melalui proses berpikir yang membekas dan memberikan pengaruh terhadap perasaannya, sehingga pembawaan dan tanggung jawab dalam hidupnya dihasilkan oleh pemikiran yang membekas, sampai di dalam dirinya terwujud semangat yang berkobar-kobar. Disaat yang bersamaan terwujud pula pemikiran dan pengetahuan yang amat luas, sekaligus upaya untuk mengamalkannya yang muncul secara alami.

    Dengan metode pendidikan seperti ini, akan muncul pemahaman dan kemampuan pada diri pelajar, yang berasal dari pemahamannya yang membekas. Bahkan pemikirannya akan semakin luas dan terpadu dengan perasaannya. Dengan metoda itu pula, seorang pelajar akan mengetahui hakikat-hakikat yang memungkinkan dia biasa memecahkan problematika kehidupan. Karena itu, sistem belajar harus dijauhkan dari sekedar menuntut ilmu belaka, agar pelajar tidak hanya menjadi buku yang berjalan. Begitu pula sistem belajar tidak boleh menjadi sekedar nasehat dan petunjuk. Jika tidak, akan mengakibatkan kedangkalan berpikir, disamping kosong dari semangat iman. Pelajar pun tidak boleh menganggap bahwa belajar Islam hanya sekedar ilmu dan nasehat belaka. Ia harus sadar bahwa mempelajari Islam sekedar ilmu dan nasehat merupakan perkara yang membahayakan aspek pengamalannya, bahkan akan melalaikan dan mengabaikannya.

    Untuk mencapai tujuan yang ingin diraih dalam suatu aktivitas, harus tergambar bahwa tujuan tersebut memerlukan keseriusan, perhatian, dan keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan kepartaian (at-tabi’atul hizbiyah); disamping harus tetap terikat kepada Islam. Islam mempunyai ketentuan yang berbentuk larangan dan perintah, disamping tuntutan berupa pengorbanan harta, jiwa maupun raga. Diantara ketentuan ini ada yang wajib bagi setiap individu, ada pula yang lebih dari pada itu. Masing-masing dapat memilihnya. Bagi yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt., maka hal itu bisa meraih ketinggian jiwa dan pemikiran. Melaksanakan keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan tadi adalah suatu keharusan untuk mencapai tujuan. Berdasarkan hal ini, jiwa harus dibiasakan dan dipaksa untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang wajib dalam seluruh aspek; baik harta, jiwa maupun raga, hingga terwujud harapan untuk mencapai tujuan.

    Aktivitas Dakwah
    Untuk menghasilkan aktivitas dakwah harus ditentukan tempat memulainya dan sekelompok jama’ah yang mengawali usaha tersebut. Memang benar Islam itu bersifat internasional. Begitu pula dalam dakwah, Islam memandang seluruh manusia dengan pandangan yang sama dan tidak membedakan antara yang satu dengan yang lainnya, serta tidak memperhatikan lagi perbedaan lingkungan, iklim, serta tempat. Bahkan setiap manusia itu layak menerima dakwah, dan menganggap bahwa setiap muslim mempunyai tanggung jawab dalam penyampaian dakwah ini ke seluruh umat manusia.

    Meskipun demikian, dakwah tidak bisa di mulai dimana saja di muka bumi, karena cara semacam ini sama saja dengan mengusahakan kegagalan dan tidak akan membawa keberhasilan sama sekali. Dakwah bahkan harus dimulai dari seorang individu, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Dakwah harus dikembangkan di satu tempat tertentu, sehingga layak dijadikan sebagai titik awal. Baru kemudian tempat tersebut atau tempat lainnya (dimana dakwah telah berkembang) dapat dijadikan sebagai titik tolak dakwah. Dari situlah dakwah akan menyebar pada jalan yang seharusnya, lalu tempat tersebut ataupun yang lain dijadikan sebagai titik sentral tempat tegaknya Daulah, yang akan memusatkan kegiatan dakwahnya, dan akan menyebar di jalan yang semestinya, yaitu melalui jalan jihad. Meskipun beberapa tempat ditetapkan sebagai wilayah dakwah untuk setiap titik (titik awal, titik tolak, dan titik sentral), namun yang berpindah dari titik yang satu ke titik yang lain adalah dakwah, bukan tempatnya.

    Dakwah akan menyebar ke berbagai tempat yang telah ditentukan pada saat yang bersamaan. Sekalipun sudah lazim menentukan tempat yang dijadikan sebagai titik awal, lalu menjadi titik tolak, dan titik sentral, akan tetapi penentuan tempat di masing-masing titik tersebut bukan termasuk wilayah yang dikuasai oleh manusia. Manusia tidak mampu menjaungkaunya dan tidak mampu menguasainya. Semua itu termasuk ke dalam wilayah yang menguasai manusia. Dalam hal ini, manusia hanya berusaha dan bertindak sebatas wilayah yang mampu dikuasainya. Sedangkan perbuatanperbuatan yang masuk di wilayah lain, maka hal itu sesuai dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt.

    Penentuan titik awal pasti dilakukan di tempat munculnya seseorang yang pertama kali memiliki gambaran yang cemerlang tentang dakwah, dan ia dipersiapkan oleh Allah Swt. untuk mengembannya. Mungkin banyak orang yang telah merasakan hal ini, tetapi yang dipersiapkan Allah untuk mengemban dakwah ini tidak diketahui sampai kemunculannya. Kemudian dakwah di mulai di tempat ia hidup, dan tempat itulah yang menjadi titik awal.

    Sedangkan mengenai titik tolak, hal itu tergantung dari persiapan masyarakat, karena masyarakat itu berbeda dalam pemikiran, perasaan maupun sistemnya. Jika di suatu tempat terdapat masyarakat yang sudah siap, dan suasana dakwah lebih baik dari pada tempat lainnya, maka tempat tersebut layak dijadikan sebagai titik tolak.

    Pada umumnya yang menjadi tempat bagi titik awal akan menjadi tempat bagi titik tolak, walaupun bukan suatu kepastian. Sebab, tempat yang paling layak bagi titik tolak adalah tempat yang di dalamnya berkembang kedzaliman, baik dalam aspek politik maupun ekonomi, dan yang di dalamnya merajalela atheisme/kekufuran dan kerusakan moral.

