Ramai beredar di dunia maya tulisan Ustadz Ahmad Sarwat soal khilafah. Dikatakannya bahwa ada orang melakukan blunder alias kesalahan besar dengan menyebut bahwa khilafah sudah ada pada masa nabi. Kemudian tulisan itu dibumbui dengan berbagai argumen yang menyudutkan “khilafah” maupun orang yang memperjuangkannya.
Bahwa memang benar bahwa ada orang yang saking semangatnya memperjuangkan khilafah sampai-sampai melakukan kesalahan dengan menyebut bahwa khilafah sudah ada pada masa nabi, atau nabi lah yang mendirikan khilafah. Bahwa benar pula, bahwa realitas sejarah menunjukkan bahwa nabi itu bukan mendirikan khilafah, tetapi mendirikan kekuasaan berdasar Islam.
Tetapi sungguh tidak benar, jika ada orang yang lebih tahu tetapi tidak memberi tahu yang belum tahu. Orang sekelas beliau yang menjadi salah satu rujukan umat dalam perkara fikih, saya memiliki ekspektasi yang lebih, yaitu bahwa beliau akan senantiasa menjadi teladan bagi umat dalam perkara keislaman di tengah kondisi umat yang dikungkung oleh sistem kapitalistik yang sekuler.
Sesuai dengan ekspektasi saya, saya mengira bahwa Ustadz Ahmad Sarwat memahami betul pokok persoalan dari pernyataan “khilafah sudah ada pada masa nabi”. Pokok persoalannya bukanlah pada khilafahnya, akan tetapi pada adanya sistem kekuasaan politik berdasarkan Islam. Dan kekuasaan politik berdasarkan Islam ini, Rasulullah lah yang memulai pertama kali, dan memang tidak menyebutnya sebagai khilafah dan beliau juga tidak menyebut dirinya sebagai seorang khalifah.
Bahwa ada orang yang (mungkin saking semangatnya, atau memang masih terus belajar) kemudian mengatakan secara keliru bahwa khilafah sudah ada pada masa Rasulullah, maka di sinilah seharusnya peran keilmuan Ustadz Ahmad Sarwat diuji. Selayaknya, ulama sekelas beliau meluruskan penyataan keliru itu sembari menjelaskan kepada umat hakikat sebenarnya, bahwa Rasulullah saw adalah orang yang pertama kali menerapkan kekuasaan Islam, sedangkan khilafah adalah sebutan fuqaha terhadap sistem kekuasaan politik kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah saw. Begitu. Jadi tidak nyinyir hanya sekedar mengejek orang yang keliru melakukan penyebutan.
Bukankah akan lebih baik jika orang yang bersemangat memperjuangkan khilafah namun keliru dalam penyampaian, kemudian disampaikan seperti apa seharusnya. Bukankah akan lebih baik seperti itu? Tetapi kenyataannya tidak. Kenyataannya, justru seolah ingin menunjukkan bahwa Rasulullah itu bukanlah seorang pemimpin politik (kepala negara). Ini sama saja dengan menyesatkan umat, agar umat tidak lagi mendukung perjuangan mewujudkan khilafah.
Ini yang pertama.
Kemudian yang kedua, bahwa Nabi Muhammad saw mengirim utusan yang membawa surat yang mengajaknya masuk Islam, itu benar. Beliau saw memang memperkenalkan diri sebagai nabi. Tetapi jika hanya dipahami sebatas ini saja, dan bukan sebagai kepala negara, itu keliru. Kenyataannya, kapasitas Rasulullah saw saat itu memang sebagai seorang kepala negara. Kepala negara itu pemimpin institusi politik. Memang tidak ada sebutan khusus bagi beliau, karena sebutan khusus bagi seorang pemimpin politik Islam baru ada sepeninggal beliau. Dan para sahabat, juga kaum muslim menyetujuinya (tidak mengingkarinya).
Para sarjana Barat saja mengakui bahwa kepemimpinan Rasulullah di Madinah adalah kepemimpinan politik, dan bukan hanya sebatas sebagai seorang nabi yang hanya mengajak manusia masuk Islam. Sebut saja Montgomery Watt, Robert N Bellah, Henry Lucas, dan sebagainya. Ustadz Ahmad Sarwat tentu saja sehausnya lebih memahami tentang hal ini.
