[iklan]

cara BERTAUBAT dari riba, yaitu dengan mengembalikan hutang pokoknya saja

*APAKAH BUNGA YANG TIDAK BERLIPAT GANDA HALAL?*

Oleh: *Ustadz H. Dwi Condro Triono, P.hD*

Bagi sebagian kaum muslimin yang masih BERKUBANG dengan bunga bank, tentu memiliki berbagai alasan. Keyakinan utama mereka adalah bahwa bunga bank itu TIDAK SAMA dengan riba. Riba itu hukumnya haram, sedangkan bunga bank itu halal. Apa argumennya?

Argumen yang paling populer adalah: riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah riba yang BERLIPAT GANDA, sedangkan bunga bank itu tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, bunga yang wajar dan tidak menzalimi itu HALAL.

Misalnya, bunga 1% atau 2% saja itu tidak haram. Apa argumennya?

Ternyata ada 2 argumen.

*PERTAMA.*
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah: 275:

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥﴾
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Mereka berpendapat bahwa, dalam ayat di atas ditunjukkan bahwaالرِّبَا  adalah lafadz yang UMUM. Kemudian dengan menggunakan kaidah ushul fiqih:

دَلِيْلُ الْعَامِ يَبْقَى عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ
“Dalil umum tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan (mengecualikan keumumannya)”.

Pertanyaannya: apakah keumuman dalil di atas ada takhshis-nya?

Menurut mereka, ada dalil yang mengecualikannya, yaitu Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran: 130:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافاً مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda”.

Kesimpulannya, riba secara umum memang haram hukumnya, kemudian dikecualikan untuk riba yang BERLIPAT GANDA.

Sehingga hanya riba yang berlipat ganda saja yang haram, sedangkan riba yang kecil prosentasenya tidak haram. 

Bagaimana menjawab pendapat seperti ini?

Pendapat ini tidak dapat diterima. Sebab, QS Ali ‘Imran: 130 tidak dapat dijadikan sebagai takhshis dari keumuman riba.

Dalam ilmu ushul fiqih, dalil takhsis haruslah datang BELAKANGAN dari dalil umumnya.

Faktanya, QS Ali ‘Imran: 130 turun lebih dahulu dari Al Baqarah: 275.

*KEDUA.*

Pendapatnya menggunakan istidlal yang berbeda dengan pendapat pertama. Pendapat yang kedua ini langsung didasarkan pada QS Ali ‘Imran: 130 sebagaimana ayat di atas, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافاً مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda”.

Dari ayat ini, kemudian langsung diambil mafhum mukhalafah-nya (pemahaman yang sebaliknya). Sehingga dapat difahami, “janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda”, maka pemahaman yang sebaliknya adalah bahwa riba yang tidak berlipat ganda, atau riba yang kecil hukumnya boleh diambil.

Nah, bagaimana kita menjawab pendapat ini?

Pendapat itu tidak dapat dibenarkan, karena telah mengambil mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) secara TIDAK SAH menurut ilmu ushul fiqih.

Dalam ilmu ushul fiqih, mafhum mukhalafah tidak sah, jika bertentangan dengan nash.

Apa contohnya?

Contohnya adalah, ada ayat yang melarang orang tua  membunuh anaknya karena TAKUT MIKSIN, yaitu  dalam QS Al-Isra’: 31.

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ ﴿٣١﴾
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin”.

Jika ayat di atas langsung diambil mafhum mukhalafah-nya, maka maknanya: boleh membunuh anaknya, jika TIDAK TAKUT MISKIN.

Misalnya, jika orang tua jengkel, karena anaknya menangis terus, maka orang tua boleh membunuh anaknya.

Mengapa?

Sebab, alasan membunuhnya bukan karena takut miskin, tetapi karena rasa jengkel terhadap tangisan anaknya.

Apakah istidlal seperti ini dapat diterima?

Jawabnya, mafhum mukhalafah-nya tidak dapat diamalkan, karena bertentangan dengan keumuman larangan membunuh (QS. Al Baqarah: 178).

Oleh karena itu, mafhum mukhalafah untuk riba berlipat ganda juga tidak boleh diamalkan, karena bertentangan dengan keumuman larangan riba (QS. Al Baqarah: 275).

Selain itu kita harus faham, sesungguhnya perhitungan bunga di bank adalah dengan menggunakan rumus BUNGA MAJEMUK, sehingga semua utang bisa menjadi berlipat ganda.

Contohnya: Utang Rp. 1.000.000,- jika dihitung dengan rumus bunga majemuk, hasilnya adalah: 1.000.000 ( 1 + 0,1)10 = 2.853.116.

Apa artinya? Maknanya, hanya dalam periode 10 tahun utang, jumlah bunga bank yang harus dibayarkan sudah jauh di atas bunga utang yang berlipat ganda.

Lantas, darimana kita bisa mengatakan bahwa bunga bank itu HALAL karena TIDAK BERLIPAT GANDA?
Sebagai penutup, untuk memperkuat pendapat di atas, kita dapat menggunakan ayat  terakhir yang berkaitan tentang riba, yaitu QS. Al-Baqarah: 279:

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ ﴿٢٧٩﴾
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu”

Ayat ini menjelaskan tentang cara BERTAUBAT dari riba, yaitu dengan mengembalikan hutang pokoknya saja.

Maknanya, bahwa riba yang haram tidak hanya riba yang berlipat ganda saja, karena Allah telah mensyaratkan taubat dari mengambil riba dengan keharusan mengembalikan POKOK HUTANG-nya, tanpa ada pertambahan sedikitpun.

Ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah riba.

Wallahu a’lam bish- shawwab.

Terkait :

0 komentar


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Arsitektur dan Konstruksi

 

Bersama Belajar Islam | Pondok OmaSAE: Bersama mengkaji warisan Rasulullah saw | # - # | Pondok OmaSAE : Belajar Agama via online


Didukung oleh: Suwur - Tenda SUWUR - OmaSae - Blogger - JayaSteel - Air Minum Isi Ulang - TAS Omasae - Furniture - Rumah Suwur - Bengkel Las -