LIKE N SHARE👍
Tulisan tahun 2012, sekiranya masih relevan tahun 2017 memahami SINEMA PILKADA JAKARTA
http://m.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2012/07/16/19903/pilgub-dki-potret-kesalahan-paradigma-politik-demokrasi/
Home | Share Voices
Senin, 16 Jul 2012
Pilgub DKI, Potret Kesalahan Paradigma Politik Demokrasi
Pilkada DKI Jakarta Barometer Nasional
Oleh Hanif Kristianto, S.Pd (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)
Pantas saja Indonesia disebut negara paling demokratis di antara negeri muslim lainnya. Pemilihan umum (pemilu) langsung sudah menjadi primadona dalam setiap pergantian pemimpin. Ada pemilihan legislatif, pemilihan presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Setiap tahun bahkan secara maraton terjadi pilkada baik tingkat provinsi maupun kabupaten berlangsung pilkada. Tak tertinggal di tingkat kecamatan dan daerah. Pergantian pemimpin di Indonesia dalam alam demokrasi sebagai apresiasi rakyat. Rakyat menyerahkan mandat untuk memimpin suatu daerah tertentu.
Hal menarik pilkada yang ada di tahun 2012 adalah pilkada DKI Jakarta. Opini baik di media massa (cetak dan elektronik) menyoroti semua. Mengingat DKI Jakarta sebagai barometer pilkada di daerah lain. Selain itu, DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan kedua dan dijadikan ibu kota Indonesia. Pilkada DKI Jakarta ibaratkan memilih raja kedua, setelah presiden.
Pilkada DKI Jakarta diikuti 6 pasangan cagub-cawagub. (Foke-Nara, Adji-Riza, Jokowi-Basuki, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, Alex-Nono). Kontestan pasangan cagub-cawagub pun beragam. Ada incumbent, politisi, dan non-parpol.
Ada juga orang asli betawi maupun dari luar Jakarta. Keberagaman peserta ini menunjukan jika pilkada menjadi hal yang menjanjikan. Baik menjajikan bagi diri sendiri, kelompok, maupun partainya. Pilkada DKI Jakarta ibaratkan batu loncatan menuju RI-1. Jokowi menjadi pasangan yang kelihatan akan memenangkan pentas pesta Demokrasi DKI Jakarta. Kemenangan Jokowi disinyalir oleh banyak kalangan jauh dari politik pencitraan, bersahaja, merepresentasikan wong cilik, memecah kejengkelan banyak kalangan terutama rakyat yang sedemikian muak, apatis dan tidak percaya pada politik praktis dan para politisinya.
Sementara itu Foke didukung oleh mesin politik partainya –Demokrat-. Dalam putaran kedua ini Partai Demokrat akan all out mendukung Foke. Harapan munculnya orang nomer 1 di DKI Jakarta yang bisa menyelesaikan persoalan DKI Jakarta seolah sebagai gambaran harapan rakyat akan munculnya RI 1 di Indonesia yang mampu menciptakan sistem-rezim pelayan rakyat. Maka Pilkada DKI Jakarta menjadi Barometer Indonesia menuju 2014. Bisakah terwujud Kepemimpinan DKI Jakarta dengan kebijakan yang melayani rakyat ?
Menuju hari-H
Pilkada DKI Jakarta sudah digelar 11 Juli 2012. Warga Jakarta pada tanggal tersebut diajak berpesta atas nama demokrasi. Pesta yang menentukan nasib dan wajah Jakarta lima tahun ke depan. Kesuksesan Pilkada pun diharapkan semua warga Jakarta agar tidak terjadi keributan dan tetap tenang. Bahkan KPU DKI Jakarta sudah menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan dalam pilkada.
Di tengah persiapan pilkada, KPU diterpa bencana terkait Daftar Pemlih Tetap (DPT). Hal ini sering terjadi setiap kasus pilkada di mana pun. Mengingat DPT adalah lumbung suara bagi cagub-cawagub. Pernyataan sumir dari cagub-cawagub berdatangan. Bahkan ketua KPU sempat diperkarakan.
