[iklan]

Sholat Tarawih adalah Sholat Sunnah Muakkad

 #Sholat_Tarawih 4 Imam Madzhab dan Bagaimana Amirul Mukminin Menyatukannya

.

Alhamdulillah, insya Allah dalam beberapa hari lagi kita akan kembali bertemu dengan Ramadhan Mubarak, satu-satunya bulan dalam Islam yang secara khusus Rasulullah saw memerintahkan kita untuk menyambut dan bergembira atas kedatangannya. 

Telah datang kepada kalian ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah wajibkan kepada kalian puasa di bulan ini. Di bulan ini, akan dibukakan pintu-pintu langit, dan ditutup pintu-pintu neraka, serta setan-setan nakal akan dibelenggu. Demi Allah, di bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari pada 1000 bulan. Siapa yang terhalangi untuk mendulang banyak pahala di malam itu, berarti dia terhalangi mendapatkan kebaikan. (HR. Ahmad, Nasai 2106, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dan diantara keistimewaan bulan Ramadhan adalah, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk lebih serius mengerjakan Shalat Qiyamul lail dibandingkan malam malam diluar bulan Ramadhan, yaitu sebuah sholat Sunnah yang saat ini lebih kita kenal dengan sebutan Shalat Tarawih.

Sejatinya shalat yang disebut dengan istilah shalat tarawih ini adalah salah satu bentuk shalat malam juga pada umumnya. Dia menjadi khusus karena memang pengerjaannya hanya disyariatkan di malam-malam ramadhan. Menjadi khusus karena memang ada anjuran Nabi s.a.w yang khusus untuk menghidupi malam-malam ramadhan dengan banyak ibadah, salah satunya adalah mendirikan shalat malam ramadhan. 

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan, dan mensunnahkan qiyam-nya… “ (HR. an-Nasa’i) 

Munculnya Istilah Tarawih 

Kata Tarawih itu adalah bentuk plural (jamak) dari single Tarwiih. Dan Tarwiih adalah bentuk mashdar (kata sifat/ hasil kerja) dari kata kerja Rawwaha – Yurawwihu. Dan ternyata istilah itu tidak dikenal oleh Nabi s.a.w., dan setidaknya oleh Abu Bakr r.a. juga. Karena memang dulu, Nabi s.a.w. menyebutnya bukan dengan istilah tarawih, tapi dengan nama Qiyam Ramadhan, yakni penghidupan atas malam Ramadhan. Maksudnya ibadah guna menghidupkan malam-malam Ramadhan. 

Munculnya nama tarawih sebagai istilah yang dipakai oleh banyak atau hampir seluruh ulama untuk menyebut shalat sunah malam Ramadhan ini bisa jadi ada beberapa kemungkinan. Salah satunya adalah apa yang terjadi di masa Umar bin al-Khathtab menjabat. Yakni dari riwayat Imam al-Marwadzi dalam kitabnya Kitab Qiyam Ramadhan. 

Dari al-Hasan rahimahullah. Umar r.a. memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk menjadi imam pada Qiyam Ramadhan, dan mereka tidur di seperempat pertama malam. Lalu mengerjakan shalat di 2/4 malam setelahnya. Dan selesai di ¼ malam terakhir, mereka pun pulang dan sahur. Mereka membaca 5 sampai 6 ayat pada setiap rakaat. Dan shalat dengan 18 rakaat yang salam setiap 2 rakaat, dan memberikan mereka istirahat sekedar berwudhu dan menunaikan hajat mereka. 

Menjadi mungkin istilah tarawih muncul di masa ini, karena dalam riwayat di atas, Ubai bin Ka’ab diperintah oleh Umar r.a. untuk menjadi imam Qiyam Ramadhan dengan bacaan 5 sampai 6 ayat di setiap rakaat. Dan setiap 2 rakaat, istirahat. Dengan redaksi riwayat seperti ini:

Memberikan mereka istirahat sekedar berwudhu dan menunaikan hajat mereka. 

Bisa jadi itulah kenapa shalat ini disebut dengan istilah Tarawih; karena pelaksaannya ketika zaman itu, Imam memberikan banyak Tarwiih, alias istirahat untuk para makmum di setiap selesai 2 rakaat.

