Buletin Kaffah No. 102, 15 Dzulhijjah
1440 H-16 Agustus
2019
SYARIAH ISLAM
MEWUJUDKAN KEMERDEKAAN HAKIKI
Umat dan bangsa manapun pasti memimpikan kehidupan
yang “terang-benderang”. Untuk itulah, umat dan bangsa di berbagai belahan
dunia bangkit memperjuangkan kemerdekaan mereka dari penjajah. Namun demikian, bukan
berarti setelah merdeka dari penjajahan fisik, lantas kemerdekaan hakiki bisa
serta-merta diwujudkan. Banyak bangsa yang sudah merdeka, tetapi sejatinya
belum lepas dari penjajahan. Pasalnya, penjajah hanya mengubah gaya penjajahannya.
Penjajahan tidak lagi secara fisik, tetapi secara non-fisik. Di antaranya dengan
menggunakan sistem dan hukum penjajah, menggunakan orang-orang yang
dipersiapkan dan dididik untuk menjadi komprador yang mengabdi kepada
kepentingan penjajah, juga menggunakan pendekatan ekonomi melalui sistem
ekonomi yang didesain untuk mengalirkan kekayaan dari wilayah yang
dieksploitasi kepada para kapitalis dan negara penjajah.
Penjajahan Gaya Baru Lebih Berbahaya
Ironisnya,
sistem dan hukum yang dipersiapkan oleh penjajah itu terus diterapkan dan
dipertahankan di negara-negara bekas jajahan. Bahkan pembaruan sistem dan hukum
pun sering dilakukan dengan arahan dan bimbingan dari penjajah. Penjajahan gaya
baru ini lebih berbahaya dari penjajahan gaya kuno/penjajahan secara fisik.
Sebab penjajahan gaya baru itu lebih sulit dikenali. Bahkan tak sedikit pihak yang
dijajah dengan penjajahan gaya baru ini tidak merasa dan tidak menyadari sedang
dijajah. Malah sebaliknya, mereka merasa sedang dibebaskan, dimerdekakan dan
dimakmurkan.
Penjajahan gaya
baru sebenarnya mudah disadari jika kita mau membuka hati dan pikiran; mau
berpikir dan bersikap kritis terhadap keadaan. Dengan menilai fakta yang
terjadi dan membandingkannya dengan klaim dan propaganda yang disebar,
penjajahan gaya baru itu bisa dirasakan dan disadari.
Dalam
demokrasi, misalnya, rakyat diklaim sebagai pemilik kedaulatan. Faktanya, mereka
minim sekali menentukan hukum dan UU. Hukum dan UU itu dibuat malah dengan arahan
pihak asing tanpa memperhatian aspirasi rakyat. Itulah penjajahan. Kekayaan alam
dikatakan sebagai milik rakyat. Faktanya, kekayaan alam itu dikuasai oleh
swasta asing maupun swasta dalam negeri. Hasilnya pun lebih banyak mengalir ke luar
negeri. Itulah penjajahan. Segelintir orang bahkan asing bisa menguasai jutaan
hektar tanah negeri ini. Sebaliknya, banyak sekali rakyat yang tidak punya
tanah dan hanya menjadi kuli penggarap. Itu pun bisa dikatakan merupakan bentuk
penjajahan.
Demikian
pula utang luar negeri yang dijadikan alat mendiktekan kebijakan. Ironisnya,
utang luar negeri terus diambil. Bahkan jumlahnya makin bertambah. Akibatnya, penjajahan
gaya baru melalui utang terus berjalan. Bahkan sekarang lebih dalam lagi. Utang
Pemerintah Pusat terus meningkat. Per akhir
Juni 2019 sudah mencapai Rp 4.570,17
triliun (CNNIndonesia, 17/7/2019). Jumlah utang itu tidak akan turun. Justru hampir dipastikan naik terus.
Utang luar
negeri sekarang tidak hanya dijadikan alat untuk memaksakan kebijakan. Seperti
disinyalir oleh banyak pihak, utang juga digunakan untuk memaksakan penggunaan
bahan dari negara pemberi utang meski di dalam negeri banyak tersedia; juga penggunaan
tenaga kerja hingga level pekerja kasar, meski masih banyak rakyat tidak punya
kerjaan.
Tentu masih
banyak fakta-fakta lain yang menunjukkan adanya penjajahan gaya baru atas
negeri ini. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem yang didesain untuk
melanggengkan eksploitasi seperti itu maka penjajahan tidak akan bisa
dihentikan. Upaya menghentikan penjajahan gaya baru ini tentu harus dilakukan
melalui sistem yang memang didesain untuk memerdekakan umat manusia dari segala
bentuk penjajahan dan eksploitasi.
Menghentikan Penjajahan
Islam jelas
bisa menghentikan eksploitasi kekayaan alam oleh asing dan swasta serta mengembalikan
kekayaan alam itu kepada rakyat sebagai pemiliknya. Pasalnya, Islam sejak awal
telah mengharamkan kepemilikan dan penguasaan kekayaan alam yang depositnya
besar oleh individu, swasta apalagi asing.
