Lillaah – Li Ghayrillaah
March 2nd, 2017
Sungguh sebagai Muslim, mengutip QS al-An’am ayat 162, kita telah berulang menyatakan komitmen kita untuk mendedikasikan shalat kita, ibadah kita, bahkan hidup dan mati kita hanya untuk Allah SWT semata (lilLâh).
Andai semua umat Islam berpegang teguh pada komitmen ini, insya Allah banyak sekali masalah-masalah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bisa diselesaikan dengan relatif mudah. Mengapa? Karena kita mempunyai basis yang sama dalam menyelesaikan masalah, yakni al-Quran dan as-Sunnah, sebagaimana disebut dalam QS an-Nisa’ ayat 59. Dengan pijakan yang sama itu, berbagai persoalan yang ada akan menjadi relatif lebih mudah diselesaikan. Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir (TQS an-Nisa’ [4]: 59).
Namun, begitu ada sebagian dari umat Islam tidak lagi kokoh memegang komitmen ini, maka bukan hanya satu atau dua, sangat banyak masalah-masalah yang sebenarnya sangat mudah diselesaikan menjadi sulit bahkan sangat sulit diselesaikan. Contohnya, kasus Ahok yang hingga sekarang terus menyita perhatian kita. Padahal kasus ini sungguh sangat jelas. Penyelesaiannya pun sangat mudah.
Perkataan “Jangan mau dibohongi pake al-Maidah 51” jelas merupakan penistaan terhadap al-Quran karena secara langsung telah menuduh al-Quran sebagai alat pembohongan. Padahal fungsi al-Quran tak lain adalah sebagai hud[an] li an-nâs (petunjuk bagi manusia), penjelas bagi petunjuk itu dan pembeda (al-furqân) dalam menjalani kehidupan ini. QS al-Maidah ayat 51 memberikan petunjuk tentang bagaimana memilih pemimpin, bahwa orang yang beriman tidak boleh mengambil orang Yahudi dan Nashrani sebagai awlia, jamak dari wali.
Memang, kata wali dalam ayat al-Quran tidak selalu bermakna pemimpin. Namun, andaipun kata wali dalam QS al-Maidah ayat 51 diartikan sebagai teman dekat, itu tidak bisa menghilangkan substansi larangan mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Pasalnya, ada belasan ayat lain dalam al-Quran yang menegaskan larangan serupa, di antaranya QS an-Nisa’ ayat 141 yang artinya: Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin.
Meski dalam redaksi berita, ayat ini mengandung celaan. Maknanya adalah larangan, yakni larangan untuk memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin. Kekuasaan atau kepemimpinan merupakan jalan terbesar untuk bisa menguasai kaum Mukmin.
Bila inti persoalannya sudah demikian jelas, lalu bagaimana penyelesaiannya? Bila merujuk pada KUHP Pasal 156a dan UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, pernistaan terhadap al-Quran yang dilakukan Ahok ini secara sah dan meyakinkan telah melanggar aturan tersebut sehingga harus ditindak.
Namun, meski perbuatan Ahok sudah sangat jelas menista al-Quran, bahkan juga menista ulama, dan dasar untuk menindak pun sudah demikian jelas, mengapa hingga sekarang Ahok tak kunjung ditahan? Sebaliknya, para tersangka penistaan agama sebelumnya seperti Lia Eden, Ahmad Mosaddeq, dan lainnya semua ditahan. Bahkan Permadi, yang dituding menista Nabi Muhammad saw., belum lagi menjadi tersangka sudah ditahan. Adapun mereka yang sedang menjabat, setelah menjadi tersangka, seperi Menpora Andi Malarangeng dan Menteri Agama Surya Dharma Ali, mundur dari jabatannya. Sebaliknya, Ahok, jangankan ditahan, ia malah dicalonkan sebagai gubernur periode mendatang.
Mengapa itu semu bisa terjadi? Ya, karena Ahok didukung dan dilindungi. Siapa yang melindungi? Muslim juga. Lihatlah, empat partai politik yang mencalonkan Ahok, Golkar, Nasdem, Hanura dan PDIP, semua ketua umumnya adalah Muslim. Dukungan kepada Ahok bukan hanya datang dari parpol, bahkan juga dari seluruh perangkat negara, seperti Kepolisian yang notabene Kapolrinya juga seorang Muslim sehingga Kepolisian tak kunjung menetapkan Ahok sebagai tersangka. Baru setelah didesak oleh jutaan umat Islam yang turun ke jalan dalam Aksi Bela Islam 411, Ahok dinyatakan sebagai tersangka. Pertanyaannya, ketika mereka mendukung atau melindungi penista al-Quran itu lilLâh atau li ghayrilLâh? Pasti li ghayrilLâh. Tidak mungkin mendukung penista al-Quran itu lilLâh.