    Titik sentral juga tergantung pada keberhasilan dakwah dalam masyarakat. Tempat dimana dakwah belum berhasil mengubah masyarakat dan belum menunjukkan suasana dakwah yang kondusif, tidak cocok dijadikan sebagai titik sentral, walaupun disana terdapat pengemban mabda Islam dalam jumlah yang banyak. Sedangkan tempat yang telah menerima fikrah dan thariqah (mabda ini, penj.), serta kondisi masyarakatnya kondusif, juga fikrah dan thariqah tadi telah mendominasi lingkungan tersebut, maka tempat itu cocok sebagai titik sentral, tanpa memperhatikan lagi jumlah pengemban mabda Islam di dalamnya.

    Karena itu, para pengemban mabda tidak boleh mengukur (keberhasilan) dakwahnya dengan jumlah pengikutnya. Ukuran seperti ini jelas salah dan membahayakan dakwah, karena akan mengalihkan perhatian para pengemban dakwah dari masyarakat ke individu-individu. Keadaan ini bisa mengakibatkan kelambanan, bahkan bisa mengakibatkan kegagalan dakwah di tempat itu. Rahasianya mengapa hal ini bisa terjadi, karena masyarakat itu tidak tersusun dari individu-individu saja, sebagaimana anggapan kebanyakan orang.

    Memahami Pengertian Masyarakat
    Individu adalah bagian dari kelompok masyarakat, sedangkan yang mempersatukan individu-individu dalam suatu kelompok masyarakat adalah faktor-faktor lain, yaitu berupa pemikiran, perasaan dan peraturan hidup. Karena itu, dakwah harus ditujukan untuk meluruskan pemikiran, perasaan dan peraturan hidup. Aktivitas ini termasuk dalam dakwah jama’iyah dan dakwah untuk masyarakat, bukan dakwah untuk individu. Usaha memperbaiki individu dilakukan tidak lain untuk menjadikan mereka bagian dari kutlah (kelompok) dakwah, yang akan mengemban dakwah di masyarakat. Para pengemban dakwah yang telah memahami hakikat dakwah akan mengkonsentrasikan kegiatannya terhadap masyarakat. Mereka berpandangan bahwa perbaikan individu tidak mungkin menghasilkan perbaikan masyarakat, dan individu tersebut tidak mungkin berada dalam keadaan baik terus menerus. Perbaikan individu akan tercapai dengan jalan memperbaiki masyarakatnya. Apabila masyarakatnya telah diperbaiki, dengan sendirinya individu akan dapat diperbaiki pula. Karena itu penting untuk mewujudkan semangat dakwah kepada masyarakat, dan tetap berpegang pada kaedah yang seharusnya, yaitu:

    “Perbaikilah masyarakat, niscaya individu akan menjadi baik, dan terus menerus dalam keadaan baik.”
    Masyarakat itu seperti halnya air yang berada dalam sebuah tempayan besar. Apabila disekelilingnya diletakkan sesuatu yang membekukan, maka air itu akan membeku lalu mengeras (menjadi es). Begitu pula masyarakat, apabila dilontarkan berbagai mabda (ideologi) yang rusak, tentu masyarakat tersebut akan dikungkung kerusakan, dan akan terus merosot, serta terbelakang. Dan jika di tengah-tengah masyarakat dilontarkan mabda yang bersifat kontradiktif, maka akan tampak berbagai pertentangan; dan senantiasa diliputi oleh kekacauan dalam konflik dan ketidakpastian. Jika di bawah tempayan itu diletakkan api yang membara dan berkobar, maka akan menghangatkan air, kemudian mendidih, lalu menguap menjadi tenaga yang menggerakkan.

    Begitu pula halnya jika di tengah-tengah masyarakat dilontarkan mabda yang benar, maka akan menghangatkan masyarakat dan kemudian membara, yang akhirnya mampu mengubah, menggerakkan serta mendorong masyarakat. Masyarakat inilah yang akan menerapkan mabda tadi, sekaligus menyebarkannya kepada masyarakat yang lain, meskipun dijumpai perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan lain yang saling bertentangan. Proses perubahannya dari satu kondisi ke kondisi lainnya tidak dapat disaksikan, seperti halnya perubahan air dalam tempayan yang tidak mampu diamati. Namun demikian bagi orangorang yang sangat mengetahui keadaan masyarakat, dan percaya bahwa mabda yang diembannya itu ibarat api yang membakar dan cahaya yang menyinari, mereka akan mengetahui bahwa masyarakat itu sedang berproses menuju suatu perubahan, dan bahwa masyarakat itu suatu saat pasti akan mencapai derajat mendidih/bergolak dan bergerak serta mendorong dan meledak.

    Karena itu, masyarakat harus senantiasa mendapatkan perhatian dari para pengemban dakwah. Berdasarkan penjelasan di atas maka tempat yang layak untuk dijadikan titik sentral tidak dapat diketahui, karena tergantung pada kesiapan masyarakat, bukan semata-mata pada kekuatan dakwah. Dahulu, dakwah Islam di Makkah sangatlah kuat. Walaupun Makkah layak untuk dijadikan sebagai titik awal dan sangat cocok dijadikan sebagai titik tolak dakwah, akan tetapi tempat tersebut tidak layak dijadikan sebagai titik sentral. Kenyataannya, yang menjadi titik sentral adalah Madinah. Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah setelah beliau yakin dengan kesiapan masyarakatnya. Kemudian, di sana ditegakkan Daulah, tempat di mana kekuatan dakwah bertolak menyebar luas ke seluruh jazirah Arab yang belum terjamah, barulah kemudian ke seluruh pelosok dunia.

    Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa pengemban dakwah tidak mungkin mengetahui tempat yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dan titik sentral. Mereka tidak mungkin mengetahuinya meskipun diberikan kepadanya kecerdasan dan kepandaian, serta memiliki daya analisis yang tajam. Yang mengetahui hal ini hanyalah Allah Swt. Pengemban dakwah harus menyandarkan dirinya hanya kepada Allah, dan menjadikan setiap perbuatannya terfokus hanya dari keimanan ini, dan bukan kepada yang lainnya. Dengan keimanan kepada Allah dan tidak kepada yang lain, akan diperoleh keberhasilan dakwah.

