Buletin Kaffah, No. 126, 05 Jumada
ats-Tsaniyah, 1441 H-31 Januari 2020 M
WAJIB MENGIKUTI SISTEM PEMERINTAHAN WARISAN
NABI SAW.
Lagi-lagi Menteri Koordinator Bidang
Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD melontarkan pernyataan kontroversial,
bahkan “radikal”. Kali ini dia menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi
Muhammad saw. adalah haram (NU Online, 25/01/2020).
Alasan
Mahfudz MD, karena negara yang didirikan Nabi saw. adalah teokrasi. Nabi saw.
merangkap tiga kekuasaan sekaligus yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif
yang langsung dibimbing oleh Allah SWT. Kata dia, karena Nabi saw. sudah tidak
ada, maka sekarang tidak bisa ada lagi negara seperti yang didirikan beliau.
Logika
Mahfudz MD ini tentu ngawur. Pasalnya, Nabi Muhammad saw. telah mencontohkan
dengan lengkap melalui Sunnahnya berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk di
dalamnya sistem pemerintahan. Fakta-fakta baru pun mampu diselesaikan oleh
Islam dengan seluruh perangkat hukumnya yaitu al-Quran, as-Sunnah, Ijmak
Sahabat dan Qiyas.
Pernyataan
Mahfudz MD ini juga berbahaya. Pasalnya, dengan logika yang sama, karena Nabi
Muhammad saw. sudah tidak ada, maka hukum Islam lainnya yang pernah diajarkan
dan dipraktikkan Nabi Muhammad saw. seperti shalat, puasa, zakat, haji, hukum
waris, jilbab bagi Muslimah, hukum potong tangan bagi pencuri dan yang lainnya
bisa menjadi tidak wajib bahkan menjadi “haram”.
Kedudukan Sunnah Nabi Muhammad saw. dalam
Hukum Islam
Sunnah
Nabi Muhammad saw.—yakni perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau—adalah
salah satu sumber hukum Islam yang sangat penting dan termasuk masalah pokok (ushul).
As-Sunnah
merupakan sumber hukum Islam yang nilai kebenarannya sama dengan al-Quran
karena sama-sama berasal dari wahyu. Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ﴾
Tidaklah yang dia (Muhammad) ucapkan itu
menuruti kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepada dirinya) (TQS an-Najm [53]:3-4).
Maknanya,
apa pun yang disampaikan Nabi Muhammad saw. (al-Quran dan as-Sunnah) bersumber
dari wahyu Allah SWT. Bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Allah
SWT pun menegaskan:
﴿إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ﴾
Aku (Muhammad) tidaklah mengikuti kecuali
apa yang diwahyukan kepada diriku (TQS al-An’am [6]: 50).
Dari
penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan Sunnah Nabi
Muhammad saw. sebagai sumber hukum Islam adalah pasti (qath’i).
Oleh
karena itu seorang Muslim wajib mencintai dan mengamalkan Sunnah Nabi saw.
Termasuk Sunnah Nabi terkait sistem pemerintahan. Sunnah Nabi Muhammad saw.
harus didahulukan di atas ucapan manusia, adat, kebiasaan termasuk kesepakatan
manusia.
Karena
itu seorang Muslim harus berhati-hati, jangan sampai menolak Sunnah Nabi
Muhammad saw., termasuk sistem pemerintahan yang beliau praktikkan, karena
sikap demikian merupakan salah satu tanda riddah (murtad) (Lihat: QS
an-Nisa’ [4]: 65).
Wajib Mengkuti Sistem Pemerintahan Warisan
Nabi Muhammad saw.
Sistem
pemerintahan warisan Nabi Muhammad saw. adalah Khilafah. Sistem Khilafah wajib
diikuti. Nabi saw. bersabda:
«أُوصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ»
Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah
kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun
ia seorang budak Habsyi. Sebab sungguh siapapun dari kalian yang berumur
panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu,
kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang
mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada Sunnah itu dan gigitlah itu
erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan (HR
Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Imam
Ahmad meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Tsaur
bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr
bin Hujr. Keduanya berkata: Kami pernah mendatangi al-‘Irbadhi bin Sariyah.
Lalu al-‘Irbadhi berkata, “Suatu hari Rasulullah saw. mengimami kami shalat
subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu
nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu
seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan.
Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’”
Kemudian
beliau bersabda dengan hadis di atas.
Hadis
ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, Ibn Majah,
at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban, juga al-Hakim dalam
Al-Mustadrak ‘ala Shahihayn dan ia berkomentar, “Hadis ini sahih.” Hadis
ini juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra.
Dalam
hadis di atas Rasul saw. berpesan, “Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah
selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan kewajiban bertakwa secara
mutlak; dalam hal apa saja, di mana saja dan kapan saja.
Kemudian
beliau bersabda, “Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan
Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada
Sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.”