*
Karena itu penting sekali memastikan kita selalu dalam posisi lilLâh. Inilah nilai hidup kita yang akan mengantarkan kita nanti di Akhirat apakah bakal menjadi bagian dari ashâb al-yamîn (golongan kanan), yakni ahl al-jannah (penghuni surga) atau menjadi bagian dari ashâb as-simâl (golongan kiri), yakni ahl an-nâr (penghuni neraka).
Memang, di tengah berbagai tekanan kehidupan seperti sekarang ini, tidaklah mudah mempertahankan diri untuk selalu dalam posisi lilLâh. Tentang beratnya berpegang pada ketentuan agama, disinyalir oleh Baginda Rasulullah saw., “Akan datang kepada manusia suatu masa saat sabar berpegang teguh pada agama seperti memegang bara api.” (HR at-Tirmidzi).
Bagaimana rasanya memegang bara api? Tentu sangat panas. Telapak tangan pasti akan terbakar sehingga kita pasti ingin segera melepasnya. Namun, ini bukan sembarang bara api. Ini adalah agama kita yang akan menentukan posisi kita nanti di Akhirat, apakah bakal menjadi penghuni surga atau sebaliknya menjadi bahan bakar neraka. Oleh karena itu, seberat atau senaif apapun, posisi lilLâh ini harus tetap dijaga.
Dengan demikian, bila kita merasa dalam kita mencari nafkah, dalam berkeluarga, dalam mendidik anak, dalam berekonomi dan berpolitik dan lainnya kita berada dalam posisi li ghayrilLâh, maka segeralah bergeser ke posisi lilLâh. Mumpung masih ada waktu, sebelum ajal menjemput.
Bukan hanya dalam konteks kehidupan pribadi, kita juga harus berjuang untuk menggeser atau mengubah tata bangsa dan negara ini yang jelas-jelas li ghayrilLâh ini (bagaimana mau disebut lilLâh bila yang haram dihalalkan dan yang halal diharamkan; yang salah didukung, sementara yang benar malah dizalimi) menjadi lilLâh. Hanya dengan cara itu, cita-cita kita untuk menegakkan baldah thayyibah wa rabb[un] ghafûr akan bisa terwujud. Insya Allah. [HM. Ismail Yusanto]
March 2nd, 2017
Sungguh sebagai Muslim, mengutip QS al-An’am ayat 162, kita telah berulang menyatakan komitmen kita untuk mendedikasikan shalat kita, ibadah kita, bahkan hidup dan mati kita hanya untuk Allah SWT semata (lilLâh).
Andai semua umat Islam berpegang teguh pada komitmen ini, insya Allah banyak sekali masalah-masalah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bisa diselesaikan dengan relatif mudah. Mengapa? Karena kita mempunyai basis yang sama dalam menyelesaikan masalah, yakni al-Quran dan as-Sunnah, sebagaimana disebut dalam QS an-Nisa’ ayat 59. Dengan pijakan yang sama itu, berbagai persoalan yang ada akan menjadi relatif lebih mudah diselesaikan. Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir (TQS an-Nisa’ [4]: 59).
Namun, begitu ada sebagian dari umat Islam tidak lagi kokoh memegang komitmen ini, maka bukan hanya satu atau dua, sangat banyak masalah-masalah yang sebenarnya sangat mudah diselesaikan menjadi sulit bahkan sangat sulit diselesaikan. Contohnya, kasus Ahok yang hingga sekarang terus menyita perhatian kita. Padahal kasus ini sungguh sangat jelas. Penyelesaiannya pun sangat mudah.
Perkataan “Jangan mau dibohongi pake al-Maidah 51” jelas merupakan penistaan terhadap al-Quran karena secara langsung telah menuduh al-Quran sebagai alat pembohongan. Padahal fungsi al-Quran tak lain adalah sebagai hud[an] li an-nâs (petunjuk bagi manusia), penjelas bagi petunjuk itu dan pembeda (al-furqân) dalam menjalani kehidupan ini. QS al-Maidah ayat 51 memberikan petunjuk tentang bagaimana memilih pemimpin, bahwa orang yang beriman tidak boleh mengambil orang Yahudi dan Nashrani sebagai awlia, jamak dari wali.
Memang, kata wali dalam ayat al-Quran tidak selalu bermakna pemimpin. Namun, andaipun kata wali dalam QS al-Maidah ayat 51 diartikan sebagai teman dekat, itu tidak bisa menghilangkan substansi larangan mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Pasalnya, ada belasan ayat lain dalam al-Quran yang menegaskan larangan serupa, di antaranya QS an-Nisa’ ayat 141 yang artinya: Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin.
