🔹 PBNU HARUS MEMPERJUANGKAN KHILAFAH 🔹
(Telaah atas Kitab Ahkamul Fuqoha fii Muqorroroti Muktamaroti Nahdlatil Ulamai)
Oleh: Irkham Fahmi, S.Sos.I
Sudah saatnya bagi generasi muda NU untuk memperjuangkan Islam sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh aktifis-aktifis Hizbut Tahrir. Para kyai harus membangkitkan semangat santri dan jama’ahnya agar berani menyuarakan kebenaran.
Karena, selain sebagai seorang muslim yang wajib memperjuangkan agamanya, juga untuk menunjukkan eksistensi komunitas mereka dalam beramar ma’ruf nahy munkar. Ini yang harus benar-benar diperhatikan oleh elit PBNU jika tidak ingin ditinggalkan banyak jama’ahnya.
Ali Masykur Musa, tokoh muda NU, dihadapan ratusan kyai-kyai NU pernah menyatakan bahwa, wajar saja bila saat ini HTI banyak mendapat dukungan dari umat, karena umat melihat siapa yang bergerak. (nu.online, 2011).
Apa yang dikatakan Ali tidaklah berlebihan, mengingat saat ini banyak kalangan muda NU dan para kyai yang beralih jalur perjuangan pada HTI.
Mereka yang bergabung dengan HTI bukanlah santri-santri polos sebagaimana yang dikatakan oleh Ainurrofiq (Penulis buku Membongkar Proyek Khilafah Islamiyah Ala HTI), tetapi mereka adalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dalam membaca fakta sosial dan mengesampingkan rasa sombong.
Dalam tulisannya, DR. Aunurrofiq seakan hendak memadamkan bara semangat kaum Nahdliyyin dalam memperjuangkan Islam. Dengan merasa dirinya sebagai wong NU tulen, ia menuduh bahwa orang-orang NU yang mau bergabung dengan garis perjuangan Hizbut Tahrir adalah orang-orang yang polos dan tidak kritis. Padahal sebaliknya, ia sendirilah yang polos dan tidak kritis.
Bagaimana mungkin ia mendikotomi antara Imamah dan Khilafah, padahal ulama-ulama salaf pun tidak pernah membedakannya. Dalam melihat fakta bobroknya sistem demokrasi pun ia seakan menutup panca inderanya. Sarjana-sarjana Muslim dunia tau betul jika sistem ini tidak akan pernah memberi jalan bagi siapapun yang hendak membumikan Hukum-hukum Allah swt.
AMANAT MUKTAMAR NU
Sebagai komunitas Muslim Sunni, elit NU tidak sepatutnya ikut larut dalam hiruk-pikuk sistem Demokrasi. Islam mempunyai sistem tersendiri dalam mengembangkan peradaban manusia, yakni Khilafah Islamiyah ‘ala Minhajin Nubuwwah.
Dalam Kitab Ahkamul Fuqaha, hal.776, diamanatkan: “(PBNU harus_ pen) terus mengupayakan pengembangan studi fiqih siyasah (politik) ‘ala Ahlussunnah walJama’ah”. (Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU, tahun 1418 H / 1997).
Sayangnya apa yang dikembangkan oleh PBNU saat ini bukanlah sistem politik Islam Sunni, melainkan sistem politik ala Barat wal Yahudi, yakni demokrasi. Padahal ulama-ulama Ahlussunnah telah sepakat menyatakan tentang bahayanya sistem ini.
Syaikh Abul A’la al-Maududi, Dalam kitabnya, Al-Islam wa al-Madaniyahal-Haditsah, hal. 36, ia mengatakan; “Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian Demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat … Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis, baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, Muslim maupun non-Muslim”.
Adnan ‘Ali Ridha an-Nahwi, Dalam kitabnya, Syuro Laaad-Dimuqrathiyah, hal. 103, ia menyatakan, “Dalam kehidupan dunia kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang sepakat. Kebenaran itu harus diukur oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan manhaj rabbani yang diturunkan dari langit (al-Qur’an)” .
Muhammad Yusuf Musa, Dalam kitabnya, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hal. 245, ia berkata: “Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem Demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen”.
