NEGARA KHILAFAH
Buku ini Dikeluarkan dan Diadopsi oleh Hizbut Tahrir Sekaligus Merevisi Semua Isi Buku yang Bertentangan dengannya.
(Pemerintahan dan Administrasi)
HIZBUT TAHRIR INDONESIA
2008
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KTD)
Hizbut Tahrir
Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi)/Hizbut Tahrir; Penerjemah, Yahya A.R; Penyunting, Tim HTI-Press. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2006
293 hlm; 20,5 cm
Judul Asli: Ajhizatu ad-Daulah al-Khilâfah
ISBN 979-97293-4-3
Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi)
I. Judul. II. Yahya A.R. III. Tim HTI-Press
Judul Asli: Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah
Penerbit: Dar al-Ummah
Pengarang: Hizbut Tahrir
Cetakan I, Tahun 1426 H/2005 M
Edisi Indonesia
Penerjemah: Yahya A.R.
Penyunting: Tim HTI-Press
Penata Letak: Sholihan
Desain Sampul: Rian
Penerbit: HTI-Press
Gedung Anakida Lt.7
Jl. Prof. Soepomo No.27
Tebet, Jakarta Selatan
Telp. 021-8353254
Cetakan 1, Juni 2006
Cetakan 2, Maret 2007
Cetakan 3, Januari 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Segala pujian milik Allah. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasulullah saw.; kepada keluarga, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti Beliau.
Allah SWT berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Siapa saja yang tetap kafir sesudah janji itu maka mereka itulah orang-orang yanf fasik. (TQS an-Nur [24]: 55).
Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Di tengah-tengah kalian terdapat masa Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan yang zalim yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan diktator yang menyengsarakan, yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Selanjutnya akan muncul kembali masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian.” Setelah itu Beliau diam. (HR Ahmad).
Sesungguhnya kami, di Hizbut Tahrir, senantiasa mengimani janji Allah SWT dan membenarkan kabar gembira yang disampaikan oleh Rasulullah saw. di atas. Kami selalu berjuang bersama-sama umat Islam untuk wujudkan janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah saw. ini, yakni mewujudkan kembali Khilafah dalam wujud yang baru. Kami sangat meyakini terwujudnya kembali Khilafah itu seraya memohon kepada Allah SWT, semoga Dia memuliakan kami dengan tegaknya Khilafah; agar kami dapat menjadi tentaranya; agar kami mampu meninggikan râyah (bendera)-nya dengan baik dan di atas kebaikan; dan agar kami—dengan Khilafah itu—bisa beralih dari satu kemenangan ke kemenangan yang lain. Allah Mahakuasa atas semua itu.
Kami sangat senang karena dalam buku ini kami bisa mengisinya dengan struktur pemerintahan dan administrasi di dalam Daulah Khilafah dengan pengungkapan yang jelas, mudah dipahami, dan bersifat praktis. Lebih dari itu, isi buku ini dihasilkan dari penggalian hukum (istinbâth) dan penelusuran dalil (istidlâl) yang sahih, yang mampu menenteramkan hati dan menyinari dada.
Yang mendorong kami menyusun buku ini adalah adanya kenyataan bahwa berbagai sistem pemerintahan yang ada di dunia saat ini sangat jauh dari sistem pemerintahan Islam, baik dari segi bentuk maupun isinya. Dari segi isinya, hal itu sangat jelas bagi kaum Muslim, yakni bahwa semua sistem pemerintahan kontemporer saat ini tidak diambil dari al-Quran dan Sunnah Nabi-Nya serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya. Sistemsistem yang ada saat ini bertentangan dengan sistem Islam. Kenyataan ini dapat diindera dan diraba oleh kaum Muslim; mereka tidak berbeda pendapat dalam hal ini.
Akan tetapi, yang mungkin menimbulkan kebingungan dalam diri kaum Muslim adalah dugaan mereka, bahwa sistem pemerintahan dalam Islam dilihat dari segi strukturnya tidak berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan kontemporer. Karena itu, mereka tidak melihat adanya keberatan jika di dalam sistem Islam itu terdapat kabinet, para menteri, dan semisalnya, dengan realita dan wewenang sebagaimana yang ada dalam sistem pemerintahan yang ada saat ini. Karena itu pula, dalam buku ini kami berketetapan hati untuk memfokuskan pembahasan pada struktur pemerintahan dalam Daulah Khilafah. Dengan begitu, bentuk struktur Daulah Khilafah itu dapat dipahami di dalam benak kaum Muslim, sebelum—dengan izin Allah—terwujud secara nyata di depan mata.
Kami juga telah mencantumkan pembahasan mengenai Ar-Râyah (Panji) dan al-Liwâ’ (Bendera) Daulah Khilafah. Sebetulnya masih terdapat beberapa perkara penting lainnya yang tidak kami cantumkan di dalam buku ini, tetapi akan kami umumkan pada waktunya nanti, yakni pada saat kami nanti mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan perkara-perkara tersebut dalam suplemen buku ini, atas izin Allah. Perkara-perkara tersebut adalah: tatacara pemilihan Khalifah, penentuan redaksi baiat, penentuan wewenang amir sementara dalam kondisi Khalifah berada dalam tawanan yang memiliki kemungkinan bebas atau dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas, pengorganisasian kepolisian wilayah (propinsi) dari segi implementasi dan administrasi, penentuan kepolisian wanita dalam direktorat keamanan dalam negeri, tatacara pemilihan Majelis Wilayah (Majelis Propinsi) dan Majelis Umat, serta penggunaan slogan resmi negara. Kami telah menunjukkan perkara-perkara tersebut di dalam buku ini.