Momen pilkada juga dimanfaatkan lembaga survey untuk mendulang rupiah. Bahkan ada cagub-cawagub yang membayar Rp 250 juta untuk mendanai survey. Hal yang wajar untuk mendongkrak dan memetakan kekuatan lawan. Walaupun kadang survey dibuat untuk opini umum. Hal semacam itu pernah dilakukan waktu pilpres beberapa tahun lalu.
Masa kampanye dimanfaatkan betul pasangan cagub-cawagub. Berbagai model dan bentuk kampanye digulirkan. Mulai yang unik dengan mendekati budaya masyarakat sampai menghibur rakyat. Upaya ini dilakukan sebagai upaya pencitraan meraih simpati. Seolah mereka orang yang dekat, peduli, dan paling mengerti kebutuhan rakyat.
Obral visi-misi can cara menarik simpati begitu rupa. Ada yang berjanji memberikan kesehatan-pendidikan gratis dengan satu kartu. Ada yang dekat dengan budaya. Ada yang berjanji dengan jaminan bebas banjir dan macet. Ada yang ingin menyejahterakan rakyat. Di sisi lain terkadang unsur fitnah bahkan money politic. Hal ini wajar dalam alam demokrasi. Karena siapapun bebas berpendapat tanpa memperhatikan aturan. Bahkan permainan uang begitu kentara, walaupun pasangan cagub-cawagup tidak berterus terang.
Jika diamati apa yang dijanjikan dan disampaikan setiap pasangan tidak pernah terukur. Bahkan mengada-ada. Akibatnya visi-misi tidak jelas. Kebijakan yang dijanjikan tidak lagi populis. Mengingat Jakarta sebagai kota terpadat dan metropolis mempunyai karkateristik unik. Persoalan yang dihadapi pun komplit dan rumit. Apa yang disampaikan terkait pendidikan-dan kesehatan gratis selama ini tidak pernah terbukti. Sebagai contoh pilkada di beberapa daerah pun sama. Rakyat tak pernah menikmati pendidikan dan kesehatan gratis. Semua hanya propaganda.
Belum lagi dari biaya pelaksanaan pilkada. Satu putaran pilgub diperkirakan Rp 185 milyar. Jumlah yang fantastis di tengah kehidupan rakyat yang kian sempit dan terhimpit. Sistem demokrasi tidak memandang banyak atau sedikit biaya pilkada. Di sisi lain biaya kampanye cagub-cawagub tak tanggung-tangung. Miliyaran rupiah dikeluarkan untuk membuat rakyat senang sementara. Ada juga para kapitalis di belakang cagub-cawagub.
Hal ini mengindikasikan bahwa pilkada erat dengan uang. Tanpa uang abang ditendang. Itulah gambarannya. Uang seolah menjadi segalanya. Kalaupun ada ungkapan “ambil saja uangnya, jangan coblos orangnya. Biar kapok.” Menunjukan kebodohan intelektual. Ketika menerima uangnya sama saja dengan pembodohan kepada rakyat. Selama sistem pemilihan pemimpin dalam demokrasi ada, maka selama itu pula masalah demi masalah tetap ada. Sehingga kehidupan semakin runyam.
Kesalahan Paradigma Berpolitik
Politik dalam sistem demokrasi tidak memandang untung-rugi. Syahwat berkuasa lebih kental daripada mengurusi urusan rakyat. Buktinya calon yang ada tak merasa kehilangan harta kekayaannya. Mereka ikhlas dan legowo bisa ikut dalam pesta rakyat.
Kesalahan paradigma politik dalam demokrasi ditunjukan dengan beberapa hal. Pertama, motif berkuasa. Hal itu terwujud karena dalam demokrasi diajarkan intrik politik untuk meraih kekuasaan. Ketika sudah di kursi kekuasaan akan terjadi kongkalikong antara penguasa dan pengusaha. Karena pengusaha turut berperan menyukseskan pemenangan pilkada.
Kedua, motif mengamankan diri. Hal itu terwujud dengan melindungi kroni-kroni yang turut serta mendukung kesuksesan pemenangan pilkada. Pengamanan diberikan dalam bentuk jaminan ketika tersangkut kasus hukum. Karena demokrasi dekat dengan sikap otoriter kepada rakyat. Adapun bagi pengusaha sikap pemerintah melunak. Serta jika dirasa membahayakan penguasa maka lawan politik akan dihabisi.
