TAAT SYARIAH: KONSEKUENSI IMAN
Kata iman dan amal shalih di dalam al-Quran hampir selalu bergandengan. Kedua kata tersebut disebutkan secara berulang di dalam Kitabullah. Tujuannya tentu agar setiap Muslim yang telah mengikrarkan keimanannya kepada Allah SWT senantiasa melaksanakan amal-amal shalih, yaitu dengan menjalankan syariah-Nya secara kâffah.
Sayang, saat ini masih banyak Muslim yang mengaku mengimani Allah SWT, tetapi mengabaikan ketaatan pada syariah-Nya. Padahal iman yang hakiki menuntut pengamalan seluruh syariah-Nya. Inilah juga yang ditunjukkan oleh para Sahabat Nabi saw. Ketika Allah SWT memerintahkan untuk mengubah arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, misalnya, mereka langsung mengubah arah kiblat mereka, padahal mereka tengah rukuk. Pada saat Allah SWT menurunkan ayat yang mengharamkan pernikahan dengan kaum musyrik, mereka segera menceraikan istri-istri mereka yang tak mau memeluk Islam. Umar bin al-Khaththab ra. bahkan menceraikan dua istrinya yang masih tetap dalam kemusyrikan.
Dalam hal ini Allah SWT tegas menolak keimanan seseorang yang enggan tunduk pada syariah-Nya:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Allah SWT juga mengingatkan Rasulullah saw. tentang kaum munafik yang mengklaim beriman, padahal mereka berpaling pada selain hukum-Nya atau kepada thâghût:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Tidakkah kamu memperhatikan kaum yang mengklaim telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepadamu dan pada apa saja yang telah diturunkan kepada kaum sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 60).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa thâghût adalah segala sesuatu—selain Allah SWT—yang disembah, diikuti atau ditaati manusia. Thâghût juga bermakna setiap kaum yang berhukum pada selain hukum Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ketaatan Total
Iman yang hakiki akan membuahkan kesungguhan untuk berislam secara total (kâffah) sesuai perintah Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Dengan dorongan iman, seorang Mukmin tak membeda-bedakan hukum Allah SWT yang satu dengan yang lain; antara kewajiban shalat dan kewajiban memberlakukan hudûd; antara haramnya daging babi dan haramnya riba; antara kewajiban berbakti kepada orangtua dan kewajiban menjatuhkan hukuman cambuk atau rajam bagi pezina; dst. Semua ia terima dengan penuh ketundukan. Keimanannya kepada Allah SWT membuat dirinya meyakini kewajiban pelaksanaan syariah Islam secara kâffah, bukan setengah-setengah.
Ia pun meyakini dan menerima keberadaan Khilafah sebagai kewajiban bagi umat karena tak mungkin menjalankan segenap syariah Islam tanpa adanya institusi Khilafah. Keyakinan inilah yang mendorong para sahabat bergegas mendirikan Khilafah. Mereka mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah yang menggantikan peran Rasulullah saw. dalam mengelola urusan masyarakat dan kenegaraan setelah beliau wafat. Mereka begitu memprioritaskan pengangkatan khalifah dibandingkan dengan pengurusan jenazah Nabi saw. yang mulia. Sikap demikian bukan karena dorongan hawa nafsu dan ambisi kekuasaan, melainkan karena dorongan iman untuk menjaga pelaksanaan syariah Islam dan pengurusan umat.
Hukum menegakkan Khilafah adalah wajib; sama dengan jihad, zakat, qishâsh, perlindungan kepada ahludz dzimmah, dll. Tak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang tidak menyatakan kewajiban penegakkan Khilafah sebagaimana dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (VI/291), “Para ulama telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat khalifah. Kewajiban itu berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.”
Karena itu sungguh ironi mengklaim diri sebagai pewaris Ahlu Sunnah jika punya sikap bertolak belakang dengan pendapat para imam yang agung, dengan menolak Khilafah. Apalagi sampai menghalangi kaum Muslim untuk menjalankan ketaatan total kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan cara menegakkan syariah dan Khilafah. Ini merupakan dosa besar. Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ بَعِيدٍ
(Itulah) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah serta menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh (TQS Ibrahim [14]: 3).