Kita memohon kepada Allah, semoga Dia segera menolong kita, melimpahkan karunia-Nya kepada kita, dan memuliakan kita dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Semoga dengan itu umat ini kembali menjadi umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Semoga dengan itu pula Daulah Islam kembali menjadi negara adidaya di dunia, yang menyebarkan kebaikan di segala penjurunya dan menebarkan keadilan di segala sisinya. Pada hari itu kaum Mukmin akan bergembira karena pertolongan Allah dan dengan semua itu Allah akan mengobati dada-dada kaum Mukmin.
Seruan kami yang terakhir, segala pujian hanya milik Allah SWT, Tuhan alam semesta. []
...
Allah SWT berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Siapa saja yang tetap kafir sesudah janji itu maka mereka itulah orang-orang yanf fasik. (TQS an-Nur [24]: 55).
Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Di tengah-tengah kalian terdapat masa Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan yang zalim yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan diktator yang menyengsarakan, yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Selanjutnya akan muncul kembali masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian.” Setelah itu Beliau diam. (HR Ahmad).
Sesungguhnya kami, di Hizbut Tahrir, senantiasa mengimani janji Allah SWT dan membenarkan kabar gembira yang disampaikan oleh Rasulullah saw. di atas. Kami selalu berjuang bersama-sama umat Islam untuk wujudkan janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah saw. ini, yakni mewujudkan kembali Khilafah dalam wujud yang baru. Kami sangat meyakini terwujudnya kembali Khilafah itu seraya memohon kepada Allah SWT, semoga Dia memuliakan kami dengan tegaknya Khilafah; agar kami dapat menjadi tentaranya; agar kami mampu meninggikan râyah (bendera)-nya dengan baik dan di atas kebaikan; dan agar kami—dengan Khilafah itu—bisa beralih dari satu kemenangan ke kemenangan yang lain. Allah Mahakuasa atas semua itu.
Kami sangat senang karena dalam buku ini kami bisa mengisinya dengan struktur pemerintahan dan administrasi di dalam Daulah Khilafah dengan pengungkapan yang jelas, mudah dipahami, dan bersifat praktis. Lebih dari itu, isi buku ini dihasilkan dari penggalian hukum (istinbâth) dan penelusuran dalil (istidlâl) yang sahih, yang mampu menenteramkan hati dan menyinari dada.
Yang mendorong kami menyusun buku ini adalah adanya kenyataan bahwa berbagai sistem pemerintahan yang ada di dunia saat ini sangat jauh dari sistem pemerintahan Islam, baik dari segi bentuk maupun isinya. Dari segi isinya, hal itu sangat jelas bagi kaum Muslim, yakni bahwa semua sistem pemerintahan kontemporer saat ini tidak diambil dari al-Quran dan Sunnah Nabi-Nya serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya. Sistemsistem yang ada saat ini bertentangan dengan sistem Islam. Kenyataan ini dapat diindera dan diraba oleh kaum Muslim; mereka tidak berbeda pendapat dalam hal ini.
Akan tetapi, yang mungkin menimbulkan kebingungan dalam diri kaum Muslim adalah dugaan mereka, bahwa sistem pemerintahan dalam Islam dilihat dari segi strukturnya tidak berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan kontemporer. Karena itu, mereka tidak melihat adanya keberatan jika di dalam sistem Islam itu terdapat kabinet, para menteri, dan semisalnya, dengan realita dan wewenang sebagaimana yang ada dalam sistem pemerintahan yang ada saat ini. Karena itu pula, dalam buku ini kami berketetapan hati untuk memfokuskan pembahasan pada struktur pemerintahan dalam Daulah Khilafah. Dengan begitu, bentuk struktur Daulah Khilafah itu dapat dipahami di dalam benak kaum Muslim, sebelum—dengan izin Allah—terwujud secara nyata di depan mata.
Kami juga telah mencantumkan pembahasan mengenai Ar-Râyah (Panji) dan al-Liwâ’ (Bendera) Daulah Khilafah. Sebetulnya masih terdapat beberapa perkara penting lainnya yang tidak kami cantumkan di dalam buku ini, tetapi akan kami umumkan pada waktunya nanti, yakni pada saat kami nanti mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan perkara-perkara tersebut dalam suplemen buku ini, atas izin Allah. Perkara-perkara tersebut adalah: tatacara pemilihan Khalifah, penentuan redaksi baiat, penentuan wewenang amir sementara dalam kondisi Khalifah berada dalam tawanan yang memiliki kemungkinan bebas atau dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas, pengorganisasian kepolisian wilayah (propinsi) dari segi implementasi dan administrasi, penentuan kepolisian wanita dalam direktorat keamanan dalam negeri, tatacara pemilihan Majelis Wilayah (Majelis Propinsi) dan Majelis Umat, serta penggunaan slogan resmi negara. Kami telah menunjukkan perkara-perkara tersebut di dalam buku ini.
