Speed, Kills You
A’udzubillahi minasysyaithanirrajim
Bismillahirrahmanirrahim
Ungkapan di atas, cukup sering digaungkan di kalangan pebisnis.
“Kecepatan, bisa membunuhmu”.
Tentu bukan bermakna harfiah.
Fakta; salah satu penyebab ‘kematian’ bisnis yang cukup populer, memang sebab speed ini.
Maka, tantangan dilematisnya:
- Apakah kita tidak boleh cepat?
- Kalau nggak cepat, apa nanti tidak kehilangan momentum?
Lantas, apa ada parameternya?
Saya, meskipun secara umur sudah lebih dari 20 tahun berbisnis, tetap saja kesulitan menjawab dengan pasti dilema ini.
Kadang rasanya sudah sangat antisipatif dengan semua pengalaman pahit-manis berbisnis, namun tetap bisa meleset dan salah keputusan.
Kadang, juga merasa sangat terlambat dalam merespon sesuatu.
Atau, bisa juga benar dalam memutuskan baik cepat (rasanya) atau tidak terburu-buru.
Kalau sudah begini, parameter yang dipakai akhirnya bisa juga setelah ada hasil akhir:
——
“Apa dan bagaimana saya meresponnya?
Tetap positif kah?
Rusakkah hubungan baik?
Emosional dan penuh penyesalan kah? Dapat hikmah dan pelajaran baikkah?
Dan…what’s next?
——
Maka, setidaknya beberapa hal berikut, yang semoga saja membantu:
1. Niat sejak awal, jangan sampai salah.
Niat baik pastikan karena Allah, karena ingin kebaikan baru terjadi, dkk.
Kita yang paling tahu, niat hati nurani kita apa?
Apakah lurus baik?
Atau ada niat tersembunyi?
Biasanya, jika niat sungguh-sungguh baik, apapun bentuk hasilnya, akan membuat kualitas diri kita, tetap baik.
Tak berubah.
Misal, niat syiar kebaikan via medsos.
Saat respon dan tanggapan orang terhadap status/tulisan kita tak sesuai harapan, inSyaAllah takkan pengaruhi konsistensi kita. Sedih boleh, kecewa boleh, sejenak saja tapinya.
Namanya manusia, sebaik apapun niat kita akan tulisan/status, respon manusia tidak bisa kita kontrol. Ngarep respon sesuai harapan, sama saja dengan ngarep sama manusia. Siap-siaplah untuk kecewa.
(Pengalaman pribadi..hihi)
Meski berkali-kali kita statement: ‘saya mah nggak baperan’, namun jika tiap ada yang komen julid kita balas/bahas, itu berarti kita masih baperan.
Sangat mungkin, masih tersisip ingin pengakuan bahwa kita baik, kita hebat dll, hingga saat respon tidak sesuai, kita sangat kecewa.
Naah, sama saja dengan niat bisnis.
Speed yang salah atau bukan, tergantung sama bentuk respon kita. Jangan-jangan kita terselip ingin membuktikan bahwa kita hebat, kita paling pandai ambil peluang, dkk.
2. Prosesnya, jalani dengan proper.
Justru saat kesempatan ‘hebat’ itu datang dengan begitu mendesak untuk keputusan, hati-hatilah. Kecuali kita sudah sangat tahu dan yakin (manusiawi tetap bisa salah) terhadap orangnya, maka seindah dan sekeren apapun tawaran yang datang, proses dengan TIDAK MELEWATKAN YANG WAJIB DIPASTIKAN. Diproses dengan proper saja, tidak ada jaminan sukses. Apalagi jika tidak diproses dengan proper.
Kaidahnya: kita hanya berusaha, jika sudah ikhtiar terbaik, tawakal padaNya.
Tentu, kaidah ini bukan untuk pembenaran dengan; ”yaa kalau Allah izinkan pasti berhasil, kalau nggak ya sudah takdir.”
