Buletin Kaffah, No. 112-26 Shafar 1441 H/25
Oktober 2019 M
KETAATAN
DAN SIKAP KRITIS KEPADA PENGUASA
Rasulullah saw. pernah berpesan agar kaum Muslim
senantiasa berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Tentu
termasuk sunnah yang berkaitan dengan pemerintahan.
Di antara teladan Khulafaur Rasyidin
yang mungkin segera terlintas sekarang ini adalah pidato yang disampaikan oleh
Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq ra. selepas pelantikan beliau sebagai khalifah. Sebagaimana
dituturkan oleh Anas bin Malik, selepas dibaiat dengan baiat umum, Khalifah Abu
Bakar ash-Shidiq ra. berpidato. Pertama-tama, beliau melantunkan pujian kepada Allah
SWT, lalu berkata: “Aku telah diangkat sebagai
pemimpin kalian, sementara aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Jika aku
berbuat baik maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk maka luruskan aku.
Kejujuran adalah amanah, sedangkan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah
di tengah kalian adalah kuat di sisiku sampai aku mengembalikan haknya, insya’a
Allah…Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku.
Berdirilah kalian untuk shalat. Semoga Allah merahmati kalian.” (Imam
ath-Thabari, Târîkh ath-Thabarî).
Dalam pidato singkat ini terkandung ibrah
(pelajaran) yang sangat dalam. Di dalamnya tampak sekali kesadaran dan
ketawadhuan seorang Abu Bakar ash-Shidiq ra. Meski tidak ada seorang pun yang
tidak mengakui keutamaan dan keistimewaan beliau di sisi Rasul saw., tetap
beliau mengucap, “Padahal aku bukanlah orang terbaik dari kalian.”
Kesadaran ini mesti dimiliki oleh
penguasa dan pemimpin. Ini merupakan kesadaran bahwa meski secara faktual diakui
sebagai sosok terbaik, seorang penguasa atau pemimpin tetaplah manusia biasa,
bukan seperti seorang rasul yang maksum/bebas dari kesalahan. Sebagai manusia
biasa, dia tetaplah punya potensi untuk berbuat salah. Apalagi kekuasaan
termasuk godaan besar bagi manusia, yang bisa mendorong pemegangnya untuk
berlaku korup bahkan lalim dan diktator.
Pemimpin dan penguasa dengan
kesadaran seperti itu tidak akan memposisikan diri sebagai junjungan rakyat.
Sebaliknya, akan mudah bagi dirinya untuk memposisikan diri sebagaimana yang
dinyatakan di dalam riwayat Abu Nu’aim, yakni bahwa pemimpin satu kaum adalah
pelayan mereka.
Dengan kesadaran itu pula, pemimpin
dan penguasa itu tidak akan menganggap dirinya selalu benar. Sebaliknya, dia
sadar betul mungkin saja berbuat buruk dan salah. Kesadaran demikian nsicaya
melahirkan sikap yang tampak dalam ucapan Abu Bakar ash-Shidiq selanjutnya, “Jika aku berbuat baik maka tolonglah aku. Jika
aku berbuat buruk maka luruskan aku.”
Kesadaran dan pernyataan demikian
akan menjauhkan dukungan yang membabi buta dari para pendukung. Pemimpin dengan
kesadaran ini justru akan mendorong para pendukungnya untuk tetap bersikap
kritis kepada dirinya. Dengan kesadaran itu, tidak akan muncul sikap menikmati,
membenarkan apalagi memfasilitasi bahkan membuat pasukan buzzers untuk
membela dan mendukung apapun kebijakan dan tindakannya sekalipun dengan membuat
dan menyebarkan hoax.
Pemimpin dan penguasa dengan
kesadaran ini tidak menjadi sosok yang anti kritik. Sebaliknya, dia akan membuka
diri terhadap nasihat, kritik dan koreksi hingga yang pedas dan keras sekalipun.
Pasalnya, dia sadar bahwa nasihat, kritik dan koreksi itulah yang justru
menjadi kebaikan bagi dirinya di dunia dan akhirat kelak. Sebaiknya, puja-puji
dan dukungan serta pembelaan buta dari para pendukungnya sebenarnya merupakan
keburukan bagi dirinya dan akan mendatangkan kebinasaan khususnya di akhirat
kelak.
Pemimpin dan penguasa yang memiliki
kesadaran itu akan benar-benar merasa gembira, bukan pura-pura, ketika ada di
antara rakyat yang mau menyampaikan nasihat, kritik dan koreksi kepada dirinya.
Dia akan merasa sedih dengan kondisi sebaliknya. Seperti itulah sikap Khalifah
Umar bin al-Khaththab ra.
Diriwayatkan dari Musa bin Abi Isa: “Khalifah
Umar bin al-Khaththab pernah datang ke tempat minum Bani Haritsah. Lalu dia
melihat Muhammad bin Maslamah. Khalifah Umar berkata kepada dia, “Bagaimana engkau
melihatku?” Dia berkata, “Aku melihatmu seperti yang aku sukai dan seperti yang
wajib bagimu, yakni kebaikan. Aku melihatmu kuat atas pengumpulan harta, bersih
darinya dan adil dalam pembagiannya. Andai engkau menyimpang, niscaya aku akan
meluruskan engkau seperti anak panah diluruskan di ats-tsaqaf.”
