Ketentuan ini diambil dari hukum-hukum kepegawaian/ perburuhan (ijârah). Sebab, sesuai dengan hukum ijârah, direktur-direktur dan para pegawai negeri merupakan ajir (pekerja/ pegawai). Karena itu, negara boleh mempekerjakan pegawai secara mutlak, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal itu sesuai dengan keumuman dan kemutlakan dalil-dalil tentang ijârah.
Allah SWT berfirman:
Jika mereka menyusui anak-anak untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. (TQS ath-Thalaq [65]: 6).
Ayat ini bersifat umum dan tidak dikhususkan untuk Muslim saja. Imam al-Bukhari telah menuturkan riwayat dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. yang pernah bersabda:
Allah SWT telah berfirman: Ada tiga golongan yang aku akan perkarakan pada Hari Kiamat kelak .... dan seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu telah menyelesaikan pekerjaannya, namun ia tidak memberikan upahnya.
Hadis ini bersifat mutlak dan tidak dibatasi hanya untuk pegawai yang Muslim saja. Apalagi bahwa Rasulullah saw. pernah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani ad-Dil yang masih memeluk agama kaumnya (musyrik). Hal ini menunjukkan kebolehan mempekerjakan non-Muslim sebagaimana bolehnya mempekerjakan seorang Muslim. Begitu pula, boleh mempekerjakan seorang wanita sebagaimana bolehnya mempekerjakan seorang laki-laki. Hal ini sesuai dengan keumuman dan kemutlakan dalil-dalil ijârah itu. Karena itu, wanita boleh saja menjadi direktris sebuah departemen, jawatan, atau unit yang ada dalam negara; sebagaimana ia juga boleh menjadi pegawai di instansi-instansi tersebut, karena mereka adalah pekerja, sedangkan dalil-dalil ijârah bersifat umum dan mutlak.[]
0 komentar:
Posting Komentar