[iklan]

Hadits “Cinta Tanah Air Bagian dari Iman" adalah Palsu

Kritik Atas Hadits Palsu “Cinta Tanah Air Sebagian dari Keimanan”

Hadits Palsu – Hubb al-Wathani

Di zaman ini, di bawah naungan Sistem Demokrasi yang sesat menyesatkan, ada sebagian orang menjadikan hadits palsu sebagai dalih paham sesat Nasionalisme. Mereka menyebarkan hadits palsu ini dalam buku-buku, diantaranya buku bahan ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk Sekolah Dasar –fakta ini pernah penulis temukan dulu, terlepas apakah mereka menyadarinya atau tidak-. Redaksinya:

ุญุจ ุงู„ูˆุทู† ู…ู† ุงู„ุฅูŠู…ุงู†

“Cinta tanah air adalah sebagian dari keimanan”

Dan tak kalah ironisnya, penulis menemukan sebuah video  yang diupload akun sebuah ormas di Youtube dengan judul “Kesaktian Pancasila Karena Bersumber Dari Al Qur’an”. Dalam video tersebut, pembicaranya menuturkan:

“..dan satu hal yang kemudian perlu kita ingat dan kita syukuri adalah bahwa ternyata kecintaan kita kepada Negara Indonesia itu bagian dari wujud keimanan kita kepada Allah… yang salah satunya dalam hadits Rasulullah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- bahwa cinta tanah air itu merupakan bagian dari iman seseorang…”

Padahal Imam ash-Shaghaniy dalam kitab Mawdhuu’aat menyatakan:

ุงู„ุฃุญุงุฏูŠุซ ุงู„ู…ู†ุณูˆุจุฉ ุฅู„ู‰ ู…ุญู…ุฏ ุจู† ุณุฑูˆุฑ ุงู„ุจู„ุฎูŠ ูƒู„ู‡ุง ู…ูˆุถูˆุนุฉ. ูˆุฃุญุงุฏูŠุซ ุดู‡ุฑ ุจู† ุญูˆุดุจ ูƒุฐู„ูƒ ูˆุงู„ู„ู‡ ุฃุนู„ู…. ูˆู…ู†ู‡ุง ู‚ูˆู„ู‡ู… : (ุญุจ ุงู„ูˆุทู† ู…ู† ุงู„ุฅูŠู…ุงู†

“Hadits-hadits yang dinisbahkan pada Muhammad bin Surur al-Bulkhiy semuanya adalah hadits palsu, begitu pula hadits-hadits yang diriwayatkan Syahr bin Hawsyab, wallaahu a’lam. Diantaranya pernyataan: “Cinta tanah air adalah sebagian dari keimanan.”[1]

Imam as-Suyuthiy mengomentari hadits palsu ini:

 ุญุฏูŠุซ ุญุจ ุงู„ูˆุทู† ู…ู† ุงู„ุฅูŠู…ุงู†. ู„ู… ุฃู‚ู ุนู„ูŠู‡

“Hadits cinta tanah air sebagian dari keimanan, tidak saya temukan asal-usulnya.”[2]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy mengungkapkan:

ู…ูˆุถูˆุน. ูƒู…ุง ู‚ุงู„ ุงู„ุตุบุงู†ูŠ ( ุต 7 ) ูˆ ุบูŠุฑู‡. ูˆ ู…ุนู†ุงู‡ ุบูŠุฑ ู…ุณุชู‚ูŠู… ุฅุฐ ุฅู† ุญุจ ุงู„ูˆุทู† ูƒุญุจ ุงู„ู†ูุณ ูˆ ุงู„ู…ุงู„ ูˆ ู†ุญูˆู‡، ูƒู„ ุฐู„ูƒ ุบุฑูŠุฒูŠ ููŠ ุงู„ุฅู†ุณุงู† ู„ุง ูŠู…ุฏุญ ุจุญุจู‡ ูˆ ู„ุง ู‡ูˆ ู…ู† ู„ูˆุงุฒู… ุงู„ุฅูŠู…ุงู† ، ุฃู„ุง ุชุฑู‰ ุฃู† ุงู„ู†ุงุณ ูƒู„ู‡ู… ู…ุดุชุฑูƒูˆู† ููŠ ู‡ุฐุง ุงู„ุญุจ ู„ุง ูุฑู‚ ููŠ ุฐู„ูƒ ุจูŠู† ู…ุคู…ู†ู‡ู… ูˆ ูƒุงูุฑู‡ู…؟

