Buletin Kaffah No. 090, 5
Ramadhan 1440 H – 10 Mei 2019 M
MERAIH KEUTAMAAN RAMADHAN
Ramadhan,
bulan yang di dalamnya banyak keutamaan, baru saja kita masuki. Tentu amat
disayangkan jika keutamaan Ramadhan itu tidak bisa kita raih. Karena
itu keberhasilan meraih keutamaan Ramadhan ini
harus kita
upayakan dengan
sungguh-sungguh.
Keberhasilan meraih
keutamaan Ramadhan
setidaknya meliputi: Pertama, keberhasilan
meraih ampunan Allah SWT. Rasul saw. bersabda:
«وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ
ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ»
Sungguh rugi
seseorang yang bertemu dengan Ramadhan, lalu Ramadhan berlalu dari
dirinya sebelum dosa-dosanya diampuni (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
Ampunan Allah SWT pada bulan Ramdhan bisa diraih antara
lain dengan menunaikan puasa sebaik-baiknya, mengetahui batasan-batasannya dan
menjaga diri dari apa saja yang seharusnya dijaga. Rasul saw. pernah bersabda:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَعَرَفَ حُدُوْدَهُ وَتَحَفَّظَ مِمَّا كَانَ
يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَحَفَّظَ فِيهِ كَفَّرَ مَا كَانَ قَبْلَهُ»
Siapa saja yang berpuasa Ramadhan,
mengetahui ketentuan-ketentuannya dan menjaga apa saja yang harus ia jaga selama
Ramadhan, akan dihapus dosa-dosanya yang telah lalu (HR
Ahmad).
Kedua, keberhasilan meraih kebaikan Lailatul Qadar. Rasul saw.
bersabda:
«إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيهِ
لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ
وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلاَّ مَحْرُومٌ»
Sungguh bulan
(Ramadhan) ini telah datang kepada kalian. Di dalamnya ada satu malam yang
lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang tidak mendapatkan (kebaikan)-nya
maka dia tidak mendapat kebaikan seluruhnya. Tidak ada
yang terhalang dari kebaikan
Lailatul Qadar kecuali orang yang bernasib buruk (HR Ibnu Majah).
Dengan menghidupkan Lailatul
Qadar —di antaranya dengan menunaikan
shalat malam di dalamnya—akan diraih keutamaannya sekaligus ampunan Allah SWT di dalamnya.
Rasul saw bersabda:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Siapa saja yang berpuasa Ramadhan karena
iman dan semata-mata mengharap ridha Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu. Siapa saja yang menghidupkan Lailatul Qadar karena iman dan semata-mata mengharap
ridha Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR.
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad).
Kata îmânan wa ihtisâban
dalam hadits tersebut dapat berposisi sebagai hâl yang menjelaskan keadaan subyeknya; bisa juga sebagai maf’ûl lahu (maf’ûl li-ajlih) yang menjelaskan alasan dan tujuannya. Sebagai hâl yakni menjelaskan bahwa orang yang berpuasa dan menghidupkan Lailatul
Qadar itu dalam keadaan mengimani Allah dan apa saja yang wajib diimani,
mengimani kewajiban puasa, meyakini qiyamul layl adalah aktivitas taqarrub
kepada-Nya serta meyakini keutamaan Ramadhan dan aktivitas-aktivitasnya. Ia juga
dalam keadaan muhtasib[an],
yaitu ikhlas karena Allah, semata-mata mencari dan mengharap pahala di
sisi-Nya; bukan mengharap pujian, kekaguman orang dan yang lain.
Adapun sebagai maf’ûl
lahu, menurut Imam ath-Thayibi, îmân[an]
yakni (aktivitas itu dilakukan) karena iman, yaitu pembenaran terhadap apa saja
yang dibawa oleh Nabi saw. dan keyakinan akan wajibnya puasa; dan ihtisâb[an] yakni dilakukan semata-mata
demi meraih pahala dari Allah SWT atau karena ikhlas. Artinya, yang mendorong
aktivitas puasa itu adalah semata-mata karena Allah, untuk meraih pahala-Nya;
bukan karena takut kepada manusia, bukan karena malu kepada mereka, juga bukan
untuk mendapat pujian (sum’ah dan riya’) dari mereka dan yang
lainnya.
Agar keutamaan Ramadhan itu bisa diraih, tentu juga harus
ada upaya untuk meninggalkan segala perkara yang haram atau sia-sia; lebih
khusus lagi meninggalkan apa saja yang membatalkan puasa dan apa saja yang bisa
menggagalkan pahala puasa. Rasul saw. bersabda:
«الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ. وَإِنِ
امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ. وَالَّذِى
نَفْسِى بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ
رِيحِ الْمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى. الصِّيَامُ
لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا»
Puasa itu
perisai. Karena itu janganlah seseorang berkata keji dan jahil. Jika ada
seseorang yang menyerang atau mencaci, katakanlah, “Sungguh aku sedang
berpuasa,” sebanyak dua kali. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, bau
mulut orang berpuasa lebih baik di sisi Allah ketimbang wangi kesturi; ia
meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya demi Diri-Ku. Puasa itu
milik-Ku. Akulah yang membalasnya. Kebaikan (selama bulan puasa)
dilipatgandakan sepuluh kali dari yang semisalnya (HR al-Bukhari).
