Buletin
Kaffah No. 089, 28 Sya’ban 1440 H/3 Mei 2019 M
MARHABAN
YA RAMADHAN
Marhaban
ya Ramadan. Selamat datang Ramadhan. Tak terasa, Ramadhan kembali menyapa kita.
Kali ini kita akan memasuki Bulan Suci Ramadhan 1440 H.
Ramadhan adalah bulan istimewa.
Bulan yang di dalamnya diwajibkan puasa, yang bisa mengantarkan orang yang
berpuasa meraih derajat takwa.
Ramadhan adalah bulan yang bertabur dengan
pahala berlipat ganda. Bulan pengampunan atas dosa-dosa. Bulan yang di dalamnya
pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan
dibelenggu.
Ramadhan adalah bulan yang di
dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari serbi bulan. Itulah Lailatul
Qadar. Bulan yang di dalamnya Allah menurunkan al-Quran. Pedoman hidup manusia,
yang menjadi sumber kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.
Singkatnya, Ramadhan adalah bulan
yang penuh berkah berlimpah. Karena itu selayaknya setiap Muslim bergembira
menyambut kedatangan Ramadhan. Tamu agung yang membawa banyak sekali keutamaan.
Puasa
dan Takwa
Memasuki Ramadhan kali
ini, tentu kita berharap puasa kita benar-benar
bisa mewujudkan ketakwaan hakiki pada
diri kita, sebagaimana
yang Allah SWT kehendaki:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa (TQS
al-Baqarah [2]: 183).
Tentu Allah SWT tidak pernah
menyelisihi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan ibadah puasa dengan
benar (sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah) dan ikhlas semata-mata mengharap
ridha Allah SWT, niscaya takwa sebagai hikmah puasa itu akan dapat terwujud
dalam dirinya.
Apa yang disebut dengan takwa? Imam ath-Thabari, saat
menafsirkan ayat di atas, antara lain mengutip Al-Hasan yang menyatakan, “Orang-orang
bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah
haramkan atas diri mereka dan melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah
titahkan atas diri mereka.” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân li Ta’wîl
al-Qur’ân, I/232-233).
Berkaitan
dengan takwa
pula, Baginda
Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutus
dia ke Yaman:
اِتَّقِ
اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ
Bertakwalah
engkau kepada Allah di manapun
engkau berada… (HR at-Tirmidzi).
Terkait
dengan frasa ittaqilLah (bertakwalah engkau kepada Allah) dalam
potongan hadis di atas, banyak ciri/sifat yang dilekatkan kepada orang-orang
bertakwa (Muttaqîn). Orang bertakwa
antara lain adalah orang yang mengimani yang gaib, mendirikan shalat, menginfakkan
sebagian harta, mengimani al-Quran dan kitab-kitab yang Allah SWT turunkan
sebelum al-Quran dan meyakini alam akhirat (QS al-Baqarah [2]: 1-4). Orang
bertakwa juga biasa menginfakkan hartanya pada saat lapang ataupun sempit,
mampu menahan amarah, mudah memaafkan kesalahan orang lain, jika melakukan dosa
segera ingat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya serta tidak meneruskan
perbuatan dosanya (QS Ali Imran [3]: 133-135). Tentu masih banyak ciri/sifat
orang bertakwa yang disebutkan di dalam al-Quran maupun as-Sunnnah.
Adapun terkait frasa haytsuma kunta, secara lebih rinci dapat
dijelaskan bahwa kata haytsu bisa
merujuk pada tiga: tempat (makan),
waktu (zaman) dan keadaan (hal). Karena itu sabda Baginda Rasul
saw. kepada Muadz ra. tersebut adalah isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT
tak hanya di Madinah: tak hanya saat turun wahyu-Nya, tak hanya saat bersama
beliau, juga tak hanya saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia
bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana
pun (‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyyah, 42/4-8).
Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah dari puasa
Ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, idealnya usai Ramadhan, setiap
Mukmin senantiasa berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-Nya. Tentu dengan mengamalkan seluruh syariah-Nya baik terkait aqidah
dan ubudiah; makanan, minuman, pakaian dan akhlak; muamalah (ekonomi,
politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, dll); maupun ‘uqubat
(sanksi hukum) seperti hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat.
Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan puasa
Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah; sementara ia biasa
memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat,
menzalimi rakyat dan menolak penerapan syariah secara kâffah.
