Buletin Kaffah, No. 111-19 Shafar 1441 H/18 Oktober 2019 M
AMANAH JABATAN DAN KEKUASAAN
Harap-harap cemas. Itulah barangkali
yang menggelayuti hati dan pikiran sebagian elit politik negeri ini menjelang
pemerintahan baru. Sebagaimana diketahui, pelantikan presiden dan wakil
presiden baru, sekaligus pembentukan kabinet baru, tinggal menghitung hari.
Presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pilpres beberapa waktu lalu—meski
sempat dibayang-bayangi tudingan kecurangan brutal, massif dan
terstruktur—tentu amat berharap pelantikan keduanya tidak menghadapi hambatan
dan gangguan.
Para tokoh dan elit parpol, baik
yang masih menjabat ataupun yang belum menjabat, juga sama-sama berharap. Yang
sedang menjabat berharap besar dapat kembali menjabat. Tidak tergusur dari
pemerintahan. Yang belum menjabat tentu amat berharap kali ini mendapat
jabatan. Karena itu masing-masing parpol dan elitnya saling bermanuver. Yang
awalnya kontra rejim, sekarang berusaha melakukan rekonsiliasi. Tentu demi
jabatan dan kekuasaan. Yang selama ini pro rejim, apalagi merasa sudah
‘berdarah-darah’ berjuang memenangkan Pilpres, tentu tak akan rela begitu saja
tersingkir dari arena rebutan jabatan dan kekuasaan. Masing-masing melakukan
lobi-lobi. Tak peduli harus menjilat sana-sini. Bahkan masing-masing melakukan
berbagai intrik. Tak peduli saling sikut demi sebuah kursi.
Begitulah
realitas politik demokrasi sekular hari ini. Banyak kalangan telah diperbudak
nafsu jabatan dan kekuasaan. Untuk itu mereka sering tak peduli halal-haram,
baik-buruk atau benar-salah. Tak peduli untuk itu mereka harus mengorbankan
idealisme. Bahkan tak peduli untuk itu mereka harus mengorbankan rakyat
kebanyakan. Yang penting jabatan dan kekuasaan ada dalam genggaman.
Beratnya
Amanah Jabatan dan Kekuasaan
Kepemimpinan adalah amanah. Siapa
saja yang memegang amanah kepemimpinan ini pasti akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah SWT di Akhirat kelak. Rasulullah saw. bersabda:
فَاْلإمَامُ رَاعٍ وَ
مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang
imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban
atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hakikat kepemimpinan tercermin dalam
sabda Rasulullah saw.:
سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ
Pemimpin
suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Abu Nu‘aim).
Rasulullah saw. pun bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ
اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ
الْجَنَّةِ
Tidak
seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara urusan rakyat, lalu
dia tidak melingkupi rakyat dengan nasihat (kebaikan), kecuali ia tidak akan
mencium bau surga (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ
فَيَمُوتُ و َهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah
seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia
menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam Fudhail bin Iyadh menuturkan,
“Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah SWT untuk mengurus
urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat.
Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada
dirinya maka dia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga.
Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada
umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak
kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran
itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan
mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan
keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang
telah mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi,
Syarh Shahîh Muslim).
Karena
itu generasi salafush-shalih pada masa lalu umumnya khawatir
bahkan takut dengan amanah kepemimpinan (kekuasaan). Apalagi mereka sangat
memahami sabda Nabi saw.:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ
وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً
Kalian begitu berhasrat atas
kekuasaan, sementara kekuasaan itu pada Hari Kiamat kelak bisa berubah menjadi
penyesalan dan kerugian (HR Nasa’i dan Ahmad).
Anehnya, apa yang peringatkan oleh
Nabi saw. dalam hadis di atas justru dipraktikan dengan sangat sempurna oleh
generasi saat ini. Generasi saat ini rata-rata amat bernafsu atas kekuasaan dan
jabatan. Mereka seolah tak peduli jabatan dan kekuasaan itu akan berubah
menjadi penyelasan dan kerugian bagi mereka pada Hari Kiamat kelak.
Bercermin
pada Kepemimpinan Islam
Islam tidaklah melarang siapapun yang ingin berkuasa.
Islam pun memandang wajar terjadinya pergolakan yang menyertai proses-proses
politik ke arah sana. Masalahnya, bagaimana cara kekuasaan itu didapat, serta
dalam kerangka apa kekuasaan itu diraih?
