Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Banyaknya peradilan di dalam sistem kapitalisme, tidak lepas dari filosofi hukum yang dianutnya. Filosofi sistem hukum kapitalisme ini bersumber pada teori “iltizam”. Teori yang menjadi pijakan sistem hukum Prancis, Jerman, Italia, dan hampir semua negara Eropa. Dari teori ini, kemudian lahir hukum acara pidana, dan hukum acara perdata, dan hukum-hukum yang lain.
Teori "iltizam" adalah teori tentang keterikatan pada hukum, karena kesepakatan. Terlepas hukum itu benar atau tidak. Begitu juga tidak peduli, hukim itu adil atau zalim. Teori kesepakatan, sering diistilahkan dengan teori konsensus, yang kemudian berkembang dan dikenal dengan istilah konsensus nasional.
Ini berbeda dengan Islam. Islam tidak mengenal teori iltizam. Karena hukum Islam bersumber pada wahyu. Bukan kesepakatan manusia. Hukum Islam yang diterapkan di tengah masyarakat juga satu. Keputusan pengadilan di dalam Islam juga bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Karena itu, Islam tidak mengenal peradilan banding, PK, dan sebagainya.
Jika Islam mengenal tiga bentuk peradilan, sesungguhnya hanya pembagian tugas dan fungsi. Karena hukum yang diterapkan hanya satu. Para hakim ini diketuai oleh seorang Qâdhî, yang disebut Qâdhî Qudhât. Dia harus seorang pria, baligh, berakal, merdeka, Muslim, adil dan ahli fikih. Dia diberi hak untuk mengangkat, membina, dan bahkan memecat para Qâdhî sesuai dengan ketentuan administrasi. Sedangkan para pegawai peradilan ini diserahkan kepada pimpinan masing-masing peradilan.
Khushumat
Adalah peradilan yang dipimpin oleh Qâdhî Khushûmât yang menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat, baik yang berkaitan dengan muamalah maupun ‘uqûbât [sanksi]. Sengketa ini bisa melibatkan hak yang berkaitan dengan mu’amalah, seperti hutang-piutang, jual-beli dan sebagainya.
Selain sengketa dalam masalah hak yang berkaitan dengan muamalah, juga ‘uqûbât [sanksi], seperti sanksi bagi pezina, orang yang murtad, penganut aliran sesat, penyebar ide-ide sesat dan menyesatkan, dan sebagainya. Mereka semua bisa diadili di peradilan Khushûmât ini.
Peradilan ini membutuhkan mahkamah, atau majelis. Karena ini melibatkan dua pihak, penuntut [mudda’i] dan tertuduh [mudda’i ‘alaih]. Di mahkamah inilah, semua bukti [bayyinah] diajukan dan dibuktikan, baik saksi, sumpah maupun dokumen. Hakim akan membuat keputusan sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan dan dibuktikan di peradilan.
Qâdhî Khushûmât disyaratkan harus Muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, ahli fikih dan memahami bagaimana menurunkan hukum pada fakta. Meski di dalam satu mahkamah boleh ada lebih dari satu Qâdhî, tetapi yang berhak memutuskan perkara dalam satu majelis tetap satu orang. Sedangkan yang lain berfungsi memberikan masukan atau pandangan. Meski pendapat dan masukan mereka tidak mengikat.
Ketika Sayyidina ‘Ali menjadi khalifah, ada seorang Yahudi yang “memiliki” baju besi sang Khalifah. Karena merasa baju besi itu adalah bajunya, maka Khalifah pun mengajukan kasus ini ke pengadilan. Meski kasus ini melibatkan Khalifah, tetapi Qadhi Suraikh yang bertugas memutuskan kasus ini tidak berpihak kepada Khalifah. Justru, sang Qadhi memenangkan orang Yahudi “pemilik” baju besi sang Khalifah. Karena, Sayyidina ‘Ali tidak bisa menghadirkan bukti dalam persidangan ini. Ini adalah salah satu contoh, bagaimana sistem peradilan Islam memutuskan sengketa, meski melibatkan orang kuat.
Hisbah
Adalah peradilan yang dipimpin oleh Qâdhî Muhtasib untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat [jamaah]. Qâdhî Muhtasib ini bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut. Kecuali, kasus hudûd [seperti, perzinaan, menuduh berzina, mencuri, minum khamer, sodomi] dan jinâyât [seperti pembunuhan, melukai anggota badan orang].
