Buletin Kaffah,
No. 129, 28 Jumada
ats-Tsaniyah, 1441 H-21 Februari 2020
M
HUKUM ILAHI
DI ATAS
KONSTITUSI
Allah SWT berfirman:
﴿ุซُู
َّ ุฌَุนََْููุงَู ุนََٰูู ุดَุฑِูุนَุฉٍ
ู
َِู ุงْูุฃَู
ْุฑِ َูุงุชَّุจِุนَْูุง ََููุง ุชَุชَّุจِุนْ ุฃََْููุงุกَ ุงَّูุฐَِูู َูุง َูุนَْูู
َُูู﴾
Kemudian Kami menjadikan kamu berada di atas syariah
(peraturan) dari urusan (agama) itu. Karena itu ikutilah syariah itu dan jangan kamu mengikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (TQS al-Jatsiyah [45]: 18).
Berdasarkan
ayat ini, Allah SWT memerintah
kita agar senantiasa menjalankan semua syariah yang sudah Dia tetapkan; melakukan
segala yang Dia perintahkan dengan sekuat tenaga; dan menjauhi semua yang Dia larang
dengan kepasrahan jiwa. Semuanya itu merupakan konsekuensi dari keimanan kita kepada Allah SWT.
Dalam ayat itu
terdapat kalimat perintah (amr) ''fattabi’ha"
yang mengandung makna wajib. Artinya, dalam ayat ini, Allah SWT telah mewajibkan kita
untuk mematuhi semua apa yang sudah Dia syariatkan. Wajib bermakna: jika dilakukan, pelakunya mendapat
pahala;
jika ditinggalkan, pelakunya berdosa.
Risiko dari ketidaktaatan
seorang Muslim pada aturan-aturan Kitab Sucinya adalah
ia bisa dicap fasik, zalim bahkan
juga kafir. Allah SWT,
antara lain, berfirman:
﴿َูู
َْู َّูู
ْ َูุญُْูู
ْ ุจِู
َุงٓ
ุงَْูุฒََู ุงُّٰููู َูุงَُِٰููููٕۤ ُูู
ُ ุงูุธِّٰูู
َُْูู﴾
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan,
mereka itulah kaum
yang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).
Allah SWT pun tegas berfirman:
﴿َูู
َْู َูู
ْ َูุญُْูู
ْ ุจِู
َุง ุฃَْูุฒََู ุงَُّููู َูุฃَُููุฆَِู ُูู
ُ
ุงَْููุงِูุฑَُูู﴾
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan,
mereka itulah kaum
yang kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).
Jika kita
membaca tafsir ayat di atas, tentu tidak luput pernyataan Ibnu Abbas ketika
membantah orang Khawarij yang mengkafirkan khalifah waktu itu. “Itu bukanlah
kekafiran yang mereka pahami.
Itu bukan
pula kekafiran yang mengeluarkan dari agama. ‘Siapa saja yang
tidak memutuskan menurut apa yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang
kafir (QS al-Maidah [5]: 44)’ adalah kufr[un] duna kufr[in]
(kekufuran di bawah kekufuran).” Demikian sanggah Ibnu Abbas terhadap tuduhan
orang Khawarij (Muhammad bin Nashr Al-Marwazi dalam Ta’zhรฎm Qadrish Shalรขh,
2/521-569).
Vonis kafir
terhadap pelaku dosa besar memang
disematkan oleh Kelompok Khawarij. Dalam konteks ini, kaum Khawarij
beranggapan bahwa setiap pemimpin Muslim yang menyelewengkan syariah
Islam—undang-undang yang telah menjadi ketetapan negara—adalah kafir, meskipun
hal itu hanya pada sebagian hukum Islam saja. Anggapan seperti ini jelas
bertentangan dengan akidah Ahlus Sunnah.
Namun
sayangnya, ada sebagian kelompok yang menjadikan atsar Ibnu Abbas ini
sebagai alasan dan bahan justifikasi untuk melegalkan hukum buatan manusia.
Pedoman dasar hukum yang diterapkan pada suatu negara tidak menjadi perhatian. Bagi mereka, yang penting, jika pemimpin
tersebut Muslim dan masih
melakukan shalat, ia wajib didengar
dan ditaati karena statusnya sebagai ulil amri. Tidak diperhatikan apakah pemimpin
tersebut menerapkan syariah Islam ataukah tidak.