Khalifah Umar lalu berkata, “Segala
pujian hanya milik Allah yang telah menjadikan aku berada di tengah kaum yang
jika aku melenceng, mereka akan meluruskan aku.” (Adz-Dzahabi, Târîkh al-Islâm wa Wafiyâtu al-Masyâhir wa
al-A’lâm, IV/114).
Rasulullah saw. telah memberitakan
bahwa akan ada para pemimpin hingga imam/khalifah yang di antara mereka
melakukan kemakrufan dan yang melakukan kemungkaran. Bahkan mereka berpotensi melakukan
kemakrufan maupun kemungkaran. Rasul saw. sekaligus memberikan tuntunan
bagaimana rakyat mesti bersikap kepada pemimpin/penguasa seperti itu:
«إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ
عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ
أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ... »
Sungguh akan diangkat atas kalian para pemimpin,
sementara kalian mengetahui (kemakrufannya) dan mengingkari (kemungkarannya). Siapa
yang membenci (kemungkarannya), dia bebas. Siapa yang mengingkari
(kemungkarannya), dia selamat. Akan tetapi, siapa yang ridha dan mengikuti
(kemungkarannya) (tidak selamat)...” (HR Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Mengomentari
hadis di atas, Imam an-Nawawi dalam Syarh
Shahîh Muslim menjelaskan: yakni siapa yang membenci
kemungkaran itu maka dia terbebas dari dosa dan sanksinya. Ini bagi orang yang
tidak mampu mengingkari kemungkaran penguasa dengan tangannya dan tidak pula
dengan lisannya…Wa lakin man radhiya wa
tâba’a bermakna: Akan tetapi, dosa dan sanksi itu atas orang yang ridha dan
mengikuti (kemungkarannya). Di sini ada dalil bahwa orang yang tidak mampu
menghilangkan kemungkaran, ia tidak berdosa semata karena diam, melainkan dia
berdosa karena ridha terhadap kemungkarannya atau tidak membenci kemungkarannya
dengan hatinya, atau dengan mengikutinya.
Ketika
kemungkaran tampak dari pemimpin atau penguasa maka rakyat wajib mengingkari
penguasa tersebut sekaligus menasihati dan mengoreksi dirinya. Tentu hal itu tidak dilakukan
berdasarkan suka dan tidak suka, like and dislike, tetapi berdasarkan
standar bahwa itu merupakan kemungkaran/ menyalahi hukum-hukum syariah.
Nasihat/kritik (muhasabah)
kepada penguasa itu juga bukan karena atau demi kepentingan dunia, melainkan
karena kepentingan akhirat, yakni melaksanakan kewajiban dari Allah SWT.
Sekalipun demikian, muhasabah kepada penguasa itu akan memberikan
kebaikan di dunia. Sebab dengan itu, masyarakat bisa terhindar dari keburukan
akibat kemungkaran penguasanya.
Ketika pemimpin atau penguasa itu
melakukan kemungkaran, artinya dia melakukan kezaliman. Dalam hal yang
demikian, haram mendukung kezaliman itu. Jangankan mendukung, bahkan sekadar
cenderung kepada pelaku kezaliman saja haram dan konsekuensinya sangat berat.
Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا
لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ تُنصَرُونَ
Janganlah
kalian cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api
neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah. Kemudian
kalian tidak akan diberi pertolongan (TQS Hud
[11]: 113).
Pemimpin yang memiliki kesadaran
seperti itu tentu akan mendorong rakyatnya untuk bersikap kritis kepada dirinya.
Dia akan mendorong rakyat untuk mengoreksi dirinya ketika menyimpang dari
syariah. Dia pun akan mendorong rakyat untuk menaati dirinya hanya dalam
kemakrufan, tidak dalam hal yang sebaliknya. Rasul saw. bersabda:
«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ
وَلاَ طَاعَةَ»
Mendengar
dan taat itu wajib bagi seorang Muslim dalam apa yang ia sukai atau tidak dia
sukai selama dia tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Jika diperintahkan
dengan kemaksiatan maka tidak ada kewajiban mendengar maupun taat (HR
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Dengan semua itu, akan ada pemimpin
dan penguasa yang paling baik, yang mencintai dan dicintai oleh rakyat, serta
yang mendoakan dan didoakan oleh rakyat. Pemimpin demikian hanya akan ada
ketika dia seorang Muslim yang bertakwa dan menjalankan syariah Islam secara kaffah
dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Semoga segera terwujud di tengah umat. Amin.
WalLâh
a’lam bi ash-shawâb.
[]
Hikmah:
Rasul saw. bersabda:
« إِنَّهُ سَتَكُوْنُ
بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ
مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ
بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ
وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ »
Sungguh akan
ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan
membantu mereka atas kezaliman mereka maka ia bukan golonganku dan aku pun
bukan golongannya dan ia tidak akan masuk menemaniku di telaga. Sebaliknya,
siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu mereka atas kezaliman
mereka maka ia termasuk golonganku dan aku pun termasuk golongannya dan ia akan
masuk ke telaga bersamaku.”
(HR
an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim). []
0 komentar:
Posting Komentar