Islam juga
akan menghentikan utang ribawi. Sebab Islam memang sejak awal telah
mengharamkan utang ribawi. Pengambilan utang yang jelas menimbulkan bahaya (dharar)
juga dilarang.
Islam
diturunkan oleh Allah SWT memang untuk memerdekakan umat manusia secara hakiki
dari segala bentuk penjajahan. Penjajahan itu hakikatnya merupakan bagian dari
bentuk penghambaan kepada manusia. Penghambaan
kepada sesama manusia tidak hanya diartikan secara harfiah sebagai perbudakan
seperti dulu. Penghambaan kepada sesama manusia pada masa modern ini terwujud
dalam bentuk penyerahan wewenang pembuatan aturan, hukum dan perundang-undangan kepada manusia, bukan
kepada Allah SWT. Inilah yang menjadi
doktrin demokrasi:
kedaulatan di tangan rakyat (manusia). Lebih parah lagi jika aturan, hukum dan
perundang-undangan tersebut diimpor dari pihak asing/penjajah.
Allah
SWT melukiskan penghambaan ini dalam firman-Nya:
﴿اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ …﴾
Mereka (Bani Israel) menjadikan
para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah… (TQS
at-Taubah [9]: 31).
Makna
ayat tersebut dijelaskan dalam riwayat dari jalur Adi bin Hatim ra. Ia
menuturkan bahwa setelah Rasulullah saw. membaca ayat tersebut, ia (Adi
bin Hatim) berkata, “Kami tidak menyembah mereka.” Namun, Rasulullah
saw. bersabda:
«أَلَيْسَ يُحَرِّمُونَ
مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُونُهُ، ويُحِلُّونَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَتَسْتَحِلُّونَهُ؟»
قُلْتُ: بَلَى، قَالَ: «فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ»
Bukankah
mereka (para rahib dan pendeta) itu telah mengharamkan apa yang Allah halalkan
lalu kalian mengharamkannya, dan mereka pun telah menghalalkan apa yang Allah
haramkan lalu kalian menghalalkannya?” Aku (Adi bin Hatim) berkata, “Benar.”
Rasulullah saw. bersabda, “Itulah bentuk penyembahan mereka.” (HR ath-Thabarani dan al-Baihaqi).
Penghambaan
dalam bentuk penyerahan kekuasaan menentukan hukum, halal dan haram, kepada
manusia itu jelas masih berlangsung di seluruh
dunia, termasuk di negeri kaum Muslim, tak terkecuali negeri ini. Karena itu mewujudkan kemerdekaan hakiki manusia juga berarti harus
memerdekakan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia. Penghambaan itu
haruslah hanya ditujukan kepada Allah SWT.
Kemerdekaan Hakiki
Mewujudkan
penghambaan hanya kepada Allah SWT sesungguhnya berarti mewujudkan
kemerdekaan hakiki untuk umat manusia. Inilah yang merupakan misi utama
Islam. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan hakiki terwujud saat manusia terbebas
dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan oleh sesama manusia. Dengan kata
lain Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk
penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman, perbudakan dan penghambaan oleh
manusia lainnya.
Terkait
misi kemerdekaan Islam ini, Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada
penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:
«... أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ
عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ ...»
...Amma
ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan
penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada
dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba
(manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Misi
Islam mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga
terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Mughirah bin
Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Pernyataan misi itu
diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rab’i bin ‘Amir (utusan
Panglima Saad bin Abi Waqash ra.). Ia diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada
Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada
Rab’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’i bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah
mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan
kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan
dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam)
menuju keadilan Islam…” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).
Islam
sebagai agama dan sistem yang berasal dari Allah Yang Mahabijak telah didesain
akan mengantarkan ke kehidupan “terang-benderang” untuk umat manusia. Sebab
Allah SWT telah menyatakan bahwa Islam diturunkan agar dengan itu Rasul saw.
mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya. Allah SWT berfirman:
﴿الر.كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ
إِلَيْكَ
لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى
النُّورِ
بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ
صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ﴾
Alif, laam raa. (Inilah) Kitab yang
Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju
cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan
Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji (TQS Ibrahim [14]: 1).
Harus dicatat, mewujudkan kehidupan dan masa depan
yang “terang-benderang”
sekeligus memerdekakan manusia dari segala bentuk
penjajahan kuncinya adalah dengan menerapkan Islam dan syariahnya secara kaffah; secara totalitas dan menyeluruh. Itulah tanggung jawab dan kewajiban kita sebagai
hamba Allah dan tanggung jawab
kita kepada umat manusia. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ
كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam
Islam secara kaffah, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan.
Sungguh, setan itu musuh nyata kalian.
(TQS al-Baqarah [2]: 2018). []
0 komentar:
Posting Komentar