Totalitas Takwa
Perlu
dipahami bahwa tak hanya puasa yang bisa mengantarkan pelakunya meraih derajat
takwa. Di dalam al-Quran sendiri tak hanya ayat tentang kewajiban puasa yang
diakhiri dengan frasa; la’allakum tattaqun (agar kalian bertakwa). Di
dalam beberapa ayat lain Allah SWT juga berfirman, antara lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhan kalian
yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian
bertakwa (TQS al-Baqarah [2] 21).
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
Bagi kalian, dalam hukum qishash itu ada kehidupan,
wahai orang-orang yang memiliki akal, agar kalian bertakwa
(TQS al-Baqarah [2]: 179).
وَ أَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ
تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus (Islam). Karena
itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain hingga
kalian tercerai-berai dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar
kalian bertakwa (TQS al-An’am [6]: 153).
Berkaitan
dengan ayat-ayat di atas jelas bahwa tak cukup dengan puasa orang bisa meraih
derajat takwa. Ibadah (yakni totalitas penghambaan kita kepada Allah SWT),
pelaksanaan hukum qishash serta keberadaan dan keistiqamahan kita di
jalan Islam dan dalam melaksanakan seluruh syariah Islam, semua itulah yang
bisa mengantarkan diri kita meraih derajat takwa.
Perlu Pemimpin
Bertakwa
Di tengah sistem kehidupan sekular yang tidak menerapkan
syariah Islam secara kâffah saat ini, kaum Muslim tentu membutuhkan
pemimpin yang benar-benar bisa mewujudkan hikmah puasa dalam dirinya, yakni
takwa. Di antara kesempurnaan puasa pemimpin yang bertakwa adalah menjaga
puasanya dari perkataan dusta (qawl az-zûr) karena kedustaan hanya akan
membuat puasa seseorang sia-sia. Nabi
saw. bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ
قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ
Siapa saja yang tidak meninggalkan
perkataan dan perilaku dusta maka Allah tidak membutuhkan upayanya dalam meninggalkan
makan dan minumnya
(HR al-Bukhari).
Pemimpin yang bertakwa adalah
pemimpin yang amanah. Pemimpin yang tidak mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya.
Karena itu pemimpin yang bertakwa tidak mungkin menyalahi al-Quran dan
as-Sunnah. Mereka tak akan mengkriminalisasi Islam dan kaum Muslim. Mereka pun tidak
akan menghalang-halangi apalagi memusuhi orang-orang yang memperjuangkan penerapan
syariah dan penegakan Khilafah yang merupakan tâj al-furûdh (mahkota kewajiban) dalam Islam. Bahkan mereka akan menerapkan
syariah Islam secara kâffah sebagai wujud ketaatan total diri mereka kepada
Allah SWT.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. []
Hikmah
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي
السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
Bersegeralah
kalian meraih ampunan Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan
bumi, yang disediakan bagi kaum yang bertakwa; yaitu mereka yang
menginfakkan (harta mereka) baik dalam kelapangan maupun dalam kesempitan, yang
sanggup menahan amarah, yang biasa memberi maaf orang lain, dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.
(TQS
Ali Imran [3]: 134).
Berkaitan
dengan kedua ayat tersebut, ada satu kisah menarik. Suatu saat Imam Ja’far ash-Shadiq ra. sedang bersama budaknya yang sedang
menuangkan air. Tanpa sengaja, air itu menciprati pakaian Imam Ja’far. Beliau
lalu memandang budaknya dengan pandangan kurang suka (tanda
marah, red.).
Namun, sang budak buru-buru menyitir potongan QS Ali Imran ayat 134, “Wa al-kâzhîmîn al-ghayzh (Orang-orang
yang menahan amarah).” Mendengar itu Imam Ja’far berkata, “kalau begitu
aku sudah tidak
marah lagi
kepada kamu.” Sang budak melanjutkan, “Wa
al-âfîna ‘an an-nâs (Orang-orang yang memaafkan manusia).”
Imam Ja’far berkata lagi, “Aku pun telah memaafkan kamu.” Sang budak
melanjutkan lagi, “Wa
AlLâhu yuhibb al-muhsinîn (Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).”
Imam Ja’far pun kembali berkata, “Baiklah, kalau begitu, pergilah. Mulai
sekarang engkau menjadi orang merdeka karena Allah. Untuk kamu, aku pun
menghadiahkan hartaku
sebesar seribu dinar (lebih dari Rp 2 miliar).” (Ibnu al-Jauzi, Bahr
ad-Dumû’,
hlm. 175).
Begitulah
Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau langsung—tanpa ditunda-tunda—mengamalkan seluruh
perkara yang terkandung dalam QS Ali Imran ayat 134 meski itu disampaikan hanya
oleh budaknya. Itulah salah satu teladan orang yang bertakwa. []
0 komentar:
Posting Komentar