Ketiga, keberhasilan meraih secara
maksimal keutamaan pahala amal salih yang dilipatgandakan selama bulan Ramadhan, seperti yang Allah SWT janjikan. Karena itu sudah
seharusnya setiap Muslim memperbanyak amal shalih selama Ramadhan. Bentuknya
bisa berupa: tadarus al-Quran; memperbanyak shalat sunnah; membayar zakat dan
meningkatkan sedekah; iktikaf, qiyamul lail, amar makruf nahi mungkar; dan
amal-amal taqarrub lainnya. Namun
demikian, amal shalih yang paling utama di sisi Allah SWT adalah apa saja yang
Dia wajibkan. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah SWT berfirman:
مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِمِثْلِ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ،
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
Tidaklah
hamba-Ku bertaqarub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang
Aku fardhukan atas dirinya. Hamba-Ku terus bertaqarrub kepada-Ku dengan
amal-amal nawafil hingga Aku mencintai dirinya (HR al-Bukhari,
Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Karena itu amal-amal fardhu tentu harus diprioritaskan sebelum amal-amal sunnah. Ibn Hajar
al-‘Ashqalani menyatakan di dalam Fath
al-Bârî, sebagian ulama besar mengatakan, “Siapa saja yang fardhunya lebih
menyibukkan dia dari nâfilah-nya maka
dia dimaafkan. Sebaliknya, siapa yang nâfilah-nya
menyibukkan dia dari amal fardhunya maka dia telah tertipu.”
Keempat, keberhasilan meraih hikmah
pensyariatan puasa, yakni mewujudkan ketakwaan, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian
bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, makna firman
Allah SWT ”la’allakum tattaqûn”,
yakni agar dengan puasa itu Allah
mempersiapkan kalian untuk meraih takwa, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi
larangan-larangan-Nya (Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, I/80).
Takwa bisa dimaknai sebagai kesadaran akal dan jiwa serta pemahaman syar’i atas kewajiban mengambil halal dan haram sebagai standar bagi seluruh
aktivitas, yang diwujudkan
secara praktis
(‘amalî) di dalam
kehidupan.
Takwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidina Ali bin
Abi Thalib ra., adalah: al-khawf min
al-jalîl wa al-‘amalu bi at-tanzîl wa ar-ridhâ bi al-qalîl wa al-isti’dâd li
yawm ar-rahîl (memiliki rasa takut kepada Zat Yang Mahaagung, mengamalkan al-Quran,
ridha dengan yang sedikit dan mempersiapkan bekal untuk (menghadapi) ‘hari penggiringan’
(Hari Kiamat) (Dalil al-Wa’izh ila Adillah al-Mawa’izh, 1/546; Subul
al-Huda wa ar-Rasyad, 1/421).
Al-Khawf min al-Jalîl yakni memiliki rasa takut kepada Allah SWT; takut dari murka dan azab-Nya,
takut dari ketidakridhaan-Nya, dan sebagainya. Rasa takut kepada Allah SWT itu
haruslah melahirkan dua sikap: Pertama,
makin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah yang wajib
dan sunnah, menjalankan perintah-perintah-Nya dan apa saja yang bisa mendekatkan
kepada-Nya dan mendatangkan ridha-Nya. Kedua,
menjauhi apa saja yang bisa mendatangkan kemurkaan, azab dan ketidakridhaan
Allah SWT.
Rasa takut kepada Allah SWT haruslah membuat
orang meyakini seyakin-yakinnya bahwa dia harus berbuat, menjalani hidup dan
mengatur kehidupan sesuai dengan aturan dan hukum yang Dia ridhai; menjauhi
aturan dan hukum mana pun yang datang dari selain-Nya. Rasa takut kepada Allah SWT juga haruslah membuat orang merealisasi al-‘amal
bi at-tanzîl, yakni mengamalkan seluruh isi al-Quran atau menerapkan
semua syariah Islam. Maknanya, selalu terikat dengan syariah Islam dan menjadikan
syariah Islam (halal-haram) sebagai standar ucapan dan perbuatan dalam kehidupan. Dengan kata lain, al-‘amal bi at-tanzîl bermakna melaksanakan dan menerapkan syariah secara kaffah.
Penerapan syariah secara kaffah itu hanya bisa diwujudkan melalui
kekuasaan yang menerapkan sistem Islam yang berasal dari Allah SWT, yang oleh
para ulama berdasarkan nas-nas hadis disebut Al-Khilafah ar-Rasyidah.
Semua itu merupakan persiapan untuk menghadapi
‘hari penggiringan’, yakni Hari Kiamat (isti’dâd[an] li yawm ar-rahîl).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Rasulullah
saw. bersabda:
إِنَّ فِي
الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ...
Di dalam surga itu ada satu pintu yang disebut ‘Ar-Rayyan. Pada Hari
Kiamat nanti orang-orang yang berpuasa memasuki pintu itu. Tidak ada seorang
pun yang memasuki pintu tersebut selain dari mereka…
(HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad). []
0 komentar:
Posting Komentar