Assalaamu'alaikum para ustadz yang dimuliakan Allah, seperti biasanya dihari Senin kita membahas kajian dengan topik kesehatan. Kita berharap kepada Allah Swt, semoga semua hal yang kita kaji akan memberi manfaat yang besar dan barokah untuk kehidupan kita, Aamiin.
Liberalisme Budaya Biang AIDS
Selama zina dan perilaku seks menyimpang masih ada, maka bisa dipastikan penularan HIV / AIDS akan tetap berlangsung. Perzinahan, anal seks, lesbian dan gay, penggunaan narkoba via jarum suntik bergantian ditengarai sebagai biang penyebaran penyakit HIV / AIDS. HIV / AIDS subur ditengah perilaku menyimpang dari fitrah manusia dan dari perintah Allah Sang Pengatur Kehidupan.
Mengutip data dari Laporan Perkembangan HIV/AIDS Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, Juni 2017, jumlah orang yang terinfeksi HIV sebanyak 23.204. Jumlah ini mencakup 14.970 orang laki-laki dan 8.234 orang perempuan. Dilaporkan bahwa sebanyak 72,4 persen kejadian HIV di Indonesia disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak terproteksi. Berdasar laporan dari tiap provinsi di Indonesia, kurang lebih sekitar 100 ribu kasus per hari dan kebanyakan karena seks berisiko secara heterogen maupun homogen.
Sangat mengherankan di satu sisi masyarakat dihimbau dan diminta untuk mewaspadai penularan HIV/AIDS, akan tetapi sejumlah pihak terkesan abai dan seperti tutup mata melihat semakin rusaknya sistem sosial masyarakat.
Kemunculan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan berbagai pesta seks dan rupa rupa kemasan acara yang mereka gelar secara terang terangan akhir akhir ini mengindikasikan bahwa keberadaan mereka semakin banyak dan berkembang pesat. Diperkirakan, khusus gay saja angkanya cukup fantastis, yakni mencapai 10 sampai 20 juta orang. Belum termasuk jumlah penduduk yang terkategori lesbian, dan transgender.
Komitmet pemerintah pun kadang dipertanyakan. Meski kerap dilakukan tindakan berupa penggerebekan, namun selalu berakhir dengan “pengampunan” tanpa disertai penindakan yang tegas terhadap para pelaku.
Bahkan, jika kita jeli melihat, publik mulai dibombardir dengan berbagai informasi dan propaganda media supaya mengakui kehadiran kaum LGBT. Suara suara penolakan dan peringatan terhadap kehadiran faham liberalisme dianggap bisikan sumbang, keburu dikebiri, dicap sebagai tindakan diskriminatif, anti toleransi, dan melanggar HAM.
Selain itu, stigma yang dibangun secara tidak langsung merusak mindset masyarakat adalah kampanye penggunaan kondom. Gencarnya kampanye kondom akhirnya lebih dipahami sebagai kebolehan seks bebas asal “safe sex”. Buktinya, komoditas kondom menjadi primadona bagi kalangan pelajar dan mahasiswa ketika hendak melakukan seks bebas.
Penanggulangan HIV/AIDS yang harus dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan, meliputi kegiatan promosi kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga, dan masyarakat.
Oleh sebab itu, alangkah lebih tepat jika aspek promosi kesehatan dan pencegahan HIV/AIDS diarahkan pada pendidikan reproduksi yang sehat sesuai ilmu kesehatan, dipandu oleh norma, etika dan nilai nilai ajaran agama.
Secara individu, Ketaatan dan kepatuhan total pada ajaran agama diyakini akan mampu memproteksi masing masing individu untuk menjaga diri dari potensi ketertularan virus HIV/AIDS. Atas kesadaran ini pula, seseorang akan menghindari perilaku seks bebas, seks menyimpang dan penyalahgunaan narkoba dan obat obat terlarang, sebab yang demikian jelas sebagai tindakan maksiat yang dilarang oleh agama.
