Buletin
Kaffah No. 101, 8 Dzulhijjah 1440 H-9 Agustus 2019
MERENUNGKAN KEMBALI
PESAN-PESAN NABI SAW.
DALAM KHUTBAH WADA’
Ahad, 11 Agustus
2019, bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1440 H, umat Islam sedunia insya Allah akan
merayakan Hari Raya Idul Adha secara bersama-sama.
Idealnya Hari Raya Idul Adha adalah hari sukacita. Hari
Raya Idul Kurban sejatinya adalah hari kegembiraan. Namun sayang, bagi sebagian
umat Islam, sukacita itu masih terkubur oleh dukacita. Kegembiraan masih
tertutupi oleh kabut kesengsaraan. Perayaan Hari Raya Kurban mesih diselimuti
oleh ragam penderitaan.
Palestina, misalnya, masih terus dirundung duka. Puluhan
tahun dicengkeram Zionis sang durjana. Rohingnya masih amat menderita. Terus menjadi
mangsa rezim Budha yang hina. Uighur masih tersungkur. Dipenjara dan terus
disiksa. Oleh rezim kejam komunis Cina. Suriah masih terluka parah. Menjadi
korban kebiadaban rezim haus darah. Sekaligus menjadi rebutan negara-negara kafir
penjajah.
Di belahan bumi yang lain, termasuk di negeri ini,
kaum Muslim masih tetap terpinggirkan. Masih menjadi korban ketidakadilan.
Sekaligus tumbal kebencian para pembenci Islam. Isu radikalisme terus
digaungkan. Sama dengan isu terorisme sebelumnya. Yang mulai terkuak kedoknya.
Nyata penuh dusta. Penuh rekayasa. Hanya jadi alat untuk terus menistakan kaum
Muslim di seluruh dunia. Termasuk di Bumi Nusantara.
Yang makin mengiris hati, ajaran Islam mulai banyak dipersoalkan.
Simbol-simbolnya mulai sering dipermasalahkan. Justru oleh mereka yang mengaku
Muslim toleran. Jilbab dan busana Muslimah, fenomena artis berhijrah, isu syariah
dan khilafah, hingga pengibaran Liwa dan Rayah seolah makin membuat mereka gerah.
Di
sisi lain, ragam krisis terus melanda negeri ini, khususnya krisis ekonomi. Kemiskinan
tak pernah beranjak pergi. Angka pengangguran makin tinggi. PHK terjadi di
sana-sini. Utang luar negeri makin menjadi-jadi. Banyak BUMN terus merugi.
Negeri ini pun seolah tak pernah bisa lepas dari jeratan kasus korupsi.
Terutama yang melibatkan para pejabat tinggi. Saat yang sama,
perusahaan-perusahaan asing terus dibiarkan menjarah kekayaan alam negeri ini.
Ironisnya, semua itu terjadi, justru saat penguasa dan para pejabatnya lantang
berteriak, “NKRI Harga Mati”! Seraya tetap setia menerapkan sistem demokrasi. Yang
sudah terbukti berkali-kali. Gagal memakmurkan dan mensejahterakan rakyat
negeri ini.
Karena itu, di tengah nestapa dan derita
bangsa ini, juga dalam momen Idul Adha tahun ini, kita layak merenung sejenak. Mentafakuri pesan-pesan-pesan Nabi saw. saat Khutbah Wada’, sekitar 14 abad yang lewat, di hadapan sekitar 140 ribu jamaah haji. Beliau
antara lain berkhutbah sebagai berikut:
Wahai manusia, sungguh
darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian sama sucinya dengan sucinya
hari ini, negeri ini dan bulan ini…Siapa saja yang memiliki amanah, tunaikanlah
amanah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Ingatlah, semua perkara
Jahiliah sudah aku campakkan di bawah kedua telapak kakiku…Urusan (pertumpahan)
darah Jahiliah juga sudah dihapus. Sungguh riba Jahiliah pun sudah dilenyapkan…
Wahai
manusia…Sungguh aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian suatu perkara
yang amat jelas. Jika kalian berpegang padanya, kalian tidak akan pernah
tersesat selama-lamanya. Itulah Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Wahai
manusia…Sungguh setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain…
Wahai manusia, ingatlah, Tuhan
kalian satu. Bapak kalian juga satu. Setiap kalian
berasal dari Adam. Adam berasal dari tanah. Yang paling mulia di antara kalian
di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian…
Ingatlah,
hendaknya orang yang hadir dan menyaksikan menyampaikan pesan ini kepada yang
tidak hadir…
Demikianlah
sebagian isi khutbah Baginda Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ahmad.
