*BENARKAH IBNU TAIMIYYAH MEMBOLEHKAN PEMIMPIN KAFIR ATAU NEGARA KAFIR?*
*OLEH : KH. M. SHIDDIQ AL JAWI*
Buya Syafii dalam sebuah tulisannya mengutip Ibnu Taimiyah yang konon berkata,"Allah membiarkan berdiri negara yang adil walaupun kafir, sedangkan negara zhalim tidak akan berdiri walaupun muslim." Menurut Ustadz bagaimana kalau ada pendapat seperti itu? (Amat Anwar, Semarang).
Jawab :
Memang Ibnu Taimiyah pernah berkata dalam kitabnya Majmu’ūl Fatāwā,”Maka sesungguhnya manusia tidak berselisih bahwa akibat kezaliman adalah kehinaan dan akibat keadilan adalah kemuliaan. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Allah akan menolong negara yang adil meski itu negara kafir, dan tak akan menolong negara yang zalim meski itu negara mukmin.” (fa inna an nās lam yatanāza’ū anna ‘āqibat az zulm wakhīmah wa ‘āqibat al ‘adli karīmah, wa li-hādza yurwa Allah yanshuru ad dawlah al ‘ādilah wa in kānat kāfirah wa lā yanshuru ad dawlah az zālimah wa in kānat mu`minah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ūl Fatāwā, Juz XXVIII, hlm. 63).
Ungkapan Ibnu Taimiyah tersebut dalam bahasa Arab dapat dianggap mubālaghah, yaitu ungkapan hiperbolik (melebih-lebihkan) untuk menekankan betapa pentingnya keadilan, dengan ungkapan yang makna harfiyahnya boleh jadi tidak ada faktanya atau bertentangan dengan syariah.
Ini sama dengan perintah Rasulullah SAW agar kita mendengar dan mentaati pemimpin meskipun dia adalah “budak Habasyah yang rambutnya seperti kismis.” (HR Bukhari no 6273).
Kata Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, yang dimaksud “budak Habasyah” adalah “bekas budak Habasyah” sebagai ungkapan mubālaghah, karena ulama telah sepakat budak tidak boleh menjadi pemimpin. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bāri, Juz XIII, hlm.132).
Terlebih lagi, Ibnu Taimiyah sendiri dengan tegas menyatakan bahwa tujuan kekuasaan adalah untuk menerapkan syariah Islam dan mengatur kehidupan dunia dengan syariah Islam. (Ibnu Taimiyah, As Siyāsah Al Syar’iyyah, hlm. 13). Bagaimana mungkin tujuan kekuasaan tersebut dapat terwujud jika pemimpin umat adalah orang kafir?
Dari ungkapan otentik itu, secara jelas Ibnu Taimiyah telah mengutip ungkapan pihak lain, bukan menegaskan pendapatnya sendiri. Ini nampak dari perkataannya yang menggunakan kalimat pasif (majhūl), yaitu wa li-hādza yurwa (oleh karena itu diriwayatkan).
Maka adalah kebohongan jika ada klaim Ibnu Taimiyah berpendapat pemimpin kafir (atau negara kafir) boleh asalkan adil.
*Bengkulu, 26 Januari 2019*
*KH. M. Shiddiq Al Jawi*
0 komentar:
Posting Komentar