Buletin Kaffah,
No. 130, 05 Rajab, 1441 H-28 Februari 2020 M
KEPEMIMPINAN
DIKTATOR
Salah
satu peristiwa penting di Tanah Air yang cukup banyak menyita perhatian adalah
pembahasan Omnibus Law. Omnibus
Law adalah semacam UU
‘sapujagat’. Pasalnya, Omnibus Law
menggabungkan beberapa peraturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi
satu peraturan dalam satu payung hukum (UU). Pemerintahan Presiden Jokowi
mengidentifikasi sedikitnya ada 74 UU yang terdampak dari Omnibus Law. Salah satunya, yang paling banyak memicu protes kaum
buruh, adalah sektor ketenagakerjaan, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).
Di sektor ketenagakerjaan, Pemerintah berencana menghapus, mengubah dan
menambah pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan (money.kompas.com, 18/02/2020).
Yang menjadi soal, banyak pengamat
mensinyalir Omnibus Law tak lebih
merupakan UU ‘pesanan’ dari para pengusaha atau para pemilik modal. Faktanya, Omnibus Law ini, oleh banyak pengamat,
disinyalir banyak memberikan kemudahan kepada para pengusaha dan pemilik modal
untuk lebih leluasa menguasai sumber-sumber kekayaan alam negeri ini.
Sebaliknya, Omnibus Law ini tidak
banyak berpihak kepada kesejahteraan rakyat, termasuk para buruh. Misal, dengan
dalih demi kemudahan investasi, ditengarai ada pasal-pasal dalam Omnibus Law
yang menghapus sertifikasi halal dan perda syariah, penghapusan upah minimum,
penghapusan aneka cuti (seperti cuti nikah, haid,
melahirkan, ibadah dan cuti keluarga wafat), penghapusan izin lingkungan dan
amdal, dll.
Lebih
dari itu, Omnibus Law ini dituding
memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada Presiden. Di antaranya, Presiden
berwenang mengubah UU hanya melalui PP (Peraturan Pemerintah). Setelah ketahuan
oleh publik, pasal tentang kewenangan Presiden tersebut diklaim hanya ‘salah
ketik’. Namun demikian, hal itu tidak menutupi kecurigaan bahwa melalui Omnibus Law ini ke depan Presiden akan
makin otoriter. Apalagi pembahasan Omnibus
Law yang menentukan nasib ratusan juta rakyat negeri ini terkesan diam-diam
dan dirahasiakan oleh Pemerintah. Tidak melibatkan publik sama sekali.
Indonesia Dikuasai Cukong?
Jika benar tudingan bahwa Omnibus Law merupakan ‘pesanan’ para
pengusaha dan pemilik modal, maka hal demikian hanya membenarkan pengakuan
Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), baru-baru ini. Intinya dia menyebut
bahwa Indonesia sudah lama dikuasai oleh para pemilik modal (cukong, red.). Ia menyebut pemodal cukup merogoh
ongkos Rp 1 Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia. Menurut
Bamsoet, nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia
politik di Indonesia.
“Semahal-mahalnya Rp 1 Triliun sudah
bisa menguasai partai politik. Ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi
inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan,” ungkapnya, Senin (17/2) di
Jakarta.
Ia pun menerangkan perselingkuhan
penguasa dengan pemilik modal bisa saja mewakili kepentingan asing. Bahkan yang
lebih parah, pemilik modal melalui orang-orangnya bisa mempengaruhi kebijakan
partai politik.
“Jika partai politik dikuasai maka
dia akan menguasai Parlemen. Jika dia kuasai Parlemen maka dia akan kuasai
pasar-pasar dan sumberdaya alam kita. Dialah yang berhak mengusung siapa
pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem
yang kita punya,” tambahnya.
Menurut Bamsoet pula, perselingkuhan
penguasa dengan pemilik modal dan kepentingan asing membuat distribusi keadilan
sosial maupun ekonomi menjadi jomplang.
Akibatnya, hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan, sedangkan
yang lain terpinggirkan (Mediaindonesia.com,
17/02/2020).
Dalam
bahasa yang lebih lugas, Bamsoet seolah ingin mengatakan parpol dan para
pejabat kita sesungguhnya tidak lebih hanya sekadar proxy, boneka dari para pemilik modal. Mereka
adalah orang-orang yang dimodali untuk menjalankan agenda kepentingan para
pemilik modal. Urusannya tidak jauh-jauh dari penguasaan sumberdaya alam dan
ekonomi melalui politik kekuasaan. Salah satunya melalui pembuatan Omnibus Law. Wajar jika Omnibus Law
lebih banyak berpihak kepada para pemilik modal ketimbang pada kepentingan
rakyat banyak.
Diktator Minoritas
Dari paparan singkat di atas, jelas
bahwa sistem demokrasi selama ini hanya melahirkan oligarkhi serta
perselingkuhan penguasa dan pengusaha (para pemilik modal). Dampaknya, demokrasi
sesungguhnya hanya melahirkan diktator minoritas. Mereka adalah sekelompok
kecil penguasa dan para pemilik modal tersebut. Merekalah sejatinya yang
memaksakan pemberlakuan UU dan kebijakan semata-mata untuk memenuhi ambisi dan
kepengtingan mereka. Bukan demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Jauh
sebelum Omnibus Law digagas, sudah
banyak UU yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR yang merugikan rakyat banyak serta
hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pemilik modal. Sebut, misalnya, UU
Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll. Melalui UU semacam inilah, para
pemilik modal swasta dan asing bisa leluasa menguasai kekayaan alam negeri ini
yang notabene milik rakyat, seperti minyak bumi, gas, emas, perak, hutan, lahan
perkebunan, dll.