Kita memohon kepada Allah, semoga Dia segera menolong kita, melimpahkan karunia-Nya kepada kita, dan memuliakan kita dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Semoga dengan itu umat ini kembali menjadi umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Semoga dengan itu pula Daulah Islam kembali menjadi negara adidaya di dunia, yang menyebarkan kebaikan di segala penjurunya dan menebarkan keadilan di segala sisinya. Pada hari itu kaum Mukmin akan bergembira karena pertolongan Allah dan dengan semua itu Allah akan mengobati dada-dada kaum Mukmin.
Seruan kami yang terakhir, segala pujian hanya milik Allah SWT, Tuhan alam semesta. []
...
Pendahuluan
Sebelum mulai merinci struktur Daulah Khilafah, terlebih dulu harus disebutkan beberapa perkara berikut:
Pertama: Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.
Dalil dari al-Kitab di antaranya bahwa Allah SWT telah berfirman menyeru Rasul saw.:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 48).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 49).
Seruan Allah SWT kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat Beliau.
Mafhûm-nya adalah hendaknya kaum Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. Apalagi penegakan hukum-hukum hudûd dan seluruh ketentuan hukum syariah adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib. Dalam hal ini, penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.
Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah apa yang pernah diriwayatkan dari Nafi’. Ia berkata: Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah. (HR Muslim).
Nabi saw. telah mewajibkan kepada setiap Muslim agar di pundaknya terdapat baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati, yang di pundaknya tidak terdapat baiat, sebagai orang yang mati seperti kematian Jahiliah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw. kecuali kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Hadis tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap Muslim, yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap Muslim. Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. (HR Muslim).
Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abi Hazim yang berkata: Aku mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengar ia menyampaikan hadis dari Nabi saw. yang bersabda:
“Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam hadis-hadis ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah (perisai) atau wiqâyah (pelindung). Sifat yang diberikan oleh Rasul saw. bahwa Imam adalah perisai merupakan ikhbâr (pemberitahuan) yang mengandung pujian terhadap eksistensi seorang imam/khalifah. Ikhbâr ini merupakan tuntutan karena ikhbâr dari Allah dan Rasul saw., jika mengandung celaan, merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan; jika mengandung pujian, merupakan tuntutan untuk melakukan. Jika aktivitas yang dituntut itu pelaksanaannya memiliki konsekuensi terhadap tegaknya hukum syariah atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syariah, maka tuntutan itu bersifat tegas. Dalam hadis ini juga terdapat pemberitahuan, bahwa orang yang mengurus kaum Muslim adalah para khalifah, yang berarti, hadis ini merupakan tuntutan untuk mengangkat khalifah. Apalagi Rasul saw. telah memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para khalifah dan memerangi siapa saja yang hendak merebut jabatan dalam kekhalifahannya. Perintah Rasul saw. ini berarti perintah untuk mengangkat khalifah sekaligus menjaga eksistensi kekhalifahannya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebut kekuasaannya. Imam Muslim telah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah serta telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Lalu jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher (bunuhlah) orang itu. (HR Muslim).
Dengan demikian, perintah untuk menaati Imam/Khalifah merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah untuk memerangi siapa saja yang hendak merebut kekuasaan Khalifah menjadi qarînah (indikasi) yang tegas mengenai keharusan untuk mewujudkan hanya seorang khalifah saja.
Adapun dalil berupa Ijmak Sahabat maka para Sahabat— semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat atas keharusan mengangkat seorang khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw. setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, lalu Umar bin al-Khaththab, sepeninggal Abu Bakar, dan kemudian Utsman bin Affan. Sesungguhnya tampak jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap kewajiban pengangkatan khalifah dari sikap mereka yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat Beliau wafat. Mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah (pengganti) Beliau, padahal menguburkan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para Sahabat, yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw. dan menguburnya, ternyata sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah dan menunda pemakaman jenazah Beliau; sebagian yang lain membiarkan penundaan itu; mereka sama-sama ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw. sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu menguburkan jenazah Rasulullah saw. Rasul saw. wafat pada waktu dhuha hari Senin dan belum dikuburkan selama malam Selasa hingga Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikuburkan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi, penguburan jenazah Rasul saw. itu ditunda selama dua malam, dan Abu Bakar dibaiat terlebih dulu sebelum penguburan jenazah Rasul saw. Dengan demikian, realitas tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang menunjukkan keharusan untuk lebih menyibukkan diri dalam mengangkat khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib daripada memakamkan jenazah. Para Sahabat seluruhnya juga telah berijmak sepanjang kehidupan mereka mengenai kewajiban mengangkat khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas kewajiban mengangkat khalifah, baik ketika Rasul saw. wafat maupun saat Khulafaur Rasyidin wafat. Walhasil, Ijmak Sahabat ini merupakan dalil yang jelas dan kuat atas kewajiban mengangkat khalifah.
Kedua: Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undang-undangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Hal ini karena:
Adapun dalam Islam, kewenangan untuk melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada Allah. Tidak seorang pun selain Allah dibenarkan menentukan halal dan haram. Dalam Islam, menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar. Allah SWT berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka telah menjadikan para pembesar mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (TQS at-Taubah [9]: 31).