Ketiga, motif memperkaya diri. Hal lumrah dari sebuah pencapaian usaha menjadi penguasa. Kursi kekuasaan sangat erat dengan kekayaan. Maka tak ayal kasus korupsi sering hinggap pada penguasa dan anak buahnya.
Keempat, motif pencitraan. Selama ini rakyat yang memilih belum kenal dekat dengan pemimpinnya. Maka bisa dipastikan untuk meraih kekuasaan pemimpin akan menampilkan pencitraan dirinya. Pencitraan dirinya didukung dengan berbagai hal. Adakalanya melalui iklan, kegiatan amal sosial, dan aksi nyata kepada rakyat. Hal ini dilakukan sesungguhnya untuk meraih simpati. Akibatnya ketika jadi pemimpin mereka sibuk melakukan pencitraan jika tersandung kasus. Pencitraan yang dibangun begitu positif seolah-oleh tidak ada cacat dalam memimpin. Tentu motif ini sangat berbahaya.
Jika demikian maka kesalahan paradigma berpolitik seperti ini sangat fatal. Fokus mereka bukan pada mengurusi rakyat. Rakyat hanya dijadikan batu loncatan dengan pemberian janji. Rakyat kadang merasa dikibuli. Akibatnya rakyat makin apatis dan tak mau tahu siapa yang akan memimpin nanti. Rakyat menyadari mereka yang akan memimpin akhirnya lupa juga.
Bagi rakyat bukan janji yang dinanti. Lebih dari itu bukti pengurusan kehidupan agar mereka sejahterah itulah tanggung jawab pemimpin. Beberapa contoh dalam politik demokrasi, ketika kalah bisa saja peserta pilkada menggugat. Terjadinya kekacauan dan pengrusakan fasilitas umum. Kalaupun di suatu daerah tenang-tenang saja bukan berarti kemenangan demokrasi. Di sisi lain, yang tidak kalah penting adalah sistem yang akan diterapkan. Jika selama ini demokrasi menjadikan sistem yang diterapkan tidak berkeadilan. Pemimpin pun lupa terhadap tugas utama mengurusi urusan rakyat. Maka tidak layak demokrasi dijadikan sebagai sistem hidup. Butuh perubahan mendasar. Yakni sistem yang berasal dari sang Pencipta. Itulah sistem Islam.
Politik dan Kepemimpinan Islam
Islam memiliki pandangan yang khas tentang politik. Politik dimaknai sebagai pengurusan urusan umat. Karena kepemimpinan adalah amanah. Seorang pemimpin bertanggung jawab tidak hanya kepada manusia, tetapi lebih-lebih tanggung jawab kepada Allah.
Pemilihan pemimpin dalam Islam sebagai cara untuk memilih pemimpin. Pemimpin dipilih untuk menjalankan sistem Islam. Bukan sistem lainnya (kapitalisme, sosialisme, demokrasi, dll). Karena amanah itu langsung dari Allah swt. Fokus pengurusan hanya pada umat. Bukan saudara, kroni, kolega, maupun pengusaha.
Seorang pemimpin seharusnya berkepribadian kuat, bertaqwa, dan lemah lembut bergaul dengan rakyatnya. Hal seperti itu tidak ditemukan dalam sistem selain Islam. walhasil, seorang pemimpin harus selalu menyadari bahwa kekuasaan yang digenggam tidak boleh untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Misalnya, memperkaya diri, mendzalimi, maupun untuk mengkhianati rakyat. Kekuasaan digunakan untuk mengatur urusan rakyat sesuai syariat.
Maka disinilah esensi penerapan Syariah dalam bingkai Khilafah sebagai solusi tuntas untuk menyejahterahkan rakyat. Selama demokrasi, sosialisme, dan kapitalisme-sekular bercokol. Selama itu pula rakyat akan dikibuli dan dibuat sengsara. Apa mau selamanya begitu ? Wallahua’lam bissawab.