Tugas dan fungsi Qâdhî Muhtasib ini adalah menegakkan kemakrufan, dan mencegah kemungkaran. Dia bisa mencegah kemungkaran begitu tahu, di mana pun tanpa membutuhkan majelis. Dia bisa dibekali dengan polisi yang bertugas mengeksekusi keputusan dan perintahnya. Keputusannya bersifat mengikat, dan harus dilaksanakan seketika itu juga.
Qâdhî Muhtasib bisa mengangkat beberapa wakil yang memenuhi syarat Muhtasib. Mereka bisa disebar ke beberapa pelosok atau tempat yang berbeda. Mereka mempunyai kewenangan yang sama untuk melaksanakan tugas dan fungsi hisbah di tempat atau kawasan, tempat di mana mereka diangkat.
Pada zaman ‘Umar bin al-Khatthab ada seorang Qâdhî Muhtasib yang diangkat untuk mengawasi pasar. Tugas ini dipercayakan kepada seorang wanita, yang bernama as-Syifa. Bahkan, di zaman Khalifah al-Mu’tadzidz (279 H), Sanan bin Tsabit, yang merupakan Qâdhî Muhtasib, juga ditugaskan untuk menguji dan menyeleksi seluruh dokter di Baghdad. Mereka berjumlah 860 dokter. Qâdhî Muhtasib ini diberi wewenang, untuk melarang para dokter melakukan praktik, kecuali setelah mendapatkan izin praktik dari Qadhi Hisbah [Ibn Abi Ushaibi’ah, ‘Uyun al-Anba’, Juz I/112].
Bahkan, para Qâdhî Muhtasib tidak gentar untuk melakukan pengawasan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara. Dalam kitab, Siyar al-Muluk, diceritakan, ketika penguasa Bani Saljuk menenggak minuman keras bersama punggawa kerajaan, maka mereka pun didera oleh Qadhi Hisbah sebanyak 40 kali cambukan, hingga menanggalkan giginya. Menariknya, punggawa itu adalah salah seorang komandan militer. Ketika dicambuk, tak satupun anak buahnya membantunya, selain melihatnya.
Madzalim
Adalah yang peradilan dipimpin oleh Qâdhî Madzâlim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, baik rakyat negara khilafah maupun bukan. Kezaliman tersebut dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara maupun pegawai yang lain.
Qâdhî Madzâlim diangkat oleh khalifah, maupun Qâdhî Qudhât. Mengenai tugas mengawasi, membina dan memecatnya bisa dilakukan oleh khalifah, Qâdhî Qudhât atau kepala Qâdhî Madzalim, jika mereka diberi kewenangan oleh khalifah untuk melakukan tugas dan fungsi tersebut.
Tugas dan fungsi Qâdhî Madzalim adalah menghentikan kezaliman yang dilakukan oleh negara kepada rakyat. Jika ini terkait dengan kebijakan, maka Qâdhî Madzalim akan membatalkan kebijakan tersebut, seperti pajak, retribusi tol, dan sebagainya. Jika ini terkait dengan sikap atau tindakan semena-mena, maka Qâdhî Madzalim juga akan menghentikan sikap dan tindakan tersebut. Qâdhî Madzalim berhak memberhentikan pejabat, pegawai negara, bahkan khalifah jika harus diberhentikan, sebagaimana ketentuan hukum syara’. Termasuk, jika pengangkatan khalifah dianggap tidak sah, maka Qâdhî Madzalim bisa menghentikannya.
Selain itu, Qâdhî Madzalim juga mempunyai hak untuk menguji UUD, UU, dan peraturan pemerintah di bawahnya. Jika bertentangan dengan hukum syara’, atau tabanni yang diadopsi negara, mengadopsi sesuatu yang tidak boleh diadopsi, seperti mazhab tertentu dalam akidah atau fikih, sehingga menjadikan negara menjadi negara mazhab, maka Qâdhî Madzalim juga bisa membatalkannya.
Karena itu, Qâdhî Madzalim selain Muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, dia juga harus pria dan bisa berijtihad. Bukan hanya ahli fikih yang bisa menurunkan hukum pada faktanya. Itulah Qâdhî Madzalim.
Inilah sistem peradilan dalam Islam, dengan ketiga peradilannya. Islam tidak mengenal peradilan tata niaga, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, peradilan sipil, peradilan agama, dan sebagainya. Karena, semua orang dalam Negara Khilafah mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Di dalam Islam juga tidak ada hukum lain yang diterapkan, kecuali hukum Islam. Wallahu a’lam.[]
0 komentar:
Posting Komentar