Dari apa yang Baginda Nabi saw. sampaikan di atas, ada sejumlah hal yang
beliau nasihatkan kepada kita, yang selayaknya kita renungkan dan sungguh-sungguh
harus kita amalkan. Di antaranya:
Pertama, kita diperintahkan untuk menjaga darah, harta dan kehormatan sesama. Apalagi beliau
juga bersabda:
ุณِุจَุงุจُ ุงْูู
ُุณِْูู
ِ ُูุณٌُูู َِููุชَุงُُูู ُْููุฑٌ
Mencela seorang Muslim adalah kefasikan. Membunuh dirinya
adalah kekufuran (HR al-Bukhari
dan Muslim).
Kedua, kita diperintahkan untuk memberikan amanah kepada ahlinya. Termasuk amanah
kepemimpinan. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
ุฅَِّู ุงََّููู َูุฃْู
ُุฑُُูู
ْ ุฃَْู ุชُุคَุฏُّูุง ุงْูุฃَู
َุงَูุงุชِ
ุฅَِูู ุฃََِْูููุง...
Sungguh Allah telah memerintahkan kalian agar
menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya… (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Tentang amanah kepemimpinan, Rasulullah saw. pun
mengingatkan:
ุฅَُِّููู
ْ ุณَุชَุญْุฑِุตَُูู ุนََูู ุงْูุฅِู
َุงุฑَุฉِ َูุณَุชَُُููู
َูุฏَุงู
َุฉً َْููู
َ ุงَِْูููุงู
َุฉِ
Sungguh kalian begitu berhasrat atas kepemimpinan
(kekuasaan), padahal kepemimpinan (kekuasaan) itu bisa berubah menjadi
penyesalan pada Hari Kiamat kelak (HR al-Bukhari).
Faktanya, hari ini kita menyaksikan tontonan yang amat
menyedihkan. Antar partai politik gontok-gontokan. Antar koalisi saling berebut
kursi kekuasaan. Mereka tak sungkan saling sikut demi jabatan. Bahkan tak segan
saling menjatuhkan. Saat yang sama, nasib rakyat terlupakan. Bahkan seolah tak
mereka pedulikan.
Ketiga, kita diperintahkan agar meninggalkan semua muamalah, tradisi, hukum dan sistem Jahiliah. Sebab semua itu bertentangan dengan Islam (Lihat juga:
QS al-Maidah [5]: 50).
Di antara perkara Jahiliah yang telah dihapus oleh
Rasulullah saw. sehingga wajib ditinggalkan adalah riba.
Namun sayang, hari ini riba bukan saja merajalela. Riba bahkan telah menjadi pilar utama ekonomi negara. Tidak aneh jika utang luar negeri ribawi, dengan bunga sangat tinggi, berpeluang membangkrutkan negeri ini. Anehnya, kita terus mengabaikan nasihat Baginda Nabi saw. yang mulia ini. Padahal jelas, nasihat beliau untuk menjauhi riba lebih layak ditujukan
kepada kita hari ini, daripada ditujukan kepada para Sahabat, yang sejak awal telah
mencampakkan riba.
Keempat, kita diingatkan untuk tidak merasa unggul dari bangsa dan umat lain.
Sebab keunggulan manusia atas manusia lain di sisi Allah SWT hanya karena
ketakwaannya (Lihat pula: QS
al-Hujurat [49]: 13).
Kelima, kita diharuskan untuk senantiasa memelihara tali persaudaraan dengan
sesama kaum Muslim. Beliau pun menegaskan:
ุงْูู
ُุณِْูู
ُ ุฃَุฎُู ุงْูู
ُุณِْูู
ِ َูุง َูุธِْูู
ُُู ََููุง َูุฎْุฐُُُูู
ََููุง َูุญِْูุฑُُู
Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Seorang
Muslim tidak boleh menzalimi, merendahkan dan menghina saudaranya (HR Muslim).