Bagaimana Rasulullah saw Shalat Tarawih

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. memberikan motivasi kepada kita untuk melaksanakan qiyam ramadhan tanpa memerintahkan dengan kuat

Para sahabat r.a (sebagai kelompok yang kita jadikan contoh teladan dalam menyikapi perintah perintah Rasulullah saw) pada awalnya, menjalankan apa yang dianjurkan dengan format yang tidak teratur dan tidak terkomando dengan runutan yang sama. Sebagian mereka melakukannya di rumah, sebagian lain melakukannya di masjid Nabawi. 

Mereka yang di masjid Nabawi pun mengerjakannya tidak dengan alur yang sama; ada yang mengerjakan dengan sendiri-sendiri, dan ada juga yang mengerjakannya dengan berjamaah. 

Yang berjamaah pun berbeda-beda jumlahnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang, ada juga yang berenam, atau bahkan lebih sedikit dari itu, sesuai dengan bacaan siapa yang ia suka, imam itulah yang ia ikuti. Itulah yang diceritakan oleh Sayyidah ‘Aisyah; Istri Nabi s.a.w. yang kemudian direkam oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.

Dari sayyidah ‘Aisyah r.a., beliau berkata: orang orang melaksanakan shalat di masjid Rasulillah s.a.w. di malam-malam Ramadhan itu berpisah pisah. Mereka mengikuti orang yang punya hafalan qur’an untuk dijadikan imam shalatnya. Ada yang berjamaah dengan 5 orang orang, ada juga yang berenam, atau lebih sedikit atau bahkan lebih banyak dari itu. (HR. Ahmad)

Sampai akhirnya di suatu malam, sebagaimana disebut oleh sayyidina Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi s.a.w. masuk ke dalam masjid di tengah malam untuk menunaikan shalat malam Ramadhan. Dan orang-orang yang ada dalam masjid itu serentak mengikuti Nabi s.a.w. untuk menjadi makmum beliau s.a.w., termasuk sayyidina Anas r.a. karena memang beliau yang memulai duluan dan diikuti oleh banyak orang. 

Agak lama berdirinya Nabi s.a.w. di shalat tersebut. Namun ketika beliau sadar bahwa beliau diikuti oleh banyak orang di belakang beliau, termasuk oleh sayyidina Anas r.a., beliau percepat shalatnya dan setelah selesai shalat, beliau masuk rumah lagi dan meneruskan shalatnya di dalam. Dan shalat yang dilakukan di rumah itulah, shalat yang sangat lama berdirinya. 

Karena sebab itulah Nabi s.a.w. tidak meneruskan di masjid, karena khawatir memberatkan mereka-mereka yang sudah menjadi makmumnya di masjid. Ini cerita yang diriwayatkan oleh Imam Al Marwadzi (w. 294 H) dalam kitabnya yang masyhur terkait dengan periwayatan qiyam Ramadhan, dan juga oleh Imam Ibn Khuzaimah dalam kitab Shahihnya.

Sementara untuk jumlah Rakaat Sholat Tarawih yang dikerjakan Nabi saw, diriwayatkan oleh banyak sahabat termasuk istri beliau s.a.w.; sayyidah ‘Aisyah, bahwa beliau s.a.w. melaksanakan shalat malam dengan jumlah rakaat yang tidak tetap. Shalat malam hari ini berbeda jumlah rakaatnya dengan jumlah rakaat malam kemarin. Dan begitulah riwayat yang sampai kepada kita dari para ulama-ulama pengumpul hadits.

Dari sahabat Masruq r.a., beliau bertanya kepada Sayyidah ‘Aisyah tentang shalat malamnya Nabi s.a.w., Sayyidah ‘Aisyah menjawab: 7 rakaat, 9 rakaat dan juga 11 rakaat. Itu tidak termasuk 2 rakaat fajar (qabliyah subuh). (HR al-Bukhari)

Terlepas dari banyaknya perbedaan riwayat tentang berapa jumlah rakaat shalat malam Nabi s.a.w., akan tetapi kita mendapati secara eksplisit dan terang sekali bahwa shalat malam Nabi s.a.w. selalu lama dan panjang berdirinya. 

