Buletin Kaffah, No. 120, 23 Rabiul Akhir 1441 H-20 Desember
2019 M
ISLAM AGAMA TOLERAN
Saat ini, tampak begitu massif arus
opini tentang intoleransi. Seolah negeri
ini darurat intoleransi. Bahkan Kementerian
Agama (Kemenag) RI melakukan survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tahun
2019 dengan rata-rata nasional sebesar 73,83. Penilaian tersebut diukur dari tiga
indikator yaitu: toleransi, kesetaraan dan kerjasama
di antara umat beragama. Dalam survei ini, Papua Barat menempati rangking
paling atas (paling
toleran). Disusul
NTT, Bali, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua.
Indeks KUB-nya
di atas rata-rata nasional. Adapun Aceh menempati ranking paling bawah (paling
intoleran). Disusul
Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, Riau dan NTB. Indeks
KUB-nya di bawah rata-rata
nasional.
Tentu hasil
survei ini terasa
janggal. Mengapa propinsi dengan kasus
pembakaran masjid, pembakaran rumah penduduk dan pertokoan, penganiayaan dan
pembunuhan sadis terhadap warga pendatang justru menempati ranking ke-6 teratas? Sebaliknya, mengapa
propinsi dengan penduduk mayoritas
Muslim serta memiliki semangat keislaman
yang cukup baik, justru menempati rangking di bawah?
Islam Agama Toleran
Islam
adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi. Wujud toleransi agama Islam
adalah menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja, termasuk non-Muslim. Islam
melarang keras berbuat zalim serta merampas hak-hak mereka. Allah SWT berfirman:
﴿َูุง
ََْูููุงُูู
ُ ุงَُّููู
ุนَِู ุงَّูุฐَِูู
َูู
ْ َُููุงุชُُِูููู
ْ
ِูู ุงูุฏِِّูู
ََููู
ْ ُูุฎْุฑِุฌُُููู
ู
ِّู ุฏَِูุงุฑُِูู
ْ
ุฃَู ุชَุจَุฑُُّููู
ْ
َูุชُْูุณِุทُูุง ุฅَِِْูููู
ْ
ุฅَِّู ุงََّููู
ُูุญِุจُّ ุงْูู
ُْูุณِุทَِูู﴾
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kalian
dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai kaum yang berlaku adil (TQS
al-Mumtahanah [60]: 8).
Ibnu
Jarir ath-Thabari rahimahulLah
di dalam tafsirnya mengatakan bahwa bentuk berbuat
baik dan adil di sini berlaku kepada setiap pemeluk agama.
Islam
mengajarkan untuk tetap bermuamalah baik dengan orangtua walaupun tidak
beragama Islam.
﴿َูุฅِْู ุฌَุงَูุฏَุงَู ุนَูู ุฃَْู ุชُุดْุฑَِู ุจِู ู
َุง َْููุณَ ََูู ุจِِู ุนِْูู
ٌ َููุง ุชُุทِุนُْูู
َุง َูุตَุงุญِุจُْูู
َุง ِูู ุงูุฏَُّْููุง ู
َุนْุฑًُููุง﴾
Jika keduanya memaksa kamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik (TQS Luqman [31]: 15).
Islam
pun melarang keras membunuh kafir dzimmi,
kafir musta’min dan kafir mu’ahad. Rasulullah
saw. bersabda:
«ู
َْู َูุชََู َูุชًِููุง ู
ِْู ุฃَِْูู ุงูุฐِّู
َّุฉِ َูู
ْ َูุฌِุฏْ ุฑِูุญَ ุงْูุฌََّูุฉِ َูุฅَِّู ุฑِูุญََูุง َُูููุฌَุฏُ ู
ِْู ู
َุณِูุฑَุฉِ ุฃَุฑْุจَุนَِูู ุนَุงู
ًุง»
Siapa
saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga.
Padahal bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun (HR an-Nasa’i).
