يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (TQS al-Hujurât [49]: 13)
يَا أَيُّهَا الإنْسَانُ مَا
غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah?” (TQS al-Infithâr [82]: 6)
قُتِلَ الإنْسَانُ مَا
أَكْفَرَهُ
مِنْ أَيِّ شَيْءٍ
خَلَقَهُ
مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ
فَقَدَّرَهُ
“Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.” (TQS ‘Abasa [80]: 17-19)
Allah SWT telah menyeru manusia dengan berbagai taklif (beban hukum). Manusia telah dijadikan-Nya sebagai sasaran khithâb (seruan) dan taklif. Allah telah menurunkan syariah-Nya kepada manusia. Allah akan membangkitkan manusia dan akan menghisab amal perbuatannya. Dia juga akan memasukkan manusia ke dalam surga dan neraka. Jadi, Allah telah menjadikan manusia, bukan pria atau wanita, sebagai objek berbagai taklif.
Allah telah menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, dengan suatu fitrah tertentu yang berbeda dengan hewan. Wanita adalah manusia, sebagaimana halnya pria. Masing-masing tidak berbeda dari lainnya dari aspek kemanusiaannya. Yang satu tidak melebihi yang lainnya pada aspek ini. Allah telah mempersiapkan kedua-duanya untuk mengarungi kancah kehidupan dengan sifat kemanusiaannya. Allah telah menjadikan pria dan wanita untuk hidup bersama dalam satu masyarakat. Allah juga telah menetapkan bahwa kelestarian jenis manusia bergantung pada interaksi kedua jenis tersebut dan pada keberadaan keduanya pada setiap masyarakat. Karena itu, tidak boleh memandang salah satunya kecuali dengan pandangan yang sama atas yang lain, bahwa ia adalah manusia yang mempunyai berbagai ciri khas manusia dan segala potensi yang mendukung kehidupannya.
Allah telah menciptakan pada masing-masingnya potensi kehidupan (thâqah hayawiyyah), yaitu potensi yang juga diciptakan Allah pada yang lainnya. Allah telah menjadikan pada masing-masingnya kebutuhan jasmani (hâjât ‘udhwiyyah) seperti rasa lapar, rasa dahaga, atau buang hajat; serta berbagai naluri (gharâ’iz), yaitu naluri mempertahankan diri (gharîzah al-baqa’), naluri melestarikan keturunan (gharîzah al-naw’), dan naluri beragama (gharizah al-tadayyun). Kebutuhan jasmani maupun naluri-naluri ini ada pada masing-masing jenis kelamin. Allah juga menjadikan pada keduanya daya pikir, yaitu daya pikir yang ada pada pria dan wanita. Sebab, akal yang terdapat pada pria adalah akal yang juga terdapat pada wanita; karena akal yang diciptakan Allah adalah akal manusia bukan akal pria atau akal wanita saja.
Hanya saja, sekalipun naluri melestarikan jenis dapat dipuaskan oleh manusia dengan sesama jenisnya —pria dengan pria atau wanita dengan wanita— dan dapat pula dipuaskan dengan binatang atau dengan sarana-sarana lain, tetapi cara semacam itu tidak akan mungkin mewujudkan tujuan diciptakannya naluri tersebut kecuali pada satu kondisi saja, yaitu pemuasan naluri tersebut oleh seorang wanita dengan seorang pria atau sebaliknya. Karena itu, hubungan pria-wanita atau sebaliknya, dari segi naluri seksual, adalah hubungan yang alamiah dan bukan merupakan hal yang aneh. Bahkan ia adalah hubungan asli yang dengannya dapat diwujudkan tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melestarikan jenis manusia. Jika di antara kedua jenis tersebut terjadi hubungan ini, dalam bentuk hubungan seksual, hal itu sangat wajar dan alamiah serta bukan hal yang aneh. Bahkan hal itu merupakan keharusan demi kelestarian jenis manusia. Namun demikian, membebaskan naluri ini sangat membahayakan manusia dan kehidupan bermasyarakat. Padahal tujuan adanya naluri itu tiada lain untuk melahirkan anak dalam rangka melestarikan keturunan.
Atas dasar itu, pandangan terhadap naluri ini harus difokuskan pada tujuan penciptaan naluri ini pada diri manusia, yaitu untuk melestarikan jenis, tak ada bedanya antara pria dengan wanita.
Sementara itu, rasa lezat dan nikmat yang muncul dari pemuasan naluri ini adalah sesuatu yang alamiah dan pasti, baik diperhatikan oleh manusia atau tidak. Karena itu, tidak benar kalau dikatakan bahwa rasa lezat dan nikmat harus dijauhkan dari naluri melestarikan jenis. Sebab, rasa lezat dan nikmat ini memang tidak berasal dari pandangan seseorang, melainkan sesuatu yang alami dan pasti, dan tidak mungkin dijauhkan. Karena menjauhkannya adalah hal yang mustahil. Namun pandangan terhadap naluri itu sendiri memang berasal dari pemahaman manusia terhadap pemuasan naluri dan tujuan diciptakannya naluri itu.