“Hadits palsu, sebagaimana dinyatakan Imam ash-Shaghaaniy (hlm. 7) dan para ulama lainnya. Dan maknanya tidak benar karena cinta tanah air seperti cinta diri, cinta harta dan yang semisalnya, semua jenis cinta ini bersifat naluriyyah belaka, tidak ada pujian (dari Allah dan Rasul-Nya) terhadap rasa cinta ini dan tidak termasuk konsekuensi keimanan. Bukankah engkau melihat orang-orang bisa berserikat dalam jenis cinta ini tidak ada perbedaan antara orang-orang yang mengaku beriman dan orang-orang kafir di antara mereka?”[3]

Maka, penyusun mengingatkan mereka yang giat menyebarkan hadits palsu ini dalam bentuk apa pun, menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat dan menisbahkannya pada Rasulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-, evaluasi diri agar tidak melakukan perbuatan yang termasuk ke dalam celaan dalam hadits mutawatir berikut ini:

ู…َู†ْ ูƒَุฐَุจَ ุนَู„َูŠَّ ู…ُุชَุนَู…ِّุฏًุง ูَู„ْูŠَุชَุจَูˆَّุฃْ ู…َู‚ْุนَุฏَู‡ُ ู…ِู†َ ุงู„ู†َّุงุฑِ

“Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka ia akan mengambil tempat di dalam neraka.”[4]

Dalam ilmu ushul fikih, hadits ini jelas mengandung indikasi tegas (qariinah jaazimah) yang menunjukkan keharaman berdusta mengatasnamakan Rasulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-, dengan adanya lafazh (ูَู„ْูŠَุชَุจَูˆَّุฃْ ู…َู‚ْุนَุฏَู‡ُ ู…ِู†َ ุงู„ู†َّุงุฑِ) yang merupakan kecaman keras dari Rasulullaah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-.

Penjelasan Para Ulama Terkait Berdalil dengan Hadits Palsu (Mawdhuu’)

Ketahuilah, hadits palsu (mawdhuu) tidak boleh dijadikan sebagai hujjah. Ini merupakan kesepakatan para ulama, baik ulama ahli hadits (muhadditsuun), ahli tafsir (mufassiruun) maupun para ahli fikih(fuqahaa’ ).

Dalam Qaamuus al-‘Iqaab dijelaskan:

ู„ุง ูŠุฌูˆุฒ ุงุนุชุจุงุฑู‡ ูˆู„ุง ุงู„ุงุณุชุฏู„ุงู„ ุจู‡، ูู‡ูˆ ู…ุตู†ูˆุน ู…ุฎุชู„َู‚ ู…ู„ุตَู‚ ุจุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูˆู„ูŠุณ ู‡ูˆ ู…ู…ุง ู‚ุงู„ู‡ ุฃูˆ ูุนู„ู‡ ุฃูˆ ุฃู‚ุฑّู‡، ูˆู„ุง ู‡ูˆ ุตูุฉ ุฎَู„ْู‚ูŠุฉ ุฃูˆ ุฎُู„ُู‚ูŠุฉ ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…

“Tidak boleh mengambil simpulan hukum dan berdalil dengannya, ia dibuat secara dusta dinisbahkan pada Nabi -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-, padahal ia bukan termasuk ucapan, perbuatan atau persetujuan Nabi SAW, bukan pula termasuk karakter penciptaan atau sifat Nabi -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-.”