Anwar al-Jundi, Dalam kitabnya, Sumum al-Istisyraqwa al-Musytasyriqun fi al-Ulum al-Islamiyah, hal. 96, ia mengatakan, “Pemikiran politik Islam berbeda dengan pemikiran Demokrasi Barat, di antaranya karena kedaulatan dalam sistem politik Islam bukanlah di tangan umat, seperti sistem politik Demokrasi, juga bukan di tangan kepala negara, seperti sistem kediktatoran, melainkan ada dalam penerapan syariah Islam. Dengan demikian sistem politik Islam sangat jauh berbeda dengan sistem apapun yang telah menyimpang itu”.
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Ia mengkritisi Demokrasi dalam Kitabnya, Min Hunaa Na’lam, hal. 93, ketika beliau membantah Khalid Muhammad Khalid yang mengklaim keutamaan pemerintahan demokratis: “Adalah perkara yang hak, bahwa orang-orang yang menerapkan Demokrasi sebagai sesuatu yang ideal, hakikatnya adalah orang-orang yang lebih rendah moralnya dan lebih buruk pengaruhnya dibandingkan dengan orang-orang yang menyalahgunakan agama, pada saat mereka menerapkan hukum-hukum yang dzalim. Mari kita lihat sekilas sistem Demokrasi ketika diterapkan di negeri kita (Mesir) di tangan tuan-tuannya, dari penduduk Eropa, yang menjadi utusan Eropa atau yang menjajah kita”.
Syaikh Ali Belhaj, Dalam kitabnya, Ad-Damghahal-Zawwiyah li Nasfi ‘Aqidah ad-Dimuqrathiyah. Secara langsung ia menunjuk bahwa biang keruskan moral adalah Demokrasi, “Cukuplah saya katakan bahwa Demokrasi Barat yang bejat itu sebenarnya telah membawa benih-benih kerusakan dan kebejatan moral. Kenyataan yang ada adalah bukti yang paling jelas untu kitu.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum, salah seorang tokoh Hizbut Tahrir. Dalam kitabnya, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr: Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquhaaw ad-Da’watu ilayha.
Beliau menyatakan bahwa, “Demokrasi yang dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara global maupun particular … oleh karena itu, kaum Muslimin diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskannya.”
Dalam tulisannya, SAID AQIL SIRADJ_pun (sebelum menerima dana dari Barat) menyatakan bahwa Kekhilafahan Islam merupakan hal yang penting bagi eksistensi kaum Muslimin. Beliau mengatakan bahwa “ Al-Imamah (sistem kepemimpinan Islam) merupakan sunnatullah yang mesti (harus) terwujud, baik secara syar’i maupun aqli.
Melalui al-Imamah (khilafah) diharapkan akan menjadi garansi bagi ajaran agama (nilai-nilai moralitas), menjamin regulasi tatanan sosial-politik serta mengatur kepentingan bersama. Karena itulah, dalam bab pertama Kitabnya Al-Mawardi mewajibkan al-Imamah berdasarkan Ijmak (kesepakatan para ulama). Ke-vacum-an suatu masyarakat dari eksistensi al-Imamah bisa jadi preseden yang buruk atas kontinuitas agama maupun kehidupan sosial masyarakat.”
Said Aqil pun secara tegas menolak apabila ada orang yang menggunakan istilah-istilah dalam Kekhilafahan Islam sebagai term bagi sistem lainnya (termasuk Republik Demokrasi).Menurutnya:
“ Dalam kurun empat belas abad itu, dunia Islam dalam satu komando Khalifah, di mana seluruh Khalifah dari trah Quraisy, Konsekuensinya, seluruh kekuasaan di luar struktur dan sistem tersebut tidak berhak memakai term Khilafah, sungguh pun memiliki power yang tidak kecil.
Kekuasaan di bawah khalifah sering disebut ‘sulthonah’,… Kekuasaan kesultanan diikuti pula oleh penguasa Muslim di kawasan Asia Tenggara kala itu; seperti kesultanan Demak, Mataram, Delhi, Tidore, Makassar, Cirebon, Malaka, Brunai dan seterusnya. …. Berbeda dengan sistem Khilafah yang memusatkan kekuasaan pada khalifah, pada sistem Republik tersebut didasari oleh kekuasaan ‘trias-politika’; eksekutif, legislatif dan yudikatif.…… Karena itu, salah besar jika Khalifah disamakan dengan Presiden.