Tulisan tahun 2012, sekiranya masih relevan tahun 2017 memahami SINEMA PILKADA JAKARTA
http://m.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2012/07/16/19903/pilgub-dki-potret-kesalahan-paradigma-politik-demokrasi/
Home | Share Voices
Senin, 16 Jul 2012
Pilgub DKI, Potret Kesalahan Paradigma Politik Demokrasi
Pilkada DKI Jakarta Barometer Nasional
Oleh Hanif Kristianto, S.Pd (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)
Pantas saja Indonesia disebut negara paling demokratis di antara negeri muslim lainnya. Pemilihan umum (pemilu) langsung sudah menjadi primadona dalam setiap pergantian pemimpin. Ada pemilihan legislatif, pemilihan presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Setiap tahun bahkan secara maraton terjadi pilkada baik tingkat provinsi maupun kabupaten berlangsung pilkada. Tak tertinggal di tingkat kecamatan dan daerah. Pergantian pemimpin di Indonesia dalam alam demokrasi sebagai apresiasi rakyat. Rakyat menyerahkan mandat untuk memimpin suatu daerah tertentu.
Hal menarik pilkada yang ada di tahun 2012 adalah pilkada DKI Jakarta. Opini baik di media massa (cetak dan elektronik) menyoroti semua. Mengingat DKI Jakarta sebagai barometer pilkada di daerah lain. Selain itu, DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan kedua dan dijadikan ibu kota Indonesia. Pilkada DKI Jakarta ibaratkan memilih raja kedua, setelah presiden.
Pilkada DKI Jakarta diikuti 6 pasangan cagub-cawagub. (Foke-Nara, Adji-Riza, Jokowi-Basuki, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, Alex-Nono). Kontestan pasangan cagub-cawagub pun beragam. Ada incumbent, politisi, dan non-parpol.
Ada juga orang asli betawi maupun dari luar Jakarta. Keberagaman peserta ini menunjukan jika pilkada menjadi hal yang menjanjikan. Baik menjajikan bagi diri sendiri, kelompok, maupun partainya. Pilkada DKI Jakarta ibaratkan batu loncatan menuju RI-1. Jokowi menjadi pasangan yang kelihatan akan memenangkan pentas pesta Demokrasi DKI Jakarta. Kemenangan Jokowi disinyalir oleh banyak kalangan jauh dari politik pencitraan, bersahaja, merepresentasikan wong cilik, memecah kejengkelan banyak kalangan terutama rakyat yang sedemikian muak, apatis dan tidak percaya pada politik praktis dan para politisinya.
Sementara itu Foke didukung oleh mesin politik partainya –Demokrat-. Dalam putaran kedua ini Partai Demokrat akan all out mendukung Foke. Harapan munculnya orang nomer 1 di DKI Jakarta yang bisa menyelesaikan persoalan DKI Jakarta seolah sebagai gambaran harapan rakyat akan munculnya RI 1 di Indonesia yang mampu menciptakan sistem-rezim pelayan rakyat. Maka Pilkada DKI Jakarta menjadi Barometer Indonesia menuju 2014. Bisakah terwujud Kepemimpinan DKI Jakarta dengan kebijakan yang melayani rakyat ?
Menuju hari-H
Pilkada DKI Jakarta sudah digelar 11 Juli 2012. Warga Jakarta pada tanggal tersebut diajak berpesta atas nama demokrasi. Pesta yang menentukan nasib dan wajah Jakarta lima tahun ke depan. Kesuksesan Pilkada pun diharapkan semua warga Jakarta agar tidak terjadi keributan dan tetap tenang. Bahkan KPU DKI Jakarta sudah menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan dalam pilkada.
Di tengah persiapan pilkada, KPU diterpa bencana terkait Daftar Pemlih Tetap (DPT). Hal ini sering terjadi setiap kasus pilkada di mana pun. Mengingat DPT adalah lumbung suara bagi cagub-cawagub. Pernyataan sumir dari cagub-cawagub berdatangan. Bahkan ketua KPU sempat diperkarakan.
