Saya sering ditanya tentang: Apakah seorang wanita di dalam rumah wajib mengenakan jilbab (juga) saat ada non mahram?
Saya selalu menjawab: "Iya, wajib jilbab (juga) selain khimar".
Kesimpulan ini saya fahami dari apa makna kehidupan khusus dan hukum-hukum di dalamnya, seperti dijelaskan oleh an Nabhani. Juga saya fahami dari pernyataan Imam Fakhruddin Ar-Razy (jangan sampe keliru, bukan Razy Hasyim ya... 🫢 ) yang saya kutip di footnote pada foto berikut 👇 (lihat: foto 1)
ولا يحل للشابة أن تقوم بين يدي الغريب حتى تلبس الجلباب
Penjelasan ini juga yang saya sampaikan dalam buku Fiqh Busana Muslimah dan sampai kini saya belum memandang perlunya revisi atas pendapat saya ini. Wallah a'lam.
TIDAK MENGENAKAN JILBAB DI DALAM RUMAH KETIKA ADA LAKI-LAKI NON MAHRAM
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Assalamualaikum warahmatullahi wb. Ustadz, Afwan ustadz saya mau bertanya terkait jilbab. Apakah wajib seorang perempuan ketika di dalam rumah mengenakan jilbabnya, ketika ada laki-laki asing (ajnabi) (bukan mahram) di dalam rumah tersebut. Misalnya, abang ipar atau adik ipar, pada saat acara-acara keluarga. Apakah boleh berpakaian longgar yang tidak menampakkan auratnya? Misalnya mukena ustadz. (Hamba Allah).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam wr. wb.
Boleh hukumnya seorang wanita muslimah tidak mengenakan jilbab di dalam rumah, ketika ada laki-laki bukan mahram di dalam rumah tersebut, misalnya, abang ipar atau adik iparnya. Di dalam rumah wanita muslimah tidak diwajibkan mengenakan jilbab, hanya diwajibkan mengenakan busana yang menutup aurat, yaitu busana yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Jilbab yang dimaksud di sini bukanlah kerudung atau hijab sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat, melainkan jilbab dalam maknanya yang syar’i. Jilbab syar’i adalah busana terusan (bukan potongan) yang longgar yang menutupi seluruh tubuh seorang wanita muslimah, yang dipakai di atas baju rumahnya, semisal daster, kulot, dsb.
Syekh Rawwās Qal’ah Jie dalam kitabnya Mu’jam Lughat Al-Fuqaha`, menjelaskan definisi jilbab dalam makna syar’inya sebagai berikut :
الْجِلْبَابُ هُوَ ثَوْبٌ وَاسِعٌ تَلْبَسُهُ الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثِيَابِهَا
“Jilbab adalah sebuah baju yang longgar yang dipakai oleh wanita muslimah di atas baju rumahnya (daster, dsb).” (Rawwās Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqaha`, hlm. 144).
Syekh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasytah, seorang ulama Palestina, penulis kitab Taysīr Al-Wushūl Ilā Al-Ushūl, menjelaskan definisi yang sama untuk jilbab syar’i, sebagai berikut:
الْجِلْبَابُ هُوَ ثَوْبٌ وَاسِعٌ فَوْقَ مَلاَبِسِهَا الْمُعْتَادَةِ يُرْخىَ إِلىَ أَسْفَلَ حَتىَّ الْقَدَمَيْنِ
“Jilbab adalah sebuah baju yang longgar di atas baju rumahnya yang biasa dipakainya (daster, dsb) yang terulur hingga ke bawah hingga kedua kakinya.”