Sunnah
dalam hadis ini menggunakan makna bahasanya, yaitu thariqah (jalan/jejak
langkah). Dalam hadis ini, Nabi saw. memerintah kita untuk mengambil dan
berpegang teguh dengan jejak langkah beliau dan Khulafaur Rasyidin. Perintah
ini tentu mencakup masalah sistem kepemimpinan. Sebab konteks pembicaraan hadis
ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya, hadis ini merupakan perintah agar
kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yaitu sistem
Khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan (dengan
bahasa kiasan) agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.
Para
ulama juga telah mengulas masalah ini secara global. Istilah Khilafah
sering diungkapkan oleh para ulama dengan istilah Imamah, yakni al-Imamah
al-’Uzhma (Kepemimpinan Agung). Khilafah dan Imamah adalah
sinonim (mutaradif) karena esensinya sama, yakni kepemimpinan Islam.
Imam
al-Mawardi asy-Syafii mengatakan:
]اَلإِمَامَةُ مَوْضُوَعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حَرَاسَةِ
الدِّيْنِ وَ سِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ[
Imamah
itu menduduki posisi Khilafah Nubuwwah dalam memelihara agama (Islam) dan
pengaturan urusan dunia dengan agama (Islam).
Imam an-Nawawi asy-Syafii juga berpendapat:
]اَلْفَصْلُ الثَّانِي فِيْ وُجُوْبِ اْلإِمَامَةِ وَ بَيَانِ طُرُقِهَا: لاَ بُدَّ
لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ وَ يَنْصُرُ السُّنَّةَ وَ
يَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ وَ يَسْتَوْفِي اْلحُقُوْقَ وَ يَضَعُهَا
مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ تَوْلِي اْلإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ […
Pasal
kedua tentang kewajiban adanya Imamah dan penjelasan mengenai metode (untuk
mewujudkan)-nya: Umat Islam harus memiliki seorang imam yang bertugas
menegakkan agama, menolong Sunnah, membela orang yang dizalimi serta menunaikan
hak dan menempatkan hak itu pada tempatnya. Saya mennyatakan bahwa menegakkan
Imamah (Khilafah) itu adalah fardhu kifayah.
Khatimah
Alhasil,
jelas bahwa sistem pemerintahan Islam warisan Nabi Muhammad saw. adalah
Khilafah. Tepatnya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Khilafah
menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan syariah (Allah SWT). Khilafah
dipimpin oleh seorang khalifah yang dipilih dan diangkat oleh umat dengan akad
baiat. Khalifah diangkat bukan dengan cek kosong, tetapi dengan tugas untuk
melaksanakan syariah Islam secara kaffah. Khalifah wajib menerapkan
hukum syariah Islam di tengah-tengah umat sehingga terwujud masyarakat Islam.
Melalui penerapan syariah Islam, Khalifah harus memastikan dan menjamin
pemenuhan enam kebutuhan dasar warganya secara layak yaitu pangan, sandang,
papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Khalifah juga harus melakukan
politik luar negeri dalam bentuk dakwah dan jihad.
Khalifah
tentu bukan manusia yang suci dan lepas dari dosa. Karena itu Khalifah wajib dikoreksi dan
dinasihati oleh umat bila menyimpang dari ketentuan syariah Islam. Bila
Khalifah melakukan kesalahan dan penyimpangan maka dia wajib diadili di
Mahkamah Mazhalim sebagai salah satu bagian dari struktur pemerintahan Khilafah.
Dengan
paparan sekilas di atas maka Sistem Pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, akan
terhindar dari kepentingan partai politik seperti dalam sistem demokrasi yang
cenderung korup. Khilafah juga menjamin kepastian hukum dan membawa
kesejahteraan rakyat. []
Hikmah:
Profesor Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan:
وَ إِنْكَارُ
حُكْمٍ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتِي ثُبِتَتْ بِدَلِيْلٍ قَطْعِيٍّ، أَوْ
زَعْمُ قَسْوَةِ حُكْمِ مَا كَالْحُدُوْدِ مَثَلاً، أَوْ اِدْعَاءُ عَدَمِ
صَلاَحِيَّةِ الشَّرِيْعَةِ لِلتَّطْبِيْقِ يُعْتَبَرُ كُفْراً وَ رِدَّةً عَنِ
اْلإِسْلاَمِ. أَمَّا إِنْكَارُ اْلأَحْكَامِ الثَّابِتَةِ بِاْلإِجْتِهَادِ
اْلمبَنْيِ عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ فَهُوَ مَعْصِيَّةٌ وَ فِسْقٌ وَ ظُلْمٌ.
Mengingkari salah satu hukum dari
hukum-hukum syariah yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i, atau menyakini
keburukan hukum syariah apapun itu, hudud misalnya, atau menuduh ketidaklayakan
hukum syariah untuk diterapkan, semua itu dinilai sebagai kekufuran dan murtad
dari Islam. Adapun pengingkaran terhadap hukum yang ditetapkan dengan ijtihad
yang dibangun di atas dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) adalah kemaksiatan,
kefasikan dan kezaliman.
(Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, 1/25). []
0 komentar:
Posting Komentar