    Iman kepada Allah
    Iman kepada Allah mengharuskan tawakkal yang sempurna, dengan senantiasa meminta pertolongan kepada Allah, karena hanya Allah-lah yang mengetahui segala sesuatu, baik yang dirahasiakan maupun yang tersembunyi. Dialah yang memberi taufiq dan petunjuk kepada pengemban dakwah, menunjuki mereka di jalan yang benar, dan jalan yang penuh hidayah. Keimanan itu harus kuat disertai tawakkal yang sempurna kepada Allah dan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Rabbul ‘izati. Keimanan mengharuskan seorang mukmin beriman terhadap mabda, yaitu beriman kepada Islam, karena Islam itu sendiri berasal dari sisi Allah. Keimanan ini pula yang mengharuskan kedalaman dan kekokohan iman, tidak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya, bahkan tidak memberi peluang munculnya jalan-jalan yang dapat meragukan. Sebab, setitik keraguan terhadap mabda tentu akan mendorong kepada suatu kegagalan, malahan bisa jadi menyebabkan kekufuran dan pembangkangan. Kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut.

    Iman yang kuat, yang di dalamnya tidak terbetik keraguan sedikitpun, merupakan suatu perkara yang yang wajib bagi pengemban dakwah, karena hanya dengan iman seper ti inilah yang akan mampu menjamin kelangsungan dakwah dengan langkah yang cepat dan panjang di jalan yang lurus. Iman semacam ini mengharuskan dakwah bersifat terbuka dan menantang segala sesuatu; menantang adat istiadat dan kebiasaan masyarakat, menantang pemikiran yang renta dan persepsi yang salah, bahkan menantang opini umum yang keliru, walaupun hal ini dilakukan secara frontal, menentang segala macam akidah dan agama-agama di luar Islam, meskipun akibatnya akan menghadapi fanatisme para pengikutnya. Karena itu, dakwah yang berlandaskan akidah Islam mempunyai ciri yang tegas, berani dan kuat, analitis; serta menentang segala sesuatu yang bertentangan dengan fikrah dan thariqah, serta siap menghadapi dan menjelaskan kepalsuannya tanpa melihat lagi hasil maupun situasi dan kondisinya. Begitu pula tanpa mempedulikan lagi apakah mabda itu sesuai dengan keyakinan masyarakat atau malah bertentangan, apakah diterima masyarakat, ditolak atau malah dilawan.

    Dengan demikian, pengemban dakwah tidak akan memihak suatu bangsa manapun, atau pun bersikap kompromi. Ia tidak peduli lagi dengan beratnya menghadapi masyarakat dan para penguasa yang jahat, tidak bergaul dengan mereka, tidak berbasa-basi atau bermanis muka. Namun demikian mereka tetap berpegang teguh pada mabda tanpa memperhitungkan untung-ruginya, kecuali mabda itu sendiri.

    Iman seperti ini mengharuskan penempatan bahwa kedaulatan itu hanya untuk mabda semata, dengan kata lain hanya untuk Islam saja, bukan untuk yang lain. Dan menganggap mabda selain Islam adalah kufur, apapun bentuknya dan bagaimanapun macam perbedaannya. Allah Swt berfirman:

    إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ
    Sesungguhnya agama (yang sah) di sisi Allah ialah Islam. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 19)

    Maka setiap orang yang tidak beriman kepada Allah adalah kafir menurut pandangan Islam. Karena itu, pengemban dakwah sama sekali tidak boleh mengatakan kepada penganut selain Islam, baik itu berupa agama maupun berbentuk mabda: “Pegang teguhlah mabda dan agama kalian!.” Yang seharusnya dilakukan adalah menyeru mereka masuk Islam dengan jalan hikmah (dengan hujjah, penj.) dan nasehat yang baik, supaya mereka meyakini Islam. Karena dakwah mengharuskan para pengembannya memposisikan kedaulatan hanya untuk Islam saja. Membiarkan orang-orang non muslim dalam agama dan keyakinannya, tidak berarti sebuah pengakuan terhadap agama mereka, tetapi dalam rangka memenuhi perintah Allah, yang mewajibkan tidakadanya paksaan untuk memeluk Islam. Allah juga mewajibkan untuk membiarkan seseorang berada dalam keyakinan, agama, dan peribadatannya, selama dilakukan secara individual, bukan secara kolektif. Mereka (non muslim, penj.) tidak diijinkan memiliki institusi/organisasi di dalam Daulah Islam. Karena itu, Islam melarang adanya partaipartai atau kelompok-kolompok politik yang tidak Islami, yang asasnya bertentangan dengan Islam. Islam hanya membolehkan adanya partai-partai atau kelompokkelompok yang mengikuti ketentuan Islam. Demikianlah, iman terhadap mabda mengharuskan adanya satu mabda (Islam) saja dalam masyarakat, tidak bercampur dengan yang lainnya.

    Iman terhadap Islam berbeda dengan pemahaman terhadap hukum-hukum dan syari’at Islam. Iman ditimbang dan ditetapkan melalui jalan akal atau dengan jalan yang pokok-pangkalnya ditetapkan dengan akal.

    Jadi, di dalamnya tidak terbetik keraguan sedikitpun. Sedangkan pemahaman terhadap hukum Islam tidak hanya tergantung pada akal, tetapi diperlukan juga pengetahuan tentang bahasa Arab, kemampuan menggali hukum, dan pengetahuan terhadap hadits-hadits yang shahih maupun yang dha’if (lemah). Berdasarkan hal ini maka para pengemban dakwah hendaknya menganggap bahwa pemahaman mereka terhadap hukum-hukum syara’ adalah pemahaman yang benar, meski ada kemungkinan salah. Begitu pula hendaknya menganggap pemahaman orang lain itu salah, meski ada kemungkinan benar. Hal ini akan membuka peluang kepada mereka untuk berdakwah menyampaikan Islam dan hukumhukumnya sesuai dengan pemahaman dan istinbath mereka terhadap hukum-hukum tersebut. Hendaknya mereka mencoba mengubah pemahaman orang lain yang dinilai salah, meski ada kemungkinan benar; lalu dialihkan agar mengikuti pemahamannya, yaitu pemahaman yang dianggapnya benar, meski ada kemungkinan salah.