Momen pilkada juga dimanfaatkan lembaga survey untuk mendulang rupiah. Bahkan ada cagub-cawagub yang membayar Rp 250 juta untuk mendanai survey. Hal yang wajar untuk mendongkrak dan memetakan kekuatan lawan. Walaupun kadang survey dibuat untuk opini umum. Hal semacam itu pernah dilakukan waktu pilpres beberapa tahun lalu.
Masa kampanye dimanfaatkan betul pasangan cagub-cawagub. Berbagai model dan bentuk kampanye digulirkan. Mulai yang unik dengan mendekati budaya masyarakat sampai menghibur rakyat. Upaya ini dilakukan sebagai upaya pencitraan meraih simpati. Seolah mereka orang yang dekat, peduli, dan paling mengerti kebutuhan rakyat.
Obral visi-misi can cara menarik simpati begitu rupa. Ada yang berjanji memberikan kesehatan-pendidikan gratis dengan satu kartu. Ada yang dekat dengan budaya. Ada yang berjanji dengan jaminan bebas banjir dan macet. Ada yang ingin menyejahterakan rakyat. Di sisi lain terkadang unsur fitnah bahkan money politic. Hal ini wajar dalam alam demokrasi. Karena siapapun bebas berpendapat tanpa memperhatikan aturan. Bahkan permainan uang begitu kentara, walaupun pasangan cagub-cawagup tidak berterus terang.
Jika diamati apa yang dijanjikan dan disampaikan setiap pasangan tidak pernah terukur. Bahkan mengada-ada. Akibatnya visi-misi tidak jelas. Kebijakan yang dijanjikan tidak lagi populis. Mengingat Jakarta sebagai kota terpadat dan metropolis mempunyai karkateristik unik. Persoalan yang dihadapi pun komplit dan rumit. Apa yang disampaikan terkait pendidikan-dan kesehatan gratis selama ini tidak pernah terbukti. Sebagai contoh pilkada di beberapa daerah pun sama. Rakyat tak pernah menikmati pendidikan dan kesehatan gratis. Semua hanya propaganda.
Belum lagi dari biaya pelaksanaan pilkada. Satu putaran pilgub diperkirakan Rp 185 milyar. Jumlah yang fantastis di tengah kehidupan rakyat yang kian sempit dan terhimpit. Sistem demokrasi tidak memandang banyak atau sedikit biaya pilkada. Di sisi lain biaya kampanye cagub-cawagub tak tanggung-tangung. Miliyaran rupiah dikeluarkan untuk membuat rakyat senang sementara. Ada juga para kapitalis di belakang cagub-cawagub.
Hal ini mengindikasikan bahwa pilkada erat dengan uang. Tanpa uang abang ditendang. Itulah gambarannya. Uang seolah menjadi segalanya. Kalaupun ada ungkapan “ambil saja uangnya, jangan coblos orangnya. Biar kapok.” Menunjukan kebodohan intelektual. Ketika menerima uangnya sama saja dengan pembodohan kepada rakyat. Selama sistem pemilihan pemimpin dalam demokrasi ada, maka selama itu pula masalah demi masalah tetap ada. Sehingga kehidupan semakin runyam.
Kesalahan Paradigma Berpolitik
Politik dalam sistem demokrasi tidak memandang untung-rugi. Syahwat berkuasa lebih kental daripada mengurusi urusan rakyat. Buktinya calon yang ada tak merasa kehilangan harta kekayaannya. Mereka ikhlas dan legowo bisa ikut dalam pesta rakyat.
Kesalahan paradigma politik dalam demokrasi ditunjukan dengan beberapa hal. Pertama, motif berkuasa. Hal itu terwujud karena dalam demokrasi diajarkan intrik politik untuk meraih kekuasaan. Ketika sudah di kursi kekuasaan akan terjadi kongkalikong antara penguasa dan pengusaha. Karena pengusaha turut berperan menyukseskan pemenangan pilkada.
Kedua, motif mengamankan diri. Hal itu terwujud dengan melindungi kroni-kroni yang turut serta mendukung kesuksesan pemenangan pilkada. Pengamanan diberikan dalam bentuk jaminan ketika tersangkut kasus hukum. Karena demokrasi dekat dengan sikap otoriter kepada rakyat. Adapun bagi pengusaha sikap pemerintah melunak. Serta jika dirasa membahayakan penguasa maka lawan politik akan dihabisi.
