[iklan]
--

Makna di Balik Tujuh Hasta: Menyelami Kaidah Nahwu dalam Sabda Rasulullah ﷺ tentang Jalan

Berikut lanjutan penjelasan rinci disertakan versi tanpa harakat, versi berharakat penuh, terjemahan singkat, lalu uraian kata demi kata + alasan harakat dan catatan nahwu–sharaf penting. Kamu bisa ajak teman-temanmu untuk belajar bersama.

PELAJARAN KALIMAT SEBELUMNYA BISA DIBUKA DI Belajar Harakat dari Teks Klasik Arab : 🕌 Menelusuri Tata Bahasa dalam Sabda Nabi ﷺ 

بِأَنْ جَعَلَ ... — Penjelasan Rinci (lanjutan)


Teks (tanpa harakat)

بأن جعل الطريق سبعة أذرع عند التنازع. رواى البخاري من طريق أبي هريرة: «قضى النبي ﷺ إذا تشاجروا في الطريق الميتاء بسبعة أذرع»، ورواية مسلم: «إذا اختلفتم في الطريق فاجعلوا عرضه سبعة أذرع»، وهو تنظيم إداري في ذلك الوقت، وإذا كانت الحاجة لأكثر كان، كما في مذهب الشافعي.


Teks (dengan harakat lengkap)

بِأَنْ جَعَلَ الطَّرِيقَ سَبْعَةَ أَذْرُعٍ عِنْدَ التَّنَازُعِ. رَوَى الْبُخَارِيُّ مِنْ طَرِيقِ أَبِي هُرَيْرَةَ: «قَضَى النَّبِيُّ ﷺ إِذَا تَشَاجَرُوا فِي الطَّرِيقِ الْمِيتَاءِ بِسَبْعَةِ أَذْرُعٍ»، وَرِوَايَةُ مُسْلِمٍ: «إِذَا اخْتَلَفْتُمْ فِي الطَّرِيقِ فَاجْعَلُوا عَرْضَهُ سَبْعَةَ أَذْرُعٍ»، وَهُوَ تَنْظِيمٌ إِدَارِيٌّ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ، وَإِذَا كَانَتِ الْحَاجَةُ لِأَكْثَرَ كَانَ، كَمَا فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ.


Terjemahan ringkas (Indonesia)

“Dengan menetapkan bahwa lebar jalan dibuat tujuh hasta ketika terjadi perselisihan. Al-Bukhārī meriwayatkan dari jalur Abū Hurairah: ‘Nabi ﷺ menetapkan — jika mereka berselisih di jalan yang sepi — tujuh hasta.’ Dan dalam riwayat Muslim: ‘Jika kalian berbeda pendapat di jalan, maka jadikanlah lebarnya tujuh hasta.’ Ini adalah suatu pengaturan administratif pada waktu itu; dan jika diperlukan lebih dari itu, maka (dibenarkan) memberi lebih, seperti dalam mazhab asy-Syāfi‘ī.”


Penjelasan kata-per-kata & alasan harakat

(A) بِأَنْ جَعَلَ الطَّرِيقَ سَبْعَةَ أَذْرُعٍ عِنْدَ التَّنَازُعِ.

  • بِ (bi-) — huruf jar (preposisi) artinya “dengan / karena / berupa”. Mengubah kasus kata setelahnya jika kata langsung mengikuti (lihat catatan).

  • أَنْhuruf yang memperkenalkan klausa; di sini membentuk konstruksi klasik بِأَنْ = “dengan/karena bahwa / yakni dengan menetapkan bahwa…”. Penjelasan fungsi: struktur ini memadukan bi (penyebab/penjelas) dengan an yang mengawali fi‘l (kata kerja).

    • Karena ini struktur sambung, kata kerja berikutnya tetap berwujud fi‘l māḍī (lampau): جَعَلَ.

  • جَعَلَ — fi‘l māḍī (kata kerja lampau) bentuk فَعَلَ artinya “menjadikan / menetapkan / membuat”. Harakat akhir fathah karena bentuk lampau (biasanya ditulis mufrad dengan tanda fathah pada tiap konsonan sesuai pola).

  • الطَّرِيقَ — maf‘ūl bih (objek langsung dari جَعَلَ), sehingga mansūb → tanda fathah pada akhir (ـَ). Makna: “jalan” (objek yang dijadikan).

  • سَبْعَةَ — angka “tujuh”. Di sini berfungsi sebagai khabar/penjelas ukuran dalam konstruksi جعلَ … سبعَةَ أذرعٍ → mendapat mansūb (fathah) karena posisinya sebagai komplemen setelah فعل جعلَ.

  • أَذْرُعٍ — bentuk jamak (أذرع) untuk “hasta / hasta tangan (kubits)”. Majrūr (kasrah/tanwīn kasrah) karena dikuasai oleh angka 3–10: aturan umum: setelah angka 3–10, kata yang dihitung berada dalam bentuk jamak dan majrūr. Di sini ditulis أَذْرُعٍ (kasrah pada akhir).