Akan tetapi, dengan apa yang tertulis dalam catatan tulisan beliau tersebut, seolah beliau ingin mengesankan bahwa isi surat Rasulullah kepada para pemimpin orang-orang kafir itu hanya sebatas mengajaknya masuk Islam dan sama sekali tidak mengesankan bahwa Rasulullah sebagai seorang kepala negara. Jika Rasulullah saw tidak memperkenalkan diri sebagai seorang kepala negara lantas mengapa Rasulullah mengecam Kisra yang merobek-robek surat beliau saw sembari berkata, “Allah akan merobek-robek negaranya.”? Respon Rasulullah kepada Kisra itu menunjukkan kapasitas beliau sebagai seorang kepala negara. Padahal, surat beliau kepada Kisra, adalah surat yang sama yang beliau kirikan kepada Muqauqis, Raja Himyar, Najasyi, penguasa Yamamah, juga penguasa Bahrain.
Ini yang kedua.
Kemudian yang ketiga, Ustadz Ahmad Sarwat menyinggung soal sistem khilafah “seperti apa” di antaranya adalah tidak adanya pemisahan kekuasaan (yudikatif, eksekutif, legislatif). Muncul pertanyaan dalam diri saya : mengapa Ustadz Ahmad Sarwat itu menilai atau mengukur sistem khilafah dengan konsep demokrasi?
Betul bahwa di dalam kekuasaan politik itu ada yang namanya kekuasaan untuk membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang (eksekutif), juga kekuasaan untuk mengadili menegakkan keadilan (yudikatif, peradilan). Pertanyaannya, apakah hanya sebatas ini saja kah kekuasaan itu? Mengapa hanya tiga? Mengapa tidak lima atau enam? Atau tujuh kekuasaan? Dan bukankah istilah pemisahan kekuasaan menjadi tiga seperti ini sebelumnya dikenal dalam sistem politik demokrasi? Lalu mengapa logika demokrasi seperti ini digunakan untuk mengukur sistem politik Islam? Memangnya politik Islam itu sesuai dengan demokrasi?
Di sinilah kekeliruannya. Seharusnya, orang menilai politik Islam itu apa adaya sebagai sebuah sistem politik, yaitu sistem yang ingin menyelesaikan persoalan-persoalan di tengah-tengah manusia. Bukan menilai sistem politik Islam dengan kacamata demokrasi.
Memang benar bahwa pemisahan kekuasaan itu adalah jalan yang ditempuh agar jangan sampai penguasa atau pemimpin politik itu memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Raja-aja di Eropa misalnya. Karena saking besar dan luasnya kekuasaan mereka, lantas mereka pun menyelewengkan kekuasaannya dan menzalimi rakyat. Kemudian datanglah para pemikir dari kalangan masyarakat yang menyerukan agar kekuasaan raja dipecah, dibatasi, agar rakyat juga memiliki kebebasan politik dalam menentukan tata aturan atau siapa yang akan mengaturnya. Lalu kekuasaan aja yang sedemikian besar (legislatif, eksekutif, yudikatif jadi satu di tangan raja), dipecah. Raja hanya boleh berperan sebagai pelaksana (eksekusi) aturan atau undang-undang. Undang-undang dibuat (legislasi) oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Sedangkan pengadilan (yudikasi) bertugas mengadili pelanggar aturan atau undang-undang, bisa dari kalangan rakyat atau penguasa (raja). Jadilah kekuasaan itu dibagi menjadi tiga. Inilah sejarah demokrasi (demos = rakyat, cratein = kekuasaan atau kedaulatan) alias pemerintahan berdasar kedaulatan rakyat.
Nah, itu kalau kepemimpinan berdasar demokrasi. Kepemimpinan bersifat jama’iyah (banyak). Sedangkan kepemiminan Islam, tidak mengenal yang begituan. Kepemimpinan dalam Islam, bersifat fardiyah (tunggal). Kepemimpinan dalam Islam itu hanya ada dua pihak, pemimpin dan yang dipimpin. Tidak ada yang lain. Itulah sifat kepemimpinan dalam Islam. Karena itu, kalau mau dikatakan kekuasaan pemimpin sangat besar, memang iya. Tetapi Islam tidak pernah memandang kekuasaan itu sebagai besar atau kecil. Islam memandang kekuasaan sebagai kekuasaan. Tidak ada yang besar atau kecil. Besar atau kecil itu bukan di kekuasaannya, tetapi di dalam rinci tugas dalam suatu jabatan. Ada yang besar, ada yang tugasnya kecil. Taruhlah misalnya dikatakan kekuasaan pemimpin dalam Islam sedemikian besar. Barangkali iya, besar. Maka dari itu, Islam menetapkan syarat-syarat yang qualified bagi seorang pemimpin sesuai dalil-dalil syara yang ada.