Namun sayang, hari ini tali persaudaraan Islam seolah lenyap. Bahkan antar kelompok umat Islam bisa saling berhadap-hadapan. Asal berbeda mazhab, bisa
saling bertindak tak beradab. Asal beda paham, bisa saling melemparkan
tudingan. Asal beda organisasi, bisa saling mem-bully. Bahkan tega mempersekusi. Asal beda kepentingan, bisa saling menggunting dalam lipatan. Asal teriak
“Saya Pancasila”, bisa seenaknya menista pihak yang berbeda. Asal melempar
tudingan “radikal”, bisa dengan mudah melakukan tindakan di luar akal.
Di luar negeri, hari ini kaum Muslim tampak lebih
mementingkan ego kebangsaan masing-masing. Mareka tak peduli pada kondisi saudaranya.
Bahkan yang lebih ironis, beberapa negara Muslim seperti Arab Saudi, Qatar,
Kuwait, Uni Emirat Arab memberikan dukungan kepada Pemerintah Komunis Cina yang
melakukan kezaliman terhadap umat Muslim di Xinjiang.
Padahal tegas Allah SWT telah berfirman:
ุฅَِّูู
َุง ุงْูู
ُุคْู
َُِููู ุฅِุฎَْูุฉٌ...
Kaum Mukmin itu sesungguhnya bersaudara...
(TQS al-Hujurat [49]: 10).
Keenam, kita pun diharuskan untuk selalu menyampaikan nasihat kepada orang lain.
Di antara nasihat yang paling utama adalah nasihat yang ditujukan kepada
penguasa. Agar mereka tidak terus melakukan kezaliman. Kezaliman terbesar
penguasa tidak lain saat mereka tidak menerapkan al-Quran. Saat mereka tidak
menerapkan syariah Islam (Lihat: QS
al-Maidah [5]: 45).
Karena itu tugas kitalah, segenap komponen umat Islam, apalagi para
ulama dan para da’inya, untuk terus mendorong penguasa
agar memerintah dengan al-Quran.
Ketujuh, kita diwajibkan untuk selalu berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah.
Baginda Nabi saw. telah menjamin. Siapapun yang istiqamah berpegang teguh pada
keduanya, tak akan pernah tersesat selama-lamanya.
Namun sayang, apa yang dipesankan Baginda Nabi saw. 14 abad lalu, tak banyak diindahkan
oleh kita hari ini. Al-Quran dan as-Sunnah tak lagi kita pedulikan, kecuali sebatas bacaan. Fakta hari ini berbicara: Banyak keharaman dihalalkan. Banyak pula perkara halal diharamkan. Tak
jarang, semua itu dilegalkan oleh undang-undang. Lewat mekanisme demokrasi yang
dibangga-banggakan. Riba, misalnya, telah lama dihalalkan. Miras pun dilegalkan meski dibatasi peredarannya.
Zina tak dipandang sebagai kejahatan. LGBT pun tak boleh dikriminalkan karena
itu melanggar HAM.
Di sisi lain, syariah Islam seolah haram untuk diterapkan. Institusi penerap syariah, yakni Khilafah, juga terlarang diperjuangkan.
Bahkan tak boleh meski sekadar diwacanakan. Para aktivisnya mereka
kriminalisasikan. Organisasinya mereka bubarkan. Dengan tuduhan yang
diada-adakan. Padahal jelas, Khilafah adalah bagian penting dari ajaran Islam,
yang wajib ditegakkan. Bahkan Khilafah pernah punya kaitan sejarah, juga
kontribusi nyata, dalam penyebaran Islam melalui Wali Songo di Bumi Nusantara
tercinta ini. []
Hikmah:
Abu Hurairah ra. bertutur:
ุณَุฃََู ุฑَุฌٌُู ุงَّููุจَِّู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ
ََููุงَู َูุง ุฑَุณَُูู ุงَِّููู ุฃَُّู ุงْูุฃَุนْู
َุงِู ุฃَْูุถَُู َูุงَู ุงْูุฅِูู
َุงُู ุจِุงَِّููู
َูุงَู ุซُู
َّ ู
َุงุฐَุง َูุงَู ุงْูุฌَِูุงุฏُ ِูู ุณَุจِِูู ุงَِّููู َูุงَู ุซُู
َّ ู
َุงุฐَุง َูุงَู
ุซُู
َّ ุงْูุญَุฌُّ ุงْูู
َุจْุฑُูุฑُ
Seseorang pernah bertanya kepada Nabi saw., “Wahai
Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.”
Ia bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ia
bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.”
(HR an-Nasa’i). []
0 komentar:
Posting Komentar