Jilbab dalam pengertian ini, merupakan busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum (al-hayāt al-‘āmmah), misalnya di jalan raya, di lapangan, di kantor, di sekolah, di masjid, di kendaraan umum, dan sebagainya. Dalilnya adalah hadits Ummu ‘Athiyah RA sebagai berikut :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، قالَتْ: أَمَرَنَا رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نُخْرِجَهُنَّ في الفِطْرِ وَالأضْحَى، اَلْعَوَاتِقَ، وَالْحُيَّضَ، وَذَوَاتِ الخُدُورِ، فأمَّا الحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ، وَيَشْهَدْنَ الخَيْرَ، وَدَعْوَةَ المُسْلِمِينَ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِن جِلْبَابِهَا
Dari Ummu ‘Athiyah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah memerintahkan kami (kaum wanita) untuk keluar rumah pada hari raya Idul Fitri dan Idul ‘Adha, baik gadis-gadis yang baru baligh, wanita-wanita yang sedang haid, maupun gadis-gadis pingitan. Adapun kaum wanita yang sedang haid, mereka tidak ikut sholat, namun mereka menyaksikan kebaikan dan mendengarkan dakwah untuk kaum muslimin.” Aku (Ummu ‘Athiyah RA) berkata,”Wahai Rasulullah, salah seorang wanita dari kami tidak mempunyai jilbab.” Maka Rasulullah SAW bersabda,”Hendaklah saudaranya sesama muslimah meminjamkan jilbabnya kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 980; Muslim, no. 883).
Setelah menyajikan hadits ini, dan dalil-dalil lainnya, Syekh ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasytah berkata :
فَهَذِهِ الْأَدِلَّةُ صَرِيحَةٌ فِي الدَّلَالَةِ عَلَى لِبَاسِ الْمَرْأَةِ فِي الْحَيَاةِ الْعَامَّةِ
“Jadi dalil-dalil ini, secara jelas menunjukkan adanya busana bagi wanita muslimah dalam kehidupan umum (al-hayāt al-‘āmmah), (yaitu jilbab).”
Jadi, jilbab dalam arti busana terusan yang longgar (satu potong) yang terulur hingga ke kedua kaki, bukan dalam arti kerudung (hijab), merupakan busana yang wajib dipakai wanita muslimah dalam kehidupan umum (al-hayāt al-‘āmmah), seperti di jalan raya, di sekolah, dsb. Artinya, jilbab tidak wajib dipakai bagi wanita muslimah yang berada dalam kehidupan khusus (al-hayāt al-khashshah), seperti di rumah, di apartemen, di kos-kosan, di dalam kendaraan pribadi, dan yang semisalnya.
Adapun jika di dalam kehidupan khusus (al-hayāt al-khashshah) tersebut terdapat laki-laki bukan mahram, misalnya abang ipar atau adik iparnya, maka wanita muslimah hanya diwajibkan berbusana yang sopan yang menutup seluruh auratnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Dalilnya hadits dari Qatādah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
إنَ الْجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَ مِنْهَا إِلاَ وَجْهَهَا وَكَفَيْهَا إِلَى الْمِفْصَلِ
”Sesungguhnya seorang perempuan jika telah haid maka tidak boleh dilihat darinya kecuali wajahnya dan tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abu Dawud, Al-Marāsil ma’a Al-Asānid, Kitābul Libās, hlm. 215).
Kesimpulannya, boleh hukumnya seorang wanita muslimah tidak mengenakan jilbab di dalam rumah, misalnya memakai mukena, seperti yang ditanyakan di atas, ketika ada laki-laki bukan mahram di dalam rumah tersebut. Di dalam rumah wanita muslimah tidak diwajibkan mengenakan jilbab, hanya diwajibkan mengenakan busana yang menutup aurat, yaitu busana yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Hanya saja, yang lebih afdhol (utama) adalah, wanita muslimah tersebut tetap mengenakan jilbab walaupun di rumahnya sendiri, ketika ada saudara. laki-laki ipar, sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyāth). Rasulullah SAW bersabda :
الحموُ الموتُ
”(Berkhalwat dengan) saudara ipar (al-hamwu) adalah kematian.” (HR. Al-Bukhari & Muslim). Yakni maksudnya, berkhalwat dengan saudara ipar dapat mengantarkan terjadinya kemaksiatan, seperti zina, dsb. (Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Fathul Bāri, 9/332). Wallāhu a’lam.
Bandung, 12 Nopember 2023
Muhammad Shiddiq Al Jawi
0 komentar:
Posting Komentar