    Berdasarkan hal ini, pengemban dakwah tidak boleh mengatakan mengenai pendapatnya, bahwa pendapat ini adalah pendapat Islam. Yang seharusnya mereka katakan adalah pendapat ini merupakan pendapat yang Islami.

    Para pemuka madzhab dari kalangan mujtahidin menganggap bahwa istinbath mereka terhadap hukum-hukum syara’ adalah benar, namun ada kemungkinan salah. Mereka masing-masing selalu mengatakan: “Apabila hadits tersebut benar (shahih) itulah madzhabku dan buang jauhlah pendapatku”. Pengemban dakwah harus menganggap bahwa pendapat yang ditentukannya atau yang telah mereka usahakan dan sampai pada pendapat yang dipilihnya itu berasal dari Islam dan sesuai dengan apa yang mereka pahami, dan itu adalah pendapat yang benar meski ada kemungkinan salah. Sementara itu, keimanannya terhadap Islam dari sudut akidah tidak ada keraguan.

    Para pengemban dakwah menganggap pendapatnya seperti ini karena dakwah menumbuhkan dalam diri mereka upaya menuju kesempurnaan. Dakwah juga mengharuskan mereka mengoreksi/mengevaluasi kembali secara terus menerus hakikat kebenaran, serta senantiasa menilai setiap hal yang mereka ketahui dan fahami, sehingga dapat menyeleksi setiap perkara yang mungkin dipengaruhi oleh hal-hal yang asing (bukan dari Islam); dan berusaha menjauhkan ide-ide dan pemahaman mereka sehingga menjadi bagian dari tsaqafah gerakan.

    Semua itu dilakukan agar pemahaman mereka tetap dalam kebenaran, dan fikrah-nya tetap mendalam, jernih dan bersih. Dengan jernih dan bersihnya fikrah, memungkinkan dilakukan aktivitas dakwah. Sebab, jernihnya fikrah dan jelasnya thariqah dakwah adalah satu-satunya jaminan meraih keberhasilan sekaligus mampu menjaga keberhasilan.

    Meskipun demikian, melakukan seleksi (pemikiran) untuk mencapai kebenaran, tidak berarti harus berlikuliku dan terombang-ambing bagaikan diterpa angin.

    Bahkan pemikiran (hasil seleksi) tersebut harus menjadi pemahaman yang baku, karena dihasilkan dari pemikiran yang mendalam, dan pemahaman tersebut lebih baku dibanding pemahaman-pemahaman yang lain. Para pengemban dakwah harus selalu waspada terhadap dakwahnya dan terhadap pemahaman mereka tentang dakwah. Mereka juga harus senantiasa berhati-hati terhadap fitnah orang-orang yang ingin memalingkan mereka dari pemahamannya. Fitnah semacam ini amat berbahaya dalam dakwah. Allah mengingatkan Nabi saw. akan fitnah semacam ini.

    وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَنۢ بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ
    Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. Al- Maidah [5]: 49)

    Sayyidina ‘Umar ra. telah berkata kepada qadli Syuraih, seraya berwasiat agar merujuk kepada kitabullah dan berkata: “(dan) Janganlah mereka memalingkanmu dari kitab Allah.” Jadi, pengemban dakwah harus selalu waspada terhadap ucapan yang mungkin muncul dari orang-orang yang ikhlas, atau pendapat yang dianut oleh seseorang yang selalu memperhatikan dakwah dan menyampaikannya dengan dalih maslahat, sedangkan pendapatnya bertentangan dengan Islam. Hendaknya mereka waspada terhadap hal-hal semacam ini dan tidak memberi peluang kepada seorang pun untuk berbuat demikian, karena hal seperti itu adalah bentuk kesesatan yang nyata. Harus dibedakan antara dakwah untuk mengajak masuk Islam dan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam. Juga, harus dibedakan antara dakwah yang diemban oleh jama’ah di tengah-tengah umat, seperti kutlah (kelompok/partai) Islam, dengan dakwah yang diemban oleh Daulah Islam.


    DAKWAH MENYERU KEPADA ISLAM DAN DAKWAH MELANJUTKAN KEHIDUPAN ISLAM

    Perlunya pembedaan antara dakwah menyeru kepada Islam dengan dakwah melanjutkan kehidupan Islam, tidak lain untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai oleh dakwah. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa dakwah mengajak masuk Islam ditujukan kepada non muslim. Mereka diseru untuk memeluk dan masuk ke pangkuan Islam. Metode praktis dakwah kepada mereka dilakukan dengan menegakkan hukum-hukum Islam di tengah-tengah mereka oleh Daulah Islam, sehingga mereka melihat cahaya Islam. Mereka diseru dangan menjelaskan akidah serta hukum-hukum Islam, sampai mereka dapat mengetahui keagungan Islam.

    Maka dari itu, sudah menjadi keharusan bahwa dakwah menyeru kepada Islam harus dilakukan oleh Daulah Islam. Adapun dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam wajib diemban oleh kutlah, bukan individu. Dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam ditujukan pada masyarakat yang individu-individunya mayoritas muslim, tetapi menerapkan hukum selain Islam. Masyarakat yang demikian ini digolongkan dalam masyarakat yang tidak Islami, sehingga layak disebut sebagai Dârul Kufur.

    Dakwah di tengah-tengah masyarakat seperti ini dilakukan dalam rangka mendirikan Daulah Islam yang akan menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat tersebut, serta mengemban dakwah kepada masyarakat lainnya (non-Islam). Ini dilakukan apabila tidak ada Daulah Islam. Apabila di dunia ada Daulah Islam yang menerapkan Islam secara sempurna, maka dakwah dilakukan untuk menggabungkan berbagai wilayah menjadi wilayah Daulah Islam, lalu diterapkan Islam di dalamnya, serta dijadikan bagian dari Daulah Islam yang mengemban dakwah Islam, sehingga menjadi masyarakat Islam. Dengan demikian wilayah tersebut layak disebut Dârul Islam. Hal ini karena seorang muslim tidak diperbolehkan hidup di Dârul Kufur, bahkan wajib baginya bila negara tempat dia tinggal —yang semula Dârul Islam— telah menjadi Dârul Kufur, maka wajib berjuang untuk mungubahnya menjadi Dârul Islam, atau berhijrah ke Dârul Islam.