Aunurrofiq entah tidak paham atau pura-pura tidak tau, jika Kyai Wahab Hasbullah tidak melanjutkan memperjuangkan penegakkan sistem kekhilafahan Islam dalam KKI, dikarenakan ada intervensi Wahabi yang dibonceng pemerintahan Ibnu Su’ud atas dukungan Inggris.
Saudi yang pada saat itu menjadi tuan rumah untuk memfasilitasi ulama-ulama dari berbagai dunia Islam, dalam rangka merembuk kembali sistem kekhilafahan Islam yang sudah dihancurkan Inggris, mensyaratkan kepada semua negeri yang hendak menjadi bagian dari Kekhilafahan Islam harus menganut satu madzhab, yakni “Wahabi”. Inilah yang tidak diterima oleh Mbah Wahab dan ulama-ulama Sunni lainnya, sehingga mereka lebih memilih walkout dari berlangsungnya acara.
Kegigihan Mbah Wahab dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah justru semakin terlihat ketika beliau membentuk Komite Hijaz. Organisasi ini mencoba mengakomodir negara-negara Islam yang masih mempunyai cita-cita menegakkan sistem Khilafah di tengah-tengah kaum Muslimin,tanpa adanya monopoli madzhab Wahabi.
Hingga akhirnya, ketika kondisi dunia Islam kian makin tak terkendali (khususnya di Indonesia), karena tidak adanya Khalifah, maka dengan sangat terpaksa beliau mengesahkan kepemimpinan Soekarno sebagai presiden RI.
Itulah sebabnya mengapa Ir. Soekarno hanya dikatakan sebagai Waliyyul Amri Addhoruri biSyaukah (Penguasa pemerintahan darurat sebab kekuasaannya). Anehnya, Meski sudah sangat jelas, arti dari kalimat tersebut coba dikaburkan oleh Aunurrofiq, dengan cara membiaskan kata “Addhoruri”_nya.
Seiring dengan berjalanannya waktu, hingga kini kondisi bangsa dan dunia Islam lainnya kian semakin darurat. Darah umat Islam begitu mudah ditumpahkan oleh orang-orang kafir, banyak aturan-aturan Allah yang diabaikan oleh umatnya.
Ternyata dengan adanya Presiden saja tidak cukup bagi terwujudnya kejayaan Islam, tanpa adanya seorang Khalifah yang memimpin. Maka sudah sepatutnya bagi para ulama saat ini untuk memperjuangkan tegaknya kembali sistem Kekhilafahan Islam, karena kondisi umat kini sudah semakin darurat.
Dalil Kaidah Syariah mengenai hal ini adalah :
ﻣﺎ ﻻﻳﺘﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺇﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻭﺍﺟﺐ
Artinya: “Jikasuatu kewajiban tidak terlaksana secara sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”.
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, hukuman had bagi pelaku zina, hukuman had bagi pencuri, kewajiban jihad untuk membela umat Islam yang dianiaya, persatuan dan kesatuan umat Islam, dan sebagainya.
Kewajiban-kewajiban tersebut tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, apalagi dalam sistem Demokrasi seperti ini, sebab kewajiban-kewajiban tersebut membutuhkan sebuah sistem kekuasaan, yang tiada lain adalah Khilafah Islamiyyah ‘ala Minhajin nubuwwah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil bagi wajibnya membentuk sistem Kekhhilafahan Islam.
Mengenai tidak adanya orang alim (mujtahid mutlak) yang layak untuk diangkat menjadi khalifah saat ini, asumsi tersebut hanyalah sebuah anggapan yang harus dibuktikan. Mengingat dalam setiap abad Allah swt. pasti akan menurunkan seorang alim yang akan memperjuangkan ajaran-ajarannya. Di dalam hadits riwayat Abu Hurairah RA, sabda Nabi Muhammad SAW:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺒْﻌَﺚُ ﻟِﻬَﺬِﻩِ ﺍﻟْﺄُﻣَّﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺱِ ﻛُﻞِّ ﻣِﺎﺋَﺔِ ﺳَﻨَﺔٍ ﻣَﻦْ ﻳُﺠَﺪِّﺩُ ﻟَﻬَﺎ ﺩِﻳﻨَﻬَﺎ
"Sesungguhnya Allah akan menurunkan (orang) setiap permulaan 100 tahun seseorang kepada Umat yang akan (Tajdid) mengembalikan kegemilangan Agama mereka". (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim di dalam Mustadrak dan al-Baihaqi di dalam al-Ma'rifah).