Kaidahnya benar, namun konteks ikhtiar nya jangan ‘jadi pembenaran’ akan kualitas asal-asalan, atau malas, atau bahkan jadi nggak pakai ikhtiar. Kesannya taqwa banget, padahal konyol.
Kalau didesak untuk tetap ambil keputusan padahal nurani ragu dan ikhtiar masih sangat kurang, saya memilih untuk ‘menolak tawaran’ itu.
3. Saat ambil keputusan ‘Yess or No’, fokus pada; lakukan dan lupakan.
Jika proses sudah proper, maka kita ambil atau tidak jadi ambil, sudah bukan lagi hal yang perlu diperdebatkan.
Langsung saja fokus pada ikhtiar terbaik. Itu bukti bahwa kita lurus niat.
Lakukan, lupakan.
Hanya hati-hati, beberapa poin ini bisa bantu juga untuk pertimbangan:
1. Kita jualan franchise nih misalnya, sebab pandai marketing, banyaaak orang tertarik ambil dan beli franchise kita. Namun sebab baru terbukti bagus di beberapa outlet saja trus langsung kita franchisekan, ternyata dari ratusan yang ambil, hanya bagus di 1-3 bulan awal saja. Bahkan mayoritas kecewa. Jangan pernah kita menganggap itu salah mereka sendiri. Namanya juga mayoritas kecewa, berarti kita yang wajib introspeksi. Kita yang salah. Belum siap berarti. Hitung, jika ada 150 yg “gagal”, kalikan berapa kita sudah memubazirkan uang orang. Katakan 10 juta? Berarti ada 1,5 M kita andil “mubazirkan”. Kalau terus-terusan kita bikin beginian? Saya khawatir ini masuk ke speed, kills! Plus dzalim sama orang lain. Kitanya mah dapet uang fresh dimuka. Nah mitra kita?
2. Buka bisnis baru
Ini banyak. Apalagi yang sedang semangat-semangatnya. Hajar sana sini, ambil opportunity ini dan itu.
Dana sendiri, dana orang lain. Pokoknya hajar!
Orang lain dibuat terkagum-kagum. Begitu hebatnya orang seperti ini. Belasan bahkan puluhan bisnis di klaimnya.
Prinsipnya, setiap kesempatan nggak boleh dilewatkan.
Padahal boleh jadi portofolio bisnisnya sendiri, belum ada yang sukses poll.
Mungkin sebagian ada yang klaim dan kenyataannya sukses sih.
Namun ya tetap, rasanya saya belum nemu, ada pengusaha yang PASTI sukses semua bisnis yang dia buka atau dia kelola. Selalu ada saja yang tidak suksesnya.
Kadang ada orang yang, giliran buka bisnis baru, selalu status di medsos.
Reputasi nambah naik terus.
Coba cek deh, giliran ada yang gagal, apa ada upload status di medsos?
Sejauh ini saya nggak nemu.
Termasuk saya, meski bisnis punya sendiri, nggak akan yang gagal saya umum-umumkan di medsos.
Malu atuh..😅🤭
Ini sama prinsipnya.
Meskipun “uang sendiri”, namun salah sebab ‘speed’, tetap ujungnya terjadi kemubaziran. Apalagi jika pakai uang oranglain?
Ingat lho, coba semua waktu orang yang terlibat juga effort nya dihitung.
Banyak kan jadinya kerugiannya?
Tolong yaa, tulisan saya ini bukan untuk ngerem semangat.
Saya termasuk yang mendukung setiap pengusaha cepat tumbuh besar.
Hanya pakai TAPI.
Cepatlah tumbuh besar dan kuat, TAPI dengan proper. Dengan benar!
Barakallahu fikum 😊🙏🏻
Wal afwu,
Riza Zacharias
Syaamil
Sdi Sygma Daya Insani
#KepemimpinanJalanLangit
#BisnisJalanLangit
0 komentar:
Posting Komentar