    Mengenai perlunya pembedaan antara dakwah yang diemban oleh jama’ah, di tengah-tengah umat Islam, dengan dakwah yang diemban oleh Daulah Islam adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk aktivitas yang dilakukan para pengemban dakwah. Dakwah yang diemban Daulah Islam akan menonjolkan aspek praktisnya, yaitu penerapan Islam secara total dan sempurna, sehingga kaum Muslim mengenyam kebahagiaan di dalamnya. Begitu pula kalangan non muslim (kafir dzimmi, penj.) yang hidup dalam naungan dan lindungan Daulah Islam, dapat melihat cahaya Islam, yang pada akhirnya mereka akan berbondong-bondong masuk Islam secara suka rela, tanpa dipaksa, penuh kerelaan dan ketentraman.

    Daulah Islam juga akan mengemban dakwah keluar wilayah Islam, bukan hanya dengan cara menyeru dan menjelaskan hukum-hukum Islam saja, tetapi dengan mempersiapkan kekuatan militer untuk berjihad fi sabilillah. Selain itu, juga untuk menerapkan hukum-hukum Islam di negeri-negeri yang baru saja ditaklukkan, dengan prinsip bahwa penerapan hukum atas mereka adalah upaya dakwah yang bersifat praktis. Metode tersebut telah ditempuh oleh Rasulullah saw. beserta para Khalifah sesudahnya, hingga masa terakhir Daulah Islamiyah. Jadi, dakwah yang diemban oleh Daulah lebih bersifat melaksanaan hukum Islam secara praktis, baik di dalam maupun di luar wilayah Daulah. Sedangkan dakwah yang diemban oleh suatu jama’ah atau kutlah berupa aktivitas fikriyah (pemikiran), bukan aktivitas-aktivitas yang lain. Jadi, kutlah dakwah melakukan aktivitas dalam aspek pemikiran, bukan dalam aspek amaliyah praktis. Kutlah dakwah terus melakukan aktivitas semacam ini, sebagaimana yang dituntut hukum syara’, sampai terwujudnya Daulah Islamiyah. Setelah itu, barulah dilakukan menerapkan Islam secara praktis oleh Daulah. Dakwah yang diserukan kutlah kepada kaum Muslim tidak lain adalah untuk memahamkan Islam, agar mereka mampu melanjutkan kehidupan Islam, disamping berjuang melawan setiap unsur yang merintangi dakwah dengan cara-cara yang diharuskan oleh perjuangannya.

    Diharuskan meneladani kehidupan Rasulullah saw. di Makkah dan mengikuti langkahnya dalam berdakwah. Dakwah diawali dengan aktivitas pengkajian dan pemahaman tsaqafah Islam yang disertai dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam, persis dengan keadaan di Dârul Arqam. Kemudian orang-orang mukmin dan jujur yang telah mempelajari dan memahami Islam beralih ke fase berikutnya, yaitu tafa’ul (berinteraksi) dengan umat, sampai umat dapat memahami Islam dan mengerti keharusan terwujudnya Daulah Islam.

    Kelompok dakwah hendaknya memulai terjun ke tengah-tengah masyarakat dengan membeberkan kerusakan-kerusakan masyarakat, mengkritik dan menyerang pemahamanpemahaman mereka yang salah, ser ta pendapatpendapat mereka yang rusak. Kelompok dakwah hendaknya juga menjelaskan hakikat Islam kepada umat dan inti dari dakwahnya, agar terbentuk kesadaran secara umum terhadap dakwah. Para pengemban dakwah harus menjadi bagian dari masyarakat. Umat bersama mereka merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan demikian umat secara keseluruhan akan berusaha secara produktif —di bawah pimpinan kelompok dakwah— meraih kekuasaan, sehingga terwujudlah Daulah Islam.

    Disaat itulah, dakwah mulai meneladani kehidupan Rasulullah saw. di Madinah dalam penerapan Islam dan pengembangan dakwah. Kelompok Islam yang mengemban dakwah tidak perlu memperhatikan berbagai aktivitas yang sifatnya amaliyah (praktis), dan hendaknya tidak disibukkan oleh hal-hal lain kecuali dakwah. Melakukan aktivitas selain dakwah adalah laksana hiburan yang membius dan memperlambat dakwah. Karena itu, tidak diperbolehkan menyibukkan diri dengan kegiatankegiatan (praktis) tersebut sama sekali. Ketika Rasulullah saw. menyerukan Islam di Makkah yang penuh dengan berbagai kefasikan/kemaksiatan dan kekejian, beliau tidak mengambil tindakan ( fisik) apapun untuk menghilangkannya. Demikian pula dengan berbagai bentuk kezhaliman, penyelewengan, kefakiran, dan kemiskinan yang tampak secara nyata. Tidak terdapat bukti bahwa beliau melakukan langkah-langkah praktis untuk menghapuskan semua itu. Begitu juga berhala-berhala yang ada di sekeliling dan di atas Ka’bah tetap tegak, dan tidak terbukti beliau berusaha memusnahkannya. Yang dilakukan beliau hanya mencela tuhan-tuhan mereka, menganggap dungu akal pikiran mereka dan merendahkan perbuatan mereka. Beliau hanya membatasi diri dengan ucapan dan aspek pengembangan pemikiran semata. Namun, pada saat Daulah tegak dan kota Makkah berhasil ditaklukkan, tidak satu pun berhala-berhala tersebut disisakan. Demikian juga pemberantasan terhadap berbagai kefasikan, kedurhakaan, kezhaliman, penyelewengan, kefakiran, dan kemiskinan tidak satu pun beliau tinggalkan.

    Karena itu, tidak diperbolehkan bagi suatu kelompok yang mengemban dakwah —sebagai sebuah kelompok— untuk melakukan aktivitas lain, selain dakwah. Hendaknya kelompok tersebut membatasi dirinya dalam aspek ide dan dakwah. Meskipun demikian, tidak ada larangan bagi individu-individu anggota suatu kelompok dakwah untuk mengerjakan aktivitas sosial atau kemasyarakatan. Kelompok dakwah tidak diperkenankan melakukannya, karena tugasnya tidak lain adalah menegakkan Daulah Islam agar dapat mengemban dakwah ke seluruh dunia.