  • عِنْدَ — huruf jar, artinya “pada / saat”.

  • التَّنَازُعِ — masdar (kata benda) “perselisihan/pertengkaran”; karena setelah عند → majrūr (kasrah).

Ringkas: struktur bermakna “(aturan) dengan menetapkan bahwa jalan dibuat tujuh hasta ketika terjadi perselisihan.”


(B) رَوَى الْبُخَارِيُّ مِنْ طَرِيقِ أَبِي هُرَيْرَةَ: «قَضَى النَّبِيُّ ﷺ إِذَا تَشَاجَرُوا فِي الطَّرِيقِ الْمِيتَاءِ بِسَبْعَةِ أَذْرُعٍ»

  • رَوَى — fi‘l māḍī (dia meriwayatkan). Harakat akhir fathah (bentuk lampau).

  • الْبُخَارِيُّ — fā‘il (subjek) → marfū‘ (dhammah).

  • مِنْ — huruf jar (“dari/ melalui”).

  • طَرِيقِ — majrūr karena مِن → ـِ (kasrah).

  • أَبِي هُرَيْرَةَ — iḍāfah: “Abū Hurairah”. Keduanya ikut menunjukkan kepemilikan/keterkaitan: ta‘rīf bentuk nama; pada posisi ini keduanya dalam konstruksi kepunyaan (cara membacanya: “min ṭarīqi Abī Hurayrah” = “dari jalur periwayatan Abū Hurairah”).

    • Harakat: أَبِي (kasrah karena genitif), هُرَيْرَةَ akhir biasanya tertera dengan fatha/tanwin sesuai tradisi penulisan sanad (bentuk akhir pada nama dalam idāfah bisa berbeda di tulisan klasik; intinya: seluruh iḍāfah menunjukkan hubungan milik).

  • قَضَى — “memutuskan / menetapkan” (fi‘l māḍī).

  • النَّبِيُّ ﷺ — subjek (fā‘il), marfū‘ (dhammah).

  • إِذَا تَشَاجَرُوا — klausa kondisi: إِذَا + fi‘l māḍī تَشَاجَرُوا (mereka saling berkelahi/berselisih). Bentuk lampau dipakai di bahasa Arab klasik untuk menyatakan kebiasaan “apabila/ketika mereka berselisih”.

    • وا di akhir = tanda fi‘l lampau orang ketiga jamak (هُم).

  • فِي الطَّرِيقِ الْمِيتَاءِ — keterangan tempat: fi + al-ṭarīq (majrūr) + al-mītā’ (sifat/adjective) — keduanya majrūr (kasrah akhir) karena hubungan susunan dan karena fi.

    • Perhatikan penulisan akhir kata ber-ـاء (مثل: ميتاء) — dalam kasus majrūr menjadi الْمِيتَاءِ (kasrah pada akhir hamzah).

  • بِسَبْعَةِ أَذْرُعٍbi (preposisi) + saba‘ati (angka tujuh dalam bentuk majrūr karena didahului bi) + aḏrʿin (jamak majrūr). Bandingkan: di kalimat sebelumnya setelah فعل جعلَ angka سَبْعَةَ mendapat mansūb; di sini karena ada بِ → angka berubah menjadi majrūr (سَبْعَةِ). Ini contoh penting: kasus angka berubah menurut kedudukan sintaktik (accusative vs genitive).


(C) وَرِوَايَةُ مُسْلِمٍ: «إِذَا اخْتَلَفْتُمْ فِي الطَّرِيقِ فَاجْعَلُوا عَرْضَهُ سَبْعَةَ أَذْرُعٍ»

  • وَرِوَايَةُ مُسْلِمٍ — “dan riwayat (dari) Muslim.” رِوَايَةُ marfū‘ (subjek frasa pengantar), مُسْلِمٍ genitive sebagai mudhāf ilaih.

  • إِذَا اخْتَلَفْتُمْ — “jika kalian berbeda (pendapat)” — اخْتَلَفْتُمْ = fi‘l māḍī, sufiks -تُمْ = kalian (orang kedua jamak).

  • فِي الطَّرِيقِ — di jalan (majrūr karena fi).

  • فَاجْعَلُوا — perintah jamak (fa + uj‘alū) = “maka jadikanlah (kalian semua)”. أجعلوا bentuk amar jama‘ (imperatif untuk bentuk jamak).

  • عَرْضَهُarḍ = “lebar”; ditambahi dhamīr muttasil -hu = “nya/-nya (untuk jalan)”. Karena berfungsi sebagai objek/perintah → posisi maf‘ūl (kasus mansūb) → terlihat pada bentuk sebelum penambahan dhamīr: عَرْضَ- (fatha).

  • سَبْعَةَ أَذْرُعٍ — seperti sebelumnya: angka sebagai komplemen mansūb (fathah pada سَبْعَةَ) dan kata setelah angka jamak bermajrūr (أَذْرُعٍ).


