Syeikh 'Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah mengatakan dalam soal jawabnya,
"Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan lahirnya hilal maka itu benar. Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan kemungkinan rukyatnya maka itu tidak benar. Sebab para astronom berbeda pendapat dalam menentukan kadar waktu yang terjadinya kelahiran hilal sehingga terlihat setelah tenggelam matahari. Meski demikian kita tidak berpuasa dan berbuka menurut hakikat kelahiran hilal, akan tetapi menurut rukyatnya. Begitulah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ»
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup mendung maka genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh."
Kadang kala hilal Ramadhan itu sudah ada tetapi tertutup mendung sehingga tidak terlihat maka hitungan Sya’ban digenapkan, sesuai nas hadits. Jadi waktu berpuasa itu ditetapkan dengan rukyat seperti yang ada di dalam dalil-dalil. Seandainya waktu berpuasa seperti halnya waktu shalat yakni tidak disyaratkan dengan rukyat niscaya penetapan waktu menggunakan hisab adalah benar. Akan tetapi, dalil-dalil puasa datang bersandar pada rukyat, sedangkan dalil-dalil shalat datang dengan pencapaian waktu tanpa mensyaratkan rukyat:
«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا…»
"Jika matahari tergelincir maka shalatlah kalian."
0 komentar:
Posting Komentar