Pada masa lalu, sejumlah sahabat terkemuka, termasuk Khalifah
Abu Bakar, pada masa kepemimpinannya sepakat mengusulkan Umar bin Khaththab
menggantikan beliau yang sudah sakit-sakitan. Dari segala segi, Umarlah figur
yang pantas untuk menjadi khalifah berikutnya. Namun, bukannya gembira, Umar
malah keras menentang pencalonan dirinya seraya menyatakan apakah mereka semua
akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka? Tentu karena Umar sangat menyadari
bahwa jabatan bukanlah tempat empuk untuk meraup ketenaran, kekuasaan, harta
apalagi wanita. Dalam pandangan Umar, jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di Akhirat kelak. Dengan kata lain,
jabatan sesungguhnya adalah beban, yang bila tidak ditunaikan dengan
sebaik-baiknya, akan membawa pada kehinaan dan penyesalan (hizyun wa nadamah). Jadi bagaimana mungkin ada beban berat yang
akan menindih justru membuat orang bergembira? Dari sinilah bisa dimengerti
mengapa Umar tidak lantas bergembira dan menerima begitu saja tawaran itu.
Bukan kali itu saja Umar ra. menolak jabatan/kekuasaan yang
ditawarkan kepada beliau. Di Saqifah Bani Saidah, ketika kaum Muhajirin dan
Anshar berembug tentang siapa yang akan menjadi pemimpin sepeninggal
Rasulullah, Umar menjagokan Abu Bakar. Sebaliknya, Abu Bakar justru menjagokan
Umar. Alhasil, kedua sahabat mulia ini saling mengunggulkan satu sama lain untuk
menjadi khalifah.
Sejarah pada akhirnya mencatat bahwa Umar bin Khaththab ra.
memang bersedia menerima jabatan khalifah menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq.
Sejarah mencatat pula bahwa Umar benar-benar menjalankan kepemimpinannya dengan
sangat baik. Ia mengerahkan segenap kemampuan, waktu, tenaga dan pikirannya
untuk melaksanakan amanah itu. Ia tidak menjadikan jabatan khalifah untuk
mengeruk keuntungan material. Ia, yang sebelumnya termasuk orang kaya, justru
setelah menjadi khalifah berubah menjadi miskin. Pernah sekali waktu ia agak
terlambat datang ke masjid untuk shalat Jumat karena ia terpaksa harus menunggu
baju yang satu-satunya kering setelah dicuci. Ia juga melarang keluarga dan
karib kerabatnya mengambil keuntungan dari jabatannya itu. Anaknya, Abdullah
bin Umar, ia larang berbisnis karena khawatir orang bertransaksi dengan dia
bukan karena sosok Abdullah sebagai pribadi, tetapi karena dia anak Umar.
Demikianlah Umar bin al-Khaththab ra. yang memimpin umat
Islam dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Namun, dalam waktu yang
singkat itu, beliau berhasil mencapai kemajuan yang luar biasa. Kemakmuran
melingkupi senegap negeri. Keamanan, ketenteraman dan kedamaian dirasakan oleh
seluruh rakyat. Dalam masa kepemimpinan Umar pula, Persia—salah satu adikuasaa pada
waktu itu—berhasil ditaklukkan sekaligus menandai kemunculan Islam sebagai
adikuasa baru berdampingan dengan Romawi.
Merindukan Kepemimpinan Islam
Islam sangat mendorong agar para pemimpin—penguasa
maupun pejabat negara—selalu bersikap adil. Sayang, pemimpin adil tidak mungkin
lahir dari rahim sistem demokrasi sekular yang jauh dari tuntunan Islam. Sistem
zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, tidak amanah dan jauh
dari sifat adil. Pemimpin yang adil hanya mungkin lahir dari rahim sistem yang
juga adil. Itulah sistem Islam yang diterapkan dalam institusi pemerintahan
Islam (Khilafah).
Sejak Rasulullah saw. diutus, tidak
ada masyarakat yang mampu melahirkan para penguasa yang amanah dan adil kecuali
dalam masyarakat yang menerapkan sistem Islam. Kita mengenal Khulafaur Rasyidin
yang terkenal dalam kearifan, keberanian dan ketegasannya dalam membela Islam
dan kaum Muslim. Mereka adalah para negarawan ulung yang sangat dicintai oleh
rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga termasyhur sebagai
pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq adalah sosok penguasa yang terkenal sabar dan lembut. Namun, beliau
juga terkenal sebagai pemimpin yang berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum
Muslim menolak kewajiban zakat, beliau segera memerintahkan kaum Muslim untuk
memerangi mereka. Meskipun pendapatnya sempat disanggah oleh Umar bin
al-Khaththab, beliau tetap bergeming dengan pendapatnya. Stabilitas dan
kewibawaan Negara Islam harus dipertahankan meskipun harus mengambil risiko
perang. Khalifah Umar bin al-Khaththab pun terkenal sebagai penguasa yang tegas
dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya
yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar (Lihat: Târîkh al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).
Tidakkah kita merindukan kembali
kehadiran sistem Islam di tengah-tengah kita yang bisa melahirkan para pemimpin
yang adil dan amanah? []
Hikmah:
Rasulullah
saw. bersabda:
إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ
Sungguh
seburuk-buruk pemimpin adalah al-Huthamah (yang menzalimi rakyatnya dan tidak
menyayangi mereka).
(HR Muslim).
0 komentar:
Posting Komentar