Ketika turun ayat di atas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum, karena mereka telah menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu masyarakat menaati mereka. Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Sebagaimana penjelasan Rasulullah saw. ketika menjelaskan maksud ayat tersebut. Penjelasan Rasul tersebut menunjukkan betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram, selain Allah. Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin Hatim yang berkata: Aku pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” Lalu aku mendengar Beliau membaca al-Quran surat at-Taubah ayat 31 (yang artinya): Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Nabi saw. kemudian bersabda, “Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu. Akan tetapi, ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka pun menghalalkannya, dan jika para pembesar dan para rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).
Pemerintahan dalam Islam juga tidak dengan model kabinet, yang mana setiap departemen memiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaran yang terpisah satu sama lain; ada yang lebih banyak dan ada yang lebih sedikit. Keuntungan satu departemen tidak akan ditransfer ke departemen lain kecuali dengan mekanisme yang panjang. Hal ini mengakibatkan banyaknya hambatan untuk mengatasi berbagai kepentingan rakyat, karena banyaknya intervensi dari beberapa departemen hanya untuk mengurus satu kemaslahatan rakyat saja. Padahal seharusnya berbagai kemaslahatan rakyat itu dapat ditangani oleh satu struktur administrasi saja. Dalam sistem republik, pemerintahan didistribusikan di antara departemen yang disatukan dalam kabinet yang memegang kekuasaan secara kolektif. Dalam Islam tidak terdapat departemen yang memiliki kekuasaan pemerintahan secara keseluruhan (menurut bentuk demokrasi). Akan tetapi, Khalifah dibaiat oleh umat untuk memerintah mereka menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Khalifah berhak menunjuk para Mu‘âwin (Wazîr at-Tafwîdh) untuk membantunya mengemban tanggung jawab kekhilafahan. Mereka adalah para Wazîr—dalam makna bahasa—yaitu para pembantu (Mu‘âwin) Khalifah dalam masalah-masalah yang ditentukan oleh Khalifah.
Ringkasnya, demokrasi adalah sistem kufur. Bukan karena demokrasi berbicara tentang pemilihan penguasa, sehingga hal itu bukan masalah yang mendasar. Tetapi perkara yang mendasar dalam demokrasi adalah menjadikan kewenangan membuat hukum berada di tangan manusia, bukan pada Allah, Tuhan alam semesta. Padahal Allah SWT berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ
Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. (TQS Yusuf [12]: 40).
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Terdapat banyak dalil (selain ayat-ayat di atas, peny.) yang saling mendukung, yang sudah diketahui bersama, yang menyatakan bahwa kewenangan menetapkan hukum adalah milik Allah SWT.
Apalagi demokrasi juga menetapkan kebebasan pribadi (personal freedom), yang menjadikan laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa memperhatikan halal dan haram. Demokrasi juga menetapkan kebebasan beragama (freedom of religion), di antaranya berupa kebebasan untuk murtad dan berpindah-pindah agama tanpa ikatan. Demokrasi juga menetapkan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), yang menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan berbagai sarana sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat (freedom of opinion), bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq, tetapi kebebasan dalam mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian yang ada di tengah-tengah umat. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang berani menyerang Islam di bawah slogan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari para pakar opini yang sering disebut sebagai para pahlawan.
Atas dasar ini, sistem pemerintahan Islam (Khilafah) bukan sistem kerajaan, bukan imperium, bukan federasi, bukan republik, dan bukan pula sistem demokrasi sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Ketiga: Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islam di sana. Struktur negara Khilafah adalah struktur yang telah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat.
Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur negara itu, jelaslah bahwa struktur negara Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasinya adalah sebagai berikut:
Kami akan merinci struktur tersebut beserta dalil-dalilnya pada bab-bab selanjutnya. Kami memohon kepada Allah SWT, semoga Allah memuliakan kita dengan pertolongan-Nya; semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mendirikan Khilafah Rasyidah untuk kedua kalinya, yang akan memuliakan Islam dan kaum Muslim, menghinakan kekufuran dan orang-orang kafir, serta menyebarkan kebaikan di seluruh penjuru dunia.
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (TQS ath-Thalaq [65]: 3).
Allah sajalah yang layak dimintai pertolongan dan hanya kepada-Nya tempat bertawakal. []
Pertama: Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan. Dalil-dalil yang menunjukkan kenyataan ini sangat banyak, diambil dari al-Kitab, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat.
Dalil dari al-Kitab di antaranya bahwa Allah SWT telah berfirman menyeru Rasul saw.:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 48).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 49).
Seruan Allah SWT kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat Beliau.
Mafhûm-nya adalah hendaknya kaum Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. Apalagi penegakan hukum-hukum hudûd dan seluruh ketentuan hukum syariah adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib. Dalam hal ini, penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.
Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah apa yang pernah diriwayatkan dari Nafi’. Ia berkata: Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah. (HR Muslim).
Nabi saw. telah mewajibkan kepada setiap Muslim agar di pundaknya terdapat baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati, yang di pundaknya tidak terdapat baiat, sebagai orang yang mati seperti kematian Jahiliah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw. kecuali kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Hadis tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap Muslim, yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap Muslim. Imam Muslim menuturkan riwayat dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. (HR Muslim).
Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abi Hazim yang berkata: Aku mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengar ia menyampaikan hadis dari Nabi saw. yang bersabda:
“Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam hadis-hadis ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah (perisai) atau wiqâyah (pelindung). Sifat yang diberikan oleh Rasul saw. bahwa Imam adalah perisai merupakan ikhbâr (pemberitahuan) yang mengandung pujian terhadap eksistensi seorang imam/khalifah. Ikhbâr ini merupakan tuntutan karena ikhbâr dari Allah dan Rasul saw., jika mengandung celaan, merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan; jika mengandung pujian, merupakan tuntutan untuk melakukan. Jika aktivitas yang dituntut itu pelaksanaannya memiliki konsekuensi terhadap tegaknya hukum syariah atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syariah, maka tuntutan itu bersifat tegas. Dalam hadis ini juga terdapat pemberitahuan, bahwa orang yang mengurus kaum Muslim adalah para khalifah, yang berarti, hadis ini merupakan tuntutan untuk mengangkat khalifah. Apalagi Rasul saw. telah memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para khalifah dan memerangi siapa saja yang hendak merebut jabatan dalam kekhalifahannya. Perintah Rasul saw. ini berarti perintah untuk mengangkat khalifah sekaligus menjaga eksistensi kekhalifahannya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebut kekuasaannya. Imam Muslim telah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah serta telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Lalu jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher (bunuhlah) orang itu. (HR Muslim).
Dengan demikian, perintah untuk menaati Imam/Khalifah merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah untuk memerangi siapa saja yang hendak merebut kekuasaan Khalifah menjadi qarînah (indikasi) yang tegas mengenai keharusan untuk mewujudkan hanya seorang khalifah saja.
Adapun dalil berupa Ijmak Sahabat maka para Sahabat— semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat atas keharusan mengangkat seorang khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw. setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, lalu Umar bin al-Khaththab, sepeninggal Abu Bakar, dan kemudian Utsman bin Affan. Sesungguhnya tampak jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap kewajiban pengangkatan khalifah dari sikap mereka yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat Beliau wafat. Mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah (pengganti) Beliau, padahal menguburkan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para Sahabat, yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw. dan menguburnya, ternyata sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah dan menunda pemakaman jenazah Beliau; sebagian yang lain membiarkan penundaan itu; mereka sama-sama ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw. sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu menguburkan jenazah Rasulullah saw. Rasul saw. wafat pada waktu dhuha hari Senin dan belum dikuburkan selama malam Selasa hingga Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikuburkan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi, penguburan jenazah Rasul saw. itu ditunda selama dua malam, dan Abu Bakar dibaiat terlebih dulu sebelum penguburan jenazah Rasul saw. Dengan demikian, realitas tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang menunjukkan keharusan untuk lebih menyibukkan diri dalam mengangkat khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib daripada memakamkan jenazah. Para Sahabat seluruhnya juga telah berijmak sepanjang kehidupan mereka mengenai kewajiban mengangkat khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas kewajiban mengangkat khalifah, baik ketika Rasul saw. wafat maupun saat Khulafaur Rasyidin wafat. Walhasil, Ijmak Sahabat ini merupakan dalil yang jelas dan kuat atas kewajiban mengangkat khalifah.
Kedua: Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undang-undangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini. Hal ini karena:
Sistem Pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan.
Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga tidak menyerupai sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan. Umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi, baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat khalifah. Sistem kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat. Hal itu menjadikan raja berada di atas undang-undang dan menjadikannya simbol bagi rakyat, yakni ia menjabat sebagai raja tetapi tidak memerintah, seperti yang ada dalam beberapa sistem kerajaan. Atau ia menduduki jabatan raja sekaligus memerintah untuk mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya, sebagaimana yang ada dalam beberapa sistem kerajaan yang lain. Raja tetap tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, Khalifah tidak diberi kekhususan dengan keistimewaan yang menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja. Khalifah juga tidak diberi kekhususan dengan hak-hak khusus yang mengistimewakannya—di hadapan pengadilan—dari individu-individu umat. Khalifah juga bukanlah simbol umat dalam pengertian seperti raja dalam sistem kerajaan. Akan tetapi, Khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat.