    Walaupun sudah menjadi kewajiban untuk meneladani kehidupan Rasulullah saw. di kota Makkah sesuai dengan perilaku kehidupan mereka, tetapi tidak perlu mempersoalkan perbedaan antara dakwah menyeru penduduk Makkah kepada Islam dengan dakwah menyeru kaum Muslim untuk melangsungkan kehidupan Islam. Saat itu beliau menyeru orang-orang kafir untuk beriman, sedangkan dakwah pada masa kini adalah menyeru kaum Muslim untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Karena itu, menjadi keharusan bagi sebuah kelompok dakwah untuk tidak membedakan dirinya dengan umat, tempat dia beraktivitas di dalamnya. Bahkan kelompok dakwah tersebut harus menjadikan dirinya bagian dari umat. Sebab, kaum Muslim adalah sama seper ti mereka. Mereka tidak lebih tinggi kedudukannya dari kaum Muslim, meskipun merekalah yang memberikan pemahaman Islam dan beraktivitas untuk umat. Mereka pula yang mengemban kepentingan kaum Muslim, dan mengemban tanggung jawab di hadapan Allah yang lebih berat untuk membela kepentingan kaum Muslim dan Islam. Para pengemban dakwah harus memahami bahwa tanpa (dukungan) umat keberadaan mereka tidak ada ar tinya, meskipun jumlahnya banyak. Wajib pula menjauhkan kutlah dari perbuatan, perkataan ataupun isyarat-isyarat lainnya yang memberi kesan memisahkan kutlah dari umat dalam segala aspek, baik itu kecil maupun besar.

    Karena hal ini dapat menjauhkan umat dari kutlah dakwah, serta dapat menimbulkan hambatan bagi kutlah di tengah-tengah masyarakat yang hendak diupayakan yaitu tiadanya kebangkitan. Sesungguhnya umat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, di mana kutlah berdiri untuk membangun Daulah. Mereka (kutlah) akan tetap menjaga Islam di tengah-tengah umat dan Daulah. Mereka tetap mengawasi tubuh umat jika terdapat kemunduran. Mereka akan selalu membangun keimanan dan kecerdasan umat. Mereka senantiasa memperhatikan setiap penyimpangan dalam Daulah, yang bersama-sama dengan umat meluruskannya sesuai dengan apa yang telah diwajibkan oleh Islam. Berdasarkan hal ini dakwah Islam yang dikembangkan oleh sebuah kutlah akan berjalan di jalurnya secara alami dengan perjalanan yang sempurna.

    Tujuan Kutlah DAKWAH
    Tujuan kutlah adalah melanjutkan kembali kehidupan Islam di negeri Islam dan mengembangkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode yang ditempuh untuk mencapai hal ini ialah melalui pemerintahan/ kekuasaan. Dan metode untuk mencapai kekuasaan adalah dengan mempelajari dan memahami Islam, membina masyarakat dengan Islam dengan pembinaan yang membekas/berpengaruh, untuk mewujudkan akliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) yang Islami, sehingga terbentuk syakhsyiyah Islamiyah (kepribadian Islam). Begitu juga dengan cara berinteraksi di tengah-tengah umat dengan cara memberi pemahaman Islam terhadap mereka, menanamkan pengertian tentang hakikat kemaslahatan mereka, dan bagaimana Islam memberi pemecahan terhadapnya kemaslahatan tersebut, menjamin hak-hak mereka serta memilih dan menentukan kepentingan umat. Aktivitas berinteraksi dan berjuang di jalan dakwah dilakukan beriringan dengan aktivitas pengkajian.

    Dari sini dapat dimengerti bahwa aktivitas kutlah hizbiyah (kelompok kepartaian) merupakan aktivitas politik. Berdasarkan hal ini maka ciri yang paling menonjol dalam kutlah ini adalah aspek politiknya, karena politik menjadi metode praktis yang pertama yang dimulai dalam dakwah mengajak kepada Islam. Hal ini tidak berarti dakwah terbatas pada aspek politik saja, atau hanya memfokuskan kegiatan untuk meraih kekuasaan semata. Akan tetapi yang pokok dan seharusnya dilakukan adalah mengajak kepada Islam; dan melakukan perjuangan politik untuk mencapai kekuasaan secara sempurna dalam rangka mewujudkan Daulah Islam, yang akan menerapkan Islam dan mengembangkan dakwah Islam.

    PENTINGNYA HIZB (PARTAI)
    Karena itu, sebuah kutlah dakwah tidak dibolehkan bersifat ruhiyah (ritual), atau kutlah yang mementingkan aspek akhlak semata; bukan pula kutlah Ilmiyah (pengkajian), maupun kutlah yang bersifat ta’limiyah (pendidikan), dan yang semacamnya. Bahkan sebuah kutlah dakwah wajib baginya bersifat politik. Hizbut Tahrir selaku partai Islam adalah partai politik yang bergerak di lapangan politik, serta melakukan aktivitas membina umat dengan tsaqafah Islam, yang sangat menonjol aspek politiknya.

    Hizbut Tahrir menentang dan membongkar apa yang dilakukan para penjajah dan para agen kaki tangannya tatkala mereka menghalangi para pelajar dan pegawai terlibat dalam politik, serta memalingkan jauhjauh masyarakat secara umum dari politik. Hizbut Tahrir memandang bahwa masyarakat wajib mengetahui dan mengerti politik, dan perlu melakukan pembinaan politik pada umat. Aktivitas politik yang dimaksud di sini bukan hanya menjelaskan bahwa Islam mencakup juga masalah politik, atau menjelaskan bahwa pokok pemikiran politik dalam Islam itu begini dan begitu. Tetapi, yang dimaksud dengan politik adalah pengaturan dan pemeliharaan urusan umat secara keseluruhan, baik di dalam maupun di luar negeri; dimana semua itu harus berjalan sesuai aturan Islam, bukan yang lain. Hal ini dilakukan oleh Negara, sedangkan umat berkewajiban menasehati dan meluruskan negara dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

    Agar hal-hal di atas terlaksana, mau tidak mau harus ada hizb (partai) yang bertanggung jawab dalam hal ini di tengah-tengah umat, termasuk setelah adanya Daulah Islam nanti. Karena itu, dakwah mengajak kepada Islam harus disertai penjelasan kepada umat tentang hukumhukum syara’ yang akan memecahkan problematika kehidupan, serta mengharuskan penerapan hukum Islam saja, dan berjihad melawan para penjajah kafir sekaligus mencabut mereka dari akarnya, juga memberantas kaki tangan dan agen kafir yang mengemban kepemimpinan berpikir penjajah dan ideologinya, maupun yang mengembangkan aspek politik dan pemikirannya.