Dalam
lintasan sejarah peradaban Islam,
praktik toleransi demikian nyata. Hal ini
berlangsung selama ribuan tahun
sejak masa Rasulullah Muhammad saw. sampai sepanjang masa
Kekhalifahan Islam setelahnya.
Tentu
sangat lekat dalam ingatan kisah Rasulullah
saw. yang menyuapi pengemis buta di sudut
pasar setiap harinya. Padahal
pengemis itu adalah seorang Yahudi. Rasulullah saw. juga
pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit. Padahal dia sering
meludahi
beliau. Beliau pun melakukan
transaksi jual-beli dengan non-Muslim. Rasulullah saw. juga memimpin Negara Islam di
Madinah dengan cemerlang walau dalam kemajemukan agama. Umat Islam, Nasrani dan
Yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meski hidup dalam naungan
pemerintahan Islam, masyarakat non-Muslim mendapatkan hak-hak yang sama dengan
kaum Muslim sebagai warga negara. Mereka memperoleh
jaminan keamanan. Mereka juga bebas melakukan peribadatan
sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing.
Para
khalifah pengganti beliau juga
menunjukkan sikap toleransi yang sangat jelas. Saat Khalifah Umar bin al-Khaththab
ra. membebaskan Yerussalem Palestina, beliau menjamin warga Yerussalem tetap
memeluk agamanya. Khalifah Umar
tidak memaksa mereka memeluk Islam. Beliau pun tidak
menghalangi mereka untuk beribadah sesuai dengan keyakinan mereka.
Sikap
tenggang rasa juga terukir agung pada saat Muhammad al-Fatih sukses menaklukkan
Konstantinopel. Saat itu banyak wajah kaum Kristiani pucat-pasi. Tubuh mereka menggigil
ketakutan di sudut gereja. Faktanya, Muhammad
al-Fatih membebaskan mereka tanpa ada yang terluka. Tak ada satu pun kaum
Kristiani Konstantinopel yang dianiaya. Tak
ada yang dipaksa untuk memeluk Islam.
Ini
semua adalah fakta sejarah yang tidak mungkin terlupakan sampai kapan pun.
Intelektual Barat pun mengakui toleransi dan kerukunan umat beragama sepanjang
masa Kekhilafahan Islam.
Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant dalam bukunya, The Story of Civilization. Dia
menggambarkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol
di era Khilafah Bani Umayyah.
Mereka hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad
ke-12 M.
T.W. Arnold, seorang orientalis dan sejarahwan Kristen,
juga memuji toleransi beragama dalam negara Khilafah. Dalam bukunya, The
Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith (hlm. 134),
dia antara lain berkata: “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan
Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah
memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan
Eropa.”
Orientalis Inggris ini juga berkata: “Sejak Konstantinopel
dibebaskan pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya pelindung gereja
Yunani. Penindasan atas kaum Kristen dilarang keras. Untuk itu dikeluarkan
sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada uskup agung yang baru
terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya."
Sinkretisme
Bukan Toleransi
Toleransi tentu berbeda dengan Sinkretisme.
Sinkretisme adalah pencampuradukan keyakinan, paham atau aliran keagamaan. Hal
ini terlarang di dalam Islam. Contohnya
perayaan Natal bersama, pemakaian
simbol-simbol agama lain, ucapan salam lintas agama, doa lintas agama, dll. Semua ini bukan toleransi.
Sayangnya, pencampuradukkan
ajaran agama ini sering dijadikan patokan
untuk mengukur toleransi kehidupan beragama. Misal,
seorang Muslim yang mengucapkan selamat natal
kepada orang Kristen akan dikategorikan sebagai toleran. Sebaliknya, Muslim yang enggan
mengucapkan selamat natal akan
dituduh intoleran dan radikal.