Sistem Pemerintahan Islam juga bukan sistem
imperium (kekaisaran). Sebab, sesungguhnya sistem imperium itu sangat jauh dari Islam. Berbagai wilayah yang diperintah oleh Islam—meskipun penduduknya berbeda-beda suku dan warna kulitnya, yang semuanya kembali ke satu pusat— tidak diperintah dengan sistem imperium, tetapi dengan sistem yang bertolak belakang dengan sistem imperium. Sebab, sistem imperium tidak menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam imperium. Akan tetapi, sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerintahan pusat imperium; baik dalam hal pemerintahan, harta, maupun perekonomian.Metode Islam dalam memerintah adalah menyamakan seluruh orang yang diperintah di seluruh wilayah negara. Islam menolak berbagai sentimen primordial (‘ashbiyât al-jinsiyyah). Islam memberikan berbagai hak pelayanan dan kewajiban-kewajiban kepada non-Muslim yang memiliki kewarganegaraan sesuai dengan hukum syariah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muslim secara adil. Bahkan lebih dari itu, Islam tidak menetapkan bagi seorang pun di antara rakyat di hadapan pengadilan—apapun mazhabnya—sejumlah hak istimewa yang tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang Muslim. Sistem pemerintahan Islam, dengan adanya kesetaraan ini, jelas berbeda dari imperium. Dengan sistem demikian, Islam tidak menjadikan berbagai wilayah kekuasaan dalam negara sebagai wilayah jajahan, bukan sebagai wilayah yang dieksploitasi, dan bukan pula sebagai “sapi perah” yang diperas untuk kepentingan pusat saja. Akan tetapi, Islam menjadikan semua wilayah kekuasaan negara sebagai satu-kesatuan meskipun jaraknya saling berjauhan dan penduduknya berbeda-beda suku. Semua wilayah dianggap sebagai bagian integral dari tubuh negara. Seluruh penduduk wilayah memiliki hak seperti penduduk pusat atau wilayah lainnya. Islam menetapkan kekuasaan, sistem, dan peraturan pemerintahan adalah satu untuk semua wilayah.
Sistem Pemerintahan Islam bukan sistem federasi.
Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain dengan memiliki kemerdekaan sendiri, dan mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Dalam sistem pemerintahan Islam, Marokes di barat dan Khurasan di timur dinilai sebagaimana Propinsi al-Fiyum jika ibukota negaranya di Kairo. Keuangan seluruh wilayah (propinsi) dianggap sebagai satu-kesatuan dan APBN-nya juga satu, yang dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang propinsinya. Seandainya suatu propinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka propinsi itu dibiayai sesuai dengan kebutuhannya, bukan menurut pemasukannya. Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi kebutuhannya maka hal itu tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan biaya dari APBN sesuai dengan kebutuhan propinsi itu, baik pemasukannya mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.Sistem Pemerintahan Islam bukan sistem republik.
Sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki). Sebab, raja memiliki kedaulatan dan kekuasaan sehingga ia memerintah dan bertindak atas negeri dan penduduk sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Rajalah yang menetapkan undang-undang menurut keinginannya. Lalu datanglah sistem republik, kemudian kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan demokrasi. Rakyatlah yang kemudian membuat undang-undang; yang menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela. Lalu pemerintahan berada di tangan presiden dan para menterinya dalam sistem republik presidentil dan di tangan kabinet dalam sistem republik parlementer. (Contoh mengenai pemerintahan di tangan kabinet ada di dalam sistem monarki yang kekuasaan pemerintahannya dicabut dari tangan raja; ia hanya menjadi simbol: ia menjabat raja, tetapi tidak memerintah).Adapun dalam Islam, kewenangan untuk melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada Allah. Tidak seorang pun selain Allah dibenarkan menentukan halal dan haram. Dalam Islam, menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar. Allah SWT berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka telah menjadikan para pembesar mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (TQS at-Taubah [9]: 31).
Ketika turun ayat di atas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum, karena mereka telah menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu masyarakat menaati mereka. Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Sebagaimana penjelasan Rasulullah saw. ketika menjelaskan maksud ayat tersebut. Penjelasan Rasul tersebut menunjukkan betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram, selain Allah. Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan hadis dari jalan Adi bin Hatim yang berkata: Aku pernah datang kepada Nabi saw., sementara di leherku bergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!” Lalu aku mendengar Beliau membaca al-Quran surat at-Taubah ayat 31 (yang artinya): Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Nabi saw. kemudian bersabda, “Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu. Akan tetapi, ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka pun menghalalkannya, dan jika para pembesar dan para rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).
Pemerintahan dalam Islam juga tidak dengan model kabinet, yang mana setiap departemen memiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaran yang terpisah satu sama lain; ada yang lebih banyak dan ada yang lebih sedikit. Keuntungan satu departemen tidak akan ditransfer ke departemen lain kecuali dengan mekanisme yang panjang. Hal ini mengakibatkan banyaknya hambatan untuk mengatasi berbagai kepentingan rakyat, karena banyaknya intervensi dari beberapa departemen hanya untuk mengurus satu kemaslahatan rakyat saja. Padahal seharusnya berbagai kemaslahatan rakyat itu dapat ditangani oleh satu struktur administrasi saja. Dalam sistem republik, pemerintahan didistribusikan di antara departemen yang disatukan dalam kabinet yang memegang kekuasaan secara kolektif. Dalam Islam tidak terdapat departemen yang memiliki kekuasaan pemerintahan secara keseluruhan (menurut bentuk demokrasi). Akan tetapi, Khalifah dibaiat oleh umat untuk memerintah mereka menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Khalifah berhak menunjuk para Mu‘âwin (Wazîr at-Tafwîdh) untuk membantunya mengemban tanggung jawab kekhilafahan. Mereka adalah para Wazîr—dalam makna bahasa—yaitu para pembantu (Mu‘âwin) Khalifah dalam masalah-masalah yang ditentukan oleh Khalifah.