Di beberapa riwayat yang sudah disampaikan di atas, beberapa sahabat bercerita bahwa Nabi s.a.w. memulai shalat malam dan berakhir di sepertiga malam. Di malam selanjutnya berakhir di pertengahan malam. Di malam selanjutnya malah para sahabat khawatir tidak bisa sahur; karena saking lamanya. Ini berarti memang shalat malam Nabi s.a.w. itu selalu lama. Bahkan disebutkan oleh Imam al-Nasa’i dalam kitab Haditsnya tentang pengakuan sahabat Khudzaifah, 

Dari Khuzaifah r.a. bahwa Nabi s.a.w. membaca surat al-Baqarah, Ali Imran, dan surat al-Nisa’ dalam satu rakaat. Setiap melewati ayat rahmat, Nabi memohon. Dan setiap melewati ayat Azab, Nabi meminta perlindungan. (HR al-Nasa’i) 

Dalam  riwayat Imam al-Bukhari tentang pengakuan sahabat Ibn Mas’ud r.a. menyebutkan,

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a., beliau berkata: aku shalat bersama Nabi s.a.w., dan beliau s.a.w. masih saja berdiri sampai aku ingin melakukan sesuatu yang buruk. Kami bertanya: apakah yang akan kau lakukan? Ibn Mas’ud menjawab: aku ingin duduk saja dan meninggalkan Nabi s.a.w. (HR al-Bukhari)

Sholat Tarawih di masa Abu Bakr r.a hingga Umar Bin Khattab r.a 

Di masa Sayyidina Abu Bakr r.a. menjabat sebagai khalifah menggantikan Nabi s.a.w., tidak banyak perubahan yang terjadi berkaitan dengan shalat malam ramadhan di kalangan sahabat dan juga di masjid Nabawi. Bahkan mungkin memang tidak ada perubahan sama sekali.

Di samping itu, kata sheikh ‘Athiyah Salim, di masjid Nabawi muncul fenomena saling membagus-baguskan bacaan agar banyak diikuti oleh makmum. Karena memang tidak ada komando satu Jemaah, dan Jemaah mengikuti siapa yang bagi mereka bagus bacaannya, itulah yang mereka ikuti. 

Karenanya, agar mendapatkan Jemaah yang banyak, beberapa orang mulai memperbagus bacaannya agar mendapat makmum yang banyak. Karena dengan makmum yang banyak, makin banyak pahala yang diraih.

Di zaman Sayyidina Umar bin al-Khathab r.a. menjabat sebagai khalifah, fenomena diatas semakin menjadi. Yakni keadaan shalat di masjid Nabawi yang ramai dengan bacaan masing-masing imam; karena Jemaah yang banyak dan berpencar-pencar. Serta gaya orang shalat ke masjid yang berpindah dari satu imam ke imam yang lain; sesuai dengan bacaan Quran yang ia suka. 

Pada akhirnya, di awal masa menjabatnya sayyidina Umar r.a. khilafah, terjadi semacam kompetisi tidak tertulis tentang imam-imam “dadakan” di masjid Nabawi guna menarik perhatian makmum. Bahkan sebagian dari imam-imam itu membuat bacaan yang dipaksakan agar terdengar bagus sehingga menjadikan masjid layaknya tempat perlombaan yang membuat gaduh dan bising.

Dari Naufal bin Iyas al-Hudzaliy, beliau berkata: orang-orang melakukan shalat malam ramadhan di masjid berpencar-pencar. Dan ketika mereka mendengar ada imam yang bagus bacaannya, mereka ikuti dia. Lalu Umar r.a. berkata: mereka seperti menjadikan Al Quran sebagai nyanyian…

Dari kondisi demikianlah, kemudian Amirul Mukminin sayyidina Umar r.a mengeluarkan kebijakan satu imam dan satu jamaah. 

