Buletin Kaffah, No. 117_02 Rabiul Akhir 1441 H-29
November 2019 M
ISLAM WAJIB DIBELA
Sekularisme,
yang dipraktikkan dan diterapkan oleh negara, sebagaimana di negeri Muslim ini,
terbukti melahirkan banyak kaum fasik dan munafik. Mereka tak hanya menolak
sebagian—bahkan sebagian besar—ajaran agamanya (Islam). Bahkan mereka tak
segan-segan bekerjasama dengan kaum kafir untuk menghancurkan agamanya. Orang
kafir melakukan konspirasi untuk merusak Islam dari luar. Orang munafik
melakukan pendangkalan ideologi kaum Muslim dari dalam.
Salah
satu upaya mereka menghancurkan Islam adalah dengan saling membisikkan kalimat
indah untuk menipu kaum Mukmin. Di antaranya dengan pernyataan: “Allah tak
perlu dibela”, atau “Islam tak perlu dibela, atau “Kemuliaan Allah, Rasul-Nya
dan al-Quran tak akan berkurang meski dinista”, dsb. Kata-kata mereka ini
persis sebagaimana yang Allah SWT isyaratkan dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ
إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Demikianlah Kami telah menjadikan
bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin.
Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu manusia (TQS
al-An’am [6]: 112).
Dengan
dalih “Islam tak perlu dibela”, mereka memprovokasi kaum Mukmin untuk meninggalkan
amar makruf nahi mungkar. Inilah juga yang Allah SWT isyaratkan dalam firman-Nya:
الْمُنَافِقُونَ
وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمَعْرُوفِ
Kaum munafik laki-laki maupun perempuan,
satu sama lain saling memerintahkan yang mungkar dan melarang yang makruf (TQS at-Taubah [9]: 67).
Mereka
bahkan melabeli “radikal” orang Muslim yang berusaha berpegang teguh pada
agamanya, sekaligus berupaya membela agamanya saat dinista. Pada akhirnya,
mereka ini sebenarnya berniat menghancurkan Islam. Allah SWT berfirman:
يُرِيدُونَ
لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ
Mereka
ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah (justru)
menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya (TQS ash-Shaff [61]: 8).
Islam Wajib Dibela
Benarkah
Allah SWT, al-Quran dan Rasul-Nya tak perlu dibela?
Pertama: Pandangan seperti ini bukanlah
pemikiran. Siapapun yang mengatakan demikian. Apakah profesor, doktor, kiai, apalagi
orang awam. Lebih tepat pandangan seperti ini disebut fantasi intelektual.
Fantasi seperti ini tampak seperti logis dan masuk akal, padahal tidak.
Mengapa? Pasalnya, mereka menggabungkan dua hal yang seharusnya dipisahkan
karena memang berbeda konteksnya.
Allah
SWT, Rasul-Nya dan al-Quran memang
mulia. Tak akan berkurang kemuliaannya meski dinista atau direndahkan. Ini
adalah ranah akidah. Ranah keyakinan dan keimanan. Sebaliknya, membela dan
menjaga kesucian Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran adalah ranah amal kita
sebagai Muslim. Karena itu tentu keliru jika keyakinan akan kemuliaan Allah
SWT, Rasul-Nya dan al-Quran malah menghalangi kita untuk menjaga kemuliaan
ketiganya. Justru sebaliknya, keyakinan kita demikian sejatinya mengharuskan
kita berusaha untuk menjaga kemuliaan Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran.
Karena
itu pandangan bahwa “Islam tak perlu dibela” hanyalah fantasi intelektual,
bukan pemikiran karena bertentangan dengan fakta. Cara berpikir seperti ini
juga merupakan cara berpikir kaum Fatalis (Jabariyah). Cara berpikir Fatalis
ini dalam sejarah sering digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk
meninabobokkan rakyat agar mereka menerima saja penindasan yang dilakukan oleh
rezim dengan alasan takdir.
Kedua: Andai saja Allah SWT, al-Quran dan
Rasul-Nya tidak perlu dibela, Allah SWT tentu tidak memerintahkan kita menjadi
pembela-Nya. Padahal Allah SWT tegas menyatakan:
ياَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا أَنْصَارَ اللهِ
Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah (TQS as-Shaf [61]: 14).
Allah
SWT pun memerintahkan kaum Mukmin untuk membela Rasulullah saw.:
إِنَّا
أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
Sungguh Kami telah mengutus kamu
sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan; supaya kalian mengimani
Allah dan Rasul-Nya, sekaligus mendukung dan memuliakannya... (TQS al-Fath [48]: 8-9).
Ketiga: Membela dan menolong agama Allah
adalah “wasilah” agar kita mendapatkan pertolongan-nya. Dengan kata lain, ketika
kita membela agama-Nya, membela kalam-Nya, membela Rasul-Nya, memperjuangkan
syariah-Nya serta membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya, maka Allah
akan menolong kita. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang beriman, jika kalian
menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan
kedudukan kalian (TQS
Muhammad [47]: 7).
Ibn
Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini dengan ungkapan, “Al-Jaza’
jinsu al-‘amal (Balasan itu sesuai dengan jenis amal yang dilakukan).”
Artinya, ketika kita menolong Allah, Dia pasti akan menolong kita.
Imam
ar-Razi menjelaskan, frasa “In tanshurulLah (jika kalian menolong Allah)”
dalam ayat di atas bermakna menolong agama-Nya, memperjuangkan tegaknya syariah-Nya
dan membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya.