Hanya Mengharap Ridha Allah SWT
Atas segala penolakan dan upaya penghadangan terhadap pelaksanaan syariah Allah SWT, kaum Muslim hendaknya tidak memperhitungkan sedikitpun kebencian manusia pada agama-Nya dan segala tindakan mereka yang berusaha menghalangi-halangi orang dari jalan-Nya. Seorang Muslim hanya memperhitungkan ridha atau murka Allah SWT semata. Ia akan tetap gigih menjalankan perintah Allah SWT sekalipun banyak orang membenci perbuatannya. Sebaliknya, ia tak akan mengerjakan amal yang dibenci Allah SWT sekalipun banyak orang memuja-muja perbuatan tersebut. Muslim seperti inilah yang akan mendapatkan limpahan ridha Allah SWT. Sebaliknya, Muslim yang memburu ridha manusia dengan membuang ketaatan kepada Allah SWT akan ditimpa kemurkaan-Nya.
«مَن اِلْتَمَسَ رِضَى الله بِسُخطِ النَاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَاسُ عَنْهُ وَمَنْ اِلْتَمَسَ رِضَا النَّاس بِسُخطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسُ»
Siapa saja yang mencari ridha Allah meski mengundang kemarahan manusia maka Allah meridhai dia dan membuat manusia ridha kepada dirinya. Siapa saja yang mencari ridha manusia tetapi mengundang kemurkaan Allah maka Allah memurkai dia dan membuat manusia murka kepada dirinya (HR Ibnu Hibban).
Karena itu seruan manusia yang mencoba menghalang-halangi penegakkan syariah Islam adalah seruan yang tidak layak untuk didengar dan ditaati. Seruan tersebut hakikatnya adalah kebatilan. Padahal ketaatan adalah semata-mata dalam perkara yang makruf, bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah SWT.
«لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ»
Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Sungguh ketaatan itu hanya adalah dalam hal yang makruf (HR al-Bukhari).
Pentingnya Kesabaran
Adanya tekanan, intimidasi, fitnah bahkan persekusi harus dihadapi oleh setiap Muslim dengan penuh kesabaran. Kaum Mukmin memahami bahwa hal ini adalah ujian dari Allah SWT. Ujian ini juga dialami oleh para para nabi dan para rasul-Nya:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا
Sungguh telah didustakan pula para rasul sebelum kalian. Akan tetapi, mereka sabar atas pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka sampai datang pertolongan Allah kepada mereka (TQS al-An’am [6]: 34).
Sabar bukan berarti diam, namun terus menunjukkan ketaatan kepada Allah SWT dan berusaha mengubah kemungkaran yang ada. Saad bin Abi Waqqash ra. tegar dalam keimanannya sekalipun ibunya yang dia sayangi mengancam akan berpuasa sampai mati. Pasangan syuhada Sumayyah dan Yasir ra. memilih mengorbankan nyawa mereka ketimbang mengikuti paksaan untuk murtad dari kaum musyrik. Pada saat berdakwah di Makkah, kaum musyrik Quraisy melarang dan membenci siapa saja yang melakukan shalat dan membaca al-Quran di depan umum. Namun demikian, larangan itu tak menghalangi sejumlah sahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud ra. dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. untuk membacakan al-Quran di depan Ka’bah sekalipun setelah itu mereka mengalami persekusi bahkan penyiksaan.
Alhasil, hendaklah kita tetap sabar dan istiqamah di dalam ketaatan total kepada Allah SWT. Janganlah berbagai fitnah dan kezaliman yang mendera kita membuat kita bergeser dari ketaatan kepada-Nya. Inilah jalan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk menjemput keridhaan-Nya sekaligus meraih pertolongan-Nya. []
0 komentar:
Posting Komentar