Buletin Kaffah
No. 113, 04 Rabiul Awal 1441 H-1 November 2019 M
MENCINTAI
NABI SAW
Seorang Muslim tentu mencintai Nabi saw. Sebab dalam
Islam, cinta kepada Nabi saw. merupakan keharusan. Kecintaan kepada Nabi saw. merupakan
salah satu pembuktian keimanan seorang Muslim. Kecintaan kepada Nabi saw.
sekaligus merupakan bagian dari bekal yang bisa mengantarkan seorang Muslim untuk
bisa masuk surga bersama-sama dengan beliau di akhirat kelak. Anas bin Malik ra.
menuturkan:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا، قَالَ لِرَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا أَعْدَدْتَ لَهَا؟ قَالَ: حُبَّ اللهِ
وَرَسُولِهِ، قَالَ: «أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ»
Seorang Arab
berkata kepada Rasul saw., “Kapan Hari Kiamat?” Rasulullah saw. balik bertanya
kepada dia, “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapi Hari Kiamat?” Dia
berkata, “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda, “Engkau bersama
dengan yang engkau cintai.” (HR Muslim,
an-Nasa’i, al-Bazzar dan Ibnu Khuzaimah).
Tentu, cinta
yang bisa mengantarkan seseorang untuk bersama-sama Nabi saw. di akhirat kelak
itu bukan sembarang cinta, apalagi cinta dusta, tetapi cinta yang nyata dan
sempurna. Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
Tidak sempurna iman salah seorang
dari kalian sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan
seluruh manusia (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu
Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Para Sahabat senantiasa
berlomba-lomba menunjukkan cinta mereka kepada Rasulullah saw. Mereka biasa
mendahulukan Rasulullah saw. di atas segala urusan dan
kepentingan mereka. Mereka lebih mengutamakan Rasul saw. atas siapapun, termasuk atas saudara
dan kerabat mereka, bahkan atas orangtua mereka sendiri.
Mencintai
Nabi saw., Mencintai Syariah
Siapa saja
bisa mengaku cinta. Namun, tidak sedikit pengakuan cinta yang hanya dalam kata.
Cintanya dusta. Rasulullah saw. bersabda:
«... فَمَنْ
رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»
…Siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan bagian
dariku (HR
al-Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Imam Ibnu
Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H) di dalam Fathu
al-Bârî menjelaskan, “Yang dimaksud dengan as-sunnah adalah ath-tharîqah
(jalan), bukan lawan dari fardhu. Raghbah
‘an asy-syay`i adalah berpaling dari sesuatu kepada yang lain. Yang
dimaksud adalah siapa yang meninggalkan jalanku dan mengambil jalan selainku
maka dia bukan bagian dari golonganku.”
Imam
Badruddin al-‘Ayni (w. 855 H) di dalam ‘Umdah
al-Qârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî juga menyatakan, “Yang
dimaksud as-sunnah adalah ath-tharîqah. Hal itu lebih umum dari
fardhu dan nafilah, yakni mencakup amal dan akidah.”
Dengan
demikian Sunnah Nabi saw. itu adalah jalan dan petunjuk beliau yang mencakup
akidah dan amal, yakni mencakup akidah dan syariah Islam.
Dengan
demikian pernyataan cinta kepada Nabi saw. harus mewujud dalam kecintaan pada
akidah dan syariah Islam. Siapa saja yang tidak suka dengan syariah yang beliau
bawa, apalagi berpaling darinya, maka cintanya kepada Nabi saw. hanyalah cinta
dusta. Siapa yang mengaku cinta kepada Nabi saw., tetapi alergi terhadap
syariahnya, maka cintanya palsu. Siapa yang mengaku cinta kepada Nabi saw.,
tetapi ucapannya merendahkan syariah, tindakan dan kebijakannya terjangkiti
penyakit islamophobia, maka cintanya dusta meski dia biasa memperingati Maulid
Nabi saw. dan mengaku cinta kepada beliau hingga berbusa-busa.
Singkatnya,
rasa cinta kepada Nabi saw. akan menghasilkan kecintaan pada syariahnya.
Kecintaan pada syariahnya tentu akan menghasilkan kerinduan pada penerapan
syariah tersebut. Siapa yang mencintai Nabi saw. tentu tidak akan merasa nyaman
dan tenteram tatkala sunnah beliau—yakni tharîqah, petunjuk dan syariah
yang beliau bawa—ditinggalkan dan dicampakkan. Orang yang mencintai Nabi saw.
tentu tidak akan mencintai siapa saja yang membenci, merendahkan apalagi
memusuhi syariahnya. Mustahil, siapa yang mencintai Nabi saw., pada saat yang
sama, dia juga mencintai orang yang memusuhi Nabi saw.; memusuhi syariah atau
bagian dari syariah.
Cinta Harus
Nyata
Cinta
hakiki kepada Rasulullah saw. sekaligus menjadi bukti cinta kepada Allah SWT. Sebaliknya,
cinta kepada Allah SWT harus dibuktikan dengan mengikuti dan meneladani
Rasulullah saw., yakni dengan mengikuti risalah yang beliau bawa. Itulah syariah
Islam. Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, "Jika kalian
benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS Ali Imran [3]: 31).