Jadi, kalau mau dikatakan bahwa dalam Islam, kekuasaan legislasi, eksekusi, dan yudikasi itu berada di tangan satu orang, yaitu khalifah, maka jawabannya adalah memang iya seperti itu. Memangnya kenapa kalau kayak gitu? Tidak boleh? Kata siapa? Tentu kata demokrasi.
Sekalipun kekuasaan pemimpin di dalam Islam itu besar (kan dianggaplah tiga kekuasaan di tangan satu orang), tetapi tetap saja kekuasaan pemimpin itu ada batasnya. Apa batasnya? Hukum syariah. Ya, hukum syariah ini adalah batas, yang membatasi kekuasaan pemimpin alias kepala negara. Tetapi bukan hanya pemimpin atau kepala negara saja, hukum syariah itu juga membatasi rakyat atau masyarakat. Jadi, baik penguasa atau rakyat biasa, semuanya dibatasi dengan hukum syariah, sesuai dengan kapasitasnya sendiri-sendiri.
Karena itu, hukum syariah itu adalah batas. Sebab, seorang kepala negara atau pemimpin umat (khalifah), tidak diangkat kecuali dalam rangka memimpin penerapan hukum syariah. Itulah akad yang terjadi antara umat dengan calon khalifah. Itulah akad baiat, sumpah atau janji setia kepada khalifah untuk senantiasa menaati dalam pelaksanaan hukum syara. Begitu. Sehingga, jika seorang kepala negara atau khalifah itu melanggar batas-batas hukum syariah, dengan sendirinya dia telah merusak akad yang ada dan harus diadili, atau dia tidak layak lagi menjadi seorang khalifah, tersebab karena dia melanggar hukum syariah.
Jadi, intinya adalah di hukum syariah tadi. Hukum syariah itu wajib diterapkan berdasarkan dalil-dalil syara yang ada. Karena itulah diangkat pemimpin dalam rangka memimpin penerapannya. Kan ga mungkin hukum syariah diterapkan sendiri-sendiri oleh rakyat.
Jadi begitu falsafah kepemimpinan dalam Islam. Hanya ada dua, pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin diangkat dalam rangka menerapkan hukum syariah. Melanggar syariah, tidak layak memimpin. Umat harus mencabut kekuasaannya dari khalifah dan segera menggantinya dengan yang lebih layak. Jadi omong kosong itu yang namanya kekuasaan absolut.
Selanjutnya, Ustadz Ahmad Sarwat juga memahami bahwa pemilihan kekuasaan itu berdasarkan pewarisan alias penunjukan, dan bukan pemilihan. Sampai di sini, lagi-lagi logika demokrasi yang beliau pakai. Mengapa sih demokrasi ini begitu melekat di pikiran beliau?
Begini, kepemimpinan dalam sistem khilafah itu adalah akad. Karena itu, kekuasaan sang khalifah, juga bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi hakikatnya adalah berasal dari umat. Umatlah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya. Melalui akad yang ada, maka umat mendelegasikan kekuasaannya tersebut kepada calon khalifah. Karena itu, tidak boleh ada peralihan kekuasaan dari satu orang ke orang lain, baik ada pertalian darah atau tidak, kecuali atas dasar adanya akad saling ridho, antara calon khalifah dengan umat. Akad ini adalah akad baiat.
Akad yang terjadi itu adalah antara umat dengan calon khalifah. Calon khalifah ini, bisa dari anggota keluarga khalifah sebelumnya, bisa juga dari orang lain. Intinya adalah di baiatnya. Seorang calon khalifah dari anggota keluarga khalifah sebelumnya, boleh mencalonkan diri sebagai khalifah atau dicalonkan sebagai khalifah. Begitu juga dengan orang lain, juga boleh dicalonkan atau mencalonkan diri, selama syarat-syaratnya terpenuhi. Jadi, tidak ada itu sistem pewarisan atau penunjukan. Itu adalah sebuah kesalahan.
Kemudian soal masa jabatan khalifah. Ya memang tidak ada batas masa jabatan bagi seorang khalifah. Mengapa? Sebab, akadnya adalah pelaksanaan hukum syariah. Selama dalam kepemimpinannya hukum syariah itu terlaksana dengan baik, maka selama itu pula dia harus memimpin, selama dia masih mampu untuk memimpin.
Pembatasan soal masa jabatan ini, lagi-lagi hanya dikenal di dalam sistem demokrasi. Mencegah agar jangan sampai korupsi lah, agar jangan sampai kekuasaannya mutlak lah. Macem-macem lah alasannya. Yah, lagi-lagi dan lagi-lagi. Demokrasi ini kayaknya memang sudah mendarah daging dalam diri Ustadz Ahmad Sarwat.
