Sepertinya, sebagian penulis Islam tidak membedakan antara mutakalimin dan filosof "muslim". Alasannya barangkali karena mereka berpolemik kemudian mempelajari tentang perkara-perkara tauhid yang dimunculkan (untuk diragukan) oleh orang-orang kafir yang terpengaruh filsafat. Baik mutakallimin maupun filosof, mereka ini oleh para penulis tsb dianggap sama.
Akan tetapi, sebagian penulis yang tidak membedakan itu, menyatakan akan kesesatan mereka (mutakallimin dan filosof), sementara sebagian yang lain tidak membahas dalam konteks sesat-dhalal, tetapi hanya menganggap "sama".
Kelompok pertama, tidak sedikit dilontarkan oleh para ulama yang berpemahaman wahabi. Sementara kelompok kedua lebih banyak dianut oleh akademisi sekuler. Misalnya akademisi sekuler yang menganggap bahwa Al Ghazali termasuk di antara filosof muslim.
Namun, sebagian lagi ternyata tidak bersikap demikian. Mereka membedakan antara mutakalimin dengan para filosof. Perbedaannya, munculnya mutakalimin adalah dalam rangka mengkonter pandangan-pandangan yang dilontarkan orang kafir yang terpengaruh filsafat, walau kemudian para mutakalimin (ahli kalam) ini justru berpolemik sendiri sehingga memunculkan mazhab akidah. Adapun filosof, kemunculannya semata-mata karena filsafatnya itu sendiri, yang murni dipelajari semata-mata sebagai sebuah ilmu.
Karena sikap membedakan inilah di antara para ulama kaum muslim menyatakan sikap yang berbeda pula. Misalnya Al Ghazali atau Ibnu Khaldun yang membedakan antara mutakalimin dengan para filosof. Termasuk juga Syaikh Taqiyuddin An Nabhani.
Al Ghazali sendiri, oleh sebagian penulis sekuler dimasukkan ke dalam kelompok filosof muslim. Padahal, dia sendiri mengkritik secara keras para filosof itu dan mengkafirkannya.
Dr. Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad dalam buku Tasawuf Antara Al Ghazali dan Ibnu Taimiyah menjelaskan alasan mengapa Al Ghazali mengkafirkan para filosof tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar