*Jadikan Anak Lelaki Kita Sebagai Lelaki Sejati*
By Iwan Januar, August 14, 2017
Keluarga, Personality 0 1264 views
Ayahbunda mari rehat sejenak. Lihat anak-anak lelaki kita. Apakah mereka tumbuh di jalur lelaki yang sesungguhnya? Ataukah kita tak peduli, atau entah kurang peka dengan perkembangan karakter mereka sebagai lelaki. Sudah merasa aman? Merasa tenang? Atau kita tak peduli sama sekali?
Saya ingin mengingatkan banyak remaja dan pemuda (lelaki) di negeri ini yang ternyata tidak tumbuh dan menjadi pria sejati. Ada sebagian dari mereka yang hanya punya separuh jiwa lelaki. Ya hanya separuh. Itu terlihat dari jiwa mereka yang miskin dari tanggung jawab dan seperti tak mau punya kaki sendiri. Uang jajan tinggal minta dan tinggal habiskan, kalau habis tinggal minta lagi. Jangankan mengurus tanggung jawab tentang orang lain, urusan diri sendiri pun diminta orang lain yang untuk bertanggung jawab. Kamar, pakaian, sepatu, tas, uang jajan, tinggal serahkan pada orang lain. Ada orang tua, ada pembantu, ada supir, ada yang lain-lain.
Saya kenal beberapa pemuda yang kuliah bertahun-tahun tak kunjung selesai, karena tak pernah merasa bertanggung jawab tentang kuliah. Bagi mereka menjadi anak SD atau mahasiswa sama saja; bermain. Dan orang tuanya pun membiarkan itu berlalu begitu saja.
Remaja lelaki yang hanya punya separuh jiwa lelaki ini tak punya visi tentang masa depan, tak punya misi tentang hidup kecuali me & myself. Sekolah dan kuliah pun hanya untuk periuk nasi mereka saja. Punya karir bagus, uang banyak dan istri cantik. Titik.
Jangan bandingkan mereka dengan Pangeran Diponegoro yang membuang kesempatan bertahta di Kerajaan Mataram, karena tak sudi jadi keset kompeni, dan melihat rakyat Jawa dan umat Muslim dikoyak-koyak kaum imperialis. Lalu memilih hidup dari hutan ke hutan, tinggal di Gua Selarong, dan memilih jalan hidup sebagai lelaki yang punya harga diri. Pada remaja dan pemuda yang hanya punya separuh jiwa lelaki ini, pengorbanan hidup untuk orang lain, apalagi untuk agama dan Tuhan mereka (Allah SWT). Impian terlalu mewah. Jangankan untuk menggapainya, untuk bermimpi pun mereka tak mau melakukannya.
Tapi ada sebagian lagi yang patut dikasihani justru hilang semua kelelakiannya. Mereka menjadi transgender, bencong, atau malah gay. Mereka ada di panggung dunia hiburan, panggung politik, bisnis, tapi hidup melawan kodrat lelaki. Ini kelompok lelaki yang paling sakit di dunia.
Tapi mari lihat diri kita ayahbunda, anak lelaki kita sakit dan menderita justru sebagian besar disebabkan oleh pola asuh dan pola didik di rumahnya. Ayah dan ibunyalah yang membuat anak-anak lelaki hilang kelelakiannya, baik separuh atau seluruhnya. Karena sebagaimana anak perempuan, tak ada anak lelaki yang dikodratkan lahir dengan pribadi yang cacat. Bapak dan ibunya yang membuat cacat kepribadiannya.
Dimulai dari para ayah yang jarang hadir dalam kehidupan anak lelaki selain untuk memarahi dan memukul, atau berdehem. Para ayah macam ini – dan jumlahnya masih amat banyak – merasa misi mereka sebagai ayah adalah memberikan fasilitas hidup pada anak lelaki, tapi bukan mengarahkan hidupnya.
Padahal dari ayah seharusnya anak lelaki belajar tentang kepemimpinan yang mengayomi (ri’ayah) pada keluarga, cara bersikap sebagai seorang lelaki, cara memperlakukan anak lelaki, dan bagaimana bertahan menghadapi kejamnya kehidupan. Tapi ayah itu banyak memberikan ruang hampa, selain uang dan barang yang menyenangkan sesaat.
Akhirnya pengasuhan anak-anak lelaki kita justru jatuh ke tangan perempuan. Mulai dari ibunya, guru-guru TK-nya, SD, SMP dan SMA, dominan perempuan. Padahal perempuan bukanlah lelaki dan lelaki bukanlah perempuan. Fisik maupun jiwanya.
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنثَىٰ
dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan (TQS. Ali Imran: 36)
Meskipun mungkin tahu, tapi perempuan tak sepenuhnya paham bagaimana cara seharusnya lelaki berburu dan bertahan dari serangan musuh. Bagaimana dapat survive di alam liar. Karena jiwa perempuan adalah jiwa seorang ibu dan istri yang berbeda dengan kaum lelaki. Hormon testosteron lelaki itu 10-20 kali dari yang ada pada perempuan. Tapi dari pola asuh itu akhirnya banyak anak lelaki kita tidak tumbuh layaknya lelaki. Sebagian dari mereka ada yang kehilangan separuh jiwa kelelakiannya.
Lelaki kadang perlu dihardik sebagaimana perlu dipuji. Kadang perlu dipukul sebagaimana perlu ditepuk bahunya. Lelaki harus lebih sering ditantang baru kemudian ditenangkan. Mereka perlu jatuh dan berdarah, dan bukan duduk menenun kain, atau menonton drama percintaan. Mereka perlu diyakinkan bahwa kegagalan itu harus diterima sebagaimana menerima keberhasilan. Menangisi kehidupan bagi lelaki itu perlu tapi tak boleh melampaui kuota perempuan.
Tapi bagaimana anak lelaki kita akan punya jiwa lelaki sesungguhnya kalau ayahbundanya tak pernah menggambarkan seperti apa lelaki itu seharusnya. Ayah yang tak pernah hadir, dan kalau hadirpun hanya bisa memarahi dan memukul ketimbang menggambarkan visi dan misi hidup lelaki. Sedangkan ibunya merawatnya dengan dunia keperempuanan.
Maka, ayahbunda, jangan hanya duduk dan berdoa, tapi mulailah belajar mempersiapkan anak lelaki kita menjadi lelaki sejati. Belajarlah kepada Rasulullah SAW. yang berhasil mencetak Mush’ab bin Umair, Usamah bin Zaid, Ibnu Abbas, dan Ali bin Abi Thalib, dll. Mencetak lelaki-lelaki sejati pengukir sejarah, pengharum pentas kehidupan di panggung dunia dan akhirat.
By Iwan Januar, August 14, 2017
Keluarga, Personality 0 1264 views
Ayahbunda mari rehat sejenak. Lihat anak-anak lelaki kita. Apakah mereka tumbuh di jalur lelaki yang sesungguhnya? Ataukah kita tak peduli, atau entah kurang peka dengan perkembangan karakter mereka sebagai lelaki. Sudah merasa aman? Merasa tenang? Atau kita tak peduli sama sekali?
Saya ingin mengingatkan banyak remaja dan pemuda (lelaki) di negeri ini yang ternyata tidak tumbuh dan menjadi pria sejati. Ada sebagian dari mereka yang hanya punya separuh jiwa lelaki. Ya hanya separuh. Itu terlihat dari jiwa mereka yang miskin dari tanggung jawab dan seperti tak mau punya kaki sendiri. Uang jajan tinggal minta dan tinggal habiskan, kalau habis tinggal minta lagi. Jangankan mengurus tanggung jawab tentang orang lain, urusan diri sendiri pun diminta orang lain yang untuk bertanggung jawab. Kamar, pakaian, sepatu, tas, uang jajan, tinggal serahkan pada orang lain. Ada orang tua, ada pembantu, ada supir, ada yang lain-lain.
Saya kenal beberapa pemuda yang kuliah bertahun-tahun tak kunjung selesai, karena tak pernah merasa bertanggung jawab tentang kuliah. Bagi mereka menjadi anak SD atau mahasiswa sama saja; bermain. Dan orang tuanya pun membiarkan itu berlalu begitu saja.
Remaja lelaki yang hanya punya separuh jiwa lelaki ini tak punya visi tentang masa depan, tak punya misi tentang hidup kecuali me & myself. Sekolah dan kuliah pun hanya untuk periuk nasi mereka saja. Punya karir bagus, uang banyak dan istri cantik. Titik.