Jika Allah tidak mempunyai scenario tersebut, maka sudah dari dulu dunia ini kiamat, semenjak wafatnya Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Permasalahannya adalah, saat ini masing-masing umat Islam lebih mengedepankan ego Keorganisasiannya.
Boleh jadi seorang ulama dianggap alim oleh satu kelompok, sementara di kelompok yang lain dianggap tidak, begitupun sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa hingga kini umat Islam terus terpecah belah bagaikan buih dilautan, tanpa adanya Khalifah yang memimpin. Padahal Allah akan menjadikan mereka bersatu dalam satu sistem Islam jika saja masing-masing menyadari akan pentingnya hal tersebut.
Firman Allah swt. dalam QS. Hud:118:
‘’Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi merekasenantiasa berselisih (pendapat)’’.
Hizbut Tahrir sendiri sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan terhadap perbedaan madzhab maupun golongan. Bagi HT orang Alim dari kelompok manapun, apabila ia sudah memenuhi kriteria untuk menjadi Khalifah, maka ia berhak diangkat untuk menjadi Khalifah bagi kaum Muslimin.
Pertanyaannya, maukah kita mengesampingkan ego dan fanatisme golongan demi terwujudnya sistem Kekhilafahan Islam yang akan mempersatukan kaum Muslimin di bawah panji LAAILAAHA ILLAALLAH MUHAMMADUR RASUULULLAH ?
Sumber rujukan:
1. Deliar Noer, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, hal. 243
2. Al-Wa’ie,No. 104 hal. 17-18, tahun 2009.
3. Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, hlm. 66, tahun 1999.
4. Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, hlm. 10, tahun1999.
5. Abdullah Umar Sulaiman AdDumaiji, Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah,(Kairo: t.p), 1987, hlm. 49.
(Telaah atas Kitab Ahkamul Fuqoha fii Muqorroroti Muktamaroti Nahdlatil Ulamai)
Oleh: Irkham Fahmi, S.Sos.I
Sudah saatnya bagi generasi muda NU untuk memperjuangkan Islam sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh aktifis-aktifis Hizbut Tahrir. Para kyai harus membangkitkan semangat santri dan jama’ahnya agar berani menyuarakan kebenaran.
Karena, selain sebagai seorang muslim yang wajib memperjuangkan agamanya, juga untuk menunjukkan eksistensi komunitas mereka dalam beramar ma’ruf nahy munkar. Ini yang harus benar-benar diperhatikan oleh elit PBNU jika tidak ingin ditinggalkan banyak jama’ahnya.
Ali Masykur Musa, tokoh muda NU, dihadapan ratusan kyai-kyai NU pernah menyatakan bahwa, wajar saja bila saat ini HTI banyak mendapat dukungan dari umat, karena umat melihat siapa yang bergerak. (nu.online, 2011).
Apa yang dikatakan Ali tidaklah berlebihan, mengingat saat ini banyak kalangan muda NU dan para kyai yang beralih jalur perjuangan pada HTI.
Mereka yang bergabung dengan HTI bukanlah santri-santri polos sebagaimana yang dikatakan oleh Ainurrofiq (Penulis buku Membongkar Proyek Khilafah Islamiyah Ala HTI), tetapi mereka adalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dalam membaca fakta sosial dan mengesampingkan rasa sombong.
Dalam tulisannya, DR. Aunurrofiq seakan hendak memadamkan bara semangat kaum Nahdliyyin dalam memperjuangkan Islam. Dengan merasa dirinya sebagai wong NU tulen, ia menuduh bahwa orang-orang NU yang mau bergabung dengan garis perjuangan Hizbut Tahrir adalah orang-orang yang polos dan tidak kritis. Padahal sebaliknya, ia sendirilah yang polos dan tidak kritis.