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi, baik dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum—menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela—ada di tangan rakyat, maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan hukum-hukum syariah dengan dalih kebebasan. Orang-orang kafir memahami betul bahwa kaum Muslim tidak akan pernah menerima demokrasi dengan pengertiannya yang hakiki itu. Karena itu, negara-negara kafir penjajah (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di negeri-negeri kaum Muslim. Mereka berupaya memasukkan demokrasi itu ke tengah-tengah kaum Muslim melalui upaya penyesatan (tadhlîl), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa. Anda bisa melihat, mereka mampu menghancurkan perasaan kaum Muslim dengan seruan demokrasi itu, dengan memfokuskan diri pada seruan demokrasi sebagai pemilihan penguasa. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran yang menyesatkan kepada kaum Muslim, yakni seakan-akan perkara yang paling mendasar dalam demokrasi adalah pemilihan penguasa. Karena negeri-negeri kaum Muslim saat ini sedang ditimpa penindasan, kezaliman, pembungkaman, dan tindakan represif penguasa diktator, baik mereka berada dalam sistem yang disebut kerajaan ataupun republlik. Sekali lagi kami katakan, karena negeri-negeri Islam mengalami semua kesengsaraan tersebut, maka kaum kafir dengan mudah memasarkan demokrasi di negeri-negeri kaum Muslim sebagai aktivitas memilih penguasa. Mereka berupaya menutupi dan menyembunyikan bagian mendasar dari demokrasi itu sendiri, yaitu tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta menetapkan halal dan haram berada di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan manusia. Bahkan sebagian aktivis Islam, termasuk di antaranya adalah para syaikh (guru besar), mengambil tipuan itu; baik dengan niat yang baik maupun buruk. Jika Anda bertanya kepada mereka tentang demokrasi, mereka menjawab bahwa demokrasi hukumnya boleh dengan anggapan, demokrasi adalah memilih penguasa. Adapun mereka yang memiliki niat buruk berupaya menutupi, menyembunyikan, dan menjauhkan pengertian hakiki demokrasi sebagaimana yang ditetapkan oleh penggagas demokrasi itu sendiri. Menurut mereka, demokrasi bermakna: kedaulatan ada di tangan rakyat—yang berwenang membuat hukum sesuai dengan kehendak mereka berdasarkan suara mayoritas, menghalalkan dan mengharamkan, serta menetapkan status terpuji dan tercela; individu memiliki kebebasan dalam segala perilakunya—bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, bebas meminum khamr, berzina, murtad, serta mencela dan mencaci hal-hal yang disucikan dengan dalih demokrasi dan kebebasan individual. Inilah hakikat demokrasi. Inilah realita, makna, dan pengertian demokrasi. Lalu bagaimana bisa seorang Muslim yang mengimani Islam mengatakan bahwa demokrasi hukumnya boleh atau bahwa demokrasi itu berasal dari Islam?
Adapun masalah umat memilih penguasa atau memilih Khalifah, hal itu merupakan perkara yang telah dinyatakan di dalam nash-nash syariah. Kedaulatan di dalam Islam ada di tangan syariah. Akan tetapi, baiat dari rakyat kepada Khalifah merupakan syarat mendasar agar seseorang menjadi khalifah. Sungguh, pemilihan Khalifah telah dilaksanakan secara praktis di dalam Islam pada saat seluruh dunia masih hidup dalam kegelapan, kediktatoran, dan kezaliman para raja. Siapa yang mendalami tatacara pemilihan Khulafaur Rasyidin—Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; semoga Allah meridhai mereka—maka ia akan dapat melihat dengan jelas bagaimana dulu telah sempurnanya pembaiatan kepada para khalifah itu oleh ahl al-halli wa al-‘aqdi dan para wakil kaum Muslim. Dengan baiat itu, masing-masing dari mereka menjadi khalifah yang ditaati oleh kaum Muslim. Abdurrahman bin Auf, yang kala itu telah diangkat menjadi wakil atas sepengetahuan mereka yang menjadi representasi pendapat kaum Muslim (mereka adalah penduduk Madinah), telah berkeliling di tengah-tengah mereka; ia bertanya kapada si anu dan si anu, mendatangi rumah ini dan itu, serta menanyai laki-laki dan perempuan untuk melihat siapa di antara para calon khalifah yang ada, yang mereka pilih untuk menduduki jabatan khalifah. Pada akhirnya, pendapat orang-orang mantap ditujukan kepada Utsman bin Affan, lalu dilangsungkanlah baiat secara sempurna kepadanya.
Ringkasnya, demokrasi adalah sistem kufur. Bukan karena demokrasi berbicara tentang pemilihan penguasa, sehingga hal itu bukan masalah yang mendasar. Tetapi perkara yang mendasar dalam demokrasi adalah menjadikan kewenangan membuat hukum berada di tangan manusia, bukan pada Allah, Tuhan alam semesta. Padahal Allah SWT berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ
Menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. (TQS Yusuf [12]: 40).
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Terdapat banyak dalil (selain ayat-ayat di atas, peny.) yang saling mendukung, yang sudah diketahui bersama, yang menyatakan bahwa kewenangan menetapkan hukum adalah milik Allah SWT.