Lebih lanjut, partisipasi aktif masyarakat merupakan aspek yang potensial untuk menunjang penanggulangan HIV/AIDS. Budaya permisif terhadap pergaulan bebas seyogyanya menjadi kekhawatiran bersama ditengah tengah masyarakat. Hal ini menuntut peran aktif orang tua, pihak sekolah, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Pendidikan moral, etika, akhlak dan aturan hidup beragama sudah saatnya kembali mendapat tempat dan porsi terbesar dalam muatan sistem pendidikan formal nonformal.
Terakhir, peran penting pemerintah selaku pilar yang paling punya kemampuan untuk melakukan tindakan guna meningkatkan, memperbaiki dan merealisasikan kesemua program penanggulangan HIV/AIDS. Dalam hal ini, pemerintah memiliki sumber daya manusia dan sumber dana tetap untuk melakukan sejumlah kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Selain itu, pemerintah dengan kekuasaannya dapat mengintervensi sejumlah kebijakan dan aturan yang mengikat untuk dijalankan semua masyarakat. Terlebih, adalah tanggung jawab pemerintah, sebagai bahagian dari amanah terhadap tugas tugas pelayanan pemerintahan demi pembangunan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS, sekiranya dapat dilakukan dengan tindakan segera mengamputasi faham liberalisme beserta derivatnya. Kebebasan yang kebablasan, menyerang hampir keseluruh sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan kebeningan hati dan pikiran, sejenak kita merenung kembali, menghadirkan Allah dalam segala urusan kita. Boleh jadi, turun dan merebaknya penyakit HIV/AIDS adalah bala bencana yang diberikanNya, untuk menghukum kealpaan kita selaku hambaNya. Bukankah liberalisme budaya adalah saudara kandung dari sekularisme, dimana peran, fungsi dan nilai nilai kebaikan dalam ajaran agama dinafikan bahkan ditentang.
Aulia Yahya, Apt
Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Sulsel.
Anggota Healthcare Professionals untuk Sharia (HELP-S).
Liberalisme Budaya Biang AIDS
Selama zina dan perilaku seks menyimpang masih ada, maka bisa dipastikan penularan HIV / AIDS akan tetap berlangsung. Perzinahan, anal seks, lesbian dan gay, penggunaan narkoba via jarum suntik bergantian ditengarai sebagai biang penyebaran penyakit HIV / AIDS. HIV / AIDS subur ditengah perilaku menyimpang dari fitrah manusia dan dari perintah Allah Sang Pengatur Kehidupan.
Mengutip data dari Laporan Perkembangan HIV/AIDS Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, Juni 2017, jumlah orang yang terinfeksi HIV sebanyak 23.204. Jumlah ini mencakup 14.970 orang laki-laki dan 8.234 orang perempuan. Dilaporkan bahwa sebanyak 72,4 persen kejadian HIV di Indonesia disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak terproteksi. Berdasar laporan dari tiap provinsi di Indonesia, kurang lebih sekitar 100 ribu kasus per hari dan kebanyakan karena seks berisiko secara heterogen maupun homogen.
Sangat mengherankan di satu sisi masyarakat dihimbau dan diminta untuk mewaspadai penularan HIV/AIDS, akan tetapi sejumlah pihak terkesan abai dan seperti tutup mata melihat semakin rusaknya sistem sosial masyarakat.
Kemunculan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan berbagai pesta seks dan rupa rupa kemasan acara yang mereka gelar secara terang terangan akhir akhir ini mengindikasikan bahwa keberadaan mereka semakin banyak dan berkembang pesat. Diperkirakan, khusus gay saja angkanya cukup fantastis, yakni mencapai 10 sampai 20 juta orang. Belum termasuk jumlah penduduk yang terkategori lesbian, dan transgender.
