“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab merasa gelisah dengan tingginya mahar. Ia khawatir hal ini akan memberatkan laki-laki untuk menikah. Maka beliau berpidato dan membuat batasan mahar tidak lebih dari 400 dirham.
Ketika beliau turun dari mimbar, seorang perempuan menegurnya: “Tidakkah engkau mendengar Allah berfirman dalam kitab-Nya: “…Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya walaupun sedikit. Adakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (An-Nisaa’ ayat 20)
Umar pun berkata: “Ya Allah, berilah keampunan kepadaku. Semua orang lebih faqih (memahami) daripada Umar.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/244).
Umar, Khalifah yang terkenal tegas, tidak segan-segan mendengarkan dan mengikuti nasehat seorang perempuan. Beliau lantas mencabut ketetapannya tentang mahar.
Mencari sosok pemimpin seperti Umar bin Khaththab di era demokrasi saat ini, boleh jadi akan sia-sia. Sikap tegasnya kepada para pejabat, namun lemah lembutnya kepada rakyat sampai ia dengarkan baik-baik kritik seorang perempuan, sungguh sulit ditemui di kalangan pemimpin sekarang. Yang terjadi malah sebaliknya, biar pun yang menasehati jutaan umat, tak ada pengaruhya. Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu. Umat berteriak, pemimpin dengan santai menolak.
Islam adalah agama yang paripurna, mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah kepemimpinan negara. Sistem kepemimpinan negara ini unik, berbeda dari sistem lain yang ada di dunia, baik itu kerajaan, republik maupun parlementer. Sistem yang disebut Imamah atau Khilafah, lahir dari hukum syara’, bukan lahir dari para pemikir di kalangan manusia. Dengan demikian kedudukannya lebih kuat karena yang menetapkannya adalah Sang Pencipta manusia.
Sistem kekhilafahan memiliki perbedaan diametral dengan sistem demokrasi yang diterapkan dunia saat ini. Pemimpin dalam demokrasi hanya berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan amanat rakyat. Dalam praktiknya, yang disebut “rakyat” tersebut hanyalah sebatas pada para pemilik modal dan kekuatan. Tak heran jika kemudian pemimpin hanya berfungsi sebagai fasilitator, yakni memberikan fasilitas bagi orang-orang bermodal untuk menguasai negara.
Sementara dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama, sebagai raa’in dan junnah bagi umat. Kedua fungsi ini dijalankan oleh para Khalifah sampai 14 abad masa kegemilangan Islam. Pasang surut kekhilafahan secara sunnatullah memang terjadi, tapi kedua fungsi ini ketika dijalankan sesuai apa yang digariskan syara’, terbukti membawa kesejahteraan dan kejayaan umat Islam.
Khalifah adalah Raa’in
Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Dalam hadis tersebut jelas bahwa para Khalifah, sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat. Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa‘in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin” Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya (serambinews.com, 07/07/2017).
Makna raa’in ini digambarkan dengan jelas oleh Umar bin Khaththab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan sampai-sampai memasak batu. Atau ketika beliau di tengah malam membangunkan istrinya untuk menolong seorang perempuan yang hendak melahirkan .
Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat.
Khalifah sebagai Junnah
Nabi Muhammad Saw bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Imam al-Mala al-Qari secara gamblang menyatakan:
”Makna kalimat (إنما الإمام) yakni al-Khalifah atau Amirnya”
Kedudukan al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata, seperti penegasan beliau:
”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.”( ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, juz VI, hlm. 2391).
Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”
Sedangkan makna (yuqaatilu min waraa’ihi) yakni: kaum Muslimin akan berperang bersama dengannya (al-Khalifah) dalam memerangi orang-orang kafir, para pemberontak, khawarij dan seluruh kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezaliman secara mutlak. Begitulah yang disampaikan al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah, Syaikh Atha bin Khalil menyatakan, di antara kandungan hadis di dalamnya terdapat penyifatan terhadap Khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung). Ketika Rasulullah Saw menyifati bahwa seorang al-Imâm (Khalifah) adalah junnah (perisai), artinya mengandung pujian atas keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan. Informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Jika mengandung pujian maka ia merupakan tuntutan untuk melaksanakan. Jika perbuatan yang dituntut tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’ah, maka tuntutan tersebut bersifat tegas. (Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fii al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet.I, 1426 H/2005, hlm. 11).
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd hlm. 128 mengumpamakan diin dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان). Beliau berkata :
“Al-Dîin itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”
Fungsi junnah dari Khalifah ini tampak ketika ada Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi saw melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan Rasulullah Saw, demi menjadi junnah bagi Islam dan kaum Muslim.
Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khalifah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang menolak upaya Yahudi untuk menguasai tanah Palestina. Semua ini adalah representasi dari fungsi junnah para Khalifah.
Bagaimana dengan para pemimpin dalam sistem demokrasi, apakah mungkin mereka bertindak sebagai raa’in dan junnah?