    Mengemban dakwah Islam dan berjuang secara politik di tengah-tengah masyarakat, mengharuskan sebuah hizb (partai) menentukan wilayah gerakannya. Hizbut Tahrir menganggap bahwa masyarakat di seluruh dunia Islam adalah masyarakat yang satu. Karena masalah yang dihadapi oleh mereka adalah sama, yaitu bagaimana kembalinya Islam di tengah-tengah umat. Namun demikian, Hizbut Tahrir telah menentukan titik awal (dakwah)-nya di negeri-negeri Arab, yang merupakan bagian dari negeri-negeri Islam, dan berpendapat bahwa mendirikan Daulah Islam di negeri-negeri Arab merupakan benih unggul bagi Daulah Islam. Hal ini telah menjadi langkah yang wajar.

    WAJIB MENENTANG HADLARAH (PERADABAN) BARAT
    Masyarakat di negeri-negeri Islam sekarang berada pada keadaan politik yang paling buruk, karena pada hakikatnya masih dikuasai dan dijajah oleh negara-negara Barat, walaupun pemerintahannya tampak seakan-akan berdiri sendiri. Mereka tunduk di bawah qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) demokrasi kapitalis, dengan ketundukan yang membabi-buta. Sistem demokrasi diterapkan di tengah-tengah masyarakat, baik dalam aspek pemerintahan maupun politik. Dalam bidang ekonomi diterapkan sistem ekonomi kapitalis; sedangkan di bidang militer bergantung pada negara asing (Barat), baik dari segi pesenjataan, latihan-latihan militer, maupun hal-hal yang menyangkut teknik serta keahlian militer.

    Adapun di bidang politik luar negeri selalu membebek dengan politik penjajah asing. Karena itu, kita dapat menyatakan bahwa negeri-negeri Islam adalah negeri yang belum terbebas dari penjajahan. Memang para penjajah tidak lagi bercokol di negeri-negeri Islam, akan tetapi para penjajah secara de facto masih menguasai bidang militer, politik, ekonomi, kebudayaan, dan mengeksploitasi bangsa-bangsa lemah yang dijajahnya. Mereka menggunakan seluruh kekuasaannya untuk memaksakan kepemimpinan ideologinya dan memantapkan segenap pandangannya dalam kehidupan politik.

    Bentuk penjajahan itu berbeda-beda, termasuk diantaranya adalah penggabungan negeri-negeri yang dikalahkan dalam peperangan menjadi bagian dari wilayah negeri-negeri penjajah, dan membangun kolonikoloni baru; begitu pula membentuk pemerintahan yang dikatakan merdeka, padahal kenyataanya tunduk di bawah negara-negara penjajah. Hal ini merupakan kenyataan yang terjadi dan menimpa negeri-negeri Islam. Secara keseluruhan negeri-negeri Islam ini tunduk di bawah pengaruh dan kekuasaan Barat. Dalam bidang kebudayaan negeri-negeri Islam selalu berjalan sesuai dengan apa yang telah diprogramkan para penjajah Barat. Walaupun ia tunduk di bawah kekuasaan dan pengaruh penjajah Barat, tetapi pada waktu yang bersamaan negerinegeri Islam juga menjadi sasaran ekspansi Uni Soviet pada saat itu.

    Hal itu dilakukan melalui para agen kaki tangannya yang menanamkan pemikiran sosialisme kepada masyarakat. Mereka ingin menjadikan ideologi tersebut sebagai qiyadah fikriyah dan pandangan hidup masyarakat, dengan cara mendakwahkan mabda sosialisme. Karena itu, negeri-negeri Islam telah menjadi jajahan negara-negara Barat dan obyek permainan kepemimpinan ideologi asing. Negeri-negeri Islam juga menjadi incaran Uni Soviet saat itu, dan menjadi sasaran untuk diperangi dan dikuasai. Bahkah tidak sekadar menjajah, mereka juga menguasai dan mengubah negerinegeri Islam menjadi negeri-negeri komunis; juga mengubah masyarakatnya secara keseluruhan manjadi masyarakat komunis, sekaligus membasmi segala peninggalan yang berbau Islam.

    Hanya saja dengan runtuhnya Uni Soviet, lenyap pula semua itu, meskipun masih terdapat sebagian partai yang menyerupai partai komunis di negeri Islam, tapi tidak memiliki pengaruh. Maka dari itu, melakukan aktivitas politik untuk melawan penjajahan saat ini merupakan keharusan. Hal ini dilakukan untuk memerangi kepemimpinan ideologi asing dan senantiasa mewaspadai bahaya serangan asing yang ditujukan ke negeri-negeri Islam. Mengemban dakwah secara benar dilakukan dengan melawan bahaya kepemimpinan berfikir asing. Karena itu, perlawanan terhadap penjajahan asing wajib dijadikan sebagai hirju az-zawiyah (sudut pandang perspektif) dalam perjuangan politik.

    Perjuangan politik mengharuskan tidak adanya permintaan bantuan kepada negara-negara asing manapun, dalam bentuk dan jenis apapun. Setiap upaya meminta bantuan politik kepada negara asing manapun dan setiap propaganda untuk mereka, merupakan pengkhianatan terhadap umat. Begitu pula wajib menggalang kekuatan dunia Islam dengan penggalangan yang bersih (bebas dari ketergantungan asing, penj.), sehingga mampu menjadi kekuatan global, yang memiliki ciri yang khas, sekaligus menjadi masyarakat yang bermartabat mulia. Kekuatan inilah yang akan merebut kembali peranan dan kendali dari dua kekuatan militer (Barat dan Timur), untuk menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh dunia dan memimpin dunia secara keseluruhan. Perjuangan politik juga mengharuskan adanya penentangan terhadap sistem kehidupan, undangundang dan peraturan Barat, serta segala bentuk ketetapan penjajah. Wajib pula menolak seluruh programprogram dan rencana yang telah dibuat Barat, terutama yang dilakukan oleh Inggris dan Amerika, baik programprogram teknik dan keuangan dalam berbagai bentuknya, ataupun rencana politik dengan berbagai macamnya.