Imam
Ibnu Katsir (w. 774 H) di dalam Tafsîr
al-Qurân al-Azhîm (Tafsîr Ibni Katsîr)
menjelaskan ayat ini dengan menyatakan, “Ayat yang mulia ini menetapkan bahwa
siapa saja yang mengklaim cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di
jalan Muhammad saw. (tharîqah
al-Muhammadiyyah), maka ia berdusta sampai ia mengikuti syariah Muhammad
secara keseluruhan.”
Kecintaan
kepada Nabi saw. dalam bentuk kecintaan yang benar dan tulus niscaya
menghasilkan ketaatan kepada beliau. Di dalam penggalan Syair Imam Syafii (w.
204 H) dinyatakan:
لَوْ كانَ حُبُّكَ صَادِقاً لأَطَعْتَهُ
إنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ
يُحِبُّ مُطِيعُ
Andai cintamu benar, niscaya engkau menaatinya
Sungguh
pencinta itu sangat taat kepada yang dicinta
Jadi cinta
yang hakiki akan melahirkan ketaatan. Sebaliknya, ketaatan merupakan bukti
kecintaan. Klaim cinta kepada Nabi saw bisa dinilai dusta jika ternyata selain
Nabi saw. lebih ditaati daripada beliau, petunjuk Nabi saw. diganti oleh petunjuk
selainnya serta hukum-hukum yang beliau bawa ditinggalkan dan diganti dengan hukum-hukum
yang lainnya.
Ketaatan
menunjukkan kecintaan. Kecintaan menunjukkan akan bersama siapa kelak di
akhirat karena Rasul saw. bersabda, “Al-Mar`u
ma’a man ahabba (Seseorang akan bersama orang yang dia cintai).”
Karena itu hendaknya
direnungkan, akankah kita bisa bersama Rasul saw di akhirat kelak jika sistem
republik, trias politika, hukum positif dengan sistem civil law atau common
law, doktrin kedaulatan manusia (rakyat) dan aturan selain Islam lebih
dipilih dan diterapkan?
Kecintaan
kepada Nabi saw. harus dibuktikan dengan ketaatan kepada beliau. Ketaatan
kepada beliau haruslah menyeluruh dalam apa saja yang beliau bawa dan apa saja
yang beliau larang. Allah SWT memerintahkan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja yang Rasul bawa kepada
kalian, ambillah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah
kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukumannya (TQS
al-Hasyr [59]: 7).
Topik pembicaraan ayat ini memang berkenaan dengan
harta ghanîmah dan fay’ (harta rampasan perang). Namun
demikian, sebagaimana penjelasan Imam az-Zamakhsyari (w. 538 H), makna ayat ini
bersifat umum, yakni meliputi semua yang Rasul saw. berikan dan semua yang
beliau larang, termasuk di dalamnya perkara fay’. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/503).
Yang
harus ditaati itu adalah apa saja yang dibawa oleh Rasul saw. dalam perkara apa
saja: perkara spiritual, moral ataupun sosial kemasyarakatan; perkara ibadah,
akhlak, keluarga, harta, ekonomi, hukum, pemerintahan, politik dan semua urusan
masyarakat.
Allah SWT
menegaskan dalam firman-Nya:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ...﴾
Kami tidak mengutus seseorang rasul
melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah... (TQS an-Nisa’ [4]: 64).
Lalu Allah
SWT menegaskan di dalam ayat berikutnya:
﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا﴾
Demi
Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Menjadikan
Rasul saw. sebagai hakim sepeninggal beliau adalah dengan menjadikan
hukum-hukum syariah yang beliau bawa sebagai hukum untuk memutuskan segala
perkara.
Dengan
demikian dua ayat di atas menegaskan bahwa Rasul saw. wajib ditaati dalam
segala hal, termasuk dalam masalah hukum dan urusan sosial kemasyarakatan. Jadi
mereka (manusia) pada hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan hukum syariah
sebagai pemutus atas segala persoalan. Karena itu mereka wajib menerapkan
syariah secara menyeluruh untuk memutuskan segala persoalan yang terjadi di
tengah masyarakat.
Begitulah
cinta hakiki kepada Nabi saw. Cinta kepada Nabi saw. melahirkan pengutamaan beliau
dan syariahnya di atas urusan dan kepentingan sendiri. Cinta kepada Nabi saw.
harus mendorong kita untuk taat pada syariah yang beliau bawa. Cinta kepada
Nabi saw. hendaklah mendorong kita untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah
di tengah-tengah kehidupan.
WalLâh a’lam
bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Siapa saja yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran bagi dirinya, lalu dia mengikuti jalan yang bukan jalan
kaum Mukmin, niscaya Kami membiarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dia kuasai itu dan Kami memasukkan dia ke dalam Neraka Jahanam. Neraka Jahanam
itu seburuk-buruk tempat kembali.
(TQS an-Nisa’ [4]: 115).
0 komentar:
Posting Komentar