Lalu berkaitan dengan tidak adanya undang-undang. Seolah-olah khalifah menjalankan kebijakan secara subjektif, tanpa panduan yang jelas. Keliru sekali. Sekali lagi, akad mendasar sistem kekhalifahan adalah akad untuk melaksanakan hukum syariah. Jadi, hukum syariah inilah yang dilaksanakan, diterapkan. Karena itu, seorang khalifah selayaknya mengadopsi hukum-hukum tertentu yang berkaitan dengan urusan politik, atau dalam mengatur urusan masyarakat. Jadi, tidak perlu seorang khalifah mengadopsi suatu mazhab tertentu untuk diterapkan dalam undang-undangnya. Hanya hukum-hukum tertentu saja yang selayaknya perlu diadopsi, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan penyatuan umat.
Terus berkaitan dengan penasehat khalifah. Sebenarnya, khalifah memiliki tempat berkonsultasi berkaitan dengan orang-orang yang tergabung dalam lembaga perwakilan rakyat alias majelis umat (jangan dibayangkan lembaga ini seperti DPR). Mereka inilah tempat bagi khalifah untuk berkonsultasi sebelum sang khalifah memutuskan sebuah kebijakan atau hukum. Dengan begitu, khalifah memahami betul dan memastikan bahwa kebijakannya tidak akan menzalimi siapa pun.
Seluruh hal di atas, kalau mau dibahas secara panjang lebar, bisa. Tidak perlu saya tampilkan secara ndakik-ndakik dalilnya. Toh, yang bersangkutan juga tidak menginginkannya. Yang bersangkutan cuma pengen jawaban ya atau tidak, singkat-singkat gitu. Dia ndak mau ada penjelasan, apalagi pake kitab-kitab. Jadi, saya pun malas membuat catatan yang dikhususkan buat beliau. Terpikir sejak dua paragraf di awal untuk membuat catatan khusus buat beliau, tetapi semakin dibaca semakin malas. Karena beliau juga hanya sekedar buat catatan. Tidak ilmiyah. Dan kayaknya rada emosional (maksudnya muncul dari emosi, bukan maksudnya marah2). Ya sudah, saya bikin tulisan agak panjang tapi buat siapa saja lah yang ingin membaca.
Beliau itu di tulisannya merasa bahwa tidak ada kajian ilmiyah tentang khilafah, tidak ada jawaban memuaskan soal khilafah. Weleh. Buku-buku soal khilafah dari yang paling getol memperjuangkan khilafah itu juga rasanya mudah didapatkan. Mantan jubirnya, juga mudah dihubungi. Diajak dialog juga kayaknya mudah. Lha kok kesannya seperti susah mempelajari soal khilafah. Aneh. Yang begini kok minta penjelasan pake kitab. Pantes pengennya cuman jawaban ya atau tidak.
Semua hal yang dipertanyakan Ustadz Ahmad Sarwat di atas berkaitan dengan fakta sejarah kekhalifahan. Ya, fakta sejarah kekhalifaha ya memang begitu itu. Kekuasaan absolut, pewarisan kekuasaan, kekuasaan subjektif, tidak ada pembatasan masa jabatan, dan sebagainya. Masih banyak lah kejelekan penerapan sistem khilafah.
Tetapi justru di sinilah titik kesalahannya diskusi seputar khilafah. Khilafah itu hukum syara. Hukum syara itu diterapkan selayaknya seideal mungkin. Adapun sejarah sistem khilafah, ya memang banyak kelemahannya. Tetapi sejarah itu bukan dalil. Sejarah itu adalah fakta peristiwa. Karena itu, mau seburuk apa pun sejarah khilafah di masa lalu, omong kosong lah diskusinya. Ndak nyambung kok. Yang di sini bicara hukum syara, yang di sana bicara soal fakta sejarah. Mbok yao, diskusinya itu ditetapkan dulu, soal sistem khilafahnya, atau soal sejarah khilafahnya. Ini monggo disepakati dulu. Begitu. Banyak lho diskusi yang begini ini. Tidak nyambung karena beda persepsi. Yang sini bicara idealnya hukum syara khilafah itu begini, eh yang di sana bicara buruknya sejarah khilafah ya seperti itu.
Barangkali sedikit pengingat kita sebagai muslim, yaitu agar hati kita memiliki kecenderungan terhadap Islam. Jika hati sudah cenderung kepada Islam, maka hati tidak akan mudah untuk teracuni oleh racun-racun pemikiran selain Islam. Cenderunglah kepada Islam. Jangan cenderung kepada orang-orang zalim yang akan menjadi penyebab masuk neraka. Lihat Surah Hud ayat 113.
Agus Trisa
0 komentar:
Posting Komentar