Buletin Kaffah, No. 128, 21
Jumada ats-Tsaniyah, 1441 H-14 Februari 2020 M
MEMBASMI KORUPSI
LEBIH MUDAH DENGAN HUKUM SYARIAH
Sejumlah
kalangan menilai upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air mengalami kemunduran.
Memasuki tahun 2020 publik dikagetkan dengan kasus korupsi Jiwasraya, suap (risywah)
Komisioner KPU oleh kader parpol, dan Garuda. Juga masih ada dugaan tindak
pidana korupsi yang belum tuntas seperti di Kemenperindag dan Kementerian Agama.
Kerugian yang dialami negara mencapai triliunan rupiah. Padahal penindakan
terhadap tindak korupsi terus dilakukan, tetapi korupsi justru meningkat.
Kian Suram
Pemberantasan
korupsi di Tanah Air dinilai banyak kalangan memang kian suram. Padahal
kerugian negara yang dialami makin besar. Tahun lalu, KPK menyatakan potensi
kerugian negara akibat korupsi diperkirakan mencapai Rp 200 triliun. Angka
korupsi pun terus naik, bukannya berkurang.
Pada 16 Agustus 2018 lalu KPK merilis data bahwa sepanjang
2004 - Agustus 2018 terdapat 867 pejabat negara/pegawai swasta yang melakukan
tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 311 orang di antaranya berprofesi
sebagai anggota DPR dan DPRD, gubernur, bupati dan walikota yang notabene
hampir seluruhnya berasal dari partai politik.
Ironisnya,
gerakan pemberantasan korupsi justru kian dilemahkan. Ada beberapa sebab yang
membuat penindakan korupsi makin lemah. Pertama: KPK telah dilemahkan
melalu revisi UU KPK. Juru Bicara KPK Febri
Diansyah mengatakan, terdapat 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK. Pasalnya,
sejumlah kewenangan yang dulu dimiliki KPK—berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK—dikurangi. Saat ini, misalnya, ada Dewan Pengawas KPK, yang lebih
berkuasa daripada Pimpinan KPK. Dewan Pengawas KPK juga yang menentukan boleh-tidaknya
dilakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Lumpuhnya KPK terbukti ketika tak berdaya menghadapi kasus
suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang melibatkan pejabat DPP PDIP, Hasto. Tim
penyidik tak bisa melakukan penggeledahan karena Dewan Pengawas tak kunjung
mengizinkan.
Kedua: Pemerintahan Jokowi justru banyak
memberikan pengampunan kepada para terpidana korupsi. Idrus Marham mendapatkan
pengurangan hukuman dalam putusan kasasi. Pengadilan memutus lepas Syafruddin
Arsyad Temenggung, eks terdakwa korupsi SKL BLBI. MA memberikan grasi kepada
Annas Maamun, mantan Gubernur Riau, dengan alasan kemanusiaan karena terpidana
sudah lanjut usia.
Bukan hanya mereka bertiga, pada Hari Kemerdekaan, 17 Agustus
2019, jumlah narapidana korupsi yang mendapatkan remisi total mencapai 338 orang.
Padahal hukuman
yang diberikan juga terbilang ringan.
Data ICW
menyebutkan sepanjang tahun 2018 lalu rata-rata vonis pelaku korupsi hanya 2
tahun 5 bulan penjara. Kebijakan
ini menunjukkan bahwa tidak ada komitmen serius dari Pemerintah dalam
memberantas korupsi.
Dengan demikian cita-cita Indonesia bebas korupsi
hanyalah mimpi kosong. Karena
alasan itu pula, mantan penasihat KPK, Busyro Muqaddas, menyebutkan Presiden
Jokowi bukanlah panutan dalam memberantas korupsi.
Kekayaan
Gelap Pejabat
Islam
adalah satu-satunya agama yang memberikan rincian keharaman hukum seputar harta
yang didapat dengan kecurangan.