Dari sinilah, harus diwujudkan pemahaman tertentu mengenai naluri melestarikan jenis (gharîzah an-naw‘) dan tujuan penciptaannya dalam diri manusia. Pemahaman ini akan membentuk pandangan yang khas mengenai naluri tersebut yang telah diciptakan Allah dalam diri manusia, yaitu pemahaman yang membatasi naluri tersebut pada hubungan pria dengan wanita atau sebaliknya. Di samping itu, akan terbentuk pula pandangan khas terhadap hubungan pria dan wanita, yaitu hubungan seksual/biologis antara dua lawan jenis, dalam arti memfokuskan hubungan itu pada tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melestarikan jenis manusia.
Pandangan seperti inilah yang akan dapat mewujudkan pemuasan naluri, mewujudkan tujuan diciptakannya naluri itu, dan mewujudkan ketenteraman bagi masyarakat yang mengambil dan memiliki pandangan yang khas ini.
Menjadi keharusan pula mengubah pandangan masyarakat –masyarakat mana pun— mengenai hubungan antara dua lawan jenis —yaitu hubungan seksual antara pria dan wanita— dari pandangan yang terfokus pada kelezatan dan kenikmatan seksual semata-mata, menjadi pandangan yang menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang alami dan pasti ada pada pemuasan naluri ini. Pandangan tersebut harus difokuskan pada tujuan penciptaan naluri tersebut. Pandangan seperti inilah yang akan mampu mempertahankan naluri seksual dan menempatkannya secara benar pada tujuan penciptaannya, yang akan memberikan kesempatan kepada manusia untuk melaksanakan segala aktivitasnya dan menyelesaikan segala urusannya yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya.
Karena itulah, setiap orang harus memiliki pemahaman tentang pemuasan naluri melestarikan keturunan (gharîzah al-naw’) dan pemahaman tentang tujuan penciptaan naluri tersebut. Masyarakat pun harus memiliki suatu peraturan yang dapat menghapuskan dari diri manusia, dominasi pikiran tentang hubungan yang bersifat seksual melulu dan anggapan bahwa hubungan itu merupakan satu-satunya perkara yang dominan. Masyarakat juga harus memiliki peraturan yang mempertahankan hubungan tolong menolong antara pria dan wanita. Sebab, tidak ada kebaikan pada suatu komunitas masyarakat, kecuali dengan adanya tolong menolong antara pria dan wanita, sebagai dua pihak yang saling bersaudara dan saling menanggung berdasarkan kasih dan sayang.
Atas dasar itu, harus ditegaskan perlunya mengubah secara total pandangan masyarakat mengenai hubungan pria-wanita. Pengubahan pandangan ini diharapkan akan menghilangkan dominasi pemahaman yang hanya berorientasi hubungan seksual, dan menjadikan hubungan tersebut sebagai sesuatu yang alamiah dan pasti bagi pemuasan naluri. Diharapkan pula pengubahan pandangan itu akan menghapus pemahaman yang membatasi hubungan itu sebagai hubungan yang berfokus pada kenikmatan dan kelezatan semata, dan mengubah pemahanan itu menjadi suatu pandangan yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan masyarakat, bukan pandangan mengenai dua jenis kelamin yang berorientasi seksual. Pandangan ini harus selalu didominasi oleh kesenangan mencari kenikmatan dan pelampiasan syahwat. Pandangan tersebut tidak mengingkari manusia untuk meraih kenikmatan dan kelezatan hubungan seksual, tetapi menjadikannya sebagai suatu bentuk kenikmatan yang dibenarkan oleh syariah, mampu melestarikan keturunan, dan selaras dengan tujuan tertinggi seorang Muslim, yaitu mendapatkan keridhaan Allah SWT
Ayat-maknanya pada naluri melestarikan menjelaskan bahwa kehidupan suami-maksudnya untuk melestarikan keturunan. Dengan kata lain, naluri ini semata-mata diciptakan Allah SWT demi kehidupan bersuami-istri saja. Banyak ayat al-Quran menjelaskan pengertian ini dengan berbagai cara dan makna yang beragam, agar pandangan masyarakat terhadap hubungan pria dan wanita terbatas pada kehidupan suami-istri saja, bukan pada hubungan seksual pria dan wanita. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 1)
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا
تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا
اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الشَّاكِرِينَ
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata,”Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (TQS al-A‘râf [7]: 189)
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا
مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (TQS ar-Ra’d [13]: 38)
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ
مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu...” (TQS an-Nahl [16]: 72)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21)
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan.” (TQS asy-Syûrâ [42]: 11)
وَأَنَّهُ خَلَقَ
الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأنْثَى
مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا
تُمْنَى
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan.” (TQS an-Najm [53]: 45-46)
وَخَلَقْنَاكُمْ
أَزْوَاجًا
“Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan.” (TQS an-Nabâ’ [78]: 8)
Allah SWT menegaskan bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk adalah dalam kehidupan suami-istri. Allah mengulang-ulang hal ini hingga pandangan mengenai hubungan pria dan wanita harus selalu difokuskan pada kehidupan suami-istri saja, yaitu untuk melahirkan anak demi melestarikan jenis manusia. []
SELENGKAPNYA tentang : Sistem Pergaulan Dalam Islam (An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam) dan DAFTAR ISI
memang penting untuk diketahui, pergaulan pria wanita (f)
BalasHapusok :mmm:
BalasHapus