Isyarat Nabi saw.
Tentang
kepemimpinan diktator, Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
«تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ
أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ
مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا
ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا
إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ
اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ
خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ»
Masa
Kenabian ada di tengah-tengah kalian. Masa itu akan tetap ada selama Allah
berkehendak. Kemudian Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak
mengangkatnya. Lalu akan ada masa Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah. Masa itu
akan tetap ada selama Allah berkehendak. Kemudian Allah mengangkat masa itu
jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada masa kekuasaan ‘yang
menggigit’. Masa itu akan tetap ada selama Allah berkehendak. Kemudian Allah
mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada masa kekuasaan
(diktator). Masa itu akan tetap ada selama Allah berkehendak. Kemudian Allah
mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada lagi masa
Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah.” Kemudian Nabi saw. diam (HR Ahmad).
Berkaitan
dengan kepemimpinan diktator (al-mulk al-jabri) dalam hadis di atas, Syaikh
Hisam al-Badrani menjelaskan bahwa kepemimpinan diktator (al-mulk al-jabri)
bermakna kepemimpinan yang menegakkan hukum-hukum kufur di negeri-negeri kaum Muslim.
Ini jelas sekali didasarkan pada dalalah (pengertian) nas-nas syariah
mengenai definisi al-mulk al-jabri (Al-Badrani, An-Nizham as-Siyasi
Ba’da Hadm al-Khilafah, hlm. 38).
Banyak
Hadis Nabi saw. yang menjelaskan ciri-ciri/sifat-sifat dari kepemimpinan
diktator ini. Di antaranya:
Pertama, tidak mempunyai kapabilitas untuk
memimpin masyarakat banyak. Pemimpin seperti ini oleh Nabi saw. disebut dengan ruwaybidhah.
Kepemimpinan ruwaybidhah ini sangatlah berbahaya dan sangat destruktif
bagi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Pemimpin seperti ini
dapat menjungkirbalikkan segala nilai dan tatanan: orang jujur dikatakan
pembohong, pembohong dikatakan orang jujur; pengkhianat dipercaya, orang yang
bisa dipercaya malah dianggap pengkhianat (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
hadis nomor 4036).
Kedua, tidak mengikuti petunjuk dan
Sunnah Rasulullah saw. Faktanya, pada zaman modern ini, yang dijalankan oleh
pemimpin diktator bukanlah syariah Islam (Sunnah Rasulullah saw.), melainkan
sistem demokrasi-sekular yang berasal dari kaum kafir Barat (Yahudi dan
Nasrani). Kepemimpinan seperti ini disebut oleh Nabi saw. dengan istilah imarah
as-sufaha’ (kepemimpinan orang-orang bodoh). Siapa saja yang mengikuti
kepemimpinan orang-orang bodoh ini, kelak di Akhirat tidak akan diakui Nabi saw.
sebagai umatnya dan tidak akan dibolehkan menjumpai beliau di telaganya (HR
Ahmad, Al-Musnad, 3/111, hadis nomor 14.481).
Ketiga, bertindak kejam dan biadab, bahkan
tidak segan membunuh rakyatnya sendiri jika mereka tidak mau tunduk kepada dirinya.
Pemimpin seperti ini, dalam sebagian atsar dari para Sahabat, disebut
dengan imarah ash-shibyaan (kepemimpinan kanak-kanak), yakni
kepemimpinan dari orang-orang yang belum sempurna akalnya sebagaimana halnya
anak-anak (HR Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, hadis nomor 37546).
Menyikapi
Kepemimpin Diktator
Bagaimana
menyikapi kepemimpin diktator (al-mulk al-jabri) yang mencengkeram dan
menindas umat? Sikap yang tepat di antaranya: Pertama,
menjauhkan diri dari mereka (HR Muslim, hadis nomor 1847).
Kedua, tidak mendengar dan mentaati
mereka. Nabi saw. bersabda:
«عَلَى اْلمرْءِ
المسْلِمِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَ كَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرُ
بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلاَ سَمِعَ وَ لاَ طَاعَةَ»
Orang
Muslim wajib mendengar (pemimpin) dalam hal apa saja yang dia senangi dan dia
benci, kecuali kalau dia diperintah untuk berbuat maksiat. Jika dia diperintah
untuk berbuat maksiat, maka pemimpin tersebut tidak boleh didengar dan ditaati (HR Muslim).
Ketiga, tidak membenarkan kebohongan
mereka dan tidak membantu kezaliman mereka (HR Ahmad, Al-Musnad, 3/111, hadis
nomor 14.481).
Keempat,
melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) serta amar makruf nahi mungkar
terhadap mereka. Sesuai sabda Nabi saw., inilah ‘jihad’ yang paling utama (HR
Abu Dawud, hadis nomor 3781; Ibnu Majah, hadis nomor 4001).
Kelima, berdoa kepada Allah SWT agar
selamat dari kepemimpinan mereka yang zalim dan kejam, sebagaimana doa Nabi saw.
kepada Kaab bin ‘Ujrah dalam hadis tentang imarah as-sufaha’ di atas (HR
Ahmad). []
Hikmah:
Rasulullah
saw. bersabda:
لَا طَاعَةَ
لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak
ada ketaan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
(HR
Ahmad). []
0 komentar:
Posting Komentar