Misalnya dalam
menilai penguasa sekular hari ini,
kelompok tersebut sering membela penguasa dengan dalih masih memberikan kebebasan
dalam beragama. Mungkin sampai di titik ini tidak ada problem. Akan tetapi, mereka juga
menyatakan bahwa pemimpin tersebut adalah ulil amri yang wajib ditaati. Lagi pula, sebuah negara,
seperti Indonesia, mereka
anggap sebagai
Negara Islam lantaran mayoritas penduduknya Muslim. Adapun masalah
dasar undang-undang sekular yang dipakai,
hal itu tidak menjadi masalah.
Padahal Allah SWT tegas berfirman:
﴿ََููุง َูุฑَุจَِّู َูุง ُูุคْู
َُِููู
ุญَุชَّู ُูุญَِّูู
َُูู ِููู
َุง ุดَุฌَุฑَ ุจََُْูููู
ْ ุซُู
َّ َูุง َูุฌِุฏُูุง ِูู ุฃَُْููุณِِูู
ْ
ุญَุฑَุฌًุง ู
ِู
َّุง َูุถَْูุชَ َُููุณَِّูู
ُูุง ุชَุณِْููู
ًุง﴾
Demi Tuhanmu,
sekali-kali mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
sebagai hakim (pemutus perkara) dalam segala permasalahan yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sempit di dalam diri mereka, dan
mereka pun pasrah dengan sepenuhnya, atas apa saja yang kamu putuskan (TQS an-Nisa’
[4]: 65).
Berdasarkan
ayat ini, sepeninggal Rasulullah saw. penguasa wajib selalu merujuk
pada al-Quran dan as-Sunnah yang beliau tinggalkan, terutama dalam membuat hukum
atau undang-undang. Itulah yang dipraktikkan sepanjang sejarah Kekhalifahan Islam
dulu. Artinya, hukum atau undang-undang
yang digunakan
saat itu adalah Hukum
Ilahi atau undang-undang Allah.
Di dalam sistem Khilafah Islam, pemegang kedaulatan tertinggi
adalah Allah
SWT yang ketetapan-Nya
tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Akan tetapi, pada saat tertentu, ada keputusan Khalifah
yang tidak mengikuti ketetapan Allah, namun lebih karena kecenderungan hawa
nafsunya. Nah, tindakan yang seperti inilah yang disebut oleh para ulama sebagai ‘kufur kecil’ atau kufr[un] duna kufr[in] (kekufuran di
bawah kekufuran).
Berbeda dengan
sistem yang berlaku saat ini.
Dasar undang-undang yang dipakai adalah sekularisme (pemisahan agama dari
kehidupan). Demokrasi
menjadi pilarnya. Kedaulatan tertinggi di dalam pemerintahan demokrasi ada di tangan rakyat. Di
tnagn rakyatlah—melalui para wakilnya—hak membuat hokum, yang tidak harus
merujuk pada Hukum Ilahi atau al-Quran dan as-Sunnah. Karena rakyat
yang berdaulat, ketetapan Allah SWT atau Hukum Ilahi bisa saja
dibatalkan jika suara mayoritas rakyat tidak menyetujui.
Padahal meyakini keesaan Allah SWT juga berlaku dalam penetapan hukum
(tasyri’).
Artinya, Allahlah satu-satunya yang layak membuat hukum. Bukan manusia. Manusia
justru merupakan obyek yang dihukumi. Allah SWT berfirman:
﴿ุฅِِู ุงْูุญُْูู
ُ ุฅِูุง َِِّููู
َُููุตُّ ุงْูุญََّู ََُููู ุฎَْูุฑُ ุงَْููุงุตَِِููู﴾
Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia adalah Pemberi
keputusan yang paling baik (TQS al-An’am [6]: 57).
Keyakinan bahwa Allah SWT adalah satunya-satunya
Zat Yang berhak membuat hukum telah disepakati oleh para ulama.
Hal ini merupakan salah satu konsekuensi tauhid. Artinya, jika kita meyakini
bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemberi rezeki serta Zat Yang menghidupkan
dan mematikan, maka kita pun harus yakin bahwa Allah pun satu-satunya Musyarri’
(Pembuat hukum). Allahlah
satu-satunya Zat Yang berhak melakukan tahlil (menghalalkan)
dan tahrim (mengharamkan). Allah SWT berfirman:
﴿ุฃَูุง َُูู ุงْูุฎَُْูู َูุงูุฃู
ْุฑُ
ุชَุจَุงุฑََู ุงَُّููู ุฑَุจُّ ุงْูุนَุงَูู
َِูู﴾
Ingatlah, hanya
pada
Allahlah hak mencipta dan
memerintah. Mahasuci Allah, Tuhan alam semesta (TQS al-A’raf [7]: 54).