Lebih
jauh Imam as-Sa’di menjelaskan makna ayat di atas: “Ini merupakan perintah dari
Allah kepada kaum Mukmin agar membela Allah dengan menjalankan agamanya,
mendakwahkannya dan berjihad melawan musuhnya. Semua itu bertujuan untuk
mengharap ridha Allah. Jika mereka melakukan semua itu, Allah akan menolong
mereka dan mengokohkan kedudukan mereka.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 785)
Keempat: Andai Allah tidak perlu dibela,
tidak akan pernah ada “Awliya’ AlLah” (para wali/kekasih Allah). Adanya “Awliya’
AlLah” merupakan konsekuensi dari adanya para penolong agama Allah. Di
dalam al-Quran mereka disebut “Awliya’ AlLah” (wali/kekasih Allah)
karena mereka membela agama Allah. Ketika mereka menjadi “Awliya’ AlLah”
maka Allah pun menjadi Wali (Penolong/Kekasih) mereka. Ketika Allah menjadi
Wali mereka (QS al-Baqarah [2]: 257 dan QS an-Nisa’ [4]: 45], karena mereka
telah menjadi “Awliya’ AlLah”, maka mereka pun tidak lagi mempunyai rasa
takut dan sedih sedikitpun. Inilah yang Allah SWT tegaskan:
أَلآ إِنَّ
أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Ingatlah,
sungguh para wali/kekasih Allah itu tidak ada rasa takut sedikit pun pada diri
mereka dan mereka pun tidak bersedih hati (TQS
Yunus [10]: 62).
Karena
itu para ulama, sebut saja Imam Abu Nu’aim, dalam kitabnya, Hilyah al-Awliya’
dan al-Hafidz Ibn al-Jauzi, dalam kitabnya, Shifah as-Shafwah, memaparkan
para penolong dan pembela Allah itu, mulai dari Nabi Muhammad saw., para
sahabat, tabi’in, atba’ tabiin dan generasi setelah mereka yang
berjuang membela agama-Nya. Mereka yang membela agama Allah itulah para “Awliya’
AlLah”.
Kelima: Andai saja Allah dan agama-Nya
tidak perlu dibela, maka Nabi Muhammad saw. tidak perlu bersusah payah
berdakwah di Makkah hingga berdarah-darah. Beliau pun tidak perlu berperang
bersama para sahabatnya melawan kaum kafir lebih dari 79 kali, 27 kali di
antaranya langsung dipimpin oleh beliau.
Begitu
juga sejarah dakwah, perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh generasi
berikutnya, baik yang di bawah kepemimpinan Khalifah, maupun bukan. Semua itu adalah
bukti bahwa para “Awliya’ AlLah” itu selalu ada. Mereka berjuang untuk
membela Allah SWT, agama dan kehormatannya.
Karena
itulah ketika seorang wanita Muslimah, kehormatannya dinista oleh Yahudi Bani
Qainuqa’, Nabi saw. yang mulia mengumumkan perang kepada mereka. Ketika
kehormatan seorang wanita Muslimah dinistakan oleh kaum Kristen Romawi, dia
menjerit, “Wa Mu’tashimah (Wahai Mu’tashim, tolonglah!)”, pasukan
Khalifah al-Mu’tashim pun segera meluluhlantakkan mereka, hingga Amuriah, kota
mereka, berhasil ditaklukkan. Ketika kehormatan Nabi Muhammad saw. dinista,
Sultan ‘Abdul Hamid II, segera memperingatkan Inggris untuk menghentikan
pementasan drama yang menista kemuliaan beliau. Jika tidak, Khilafah ‘Ustmani
akan melumat Inggris.
Semuanya
itu bukti, bahwa “Awliya’ AlLah” selalu ada untuk membela, menjaga dan
memperjuangkan kemuliaan agama-Nya.
Namun
demikian, al-Quran juga mencatat bahwa selain “Awliya’ AlLah”, juga
adalah “Awliya’ asy-Syaithan (wali/kekasih/pembela setan)”. Mereka
inilah orang yang menghalangi, merusak dan menghancurkan agama-Nya. Mereka menghalangi
dan memerangi orang yang berjuang menegakkan agama-Nya. Mereka inilah wali
setan dan setan menjadi wali mereka. Mereka inilah yang bakal merugi. Allah SWT
berfirman:
وَمَنْ
يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Siapa
saja yang menjadikan setan sebagai wali (kekasih) selain Allah, dia benar-benar
menderita kerugian yang nyata
(TQS an-Nisa’ [4]: 119).
Jadi,
jelas sudah. Allah SWT, kalam-Nya, agama dan kesuciannya harus dibela, dijaga
dan dilindungi. Ini merupakan kewajiban kita. Karena itu ketika kita menunaikan
kewajiban ini, kita pun layak mendapatkan gelar dari Allah sebagai “Awliya’
AlLah”. Sebaliknya, siapapun yang membiarkan agama ini dinista, bahkan
membela penistanya, maka mau atau tidak, sesungguhnya dia telah menjadi “Awliya’
asy-Syaithan”.
Tinggal
kita memilih yang mana, menjadi “Awliya’ AlLah” atau “Awliya’
as-Syaithan”?! []
Hikmah:
Allah
SWT berfirman:
وَمَنْ
يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ
مِنْ دُونِهِ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا
وَصُمًّا مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
Siapa
saja yang Allah beri hidayah, dia mendapatkan hidayah. Siapa saja yang Allah
sesatkan, dia tidak akan pernah mendapatkan para penolong selain Allah. Kami
akan membangkitkan mereka pada Hari Kiamat dengan wajah mereka tersungkur dalam
keadaan buta, bisu dan tuli. Tempat tinggal mereka adalah neraka Jahanam.
Setiap kali api neraka itu padam, Kami nyalakan lagi untuk mereka.
(TQS
al-Isra’ [17]: 97). []
0 komentar:
Posting Komentar