Memang ada segolongan ulama yang berpendapat bolehnya menggunakan hadits dha’if dalam fadhaa’il al-a’maal dan nasihat (meski yang dikuatkan (rajih): hadits dha’if tidak boleh dijadikan sbg dalil), namun mereka mensyaratkan tiga hal, salah satunya sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalaniy:

ุฃู† ูŠูƒูˆู† ุงู„ุถّุนู ุบูŠุฑ ุดุฏูŠุฏ

“Tingkat kelemahan hadits tersebut tidak boleh lemah sekali.”[5]

Imam al-Nawawi menyatakan:

ู‚ุงู„ ุงู„ุนู„ู…ุงุก ู…ู† ุงู„ู…ุญุฏุซูŠู† ูˆุงู„ูู‚ู‡ุงุก ูˆุบูŠุฑู‡ู…‏:‏ ูŠุฌูˆุฒ ูˆูŠุณุชุญุจ ุงู„ุนู…ู„ ููŠ ุงู„ูุถุงุฆู„ ูˆุงู„ุชุฑุบูŠุจ ูˆุงู„ุชุฑู‡ูŠุจ ุจุงู„ุถุนูŠู ู…ุง ู„ู… ูŠูƒู† ู…ูˆุถูˆุนุง‏

“(Sebagian) ulama dari golongan ahli hadits, ahli fikih, dan lainnya berkata: diperbolehkan dan disunnahkan beramal dalam amalan-amalan fadhilah, nasihat dan peringatan dengan hadits dha’if, selama bukan hadits palsu.”[6]

Dan hadits palsu adalah seburuk-buruknya jenis hadits dha’iif. Dalam sebuah kitab kajian ilmu hadits dinyatakan:

ูˆุงู„ุถุนูŠู ุนู„ู‰ ู…ุฑุงุชุจَ ู…ุชูุงูˆุชَุฉٍ ุจุญَุณَุจ ุดِุฏَّุฉ ุถَุนูِ ุฑُูˆุงุชู‡ ูˆุฎِูَّุชู‡، ูู…ู†ู‡ ุงู„ุถุนูŠู، ูˆุงู„ุถุนูŠู ุฌุฏًّุง، ูˆู‚ุฏ ู‚ุณّู…ู‡ ุนู„ู…ุงุก ุงู„ู…ุตุทู„ุญ ุฅู„ู‰ ุฃู†ูˆุงุน ูƒุซูŠุฑุฉ، ูˆุดุฑُّ ุฃู†ูˆุงุนู‡ ุงู„ู…ูˆุถูˆุน

“Dan hadits dha’iif dibagi ke dalam sejumlah tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan tingkat kelemahan dan kelalaian para perawinya. Diantaranya dikatakan lemah (dha’iif), lemah sekali (dha’iif jiddan). Dan sungguh para ulama ahli ilmu hadits telah membaginya ke dalam banyak jenis, dan yang paling buruk adalah hadits palsu (al-mawdhuu’).”[7]

Dalam sebuah tanya jawab, KH. M Shiddiq Al-Jawi menuliskan:

SOAL :

Ustadz tolong jelaskan status hadits “hubbul wathon minal iman” (cinta tanah air sebagian dari iman)? (Ismail, Tangerang, 081-696-3841)

JAWAB :

Ungkapan “hubbul wathon minal iman” memang sering dianggap hadits Nabi SAW oleh para tokoh [nasionalis], mubaligh, dan juga da`i yang kurang mendalami hadits dan ilmu hadits. Tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil agama agar lebih mantap diyakini umat Islam.

Namun sayang, sebenarnya ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’). Dengan kata lain, ia bukanlah hadits. Demikianlah menurut para ulama ahli hadits yang terpercaya, sebagaimana akan diterangkan kemudian.

Mereka yang mendalami hadits, walaupun belum terlalu mendalam dan luas, akan dengan mudah mengetahui kepalsuan hadits tersebut. Lebih-lebih setelah banyaknya kitab-kitab yang secara khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu, misalnya :

1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan

2. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.

Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia, sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :

1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597 H);

2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);

3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfu`ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu`ah karya Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).

Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits yang menjelaskan kepalsuan hadits “hubbul wathon minal iman”.

Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut diterangkan, bahwa hadits “hubbul wathon minal iman” adalah maudhu` (palsu). Demikianlah penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.

Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.

Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-Maudhu’at, halaman 8.

Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya sebagai berikut :

1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;

2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal. 74;

3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.

(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin, hal. 109)

Ringkasnya, ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’) alias bukanlah hadits Nabi SAW.

Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu`) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).

Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, meriwayatkan hadits maudhu’ adalah haram hukumnya bagi orang yang mengetahui kemaudhu’an hadits itu serta termasuk salah satu dosa besar (kaba`ir), kecuali disertai penjelasan mengenai statusnya sebagai hadits maudhu’ (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 43).

Maka dari itu, saya peringatkan kepada seluruh kaum muslimin, agar tidak mengatakan “hubbul wathon minal iman” sebagai hadits Nabi SAW, sebab Nabi SAW faktanya memang tidak pernah mengatakannya. Menisbatkan ungkapan itu kepada Nabi SAW adalah sebuah kedustaan yang nyata atas nama Nabi SAW dan merupakan dosa besar di sisi Allah SWT. Nabi SAW bersabda:

ู…َู†ْ ูƒَุฐَุจَ ุนَู„َูŠَّ ู…ُุชَุนَู…ِّุฏًุง ูَู„ْูŠَุชَุจَูˆَّุฃْ ู…َู‚ْุนَุฏَู‡ُ ู…ِู†َ ุงู„ู†َّุงุฑِ

“Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (Hadits Mutawatir).

Terlebih lagi Islam memang tidak pernah mengenal paham nasionalisme atau patriotisme yang kafir itu, kecuali setelah adanya Perang Pemikiran (al-ghazwul fikri) yang dilancarkan kaum penjajah. Kedua paham sesat ini terbukti telah memecah-belah kaum muslimin seluruh dunia menjadi terkotak-kotak dalam wadah puluhan negara bangsa (nation-state) yang sempit, mencekik, dan membelenggu.

Maka, kaum muslimin yang terpasung itu wajib membebaskan diri dari kerangkeng-kerangkeng palsu bernama negara-negara bangsa itu. Kaum muslimin pun wajib bersatu di bawah kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum muslimin seluruh dunia dalam satu Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah. Semoga datangnya pertolongan Allah ini telah dekat kepada kita semua. Amin.

Lihat Pula: 

Hadits “Cinta Tanah Air Bagian dari Iman adalah Palsu

Al-Hujurat ayat 13 Bukan Dalil Keabsahan Negara Bangsa

[1] Lihat: Mawdhuu’aat al-Shaghaaniy, karya Imam al-Raadhiy al-Shaghaaniy.

[2] Lihat: al-Durar al-Muntatsirah fii al-Ahaadiits al-Musytaharah, Imam al-Suyuthiy. Lihat pula Tadzkiratul Mawdhuu’aat al-Fataniy.

[3] Lihat: Silsilah al-Ahaadiits al-Dha’iifah(1/110), Muhammad Nashiruddin al-Albaniy.

[4] Lihat: Tadriib al-Raawiy fii Syarh Taqriib al-Nawawiy (2/177).

[5] Lihat: al-Hadiits (lil mustawaa’ al-raabi’),Jaami’ah al-Imaam Muhammad bin Su’uud al-Islaamiyyah.

[6] Lihat: al-Adzkaar al-Nawawiyyah, Imam al-Nawawi. Lihat pula Tuhfatul Abraar bi Nukt al-Adzkaar al-Nawawiyyah, Imam Jalaluddin al-Suyuthiy.

[7] Lihat: al-Hadiits (lil mustawaa’ al-raabi’)(hlm. 40), Sub Bab. Hukm al-‘Amal bil Hadiits al-Dha’iif, Jaami’ah al-Imaam Muhammad bin Su’uud al-Islaamiyyah.

Terkait :

0 komentar


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Arsitektur dan Konstruksi

 

Bersama Belajar Islam | Pondok OmaSAE: Bersama mengkaji warisan Rasulullah saw | # - # | Pondok OmaSAE : Belajar Agama via online


Didukung oleh: Suwur - Tenda SUWUR - OmaSae - Blogger - JayaSteel - Air Minum Isi Ulang - TAS Omasae - Furniture - Rumah Suwur - Bengkel Las -