*Ritel Rontok, Ada Apa dengan Ekonomi Negeri Ini?*
_Tersendatnya aliran uang ke masyarakat dalam sektor riil, menjadikan macetnya ekonomi. Ditambah dengan beban-beban hidup dan tingginya biaya jasa kesehatan, pendidikan, transportasi serta pajak, membuat bisnis sektor riil menjadi lesu. Dan ini langsung berdampak pada rontoknya bisnis termasuk ritel._
Oleh: ustadzah Sari Zunairah Ashleena S.IP
Ditutupnya beberapa gerai supermarket dan ritel di Indonesia mengundang banyak tanya. Beberapa ritel terpaksa menutup gerainya dan menyisakan pengangguran akibat menurunnya daya beli masyarakat. Selama 2018 setidaknya sudah ada lima retailer ternama yang tutup. Toko tersebut di antaranya Seven-Eleven, Matahari Pasar Raya Blok M dan Manggarai, Lotus, Debenhams dan GAP. Sementara yang mengurangi gerai ada Hero Group dan MAP. Walaupun akhirnya PT Hero Supermarket Tbk (HERO Group) memutuskan menutup 26 gerai dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 532 karyawan.
Beberapa analis memprediksi penyebab gugurnya ritel adalah akibat dari peralihan (shifting) masyarakat ke e-commerce, seiring dengan laju ekonomi digital. Namun, sebenarnya, disrupsi ekonomi yang diciptakan e-commerce belum mampu menggeser ritel. Karena e-commerce banyak bergerak di bidang fashion. Sedangkan ritel berbasis fast moving consumer goods (barang kebutuhan harian yang cepat habis).
Selain itu, ritel-ritel ini pun sebenarnya mampu melakukan adaptasi dengan era disrupsi ekonomi. Bahkan lebih mudah bagi mereka, karena tinggal membuat aplikasi digital untuk membuat e-commerce atau online shop. Baik dari sisi ketersediaan produk ataupun brand, ritel yang sudah eksis bisa mendapatkan lebih banyak konsumen dibanding e-commerce baru. Sehingga tidak perlu tutup.
Lalu mengapa ritel-ritel ini tutup? Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pertumbuhan ritel cenderung melambat pada 2018 lalu akibat pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya stagnan di angka lima persen rata-rata. Gelombang penutupan ritel diprediksi masih akan berlanjut selama konsumsi rumah tangga dan daya beli melemah.
Banyak faktor yang memengaruhi penurunan daya beli. Terutama, kondisi tidak stabilnya ekonomi negeri, yang ditandai dengan defisit neraca perdagangan, kebijakan impor yang mematikan produksi dalam negeri, ditambah dengan terjadinya inflasi dan menurunnya mata uang rupiah, membuat masyarakat banyak menahan belanja. Akibatnya konsumsi pun melambat. Dan ritel-ritel banyak mengalami kerugian.
Selain itu, faktor ekonomi global juga masih berimbas pada ekonomi negeri. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, kondisi perekonomian dunia pada 2019 perlu diwaspadai. Sri memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 hanya akan mencapai 3,7 persen atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,9 persen. Pertumbuhan perdagangan dunia juga akan mengalami pelemahan dengan hanya mencapai 4 persen dibandingkan 2018.
Menurunnya daya beli masyarakat sebenarnya sudah dirasakan di negeri ini sejak beberapa tahun belakangan. Hal ini bermuara pada tata kelola ekonomi negeri.
Saat aset dan kekayaan negeri ini banyak dikuasai asing, otomatis sumber pendapatan negara berkurang. Sehingga pembangunan dan pelayanan bersumber dari utang dan investasi. Berubahlah infrastruktur dan pelayanan menjadi barang komersil. Pendidikan, kesehatan, transportasi, jalan, semua menjadi barang komersil yang mahal. Akibatnya masyarakat tidak mampu berbelanja karena harus memenuhi kebutuhan jasa seperti kesehatan dan pendidikan. Biaya Transportasi pun kian mahal sehingga barang-barang kebutuhan pun meningkat harganya. Sedangkan tingkat pendapatan masyarakat tetap. Otomatis masyarakat mengerem belanja alias berhemat.
Di sisi lain, kebijakan impor membuat produksi, industri, pertanian dan manufaktur, menjadi mandeg. Banyak hasil pertanian dan industri negeri ini yang digebuk impor. Harga gula, garam, sawit dan barang ritel produksi dalam negeri terjun bebas, menyebabkan pendapatan masyarakat anjlok. Lantas masyarakat mau belanja dengan apa?
Belum lagi nilai mata uang Rupiah yang terus terpuruk membuat masyarakat merasa kesulitan mendapatkan barang kebutuhan dengan nilai uang yang terus rendah. Masyarakat tidak bisa berbelanja banyak, karena uang mereka nilainya rendah.