Jangan bandingkan mereka dengan Pangeran Diponegoro yang membuang kesempatan bertahta di Kerajaan Mataram, karena tak sudi jadi keset kompeni, dan melihat rakyat Jawa dan umat Muslim dikoyak-koyak kaum imperialis. Lalu memilih hidup dari hutan ke hutan, tinggal di Gua Selarong, dan memilih jalan hidup sebagai lelaki yang punya harga diri. Pada remaja dan pemuda yang hanya punya separuh jiwa lelaki ini, pengorbanan hidup untuk orang lain, apalagi untuk agama dan Tuhan mereka (Allah SWT). Impian terlalu mewah. Jangankan untuk menggapainya, untuk bermimpi pun mereka tak mau melakukannya.
Tapi ada sebagian lagi yang patut dikasihani justru hilang semua kelelakiannya. Mereka menjadi transgender, bencong, atau malah gay. Mereka ada di panggung dunia hiburan, panggung politik, bisnis, tapi hidup melawan kodrat lelaki. Ini kelompok lelaki yang paling sakit di dunia.
Tapi mari lihat diri kita ayahbunda, anak lelaki kita sakit dan menderita justru sebagian besar disebabkan oleh pola asuh dan pola didik di rumahnya. Ayah dan ibunyalah yang membuat anak-anak lelaki hilang kelelakiannya, baik separuh atau seluruhnya. Karena sebagaimana anak perempuan, tak ada anak lelaki yang dikodratkan lahir dengan pribadi yang cacat. Bapak dan ibunya yang membuat cacat kepribadiannya.
Dimulai dari para ayah yang jarang hadir dalam kehidupan anak lelaki selain untuk memarahi dan memukul, atau berdehem. Para ayah macam ini – dan jumlahnya masih amat banyak – merasa misi mereka sebagai ayah adalah memberikan fasilitas hidup pada anak lelaki, tapi bukan mengarahkan hidupnya.
Padahal dari ayah seharusnya anak lelaki belajar tentang kepemimpinan yang mengayomi (ri’ayah) pada keluarga, cara bersikap sebagai seorang lelaki, cara memperlakukan anak lelaki, dan bagaimana bertahan menghadapi kejamnya kehidupan. Tapi ayah itu banyak memberikan ruang hampa, selain uang dan barang yang menyenangkan sesaat.
Akhirnya pengasuhan anak-anak lelaki kita justru jatuh ke tangan perempuan. Mulai dari ibunya, guru-guru TK-nya, SD, SMP dan SMA, dominan perempuan. Padahal perempuan bukanlah lelaki dan lelaki bukanlah perempuan. Fisik maupun jiwanya.
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنثَىٰ
dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan (TQS. Ali Imran: 36)
Meskipun mungkin tahu, tapi perempuan tak sepenuhnya paham bagaimana cara seharusnya lelaki berburu dan bertahan dari serangan musuh. Bagaimana dapat survive di alam liar. Karena jiwa perempuan adalah jiwa seorang ibu dan istri yang berbeda dengan kaum lelaki. Hormon testosteron lelaki itu 10-20 kali dari yang ada pada perempuan. Tapi dari pola asuh itu akhirnya banyak anak lelaki kita tidak tumbuh layaknya lelaki. Sebagian dari mereka ada yang kehilangan separuh jiwa kelelakiannya.
Lelaki kadang perlu dihardik sebagaimana perlu dipuji. Kadang perlu dipukul sebagaimana perlu ditepuk bahunya. Lelaki harus lebih sering ditantang baru kemudian ditenangkan. Mereka perlu jatuh dan berdarah, dan bukan duduk menenun kain, atau menonton drama percintaan. Mereka perlu diyakinkan bahwa kegagalan itu harus diterima sebagaimana menerima keberhasilan. Menangisi kehidupan bagi lelaki itu perlu tapi tak boleh melampaui kuota perempuan.
Tapi bagaimana anak lelaki kita akan punya jiwa lelaki sesungguhnya kalau ayahbundanya tak pernah menggambarkan seperti apa lelaki itu seharusnya. Ayah yang tak pernah hadir, dan kalau hadirpun hanya bisa memarahi dan memukul ketimbang menggambarkan visi dan misi hidup lelaki. Sedangkan ibunya merawatnya dengan dunia keperempuanan.
Maka, ayahbunda, jangan hanya duduk dan berdoa, tapi mulailah belajar mempersiapkan anak lelaki kita menjadi lelaki sejati. Belajarlah kepada Rasulullah SAW. yang berhasil mencetak Mush’ab bin Umair, Usamah bin Zaid, Ibnu Abbas, dan Ali bin Abi Thalib, dll. Mencetak lelaki-lelaki sejati pengukir sejarah, pengharum pentas kehidupan di panggung dunia dan akhirat.
0 komentar:
Posting Komentar