(D) وَهُوَ تَنْظِيمٌ إِدَارِيٌّ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ، وَإِذَا كَانَتِ الْحَاجَةُ لِأَكْثَرَ كَانَ، كَمَا فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ.

  • وَهُوَ — kata ganti penunjuk: “dan (yang dimaksud) itu…”.

  • تَنْظِيمٌ — khabar (predikat) berupa isim marfū‘ (dhammah/ tanwīn dhammah) → “suatu pengaturan”.

  • إِدَارِيٌّ — sifat (na‘at) yang menjelaskan tanzīm → juga marfū‘.

  • فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ — keterangan waktu/tempat: fi + dhālika + al-waqt (keduanya majrūr).

  • وَإِذَا كَانَتِ الْحَاجَةُ لِأَكْثَرَ كَانَ — “dan bila kebutuhan untuk (meminta) lebih ada, maka (dipersilakan)”.

    • كَانَتْ (kana + -t karena subjek feminine: الحَاجَةُ). Struktur kana membuat الحاجةُ tetap marfū‘ sebagai ism (subjek) dan apa yang mengikuti menjadi khabar (biasanya mansūb atau frase penjelas seperti لِأَكْثَرَ).

    • Artinya: jika kondisi membutuhkan lebih lebar, maka (boleh) dibuat lebih lebar.

  • كَمَا فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ — “sebagaimana dalam madzhab asy-Syāfi‘ī” — مَذْهَبِ majrūr oleh في, الشَّافِعِيِّ nisbah (al-Shāfi‘ī) juga majrūr dalam idāfah.


Catatan nahwu & sharaf penting (poin yang sering bikin bingung)

  1. Perbedaan kasus angka (saba‘ah):

    • Setelah kata kerja sebagai komplemen → مَنصوب: سَبْعَةَ.

    • Setelah بِ (atau preposisi lain) → menjadi مَجْرُور: سَبْعَةِ.
      Ini terlihat jelas pada dua contoh hadits di atas: جَعَلَ … سَبْعَةَ vs بِسَبْعَةِ.

  2. Idāfah (iḍāfah — rangkaian kepemilikan/penjelasan):

    • Contoh: طَرِيقِ أَبِي هُرَيْرَةَ; kata pertama mendapat kasus sesuai posisinya (majrūr karena مِن), dan kata kedua menunjukkan pemilik (genitive juga). Selalu perhatikan siapa mudhāf dan siapa mudhāf ilaih.

  3. Klausa kondisi dengan إِذَا + fi‘l māḍī:

    • Di teks klasik sering dipakai bentuk lampau setelah إِذَا untuk menyatakan kebiasaan: “apabila … (selalu) …”.

  4. Kata kerja yang mengambil dua objek (مثل: جعل):

    • جَعَلَ dapat diikuti dua unsur: objek langsung (الطريقَ) + komplemen penjelas (سَبْعَةَ أَذْرُعٍ). Perhatikan kasus untuk kedua unsur ini (objek → mansūb; komplemen → mansūb).


Daftar kosakata singkat (kata → arti singkat)

  • بِـ — dengan / oleh

  • أَنْ — bahwa (penghubung klausa)

  • جَعَلَ — menjadikan / menetapkan

  • طَرِيق — jalan

  • سَبْعَة — tujuh

  • ذِرْع / أَذْرُع — hasta / hasta (satuan panjang)

  • عِنْدَ — ketika / pada saat

  • تَنَازُع — perselisihan / perseteruan

  • رَوَى — meriwayatkan

  • قَضَى — memutuskan / menetapkan (secara hukum)

  • تَشَاجَرَ / تَشَاجَرُوا — saling berkelahi / berselisih (mereka)

  • مِيتَاء — sepi / kosong (jalan sepi)

  • ارْض — lebar (عَرْضَ = lebar-nya)

  • تَنْظِيم — pengaturan

  • إِدَارِيّ — administratif

  • مَذْهَب — mazhab / aliran fikih


“Ketika Jalan Diatur Nabi ﷺ: Belajar Harakat dari Teks Klasik Arab”

“Tujuh Hasta yang Sarat Makna: Kajian Nahwu dari Hadis tentang Jalan”

“Bahasa, Fikih, dan Ketelitian: Menyelami Struktur Kalimat Sabda Rasulullah ﷺ”

“Belajar Harakat dan Nahwu lewat Ketetapan Nabi ﷺ tentang Lebar Jalan”


Terkait :


Update:
Keywords:
0 comments


0 comments:

Posting Komentar

--
 

Bersama Belajar Islam | Pondok OmaSAE: Bersama mengkaji warisan Rasulullah saw | # - # | Pondok OmaSAE : Belajar Agama via online


Didukung oleh: Suwur - Tenda SUWUR - OmaSae - Blogger - JayaSteel - Air Minum Isi Ulang - TAS Omasae - Furniture - Rumah Suwur - Bengkel Las -