Apalagi demokrasi juga menetapkan kebebasan pribadi (personal freedom), yang menjadikan laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa memperhatikan halal dan haram. Demokrasi juga menetapkan kebebasan beragama (freedom of religion), di antaranya berupa kebebasan untuk murtad dan berpindah-pindah agama tanpa ikatan. Demokrasi juga menetapkan kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), yang menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan berbagai sarana sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat (freedom of opinion), bukan kebebasan dalam mengatakan yang haq, tetapi kebebasan dalam mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian yang ada di tengah-tengah umat. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang berani menyerang Islam di bawah slogan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari para pakar opini yang sering disebut sebagai para pahlawan.
Atas dasar ini, sistem pemerintahan Islam (Khilafah) bukan sistem kerajaan, bukan imperium, bukan federasi, bukan republik, dan bukan pula sistem demokrasi sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Ketiga: Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah setelah Beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islam di sana. Struktur negara Khilafah adalah struktur yang telah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat.
Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur negara itu, jelaslah bahwa struktur negara Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasinya adalah sebagai berikut:
1. Khalifah.
2. Para Mu’âwin at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh).
3. Wuzarâ’ at-Tanfîdz.
4. Para Wali.
5. Amîr al-Jihâd.
6. Keamanan Dalam Negeri,
7. Urusan Luar Negeri.
8. Industri.
9. Peradilan.
10. Mashâlih an-Nâs (Kemaslahatan Umum).
11. Baitul Mal.
12. Lembaga Informasi.
13. Majelis Umat (Syûrâ dan Muhâsabah).
Kami akan merinci struktur tersebut beserta dalil-dalilnya pada bab-bab selanjutnya. Kami memohon kepada Allah SWT, semoga Allah memuliakan kita dengan pertolongan-Nya; semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mendirikan Khilafah Rasyidah untuk kedua kalinya, yang akan memuliakan Islam dan kaum Muslim, menghinakan kekufuran dan orang-orang kafir, serta menyebarkan kebaikan di seluruh penjuru dunia.
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (TQS ath-Thalaq [65]: 3).
Allah sajalah yang layak dimintai pertolongan dan hanya kepada-Nya tempat bertawakal. []
14 Dzul Hijjah 1425 H
24 Januari 2005 M
STRUKTUR NEGARA KHILAFAH
(Dalam Pemerintahan dan Administrasi)
1. Khalifah
Gelar
Syarat-syarat Khalifah
Syarat In‘iqâd Khilafah:
Syarat-syarat Keutamaan
Metode Pengangkatan Khalifah
Prosedur Praktis Pengangkatan dan Pembaiatan Khalifah
Amir Sementara
Pembatasan Jumlah Calon Khalifah
Tatacara Baiat
Kesatuan Khilafah
Wewenang Khalifah
Khalifah Terikat dengan Hukum Syariah dalam Melegislasi Hukum
Negara Khilafah: Negara Manusiawi, Bukan Negara Teokrasi
Masa Kepemimpinan Khalifah
Pemecatan Khalifah
Batas Waktu Pengangkatan Khalifah
2. Mu‘âwin at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh)
Syarat-syarat Mu‘âwin at-Tafwîdh
Tugas Mu‘âwin at-Tafwîdh
Pengangkatan dan Pemecatan Mu‘âwin
3. Wuzârâ’ at-Tanfîdz
4. Wali
Khalifah Wajib Mengontrol Tugas-Tugas Para Wali
5. Al-Jihâd
1. Pasukan.
2. Keamanan dalam Negeri.
3. Perindustrian.
4. Hubungan Internasional.
5 Amirul Jihad – Departemen Perang (Pasukan)
Klasifikasi Pasukan
Khalifah adalah Panglima Pasukan
6 Keamanan Dalam Negeri
Tugas-tugas Departemen Keamanan Dalam Negeri
7 Urusan Luar Negeri
8 Perindustrian
9 Peradilan
Macam-macam Qâdhî
Pengangkatan Qâdhî
Gaji Para Qâdhî
Pembentukan Mahkamah
Al-Muhtasib
Wewenang al-Muhtasib
Qâdhî Mazhâlim
Pengangkatan dan Pemberhentian Qâdhî Mazhâlim
Wewenang Qâdhî Mazhâlim
Akad, Muamalah, dan Perkara-perkara Sebelum Berdirinya Khilafah
10 Struktur Administratif (Kemaslahatan Umum)
Struktur Administratif Merupakan Teknis Administrasi,
bukan Pemerintahan
Strategi Pengaturan Departemen
Yang Boleh Menjadi Pegawai Struktur Administratif
11 Baitul Mal
12 Penerangan
Pendaftaran Media Informasi
Strategi Pengaturan Informasi oleh Negara
13 Majelis Umat (Musyawarah dan Kontrol)
Hak Syura
Kewajiban Muhâsabah
Pemilihan Anggota Majelis Umat
Tatacara Pemilihan Anggota Majelis Umat
Keanggotaan Majelis Umat
Masa Keanggotaan Majelis Umat
Wewenang Majelis Umat
Hak Berbicara dan Menyampaikan Pendapat Tanpa Ada Keberatan Apapun
Bendera dan Panji Negara
Slogan (Nasyid) Daulah Khilafah
Salah Satu Pahala Yang Tidak Pernah Terputus Adalah Ilmu Yang Bermanfaat
Selengkapnya tentang ajhizah-ad-daulah (STRUKTUR NEGARA KHILAFAH) dan daftar isi klik disini.
0 komentar:
Posting Komentar