Meski dalam redaksi berita, ayat ini mengandung celaan. Maknanya adalah larangan, yakni larangan untuk memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin. Kekuasaan atau kepemimpinan merupakan jalan terbesar untuk bisa menguasai kaum Mukmin.
Bila inti persoalannya sudah demikian jelas, lalu bagaimana penyelesaiannya? Bila merujuk pada KUHP Pasal 156a dan UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, pernistaan terhadap al-Quran yang dilakukan Ahok ini secara sah dan meyakinkan telah melanggar aturan tersebut sehingga harus ditindak.
Namun, meski perbuatan Ahok sudah sangat jelas menista al-Quran, bahkan juga menista ulama, dan dasar untuk menindak pun sudah demikian jelas, mengapa hingga sekarang Ahok tak kunjung ditahan? Sebaliknya, para tersangka penistaan agama sebelumnya seperti Lia Eden, Ahmad Mosaddeq, dan lainnya semua ditahan. Bahkan Permadi, yang dituding menista Nabi Muhammad saw., belum lagi menjadi tersangka sudah ditahan. Adapun mereka yang sedang menjabat, setelah menjadi tersangka, seperi Menpora Andi Malarangeng dan Menteri Agama Surya Dharma Ali, mundur dari jabatannya. Sebaliknya, Ahok, jangankan ditahan, ia malah dicalonkan sebagai gubernur periode mendatang.
Mengapa itu semu bisa terjadi? Ya, karena Ahok didukung dan dilindungi. Siapa yang melindungi? Muslim juga. Lihatlah, empat partai politik yang mencalonkan Ahok, Golkar, Nasdem, Hanura dan PDIP, semua ketua umumnya adalah Muslim. Dukungan kepada Ahok bukan hanya datang dari parpol, bahkan juga dari seluruh perangkat negara, seperti Kepolisian yang notabene Kapolrinya juga seorang Muslim sehingga Kepolisian tak kunjung menetapkan Ahok sebagai tersangka. Baru setelah didesak oleh jutaan umat Islam yang turun ke jalan dalam Aksi Bela Islam 411, Ahok dinyatakan sebagai tersangka. Pertanyaannya, ketika mereka mendukung atau melindungi penista al-Quran itu lilLâh atau li ghayrilLâh? Pasti li ghayrilLâh. Tidak mungkin mendukung penista al-Quran itu lilLâh.
*
Karena itu penting sekali memastikan kita selalu dalam posisi lilLâh. Inilah nilai hidup kita yang akan mengantarkan kita nanti di Akhirat apakah bakal menjadi bagian dari ashâb al-yamîn (golongan kanan), yakni ahl al-jannah (penghuni surga) atau menjadi bagian dari ashâb as-simâl (golongan kiri), yakni ahl an-nâr (penghuni neraka).
Memang, di tengah berbagai tekanan kehidupan seperti sekarang ini, tidaklah mudah mempertahankan diri untuk selalu dalam posisi lilLâh. Tentang beratnya berpegang pada ketentuan agama, disinyalir oleh Baginda Rasulullah saw., “Akan datang kepada manusia suatu masa saat sabar berpegang teguh pada agama seperti memegang bara api.” (HR at-Tirmidzi).
Bagaimana rasanya memegang bara api? Tentu sangat panas. Telapak tangan pasti akan terbakar sehingga kita pasti ingin segera melepasnya. Namun, ini bukan sembarang bara api. Ini adalah agama kita yang akan menentukan posisi kita nanti di Akhirat, apakah bakal menjadi penghuni surga atau sebaliknya menjadi bahan bakar neraka. Oleh karena itu, seberat atau senaif apapun, posisi lilLâh ini harus tetap dijaga.
Dengan demikian, bila kita merasa dalam kita mencari nafkah, dalam berkeluarga, dalam mendidik anak, dalam berekonomi dan berpolitik dan lainnya kita berada dalam posisi li ghayrilLâh, maka segeralah bergeser ke posisi lilLâh. Mumpung masih ada waktu, sebelum ajal menjemput.
Bukan hanya dalam konteks kehidupan pribadi, kita juga harus berjuang untuk menggeser atau mengubah tata bangsa dan negara ini yang jelas-jelas li ghayrilLâh ini (bagaimana mau disebut lilLâh bila yang haram dihalalkan dan yang halal diharamkan; yang salah didukung, sementara yang benar malah dizalimi) menjadi lilLâh. Hanya dengan cara itu, cita-cita kita untuk menegakkan baldah thayyibah wa rabb[un] ghafûr akan bisa terwujud. Insya Allah. [HM. Ismail Yusanto]
0 komentar:
Posting Komentar