Allah SWT pun
menegaskan bahwa siapa saja yang merampas hak tasyri’—yaitu hak membuat hukum—maka dia telah
berbuat syirik:
﴿ุฃَู
ْ َُููู
ْ ุดُุฑََูุงุกُ ุดَุฑَุนُูุง
َُููู
ْ ู
َِู ุงูุฏِِّูู ู
َุง َูู
ْ َูุฃْุฐَْู ุจِِู ุงَُّููู ََْููููุง َِููู
َุฉُ ุงَْููุตِْู
َُููุถَِู ุจََُْูููู
ْ َูุฅَِّู ุงูุธَّุงِูู
َِูู َُููู
ْ ุนَุฐَุงุจٌ ุฃَِููู
ٌ﴾
Apakah mereka
mempunyai sekutu (sembahan-sembahan selain Allah) yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak Allah
izinkan? Sekiranya tak ada ketetapan yang
menentukan (dari Allah), tentu mereka telah
dibinasakan.
Sungguh kaum yang zalim itu akan memperoleh azab
yang amat pedih (TQS asy-Syura [42]: 21).
Ketika
menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, ”Maksudnya mereka tidak mengikuti
apa yang disyariatkan Allah kepadamu, yakni berupa agama yang lurus. Mereka malah mengikuti apa
yang disyariatkan oleh setan-setan mereka dari kalangan jin dan manusia.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 4/113).
Hukum Allah di Atas
Segalanya
Karena itu pernyataan
bahwa hukum konstitusi harus berada di atas ayat-ayat suci, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Prof. Yudian (BPIP), jelas merupakan pernyataan mungkar yang
wajib ditentang oleh setiap Muslim. Pasalnya, itu merupakan bentuk penghinaan
terhadap syariah Allah SWT.
Ini persis sebagaimana
yang pernah dinyatakan oleh kaum Yahudi. Mereka lebih mengutamakan hukum-hukum
buatan para rahib mereka sehingga berani mengesampingkan Kitabullah (Lihat: QS al-Baqarah
[2]: 101).
Kaum Yahudi diberi kitab oleh Allah
SWT. Akan tetapi, mereka
berpaling dari kitab
tersebut. Dengan berbagai alasan mereka menolak
hukum-hukum Allah yang
ada dalam kitab mereka.
Allah SWT berfirman:
﴿ุฃََูู
ْ ุชَุฑَ ุฅَِูู ุงَّูุฐَِูู
ุฃُูุชُูุง َูุตِูุจًุง ู
َِู ุงِْููุชَุงุจِ ُูุฏْุนََْูู ุฅَِٰูู ِูุชَุงุจِ ุงَِّููู َِููุญُْูู
َ ุจََُْูููู
ْ
ุซُู
َّ َูุชَََّٰููู َูุฑٌِูู ู
ُِْููู
ْ َُููู
ْ ู
ُุนْุฑِุถَُูู﴾
Tidakkah kamu
memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian, yaitu al-Kitab (Taurat)? Mereka diseru
pada Kitab Allah
supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka. Kemudian
sebagian dari mereka berpaling dan selalu membelakangi (kebenaran) (TQS Ali Imran [3]: 23).
Begitu banyak
Allah SWT
mengisahkan keburukan kaum Yahudi di dalam
al-Quran, terutama pembangkangan
mereka terhadap aturan-aturan Allah SWT. Mereka mengesampingkan Kitabullah dan
mengagung-agungkan hukum jahiliah buatan manusia. Persis para penguasa saat ini. Na’udzubilLah min dzalik. []
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
ุงْูุญََูุงُู ู
َุง ุฃَุญََّู ุงَُّููู
ِูู ِูุชَุงุจِِู َูุงْูุญَุฑَุงู
ُ ู
َุง ุญَุฑَّู
َ ุงَُّููู ِูู ِูุชَุงุจِِู...
Yang halal itu adalah apa saja yang
Allah halalkan di dalam Kitab-Nya. Yang haram itu adalah apa saja yang telah
Allah haramkan dalam Kitab-Nya…
(HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). []
0 komentar:
Posting Komentar