Kerusakan Konsep Kepemimpinan Sistem Demokrasi
Dalam sistem pemerintahan sekuler-demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Sebagai pemilik kedaulatan, semua kehendak rakyat harus dipatuhi. Konsekuensinya, rakyatlah yang memiliki hak menentukan perjalanan hidup masyarakat. Rakyat pula yang menentukan sistem, hukum, dan konstitusi yang cocok bagi mereka. Sebagaimana rakyat berhak membuat dan menetapan sebuah undang-undang, rakyat juga berhak membatalkan, mengganti atau mengubah Undang-undang tersebut. Pendek kata, apa pun harus terjadi jika rakyat memang menghendaki.
Karena rakyat merupakan sekumpulan orang, sementara keinginan dan kehendak mereka bisa berseberangan satu sama lainnya, maka yang dijadikan sebagai kata pemutus adalah kehendak mayoritas. Ide, aspirasi, atau kebijakan apa pun yang mendapatkan dukungan suara terbanyak, harus diterima sebagai keputusan terakhir yang ditaati oleh semua pihak. Tidak peduli apakah keputusan tersebut benar atau salah; sejalan atau bertabrakan dengan hukum Allah SWT.
Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur (PTI, 2015 hlm 17-19), menjelaskan bagaimana kedustaan sistem demokrasi. Parlemen yang dikatakan sebagai wakil rakyat, pada faktanya adalah wakil dari para pemilik modal yang memiliki dana untuk menempatkan orang yang diinginkannya. Maka aturan yang dibuat adalah aturan yang menguntungkan mereka, bukan menguntungkan rakyat. Dan aturan inilah yang harus diterapkan oleh penguasa.
Maka tidak mengherankan jika penguasa memiliki wewenang untuk menjual aset-aset negara, menjual hasil bumi dan tambang yang merupakan milik rakyat kepada swasta, serta membuka keran investasi asing yang semuanya berpihak kepada kepentingan pemodal besar alias kaum kapitalis.
Abdul Kareem Newell (Akuntabilitas Negara Khilafah, 2011, PTI hlm 67-68) menyebutkan bahwa kelemahan mendasar dari sistem demokrasi sekuler adalah tidak adanya ketakutan dari pemimpin kepada Tuhannya atau pertanggungjawaban di akhirat nanti. Hal ini membuka peluang besar bagi pemimpin untuk terjerumus dalam sikap tiran.
Berbeda dengan dalam sistem Islam. Khalifah tidak menjalankan hukum yang dibuat oleh umat, karena pemilik kedaulatan dalam sistem Islam adalah Allah. Khalifah menjalankan hukum Allah atas rakyat, dan ia bertanggungjawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya. Dengan demikian bila Khalifah terbukti tidak menjalankan hukum Allah, ia layak diberhentikan kapan pun, tanpa menunggu periode tertentu. Dan sebaliknya, selama ia menjalankan perintah Allah maka tak ada alasan untuk memberhentikannya.
Umar bin Abdul Aziz, saat dibaiat sebagai Khalifah kaum Muslimin, justru menangis merasakan beratnya beban yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Hal ini tercermin dari surat yang ditulisnya kepada para pejabat di bawahnya :…dengan segala yang diujikan ini aku sangat takut akan datangnya penghisaban yang sulit dan pertanyaan yang susah, kecuali apa yang dimaafkan Allah SWT… (Syeikh Muhammad Khudhari Bek, Negara Khilafah, PTI 2013 hlm.290).
Demikianlah terdapat perbedaan yang besar antara kepemimpinan Khalifah dalam sistem Islam dengan kepemimpinan demokrasi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada masa-masa gelap dalam periode kekhilafahan ketika sang Khalifah menyimpang dari koridor syara’. Karena itulah kita wajib mengembalikan sistem ini sebagaimana yang telah dijalankan Rasulullah Saw berikut Khulafaur-Rasyidin dan menyempurnakan apa yang mereka rintis untuk mendapatkan sistem terbaik bagi kehidupan.
Kekuasaan Khalifah yang bersifat tunggal, memang memungkinkan untuk Khalifah menyimpang saat keimanannya sedang lemah. Maka dilembagakanlah secara formal Majelis Umat sebagai penasehat dan tempat musyawarah Khalifah sebagaimana Umar selalu mengundang beberapa sahabat untuk beliau ajak bermusyawarah.
Begitu juga praktek para qadhi yang menyelesaikan persengketaan penguasa dengan rakyat, dilembagakan dalam bentuk Qadhi Mazhalim yang bertugas mengawasi penguasa, menghilangkan kezaliman mereka, dan bila Khalifah tidak menerapkan hukum Islam, lembaga ini berhak untuk memberhentikannya (Ajhizat Dawlat al-Khilâfah).
Sistem Khilafah ala minhajin nubuwwah, sistem yang mengikuti metode kenabian, adalah suatu keniscayaan yang sudah Allah janjikan kepada kaum Muslimin. Sistem ini akan kembali dengan kehendak Allah, tanpa melihat apakah kita ikut atau tidak memperjuangkannya. Namun suatu kerugian besar bila kita tidak ikut serta memperjuangkannya, karena kita akan kehilangan kesempatan mendapatkan pahala berjuang di jalan Allah dan terancam mati jahiliyyah sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw:
“Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan pada pemimpin, maka ia pasti bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa argumen yang membelanya. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1851)[]
Adi Wess
0 komentar:
Posting Komentar