    Begitu pula wajib menentang hadlarah (peradaban) Barat secara mutlak. Hal ini tidak berarti menghilangkan segala macam bentuk madaniah (produk sains dan teknologi, penj.), karena madaniyah dapat diambil apabila hal itu merupakan hasil sains dan teknologi. Wajib pula mencabut al-qiyadah al-fikriyah (kepemimpinan berfikir) asing dari akar-akarnya. Juga wajib membuang tsaqafah asing apabila hal ini bertentangan dengan pandangan hidup Islam, kecuali Ilmu Pengetahuan (sains), karena sains bersifat universal. Sains bahkan perlu diambil dari manapun, karena sains merupakan salah satu sebab dari sebab-sebab kemajuan materi dalam kehidupan. Perjuangan politik mengharuskan kita mengetahui bahwa para penjajah barat, terutama Inggris dan Amerika, selalu memberikan dukungan di negeri jajahan, kepada kaki-tangannya dari kelompok statusquo, kelompok propagandis, dan kelompok yang berkuasa untuk mempropagandakan kebijakan politiknya dan kepemimpinan ideologinya. Dengan cepat mereka menawarkan bantuan kepada agen-agennya di berbagai negeri untuk membendung harakah (gerakan) Islam. Mereka membantu dengan harta dan bantuan lainnya, disamping menggunakan seluruh kekuatan yang diperlukan untuk memberantas harakah Islam.

    Para penjajah beserta para kaki-tangannya membentuk dan menyebarluaskan panji-panji dan propaganda untuk menentang gerakan pembebasan Islam, dan melontarkan bermacam-macam tuduhan, antara lain: harakah tersebut adalah upahan para penjajah yang selalu menyulut kerusuhan di dalam negeri dan berusaha menghimpun serta mengajak seluruh dunia untuk melawan kaum Muslim; bahwa gerakan tersebut juga bertentangan dengan Islam; serta tuduhan-tuduhan lain yang serupa. Berdasarkan hal ini para pengemban dakwah harus menyadari strategi politik penjajah dengan berbagai caranya, sehingga mereka dapat mengungkap rencanarencana penjajah, baik di dalam maupun di luar negeri pada waktunya.

    Karena membongkar rencana penjajah merupakan salah satu sisi penting dari bentuk perjuangan politik. Atas dasar inilah Hizbut Tahrir melakukan aktivitas untuk membebaskan dunia Islam dari bentuk penjajahan secara keseluruhan. Hizbut Tahrir “memerangi” penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi; tidak hanya menuntut agar penjajah keluar dari negeri-negeri Islam, dan tidak hanya menuntut kemerdekaan yang semu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki mencabut keadaan yang diciptakan oleh penjajah kafir dari akar-akarnya, yaitu dengan membebaskan negeri-negeri Islam, lembaga-lembaga pendidikan, dan pemikiran umat dari berbagai pengaruh dan bentuk penjajahan; baik itu penjajahan militer, ideologi, kebudayaan, ekonomi, dan sebagainya.

    Hizbut Tahrir juga “memerangi” siapa saja yang membela berbagai bentuk penjajahan, hingga berhasil melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan kembali Daulah Islam, yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia secara total. Hanya kepada Allah kami memohon dan hanya kepada-Nya kami berdo’a, semoga Dia berkenan mengulurkan pertolongan-Nya kepada kami dalam mengemban tugas besar ini. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.


    HIZBUT TAHRIR
    Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Bercita-cita untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Islam, yang akan menerapkan sistem Islam serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Hizbut Tahrir juga telah mempersiapkan tsaqafah khusus untuk gerakan, berupa hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hizbut Tahrir menyerukan Islam sebagai qiyadah fikriyah (kepemimpinan berfikir), yang melahirkan peraturan-peraturan, yang dapat memecahkan berbagai problematika manusia secara keseluruhan, baik itu problematika dalam bidang politik, ekonomi, budaya, kemasyarakatan dan lainlain. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang merekrut anggota dari kalangan laki-laki dan perempuan. Hizbut Tahrir menyerukan Islam kepada seluruh lapisan masyarakat, agar mereka terikat dan mengambil mafahim (ide-ide) dan sistem Islam. Hizbut Tahrir memandang mereka dengan pandangan Islam, walaupun mereka terdiri dari berbagai suku dan madzhab. Hizbut Tahrir melakukan interaksi perjuangan bersama-sama umat untuk meraih apa yang dicita-citakannya. Hizbut Tahrir menentang penjajahan dalam segala bentuk dan istilahnya, untuk membebaskan umat dari qiyadah fikriyah penjajah, dan mencabut dari akar-akarnya; baik aspek budaya, politik, militer, ekonomi, dan sebagainya, dari tanah negeri kaum Muslim. Hizbut Tahrir berjuang mengubah mafahim (ide-ide) yang telah tercemari oleh penjajah, yang membatasi Islam hanya pada aspek ibadah dan akhlak semata. 


    _______________
    1. Harta rampasan perang
    2. Pendapatan negara dari tanah/lahan di daerah taklukan 
    3. Mempelajari hukum-hukum Islam
    4. Kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu muslim
    5. Kewajiban yang dibebankan kepada kaum Muslim secara kolektif 

    6. Ekspedisi pasukan kecil yang dikirim Rasulullah saw.
    7. Kepemimpinan umat yang di dasarkan pada pemikiran
    8. Orang kafir yang memerangi kaum Muslim
    9. Mengikuti hasil ijtihad para Mujtahid (tidak berijtihad sediri)

    Terkait :

    0 komentar


    0 komentar:

    Posting Komentar

    Artikel Arsitektur dan Konstruksi

     

    Bersama Belajar Islam | Pondok OmaSAE: Bersama mengkaji warisan Rasulullah saw | # - # | Pondok OmaSAE : Belajar Agama via online


    Didukung oleh: Suwur - Tenda SUWUR - OmaSae - Blogger - JayaSteel - Air Minum Isi Ulang - TAS Omasae - Furniture - Rumah Suwur - Bengkel Las -