Bagaimana mungkin ia mendikotomi antara Imamah dan Khilafah, padahal ulama-ulama salaf pun tidak pernah membedakannya. Dalam melihat fakta bobroknya sistem demokrasi pun ia seakan menutup panca inderanya. Sarjana-sarjana Muslim dunia tau betul jika sistem ini tidak akan pernah memberi jalan bagi siapapun yang hendak membumikan Hukum-hukum Allah swt.
AMANAT MUKTAMAR NU
Sebagai komunitas Muslim Sunni, elit NU tidak sepatutnya ikut larut dalam hiruk-pikuk sistem Demokrasi. Islam mempunyai sistem tersendiri dalam mengembangkan peradaban manusia, yakni Khilafah Islamiyah ‘ala Minhajin Nubuwwah.
Dalam Kitab Ahkamul Fuqaha, hal.776, diamanatkan: “(PBNU harus_ pen) terus mengupayakan pengembangan studi fiqih siyasah (politik) ‘ala Ahlussunnah walJama’ah”. (Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU, tahun 1418 H / 1997).
Sayangnya apa yang dikembangkan oleh PBNU saat ini bukanlah sistem politik Islam Sunni, melainkan sistem politik ala Barat wal Yahudi, yakni demokrasi. Padahal ulama-ulama Ahlussunnah telah sepakat menyatakan tentang bahayanya sistem ini.
Syaikh Abul A’la al-Maududi, Dalam kitabnya, Al-Islam wa al-Madaniyahal-Haditsah, hal. 36, ia mengatakan; “Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian Demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat … Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis, baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, Muslim maupun non-Muslim”.
Adnan ‘Ali Ridha an-Nahwi, Dalam kitabnya, Syuro Laaad-Dimuqrathiyah, hal. 103, ia menyatakan, “Dalam kehidupan dunia kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang sepakat. Kebenaran itu harus diukur oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan manhaj rabbani yang diturunkan dari langit (al-Qur’an)” .
Muhammad Yusuf Musa, Dalam kitabnya, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hal. 245, ia berkata: “Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem Demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen”.
Anwar al-Jundi, Dalam kitabnya, Sumum al-Istisyraqwa al-Musytasyriqun fi al-Ulum al-Islamiyah, hal. 96, ia mengatakan, “Pemikiran politik Islam berbeda dengan pemikiran Demokrasi Barat, di antaranya karena kedaulatan dalam sistem politik Islam bukanlah di tangan umat, seperti sistem politik Demokrasi, juga bukan di tangan kepala negara, seperti sistem kediktatoran, melainkan ada dalam penerapan syariah Islam. Dengan demikian sistem politik Islam sangat jauh berbeda dengan sistem apapun yang telah menyimpang itu”.
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Ia mengkritisi Demokrasi dalam Kitabnya, Min Hunaa Na’lam, hal. 93, ketika beliau membantah Khalid Muhammad Khalid yang mengklaim keutamaan pemerintahan demokratis: “Adalah perkara yang hak, bahwa orang-orang yang menerapkan Demokrasi sebagai sesuatu yang ideal, hakikatnya adalah orang-orang yang lebih rendah moralnya dan lebih buruk pengaruhnya dibandingkan dengan orang-orang yang menyalahgunakan agama, pada saat mereka menerapkan hukum-hukum yang dzalim. Mari kita lihat sekilas sistem Demokrasi ketika diterapkan di negeri kita (Mesir) di tangan tuan-tuannya, dari penduduk Eropa, yang menjadi utusan Eropa atau yang menjajah kita”.
Syaikh Ali Belhaj, Dalam kitabnya, Ad-Damghahal-Zawwiyah li Nasfi ‘Aqidah ad-Dimuqrathiyah. Secara langsung ia menunjuk bahwa biang keruskan moral adalah Demokrasi, “Cukuplah saya katakan bahwa Demokrasi Barat yang bejat itu sebenarnya telah membawa benih-benih kerusakan dan kebejatan moral. Kenyataan yang ada adalah bukti yang paling jelas untu kitu.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum, salah seorang tokoh Hizbut Tahrir. Dalam kitabnya, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr: Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquhaaw ad-Da’watu ilayha.
Beliau menyatakan bahwa, “Demokrasi yang dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara global maupun particular … oleh karena itu, kaum Muslimin diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskannya.”
