وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖإِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-syuara: 109)
Namun bagaimana dengan mereka yang mengabdikan hidupnya di Lembaga pendidikan Al-Qur’an atau mereka yang menghabiskan waktunya hanya untuk mengajarkan Al-Qur’an, tidak sempat mencari nafkah. Apakah dibolehkan menentukan upah dari hasil mengajarnya?
Ulama fikih berbeda pendapat mengenai permasalahan di atas menjadi tiga pendapat:
Pertama, tidak boleh mengajarkan Al-Qur’an dengan mengajukan syarat upah tertentu. Ini adalah pendapat fuqaha mutaqadimin (generasi awal) mazhab Hanafi, pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat dan diikuti moyoritas fuqaha mazhabnya. (Lihat: Al-Mabsuth: 16/37; Tuhfatul Fuqaha`: 1/357, Al–Furu’: 4/435)
Sedangkan dalil yang menjadi pijakan mereka adalah firman Allah:
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ ۚ
“Dan (dia berkata), ‘Wahai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku’.” (QS. Hud: 29)
Asy-Syinqithi berkata, “Pelajaran yang bisa diambil dari ayat tersebut adalah wajib bagi ulama dan lainnya sebagai pengikut para rasul untuk bersungguh-sungguh mengajarkan ilmu yang dimiliki dengan gratis tanpa (menyaratkan) upah tertentu. Mengajarkan Al-Qur’an tidak pantas dengan (menyaratkan) upah tertentu, begitu juga mengajarkan akidah serta masalah halal dan haram (fikih).” (Adhwaul Bayan: 3/20)
Ubay bin Ka’ab a berkata, “Saya pernah mengajarkan Al-Qur’an kepada seseorang lalu dia menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Kemudian aku pun menceritakan peristiwa hal tersebut kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda, ‘Jika kamu mengambilnya maka kamu telah mengambil busur dari api nereka’.”Ubay melanjutkan, “Lalu saya pun mengembalikannya.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Kedua, boleh mengajarkan Al-Qur’an dan mengambil upah darinya, baik dengan menyaratkan upah tertentu atau tidak. Ini adalah pendapat fuqaha mutaakhkhirin(ahli fikh generasi belakangan) mazhab Hanafi, pendapat fuqaha mazhab Malik, pendapat fuqaha mazhab Syafi’i, pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan pendapat Ibnu Hazm. (Lihat: Al-Mabsuth: 16/37; Al-Hidayah: 3/240; Al-Mudawwanah Al-Kubra: 4/419; Raudhatut Thalibin: 5/187, Al-Mughni: 6/140)
Dalil mereka adalah hadits Abdullah bin Abbas r.a yang menceritakan bahwa salah seorang sahabat pernah me-ruqyah seseorang yang terkena sengatan binatang dengan surat Al-Fatihah dengan imbalan seekor kambing. Sahabat lainnya mengingkari perbuatannya tersebut lalu mengadukan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sungguh, sesuatu yang lebih berhak kalian ambil sebagai upah adalah Kitabullah (Al-Qur’an).” (HR. Bukhari)
Ketiga, boleh mengajarkan Al-Qur’an dan mengambil upah darinya jika membutuhkannya. Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Hambali, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. (Lihat: Al-Furu’, 4/435; Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah, hal: 153; Hasyiyah Ibni Qasim,5/320; Majmu’u Fatawa: 30/192-193 dan 205)
Pendapat yang kuat adalah pendapat ketiga, yaitu boleh mengajarkan Al-Qur’an dan mengambil upah darinya jika membutuhkannya dan tidak boleh jika tidak membutuhkannya
Al-Wadhi’ bin ‘Atha` berkata, “Ada tiga orang guru yang mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak Madinah. Umar pun memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 (dirham) setiap bulan.”
Dalam Majalah Al-Buhuts, edisi 2, hal.150, Syekh bin Baz menjelaskan, ”Tidak ada dosa mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an dan ilmu agama lainnya. Karena memang manusia membutuhkan pengajaran, dan terkadang pengajar sering menghadapi kesulitan dan sibuk mengajar. Sehingga ia tidak sempat mencari nafkah. Jika ia mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an atau mengajarkan ilmu agama lainnya, maka yang benar adalah tidak berdosa baginya.”
Wallahu. a’lam bis shawab.
M Khozin
0 comments:
Posting Komentar