Imam al-Bukhari dalam hadits riwayat sahabat Abdullah bin Abdin al Qari’:

Dari Abdur Rahman bin Abdil-Qari’: “aku keluar bersama Umar bin al-Khaththab r.a. di salah satu malam Ramadhan, dan kami menemukan orang-orang berkelompok-kelompok, ada yang shalat sendiri dan ada yang shalat bersama yang lainnya. Kemudian Umar berkata: aku melihat seandainya aku kumpulkan mereka dalam satu jemaah, niscaya akan lebih baik, kemudian ia kumpulkan dalam (satu Imam) Ubai bin Ka’ab. Kemudian Umar berkata: “ini adalah sebaik-baik Bid’ah ”............ (HR al-Bukhari) 

Imam Ibn hajar al-Asqalani dalam kitabnya fathul-Baari (4/235) menjelaskan hadits di atas, bahwa yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Dan dalam masalah ini, sayyidina Umar telah melakukan bid’ah; yakni membuat satu Jemaah dengan satu imam tidaklah dilakukan oleh Nabi s.a.w., akan tetapi dilakukan oleh Umar r.a., karenanya beliau sebut dengan istilah bidah. Tapi beliau (Ibn Hajar) menjelaskan bahwa bidah yang dilakukan oleh Umar r.a. adalah bidah yang Hasanah (baik), karena ini dikerjakan dengan semangat syariat yang sesuai, tidak ada ketentuan syariat yang dilanggar.

Pada awalnya, Sholat Tarawih para sahabat di zaman Umar r.a tetap meniru sebagaimana apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw, yaitu bacaan yang panjang dan lama. 

Dari al-Saib bin Yazid, beliau berkata: Umar r.a. mengumpulkan orang untuk menjadi makmum Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Daariy. Dan keduanya jika shalat itu membaca surat al-Miun di satu rakaat. Sampai-sampai beberapa orang berpegang dengan tongkat agar bisa berdiri, dan sebagian lain mengikat dirinya dengan tali keatap masjid agar tetap berdiri. Dan kami selesai shalat itu melihat sinar menjelang fajar (Tarikh Al Madinah)

(Al-Miun adalah salah satu jenis kumpulan surat yang dibagi sesuai jumlah ayat di dalamnya. Jenis surat yang paling banyak jumlah ayatnya disebut dengan at Thiwal; yakni surat al-Baqarah sampai surat al-Taubah. Kedua adalah al-Miun; yakni dari surat al-Anfal sampai al-Sajadah. Ketiga adalah surat al-Matsani; yakni dari surat al-Ahzab sampai surat al-Fath. Keempat atau yang terakhir adalah surat al-Mufahshal; yakni dari setelah surat a-fath sampai akhir al-Qur’an.)

Dari kondisi inilah, kemudian Amirul Mukminin Umar r.a memerintahkan agar sholat Tarawih dibuat seringan mungkin, tentu saja ini menunjukkan bagaimana beliau r.a sangat memperhatikan kondisi umatnya. Pada awalnya, Umar memerintahkan Imam sholat untuk mengurangi bacaan ayat menjadi 50 ayat, lalu turun menjadi 30 ayat, hingga kemudian menjadi 20 ayat. 

Imam al Marwadzi meriwayatkan bahwa shalat di zaman Umar r.a. akhirnya menjadi sangat ringan; karena mereka masih sempat istirahat dan tidur setelah isya sekitar seperempat malam. Dan 2/4 mereka gunakan untuk shalat dan di ¼ terakhir mereka bisa santap sahur. 

Jumlah ayat yang dibaca pun berkurang, dengan jumlah rakaat yang ditambah. Untuk kali ini, ayat yang dibaca dalam satu rakaat hanya 5 sampai 6 ayat. Dan jumlah rakaat bertambah menjadi 18 rakaat yang sebelumnya 8 dan juga 13 rakaat. 

Akhirnya muncul kesan, bahwa ijtihad Amirul Mukminin Umar r.a. itu “sedikit rakaat banyak bacaan atau Banyak rakaat sedikit bacaan”. Dan itu memang benar-benar terjadi.

Sholat Tarawih 4 Imam Madzhab 

Mazhab Al-Hanafiyah 

Al-Kasani (w. 587 H) yang juga merupakan salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan di dalam kitabnya, Badai’ Ash-Shana’i’  fi Tartib AsySyarai', 

Adapun jumlahnya 20 rakaat dengan 10 salam dan 5 kali istirahat. Tiap dua kali salam ada istirahat. Demikian pendapat kebanyakan ulama.