Ketiga, motif memperkaya diri. Hal lumrah dari sebuah pencapaian usaha menjadi penguasa. Kursi kekuasaan sangat erat dengan kekayaan. Maka tak ayal kasus korupsi sering hinggap pada penguasa dan anak buahnya.
Keempat, motif pencitraan. Selama ini rakyat yang memilih belum kenal dekat dengan pemimpinnya. Maka bisa dipastikan untuk meraih kekuasaan pemimpin akan menampilkan pencitraan dirinya. Pencitraan dirinya didukung dengan berbagai hal. Adakalanya melalui iklan, kegiatan amal sosial, dan aksi nyata kepada rakyat. Hal ini dilakukan sesungguhnya untuk meraih simpati. Akibatnya ketika jadi pemimpin mereka sibuk melakukan pencitraan jika tersandung kasus. Pencitraan yang dibangun begitu positif seolah-oleh tidak ada cacat dalam memimpin. Tentu motif ini sangat berbahaya.
Jika demikian maka kesalahan paradigma berpolitik seperti ini sangat fatal. Fokus mereka bukan pada mengurusi rakyat. Rakyat hanya dijadikan batu loncatan dengan pemberian janji. Rakyat kadang merasa dikibuli. Akibatnya rakyat makin apatis dan tak mau tahu siapa yang akan memimpin nanti. Rakyat menyadari mereka yang akan memimpin akhirnya lupa juga.
Bagi rakyat bukan janji yang dinanti. Lebih dari itu bukti pengurusan kehidupan agar mereka sejahterah itulah tanggung jawab pemimpin. Beberapa contoh dalam politik demokrasi, ketika kalah bisa saja peserta pilkada menggugat. Terjadinya kekacauan dan pengrusakan fasilitas umum. Kalaupun di suatu daerah tenang-tenang saja bukan berarti kemenangan demokrasi. Di sisi lain, yang tidak kalah penting adalah sistem yang akan diterapkan. Jika selama ini demokrasi menjadikan sistem yang diterapkan tidak berkeadilan. Pemimpin pun lupa terhadap tugas utama mengurusi urusan rakyat. Maka tidak layak demokrasi dijadikan sebagai sistem hidup. Butuh perubahan mendasar. Yakni sistem yang berasal dari sang Pencipta. Itulah sistem Islam.
Politik dan Kepemimpinan Islam
Islam memiliki pandangan yang khas tentang politik. Politik dimaknai sebagai pengurusan urusan umat. Karena kepemimpinan adalah amanah. Seorang pemimpin bertanggung jawab tidak hanya kepada manusia, tetapi lebih-lebih tanggung jawab kepada Allah.
Pemilihan pemimpin dalam Islam sebagai cara untuk memilih pemimpin. Pemimpin dipilih untuk menjalankan sistem Islam. Bukan sistem lainnya (kapitalisme, sosialisme, demokrasi, dll). Karena amanah itu langsung dari Allah swt. Fokus pengurusan hanya pada umat. Bukan saudara, kroni, kolega, maupun pengusaha.
Seorang pemimpin seharusnya berkepribadian kuat, bertaqwa, dan lemah lembut bergaul dengan rakyatnya. Hal seperti itu tidak ditemukan dalam sistem selain Islam. walhasil, seorang pemimpin harus selalu menyadari bahwa kekuasaan yang digenggam tidak boleh untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Misalnya, memperkaya diri, mendzalimi, maupun untuk mengkhianati rakyat. Kekuasaan digunakan untuk mengatur urusan rakyat sesuai syariat.
Maka disinilah esensi penerapan Syariah dalam bingkai Khilafah sebagai solusi tuntas untuk menyejahterahkan rakyat. Selama demokrasi, sosialisme, dan kapitalisme-sekular bercokol. Selama itu pula rakyat akan dikibuli dan dibuat sengsara. Apa mau selamanya begitu ? Wallahua’lam bissawab.
0 komentar:
Posting Komentar