Khusus
untuk para pejabat, Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang melarang mereka
mendapatkan harta di luar gaji/pendapatan mereka dari negara. Itulah yang
disebut sebagai kekayaan gelap menurut pandangan Islam.
Pertama:
Islam telah mengharamkan segala bentuk suap (risywah) untuk tujuan
apapun. Suap adalah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak
dengan cara yang batil, atau membatalkan hak orang, atau agar haknya
didahulukan dari orang lain. Nabi saw. telah melaknat para pelaku suap, baik
yang menerima maupun yang memberi suap:
«َูุนََู
ุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ุงูุฑَّุงุดِู َูุงْูู
ُุฑْุชَุดِู»
Rasulullah saw. telah melaknat penyuap
dan penerima suap (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Praktik
suap (risywah) ini banyak terjadi. Contoh, kasus penyuapan oleh Harus
Masikhu dari PDIP kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Tujuannya untuk memuluskan
penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR-RI 2019-2024. Kasus suap
juga terjadi dalam praktik jual-beli jabatan di Kemenag. Kasus ini melibatkan
mantan Ketum PPP Romahurmuzy, juga diduga melibatkan mantan Kemenag Lukman
Hakim.
Kedua:
Dalam Islam, pejabat negara juga dilarang menerima hadiah (gratifikasi). Nabi saw.
pernah menegur seorang amil zakat yang beliau angkat karena terbukti menerima
hadiah saat bertugas dari pihak yang dipungut zakatnya. Beliau bersabda:
«ู
َِู
ุงุณْุชَุนْู
ََْููุงُู ุนََูู ุนَู
ٍَู َูุฑَุฒََْููุงُู ุฑِุฒًْูุง َูู
َุง ุฃَุฎَุฐَ ุจَุนْุฏَ ุฐََِูู ََُููู
ุบٌُُููู»
Siapa saja yang kami angkat sebagai
pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia
ambil selain itu adalah kecurangan (HR Abu Dawud).
Dalam
hadis lain beliau bersabda:
«َูุฏَุงَูุง
ุงูุฃُู
َุฑَุงุกِ ุบٌُُููู»
Hadiah yang diterima oleh penguasa
adalah kecurangan (HR al-Baihaqi).
Ketiga:
Termasuk dalam kategori kekayaan gelap pejabat menurut Islam adalah yang
didapatkan dari komisi/makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat negara.
Komisi sebenarnya adalah hal yang halal dalam muamalah. Namun, jika seorang
pejabat menggunakan kedudukannya/kekuasaannya untuk memuluskan suatu transaksi
bisnis, atau ia mendapatkan fee/komisi dari suatu proyek, maka itu
adalah cara kepemilikan harta yang haram.
Sayangnya,
dalam dunia bisnis kapitalis, seperti sudah menjadi kemestian jika pengusaha
harus memberikan komisi sebagai upeti kepada para pejabat agar mereka
mendapatkan proyek atau ketika dana proyek sudah cair.
Keempat:
Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram.
Korupsi termasuk tindakan kha’in
(pengkhianatan). Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki
seorang pejabat negara dengan sewenang-wenang, baik dengan memanipulasi ataupun
melakukan tekanan kepada pihak lain untuk menyerahkan sejumlah harta yang bukan
haknya; apakah itu harta milik negara, milik umum, atau milik orang lain.
Lebih Mudah dengan Hukum Syariah
Islam
memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima
komisi haram. Pada masa Rasulullah saw. pelaku kecurangan seperti korupsi,
selain harta curangnya disita, pelakunya di-tasyhir atau diumumkan
kepada khalayak.
Dalam
Perang Khaibar ada seorang budak dari Bani Judzam bernama Rifa’ah bin Zaid dari
Bani adh-Dhubaib. Ketika mereka singgah di satu lembah, budak tersebut dipanah
(oleh musuh) sehingga menjadi sebab kematiannya. Serta-merta mereka berkata,
“Berbahagialah dia dengan pahala syahid, wahai Rasulullah.” Namun, dengan tegas
Rasulullah mengatakan:
«َููุงَّ، َูุงَّูุฐِู َْููุณُ ู
ُุญَู
َّุฏٍ ุจَِูุฏِِู، ุฅَِّู ุงูุดَّู
َْูุฉَ َูุชَْูุชَِูุจُ
ุนََِْููู َูุงุฑًุง ุฃَุฎَุฐََูุง ู
َِู ุงْูุบََูุงุฆِู
ِ َْููู
َ ุฎَْูุจَุฑَ َูู
ْ ุชُุตِุจَْูุง»
Sekali-kali tidak! Demi Zat Yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain yang ia ambil dari
rampasan perang yang belum dibagi pada Perang Khaibar akan menyalakan api
padanya (HR
Muslim).
Abu
Hurairah berkata: (Mendengar itu) para sahabat sangat ketakutan sehingga ada
seorang yang menyerahkan satu atau dua tali sandal seraya mengatakan, “Wahai
Rasulullah, kami mendapatkan ini pada Perang Khaibar.” Rasulullah saw. pun bersabda,
“Ketahuilah, sungguh itu adalah satu atau dua tali sandal dari api neraka.”
Pada
masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab
ra. untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah
menjadi pejabat. Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta
pejabatnya, ia akan membagi dua hartanya dan memasukan harta itu ke Baitul Mal.
Khalifah
Umar ra. juga tak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabatnya
kepada karib kerabat mereka. Umar pernah merampas separuh harta Abu Bakrah ra.
karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di
Irak. Harta Abu Bakrah sebesar 10 ribu dinar (lebih dari Rp 25 miliar) dibagi
dua oleh Khalifah Umar. Separuh diberikan kepada Abu Bakrah. Separuh lagi
dimasukkan ke Baitul Mal (Syahid al-Mihrab,
hlm. 284).
Amirul
Mukminin Umar ra. juga pernah merampas harta Abu Sufyan setelah ia pulang dari
Syam, menjenguk putranya, Muawiyah. Harta itu adalah oleh-oleh dari putranya. Beliau
merampas uangnya sebesar 10 ribu dirham (lebih dari Rp 700 juta) untuk disimpan
di Baitul Mal.
Pelaku
suap, korupsi atau penerima gratifikasi juga bisa diberi sanksi penjara hingga
hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem
pidana Islam.
Pemberantasan
korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena negara dan
masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari
wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam
sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa
diubah sesuai kepentingan.
Korupsi
marak di Tanah Air Antara lain karena keserakahan para pelaku, lemahnya hukum,
juga mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi. Untuk menjadi kepala
daerah saja seorang calon harus punya dana minimal Rp 20-30 miliar. Padahal gaji
yang mereka terima setelah menjabat kepala daeraha hanya puluhan juta rupiah. Pemilihan
caleg di berbagai tingkat juga berbiaya tinggi. Inilah yang mendorong sejumlah
kepala daerah dan anggota dewan ramai-ramai melakukan korupsi.
Karena itu sudah saatnya umat kembali pada syariah Islam yang
datang dari Allah Mahasempurna.
[]
Hikmah:
Allah
SWT berfirman:
َูู
َุง َูุงَู َِููุจٍِّู ุฃَْู َูุบَُّู َูู
َْู َูุบُْْูู َูุฃْุชِ
ุจِู
َุง ุบََّู َْููู
َ ุงَِْูููุงู
َุฉِ ุซُู
َّ ุชََُّููู ُُّูู َْููุณٍ ู
َุง َูุณَุจَุชْ َُููู
ْ
َูุง ُูุธَْูู
َُูู
Tidaklah mungkin seorang nabi
berlalu curang (dalam urusan harta rampasan perang). Siapa saja yang curang,
pada Hari Kiamat ia akan datang membawa kecurangannya itu. Kemudian setiap
orang akan dibalas setimpal dengan apa yang dia lakukan dan dia tidak akan
dirugikan (TQS Ali Imran [3]: 161). []
0 komentar:
Posting Komentar