Di samping itu, kalangan ekonomi menengah digempur dengan bujukan investasi non real berupa pembelian sukuk ritel dan global bond. Dengan kondisi nilai rupiah yang terus menurun, masyarakat cenderung memilih investasi untuk saving. Sehingga pembelian sukuk, dan surat berharga lainnya lebih diminati di banding bisnis riil. Padahal, dengan bisnis riil, adanya produksi dan konsumsi barang kebutuhan, jual beli barang kebutuhan dan ritel, roda ekonomi terus berputar di masyarakat. Uang beredar dengan adanya jual beli barang kebutuhan. Kesempatan mendapatkan harta dan sejahtera secara riil bisa didapat dari skema ini.
Namun, tatkala konsumsi belanja menurun, ritel bangkrut. Menyisakan tambahan pengangguran. Walaupun sektor non riil transaksinya meningkat, hal ini tidak akan berpengaruh pada kesejahteraan rakyat. Bahkan berbahaya karena bisa menyebabkan bubble economy yang bisa pecah setiap saat. Uang tidak berputar pada seluruh lini. Karena hanya digelembungkan di perbankan dan sektor non riil. Dan pada saat gelembung ini jenuh, yang terjadi ada pecahgelembung berupa krisis moneter.
Tersendatnya aliran uang ke masyarakat dalam sektor riil, menjadikan macetnya ekonomi. Ditambah dengan beban-beban hidup dan tingginya biaya jasa kesehatan, pendidikan, transportasi serta pajak, membuat bisnis sektor riil menjadi lesu. Dan ini langsung berdampak pada rontoknya bisnis termasuk ritel. Akibatnya, menambah banyak pengangguran dan meningkatkan angka kemiskinan.
Untuk mengakhirinya, negeri ini perlu sebuah revolusi kebijakan yang mengembalikan harta rakyat. Dan memberikan kesempatan pada rakyat untuk sejahtera. Sekaligus revolusi untuk membuat mata uang yang dipegang masyarakat bernilai tinggi dan stabil.
Mengembalikan ekonomi pada sektor riil, menutup riba dan sektor non riil adalah hal mutlak. Sekaligus merangsang masyarakat untuk memproduksi barang dan bisnis riil, baik dengan pemberian modal cuma-cuma atau pinjaman modal tanpa riba.
Selain itu, menciptakan sistem tata niaga yang adil dengan memberikan kesempatan pada semua orang untuk turut serta dalam bisnis. Tanpa monopoli atau kartel, tanpa pajak, dan tanpa intervensi asing. Hal ini mutlak harus dilakukan.
Bayangkan jika rakyat negeri ini mudah dalam membangun industri, mudah melakukan bisnis, bebas dari pajak yang mencekik, bebas dari intervensi bisnis asing dan gempuran impor, bukankah pengangguran bisa diatasi? Pendapatan masyarakat bisa meningkat.
Kesejahteraan bisa didapat. Daya beli masyarakat tetap tinggi. Dan roda ekonomi pun akan terus berputar.
Bercermin pada penerapan sistem ekonomi Islam pada masa Nabi Saw. Setelah hijrah Rasul Saw ke Madinah, selain mendirikan masjid sebagai pusat ibadah dan pusat pemerintahan, Rasul Saw pun mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Padahal saat itu, kaum Anshar, penduduk asli Madinah, merupakan golongan ekonomi menengah ke atas. Sedangkan kaum Muhajirin rata-rata miskin di negeri Madinah, karena mereka berhijrah ke Madinah tanpa membawa harta yang cukup.
Dari persaudaraan ini, kaum Muhajirin mendapatkan akses harta dengan menjadi petani, dan pedagang. Beberapa sahabat Rasul Saw seperti Abdurrahman bin Auf, memilih berdagang. Perdagangan di pasar Madinah ramai oleh masyarakat tanpa ada monopoli.
Rasul Saw juga pernah memberikan harta ghanimah pada kaum Muhajirin ditambah dua orang Anshar yang dhuafa, untuk mencegah kesenjangan ekonomi. Sehingga antara kaum Anshar dan Muhajirin sebagai penduduk masyoritas Madinah, terdapat keselarasan pendapatan (walaupun tidak sama rata). Menciptakan keselarasan ekonomi dengan memberikan bantuan ekonomi pada masyarakat sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga. Membuat sektor ekonomi riil terus hidup. Inilah yang membuat stabilitas ekonomi dalam negeri. Bahkan seiring dengan waktu, kesejahteraan bisa dinikmati oleh masyarakat. Wallahu a’lam.[]
0 komentar:
Posting Komentar