Dalam tulisannya, SAID AQIL SIRADJ_pun (sebelum menerima dana dari Barat) menyatakan bahwa Kekhilafahan Islam merupakan hal yang penting bagi eksistensi kaum Muslimin. Beliau mengatakan bahwa “ Al-Imamah (sistem kepemimpinan Islam) merupakan sunnatullah yang mesti (harus) terwujud, baik secara syar’i maupun aqli.
Melalui al-Imamah (khilafah) diharapkan akan menjadi garansi bagi ajaran agama (nilai-nilai moralitas), menjamin regulasi tatanan sosial-politik serta mengatur kepentingan bersama. Karena itulah, dalam bab pertama Kitabnya Al-Mawardi mewajibkan al-Imamah berdasarkan Ijmak (kesepakatan para ulama). Ke-vacum-an suatu masyarakat dari eksistensi al-Imamah bisa jadi preseden yang buruk atas kontinuitas agama maupun kehidupan sosial masyarakat.”
Said Aqil pun secara tegas menolak apabila ada orang yang menggunakan istilah-istilah dalam Kekhilafahan Islam sebagai term bagi sistem lainnya (termasuk Republik Demokrasi).Menurutnya:
“ Dalam kurun empat belas abad itu, dunia Islam dalam satu komando Khalifah, di mana seluruh Khalifah dari trah Quraisy, Konsekuensinya, seluruh kekuasaan di luar struktur dan sistem tersebut tidak berhak memakai term Khilafah, sungguh pun memiliki power yang tidak kecil.
Kekuasaan di bawah khalifah sering disebut ‘sulthonah’,… Kekuasaan kesultanan diikuti pula oleh penguasa Muslim di kawasan Asia Tenggara kala itu; seperti kesultanan Demak, Mataram, Delhi, Tidore, Makassar, Cirebon, Malaka, Brunai dan seterusnya. …. Berbeda dengan sistem Khilafah yang memusatkan kekuasaan pada khalifah, pada sistem Republik tersebut didasari oleh kekuasaan ‘trias-politika’; eksekutif, legislatif dan yudikatif.…… Karena itu, salah besar jika Khalifah disamakan dengan Presiden.
Aunurrofiq entah tidak paham atau pura-pura tidak tau, jika Kyai Wahab Hasbullah tidak melanjutkan memperjuangkan penegakkan sistem kekhilafahan Islam dalam KKI, dikarenakan ada intervensi Wahabi yang dibonceng pemerintahan Ibnu Su’ud atas dukungan Inggris.
Saudi yang pada saat itu menjadi tuan rumah untuk memfasilitasi ulama-ulama dari berbagai dunia Islam, dalam rangka merembuk kembali sistem kekhilafahan Islam yang sudah dihancurkan Inggris, mensyaratkan kepada semua negeri yang hendak menjadi bagian dari Kekhilafahan Islam harus menganut satu madzhab, yakni “Wahabi”. Inilah yang tidak diterima oleh Mbah Wahab dan ulama-ulama Sunni lainnya, sehingga mereka lebih memilih walkout dari berlangsungnya acara.
Kegigihan Mbah Wahab dalam memperjuangkan tegaknya Khilafah justru semakin terlihat ketika beliau membentuk Komite Hijaz. Organisasi ini mencoba mengakomodir negara-negara Islam yang masih mempunyai cita-cita menegakkan sistem Khilafah di tengah-tengah kaum Muslimin,tanpa adanya monopoli madzhab Wahabi.
Hingga akhirnya, ketika kondisi dunia Islam kian makin tak terkendali (khususnya di Indonesia), karena tidak adanya Khalifah, maka dengan sangat terpaksa beliau mengesahkan kepemimpinan Soekarno sebagai presiden RI.
Itulah sebabnya mengapa Ir. Soekarno hanya dikatakan sebagai Waliyyul Amri Addhoruri biSyaukah (Penguasa pemerintahan darurat sebab kekuasaannya). Anehnya, Meski sudah sangat jelas, arti dari kalimat tersebut coba dikaburkan oleh Aunurrofiq, dengan cara membiaskan kata “Addhoruri”_nya.
Seiring dengan berjalanannya waktu, hingga kini kondisi bangsa dan dunia Islam lainnya kian semakin darurat. Darah umat Islam begitu mudah ditumpahkan oleh orang-orang kafir, banyak aturan-aturan Allah yang diabaikan oleh umatnya.