Mazhab Al-Malikiyah 

Mazhab Al-Malikiyah pada umumnya menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. An-Nafarawi (w. 1126 H) yang juga ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalati Ibni Abi Zaid Al-Qairuwani, 

Para salafusshalih yaitu para shahabat radhiyallahuanhum menjalankan di masa khilafah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhum atas perintahnya di dalam masjid sebanyak 20 rakaat. Dan itulah pilihan Abu Hanifah, Asy-Syafi'i dan Ahmad, serta yang dijalankan sekarang di seluruh dunia.

Mazhab As-Syafi'iyah 

Semua ulama mazhab Asy-Syafi'iyah kompak menyebutkan bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat. An-Nawawi (w. 676 H) salah satu muhaqqiq dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab,

Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma' ulama. Dan menurut mazhab kami jumlahnya 20 rakaat dengan 10 kali salam. 

Mazhab Al-Hanabilah 

Ibnu Qudamah (w. 620 H) menuliskan dalam kitabnya, 

Dan qiyam bulan Ramadhan 20 rakaat yaitu shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah dan orang yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah SAW.

Kesimpulan

Sholat Tarawih adalah sholat sunnah muakkad yang diajarkan Nabi saw dan dilaksanakan oleh para sahabat r.a dengan sangat serius dan berat sepanjang malam-malam bulan Ramadhan. Ini menunjukkan dan mengajarkan kepada kita, bahwa generasi terbaik umat tidak pernah mengabaikan sholat Tarawih, mereka memperbanyak bacaan dan berdiri dengan sangat lama dalam 1 rakaatnya hingga dalam 1 malam itu, mereka pernah sholat sejak awal malam hingga mendekati fajar. 

Sangat menyedihkan melihat kondisi umat Islam saat ini, yang hampir bisa dipastikan melaksanakan Sholat Tarawih hanya heboh pada awal bulan Ramadhan, masjid  dan mushola penuh tak tersisa, tetapi dengan mudah meninggalkannya dan menyisakan hanya 1 hingga 2 shof jamaah, tanpa merasa rugi, di hari hari akhir Ramadhan. Hal inilah yang membuat penulis merasa perlu membuat materi terkait Sholat Tarawih. 

Dari sejarah sholat Tarawih ini pula, kita bisa melihat bagaimana Amirul Mukminin sebagai kepala negara Khilafah memberi contoh pada kita, bahwa perbedaan pendapat tidak selalu dibiarkan begitu saja. Perbedaan yang menjurus kepada hal hal yang berbahaya (meski hanya terkait sholat sunnah) dipersatukan menjadi satu keputusan, yaitu 1 imam dan 1 jamaah. 

Kalo perbedaan ringan seperti ini saja dipersatukan, maka bisa kita simpulkan, bahwa tidak mungkin Khalifah / Amirul Mukminin akan mendiamkan perbedaan pendapat terkait hal hal yang lebih serius, seperti perbedaan pendapat dalam awal dan akhir Ramadhan, maupun awal bulan Dzulhijjah, Hari Arofah dan Idul Adha yang jelas jelas membuat umat Islam melakukan keharaman ketika pendapat tersebut salah (masih berpuasa Ramadhan di hari raya idul Fitri, berpuasa hari Arofah di hari raya Idul Adha atau terlambat memulai puasa Ramadhan). 

Itulah kenapa, para ulama mengatakan tegaknya kembali Khilafah adalah Tajul Furudh (mahkota kewajiban) dimana bernaung didalamnya, kewajiban kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan tegaknya Khilafah, dan pula bersatu didalamnya pendapat pendapat yang berbeda karena dipersatukan oleh keputusan Khalifah / Amirul Mukminin. 

.

Irfan Abu Jundi

Referensi : 

Rumah Fiqh, Ahmad Zarkasy : Sejarah Tarawih 






Terkait :

0 komentar


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Arsitektur dan Konstruksi

 

Bersama Belajar Islam | Pondok OmaSAE: Bersama mengkaji warisan Rasulullah saw | # - # | Pondok OmaSAE : Belajar Agama via online


Didukung oleh: Suwur - Tenda SUWUR - OmaSae - Blogger - JayaSteel - Air Minum Isi Ulang - TAS Omasae - Furniture - Rumah Suwur - Bengkel Las -