Komitmet pemerintah pun kadang dipertanyakan. Meski kerap dilakukan tindakan berupa penggerebekan, namun selalu berakhir dengan “pengampunan” tanpa disertai penindakan yang tegas terhadap para pelaku.
Bahkan, jika kita jeli melihat, publik mulai dibombardir dengan berbagai informasi dan propaganda media supaya mengakui kehadiran kaum LGBT. Suara suara penolakan dan peringatan terhadap kehadiran faham liberalisme dianggap bisikan sumbang, keburu dikebiri, dicap sebagai tindakan diskriminatif, anti toleransi, dan melanggar HAM.
Selain itu, stigma yang dibangun secara tidak langsung merusak mindset masyarakat adalah kampanye penggunaan kondom. Gencarnya kampanye kondom akhirnya lebih dipahami sebagai kebolehan seks bebas asal “safe sex”. Buktinya, komoditas kondom menjadi primadona bagi kalangan pelajar dan mahasiswa ketika hendak melakukan seks bebas.
Penanggulangan HIV/AIDS yang harus dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan, meliputi kegiatan promosi kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga, dan masyarakat.
Oleh sebab itu, alangkah lebih tepat jika aspek promosi kesehatan dan pencegahan HIV/AIDS diarahkan pada pendidikan reproduksi yang sehat sesuai ilmu kesehatan, dipandu oleh norma, etika dan nilai nilai ajaran agama.
Secara individu, Ketaatan dan kepatuhan total pada ajaran agama diyakini akan mampu memproteksi masing masing individu untuk menjaga diri dari potensi ketertularan virus HIV/AIDS. Atas kesadaran ini pula, seseorang akan menghindari perilaku seks bebas, seks menyimpang dan penyalahgunaan narkoba dan obat obat terlarang, sebab yang demikian jelas sebagai tindakan maksiat yang dilarang oleh agama.
Lebih lanjut, partisipasi aktif masyarakat merupakan aspek yang potensial untuk menunjang penanggulangan HIV/AIDS. Budaya permisif terhadap pergaulan bebas seyogyanya menjadi kekhawatiran bersama ditengah tengah masyarakat. Hal ini menuntut peran aktif orang tua, pihak sekolah, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Pendidikan moral, etika, akhlak dan aturan hidup beragama sudah saatnya kembali mendapat tempat dan porsi terbesar dalam muatan sistem pendidikan formal nonformal.
Terakhir, peran penting pemerintah selaku pilar yang paling punya kemampuan untuk melakukan tindakan guna meningkatkan, memperbaiki dan merealisasikan kesemua program penanggulangan HIV/AIDS. Dalam hal ini, pemerintah memiliki sumber daya manusia dan sumber dana tetap untuk melakukan sejumlah kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Selain itu, pemerintah dengan kekuasaannya dapat mengintervensi sejumlah kebijakan dan aturan yang mengikat untuk dijalankan semua masyarakat. Terlebih, adalah tanggung jawab pemerintah, sebagai bahagian dari amanah terhadap tugas tugas pelayanan pemerintahan demi pembangunan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS, sekiranya dapat dilakukan dengan tindakan segera mengamputasi faham liberalisme beserta derivatnya. Kebebasan yang kebablasan, menyerang hampir keseluruh sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan kebeningan hati dan pikiran, sejenak kita merenung kembali, menghadirkan Allah dalam segala urusan kita. Boleh jadi, turun dan merebaknya penyakit HIV/AIDS adalah bala bencana yang diberikanNya, untuk menghukum kealpaan kita selaku hambaNya. Bukankah liberalisme budaya adalah saudara kandung dari sekularisme, dimana peran, fungsi dan nilai nilai kebaikan dalam ajaran agama dinafikan bahkan ditentang.
Aulia Yahya, Apt
Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Sulsel.
Anggota Healthcare Professionals untuk Sharia (HELP-S).
0 komentar:
Posting Komentar