Ternyata dengan adanya Presiden saja tidak cukup bagi terwujudnya kejayaan Islam, tanpa adanya seorang Khalifah yang memimpin. Maka sudah sepatutnya bagi para ulama saat ini untuk memperjuangkan tegaknya kembali sistem Kekhilafahan Islam, karena kondisi umat kini sudah semakin darurat.
Dalil Kaidah Syariah mengenai hal ini adalah :
ﻣﺎ ﻻﻳﺘﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺇﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻭﺍﺟﺐ
Artinya: “Jikasuatu kewajiban tidak terlaksana secara sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”.
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, hukuman had bagi pelaku zina, hukuman had bagi pencuri, kewajiban jihad untuk membela umat Islam yang dianiaya, persatuan dan kesatuan umat Islam, dan sebagainya.
Kewajiban-kewajiban tersebut tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, apalagi dalam sistem Demokrasi seperti ini, sebab kewajiban-kewajiban tersebut membutuhkan sebuah sistem kekuasaan, yang tiada lain adalah Khilafah Islamiyyah ‘ala Minhajin nubuwwah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil bagi wajibnya membentuk sistem Kekhhilafahan Islam.
Mengenai tidak adanya orang alim (mujtahid mutlak) yang layak untuk diangkat menjadi khalifah saat ini, asumsi tersebut hanyalah sebuah anggapan yang harus dibuktikan. Mengingat dalam setiap abad Allah swt. pasti akan menurunkan seorang alim yang akan memperjuangkan ajaran-ajarannya. Di dalam hadits riwayat Abu Hurairah RA, sabda Nabi Muhammad SAW:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺒْﻌَﺚُ ﻟِﻬَﺬِﻩِ ﺍﻟْﺄُﻣَّﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺱِ ﻛُﻞِّ ﻣِﺎﺋَﺔِ ﺳَﻨَﺔٍ ﻣَﻦْ ﻳُﺠَﺪِّﺩُ ﻟَﻬَﺎ ﺩِﻳﻨَﻬَﺎ
"Sesungguhnya Allah akan menurunkan (orang) setiap permulaan 100 tahun seseorang kepada Umat yang akan (Tajdid) mengembalikan kegemilangan Agama mereka". (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim di dalam Mustadrak dan al-Baihaqi di dalam al-Ma'rifah).
Jika Allah tidak mempunyai scenario tersebut, maka sudah dari dulu dunia ini kiamat, semenjak wafatnya Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Permasalahannya adalah, saat ini masing-masing umat Islam lebih mengedepankan ego Keorganisasiannya.
Boleh jadi seorang ulama dianggap alim oleh satu kelompok, sementara di kelompok yang lain dianggap tidak, begitupun sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa hingga kini umat Islam terus terpecah belah bagaikan buih dilautan, tanpa adanya Khalifah yang memimpin. Padahal Allah akan menjadikan mereka bersatu dalam satu sistem Islam jika saja masing-masing menyadari akan pentingnya hal tersebut.
Firman Allah swt. dalam QS. Hud:118:
‘’Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi merekasenantiasa berselisih (pendapat)’’.
Hizbut Tahrir sendiri sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan terhadap perbedaan madzhab maupun golongan. Bagi HT orang Alim dari kelompok manapun, apabila ia sudah memenuhi kriteria untuk menjadi Khalifah, maka ia berhak diangkat untuk menjadi Khalifah bagi kaum Muslimin.
Pertanyaannya, maukah kita mengesampingkan ego dan fanatisme golongan demi terwujudnya sistem Kekhilafahan Islam yang akan mempersatukan kaum Muslimin di bawah panji LAAILAAHA ILLAALLAH MUHAMMADUR RASUULULLAH ?
Sumber rujukan:
1. Deliar Noer, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, hal. 243
2. Al-Wa’ie,No. 104 hal. 17-18, tahun 2009.
3. Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, hlm. 66, tahun 1999.
4. Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, hlm. 10, tahun1999.
5. Abdullah Umar Sulaiman AdDumaiji, Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah,(Kairo: t.p), 1987, hlm. 49.
0 komentar:
Posting Komentar