Padahal pencampuradukkan ajaran agama
merupakan refleksi dari paham pluralisme yang haram hukumnya dalam Islam. Keharaman
pluralisme juga telah difatwakan oleh MUI tahun 2005.
Pluralisme
adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Paham pluralisme tidak berhubungan sama sekali
dengan Islam. Gagasan tersebut bertentangan dengan nash-nash qath’i
(tegas) yang menyatakan bahwa agama yang Allah SWT ridhai
hanyalah Islam (Lihat: QS
Ali Imran [3]: 19).
Rasulullah
saw. pun tegas tidak mau berkompromi dengan
‘toleransi’ semacam ini.
Pada fase dakwah di Makkah, suatu ketika beberapa tokoh kafir Quraisy menemui
Nabi saw. Mereka adalah Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnu
al-Muthallib dan Umayyah bin Khalaf. Mereka menawarkan ‘toleransi’ kepada beliau, “Muhammad, bagaimana
jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim)
juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan
agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang
lebih baik (menurut kami) dari tuntunan
agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran
kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”(Al-Qurthubi,
Tafsir al-Qurthubi, 20/225).
Kemudian
turunlah Surat
al-Kafirun yang
menolak keras toleransi kebablasan semacam ini (QS al-Kafirun [109]: 1-6).
Kepentingan Barat di Balik Narasi
Intoleransi
Narasi
intoleransi yang dikampanyekan kepada umat Islam tak bisa dilepaskan dari
agenda Barat. Dalam pandangan Barat dan para pengikutnya, sikap intoleran
muncul karena adanya truth claim
(klaim kebenaran) yang ada pada Islam. Hal ini dituding sebagai faktor pemicu fanatisme dan fundamentalisme agama.
Untuk itu, menurut mereka,
agar umat Islam bisa bersikap toleran, truth claim harus dihapuskan dari Islam.
Caranya dengan mengintervensi umat Islam untuk “meyakini kebenaran agama lain”
dan mendukung kebebasan beragama (baca: liberalisme beragama). Hanya dengan
cara ini, Barat dapat menjauhkan umat Islam dari prinsip akidah dan syariahnya.
Dalam
pandangan Barat, sikap kaum Muslim
yang “intoleran”
dan “radikal” (baca: berpegang
teguh pada akidah dan syariah Islam) amat
mengganggu kepentingan ekonomi mereka. Demikian pengakuan Menlu AS, Mike Pompeo,
di hadapan pendukung kebebasan beragama dari 80 negara dalam KTT Kebebasan
Beragama di Washington DC (24/7/2018).
Tak
aneh jika AS akan
terus mendikte negara manapun, termasuk dalam urusan kehidupan beragama umat
Islam, terutama negara yang
memiliki posisi geostrategis dan kekayaan alam yang menguntungkan bagi AS. Tentu termasuk Indonesia.
Khatimah
Islam
sudah mempraktikkan toleransi dengan baik sejak 15 abad yang lalu hingga semua
pihak merasakan kerukunan umat beragama dan kesejahteraan yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, umat Islam tak memerlukan paramater, indeks dan ukuran-ukuran
yang lain. Cukuplah akidah
dan syariah Islam menjadi ukuran dan pegangan hidupnya. Keduanya menjadi kunci
kebangkitan Islam. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa dengan
berpegang teguh pada akidah dan syariah Islam, umat Islam tampil sebagai umat
terbaik yang membawa rahmat bagi seluruh alam. WalLahu’alam. []
Hikmah:
﴿ََููุง ุชَْูุจِุณُูุง ุงْูุญََّู ุจِุงْูุจَุงุทِِู َูุชَْูุชُู
ُูุง ุงْูุญََّู
َูุฃَْูุชُู
ْ ุชَุนَْูู
َُูู﴾
Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.
Jangan pula kalian menyembunyikan kebenaran itu, sedangkan kalian mengetahui.
(TQS al-Baqarah [2]: 42). []
0 komentar:
Posting Komentar